10/04/21

Balada BURUNG Cabe-cabean

"Wowww, ada burung!!!", pekik salah satu karyawan saya yang perempuan. Mendengar kata 'burung', saya dan karyawan yang lain, serta para tamu hotel, berhamburan menuju TKP.  Dan semuanya laki-laki. 

Aneh ya, laki-laki kok masih penasaran sama burung?

Seekor burung berwarna indah tergeletak menggelepar-gelepar di lantai. Kami pun lalu saling rebutan untuk memegang. 

Aneh ya, laki-laki kok masih penasaran pengen pegang burung.

Untungnya, rebutan burung itu dimenangkan oleh saya, mungkin karena sudah terbiasa dan ahli memperebutkan burung. Kalau dimenangkan orang lain, mungkin tuh burung akan berakhir jadi burung goreng.

Jam segini ngomongin burung kok agak gimana gitu ya?

Lanjut!

Jadi tuh burung mungkin burung tipe cabe-cabean, yang kalau terbang gak lihat ke depan, tapi sibuk lirik kanan-kiri cari perhatian. Dan BRAKKKKK...dia pun nabrak dinding kaca.

Saat saya pegang, si burung tak bergerak, matanya terpejam. Mungkin hatinya menangis seperti lagunya Nia Daniati? Entahlah...

Yang jelas temboloknya masih bergerak naik turun, menandakan dia belum siap menuju cahaya yang sering membuat manusia tak bisa lagi kembali ke dunia.

Dulu sejak kecil, saya memang seperti memiliki sweet relationship dengan burung. Setiap kali melihat burung yang teraniaya, naluri saya langsung terpanggil untuk menyelamatkan.

Bapak saya pernah punya sekandang burung yang saya lupa asalnya dari mana. Apakah dibeli? Hasil berburu? Atau dikasih orang? Setiap pagi, saya diam-diam lepasin burungnya satu demi satu hingga pada akhirnya kandangnya benar-benar kosong.

Saat bapak dapat suvenir senapan angin dari adiknya yang tentara, saban pagi bapak jalan untuk berburu burung. Saya yang malas bangun pagi sampai bela-belain ikut bangun supaya bisa ikut bapak. Tujuannya bukan untuk menemani bapak, tetapi sebagai 'hama penganggu'. Iya, benar-benar hama penganggu. 

Saat bapak sedang membidik sasaran, saya akan berisik seperti kucing kawin agar burung-burung yang jadi sasaran tembak segera beterbangan.

Buat saya, semua mahluk yang bernyawa adalah berharga, kecuali ulat bulu, tikus dan kecoa. Ketiga mahluk itu saya percaya asalnya dari neraka.

Kembali lagi ke cerita burung nabrak kaca, saya taruhlah tuh burung ke dalam kardus, masih dalam keadaan pingsan.

Satu jam kemudian, dia sudah sehat kembali, sudah bisa berdiri. Gara-gara warna bulunya yang indah permai, sempat terpikir untuk memeliharanya dalam sangkar atau sarung. 

"Pelihara aja, bang Ganteng. Itu burung bagus. Namanya burung Raja Udang. Bahasa Inggrisnya King Cobra", usul salah seorang tamu yang tadi menjadi lawan saya berebut burung. Ini yang ngomong pasti dulu nilai bahasa Inggrisnya dapat nilai merah di raport. 

Dan beberapa orang masih mencoba memprovokasi.

"Jual aja, bang Seksi. Itu burung mahal. Tapi itu bukan burung Raja Udang, tapi burung Simalakama"

"Bukan. Itu namanya burung Nurani"

Terserrrraaaaahhhh!!!!!    

Akhirnya saya memutuskan untuk melepaskannya saja. Siapa tau dia tulang punggung keluarga, supaya bisa kembali membantu perekonomian keluarganya.

 Terbanglah oh burung dan nyanyikanlah. Katakan padanya aku rindu...


Share:

THE DOORS - Bukan Band, Tetapi Jalan

 

Kawasan bandara Silangit dengan kabupaten Toba dipisahkan oleh sebuah kawasan bernama The Doors. Keren ya namanya, mirip nama salah satu band favorit saya waktu TK.

Nama sebenarnya 'Si Pittu-pittu'. Pittu (ejaannya: 'pintu', tapi pengucapan a la lidah Batak: 'pittu') adalah bahasa Batak dari pintu. Jadi benar dong kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Doors.

Sesuai namanya, jalur ini memang seperti semacam 'pintu' dari Tapanuli Utara untuk masuk ke Toba, and vice versa.

Nama versi Inggris-nya memang keren, tapi kawasan ini sama sekali gak keren. Sebenernya sih bisa keren, tapi karena apa kali sehingga tidak diapakan dengan apa sehingga menjadi apa gitulah yang entah apa-apa.

Bingung dengan kalimat terakhir barusan? Berarti anda bukan orang Medan dan sekitarnya. Your loss!

Jadi Si Pittu-pittu ini wujudnya adalah sebuah jalan lintas di lereng bukit. Jalan lintas yang cuma muat dua jalur kendaraan: kanan & kiri. Kalau maksa lebih dari dua jalur, maka resiko  pilihannya adalah: nabrak bukit, atau nyungsep ke jurang. Silahkan pilih sesuai selera.

Padahal seperti yang saya singgung di atas, kawasan ini adalah jalan lintas paling express yang menghubungkan bandara Silangit dengan (yang katanya) Monaco of Asia, tetapi justru kawasan ini yang dari zaman Herodes sampai zaman K-Pop seolah terabaikan dan terbengkalai.

Tidak dianggap penting, seperti masa pacaran dulu: statusnya pacar, tapi gak dianggap penting karena si dia lebih mementingkan teman-temannya. Maaf, jadi sekalian curhat

Sudah beberapa kali kejadian mobil atau motor terjun bebas ke jurang atau nubruk bukit di sisi jalan raya karena tidak adanya pembatas jalan raya. Toh sampai  sekarang tetap tidak ada antisipasi untuk menghindari atau at least meminimalisir kecelakaan yang sama terjadi kembali.

Well, mungkin di sini keselamatan manusia tidak terlalu dianggap berharga.
Sedih ya?! Iya!

Setiap minggu saya pasti melewati kawasan ini dari Balige menuju Tarutung. Setiap minggu juga saya selalu deg-degan setiap melewati jalan ini.

Selain konon katanya di sini banyak hantu, jin, dedemit, mahluk bunian dan yang sebangsa(t)nya, di sepanjang jalan ini juga ada beberapa titik di jalan raya yang rawan longsor ke jurang.

Sebagian jalan raya bahkan sudah 'termakan' proses longsoran yang semakin hari semakin 'memakan' badan jalan. Dan longsoran ini hanya ditandai dengan pita kuning garis hitam seperti TKP kriminal.

Ya, iya sih kayak 'criminal scene'. Ini sudah sama kayak pembunuhan berencana. Udah tau bahaya dan beresiko menghilangkan nyawa manusia, tapi tetap dibiarkan.

Saya pernah naik motor dari Balige ke Tarutung, dan melewati kawasan ini pas sudah gelap gulita. Tiba-tiba mesin motor saya 'meninggal', dan kebetulan tidak ada kendaraan lain dari arah depan dan belakang. Astaga, suasana sekeliling gelap sekali seperti masa depan. Tidak ada lampu atau penerangan sama sekali. Sumber cahaya di sini hanya berasal dari kendaraan yang lalu lalang.

Kalau tidak ada kendaraan yg lewat, ya mendadak buta dan harus meraba-raba. Seperti lagunya Anggun C. Sasmi: "Ughhh...raba-raba. Memang kecil dia, tapi dia pandai mencari mangsa".

Berdoalah supaya saat melintasi area ini malam hari, mesin kendaraan anda tidak mendadak mati seperti yang pernah saya alami.
Sudah gelap, harus mendorong motor yang berat, ada pula kelebat-kelebat bayangan hitam seliweran di atas kepala yang harus dikasih tau "Saya bisa Taekwondo lho, loe mau muka loe gue pindahin ke belakang?", baru mereka mau menghilang terbirit-birit. Dan entah sampai kapan kawasan ini akan sedikit mendapat perhatian dari pemerintah setempat.

Mungkin menunggu jalan penghubung ini terputus dulu akibat jalan raya yang runtuh ke jurang sehingga akses benar-benar terputus, baru pejabat yang berwenang pura-pura kaget dan prihatin karena dijewer Pak Jokowi, lalu lanjut menyulam taplak meja dan kembali tak peduli.

Saya juga heran kenapa kawasan ini bisa terabaikan. Padahal ini jalan lintas lho, bukan jalan alternatif. Presiden Jokowi yang sudah beberapa kali hilir mudik ke Toba pasti lewat jalan ini saat menuju ke bandara.

Dan FYI, di sini sering sekali terjadi jalan yang masih bagus dipoles tiap hari, tapi jalan yang benar-benar rusak malah tak disentuh sama sekali.

Airport dibenahi, Danau Toba didandani. Katanya...
Tetapi jalan dari airport menuju Danau Toba kok seperti jalan menuju bukit Golgota ya?

Ayolah, Pak Luhut Panjaitan. Sekali-kali blusukan atau investigasilah, Bro.
Jangan cuma sekedar kasih proyek ke mereka, lalu nunggu terima beres. Tapi kondisi di lapangan gak jelas. 
Sayang duitnya, mending kasih ke saya. Kasihan, saya sudah lima tahun gak makan ayam KFC.

Saya pun berpikir, mungkin pejabat yang seharusnya bertugas dan punya wewenang untuk mengurusi ini sepanjang hidupnya tidak pernah melalui jalan ini sehingga tidak tau dan tidak peduli.

Mungkin mereka ini kemana-mana tidak naik kendaraan, tetapi naik sapu terbang sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Tapi apa iya para pejabat instansi terkait isinya nenek sihir semua? Kalau iya, ya sudahlah kalau begitu, memang gak bisa diharapkan.



Share:

27/08/20

NOCTURNO



Sejak tahun 2019 saya punya kenalan seorang tunawisma yang setiap malam saya jumpai di SPBU. Awal perkenalannya karena dia minta 15 ribu atau 20 ribu. Untuk beli makan katanya. Sesekali bolehlah. Tetapi makin ke sini dia makin berani minta setiap hari. Dan saya yakin dia gak cuma minta ke saya saja, ke orang lain juga. 

Seiring waktu berjalan, saya penasaran dong asal usul dia. Lagian saya juga sudah mulai bosan lihat dia ongkang-ongkang kaki merokok sambil minta uang dari orang-orang yang lewat. Dari logat bicaranya sepertinya bukan orang sini, tetapi kemungkinan dari Medan yang apa kali itu kalau apa-apanya terlalu diapakan biar apa pasti akan menjadi apa kali. 

"Asalnya dari mana, Pak?"

"Helvetia, bos"

"Kenapa bisa nyasar ke Balige"

"Ribut sama orang rumah" 

Weishhhhh, kalah ya drakor. Drama Korea aja kalau ribut, paling cuma diam-diaman sambil tetap payungan di bawah rintik hujan. Yang ini minggat lintas benua. 

"Mau sampai kapan jadi gelandangan kayak gini?"

"Jika takdir berkata demikian, apa mau dikata?"

Jaka Sembung bawa monyet. Silahkan lanjutkan sendiri kalimat lanjutannya dalam hati.

 “Gak malu setiap hari minta-minta begini”

“Aku ada jantung, bos”

“Saya juga punya jantung”

“Maksudnya, aku punya penyakit jantung”

“Trus, sakit jantung gak boleh kerja?”

“Gak bisa capek aku, bos”

“Trus gimana? Gak kerja?”

“Ya gimanalah, bos” 

Dari fisiknya saya lihat dia sehat-sehat saja sih. Posturnya tinggi besar, tetapi jalannya memang sedikit pincang. 

"Orang rumah gak nyari'in?"

"Nyari'in"

"Trus kenapa gak pulang?"

"Gak ada ongkos, bos"

"Kalau saya ongkosin, bener mau pulang?"

"Serius, bos. Kalau ada ongkos, saya pasti sudah pulang" 

Singkat cerita saya ongkosinlah dia pulang, ditambah uang makan plus uang saku. Daripada menggelandang di usia yang sudah tak muda lagi, mending pulang ke rumah. Ribut-ribut itu kan bagian dari riak dan gelombang yang harus dilalui oleh biduk rumah tangga.

Lha, kenapa saya jadi kayak presenter acara gosip di TV yang membacakan narasi untuk  membeberkan kisruh rumah tangga artis yang  seperti kamar saya ya: gampang berantakan. 

Hari ini saya ongkosin, nanti malam dia seharusnya berangkat pulang. Ehhh, besoknya saya masih ketemu dia: ongkang-ongkang kali sambil merokok. Saya ngamuk dong.

Saya labraklah dia... 

"Ngapain masih di sini???". Saya ngomongnya sengaja berkacak pinggang biar mirip piala, sekedar menunjukkan dominasi.

Dia pun gelagapan.

"Eh, oh...begini bos. Saya bisa menjelaskan. Saya sudah pulang, tapi balik lagi"

“Kapan pulangnya? Kok bisa sudah ada di sini lagi?”

“Begitu nyampe saya langsung balik lagi, bos”

“Maksudnya? Lebih suka jadi pengemis?”

“Bukan begitu, bos. Maksudku begini...”

"Gak perlu. Pokoknya mulai detik ini jangan pernah bicara apa-apa lagi sama saya".

Sebenarnya bahasanya tidak sesinetron itu sih, tetapi pesan yang disampaikan sedikit mirip persis seperti itu. 

Sejak itu dia memang tidak pernah berani lagi bicara ke saya. Pernah sih dia nekad nyamperin saya, seperti biasa minta uang jajan. Berhubung saya sudah malas berurusan sama orang yang lebih suka dikasih ikan daripada perahu, saya gak gubris. 

Trus, tadi malam pas saya mampir di SPBU seperti biasa, dia nampak lagi bahagia banget. Tertawa-tawa girang begitu. Dan saat melihat saya, dia langsung berpantun... 

“Burung nuri burung dara”

Astagaaa, malam-malam gini membahas burung apa pantas? 

“Percuma baik kalau hanya untuk sementara”. Dia melanjutkan pantunnya. Yaelahhh, dia menyindir saya. Bedebah!

 

 

Share:

04/07/20

Bajunya KETAT Sih!

Kalau anda aktif di media sosial seperti Twitter atau Instagram, dan anda follow akun portal berita online, pasti anda sudah biasa membaca berita tentang pelecehan seksual seperti pemerkosaan,  pencabulan, juga kasus yang akhir-akhir ini sering terjadi: begal organ tubuh perempuan. 

Begal di sini maksudnya bukan diambil paksa, lalu dibawah kabur. Tetapi meraba atau merogoh, lalu kabur.

Selain berita dengan tema tersebut cukup menggelitik rasa ingin tau, namun yang tak kalah menarik adalah reaksi para netizen atas berita tersebut yang disampaikan lewat kicauan.
Tak sedikit dari kicauan tersebut yang justru menyalahkan korban yang pada umumnya adalah perempuan.

“Bajunya ketat sih”, “Pakaiannya terbuka sih”, “Pulangnya malam-malam sih”, “Jalannya sendirian sih”, dan seribu satu bentuk penghakiman dan pembenaran lainnya.

Kenapa sebagian besar orang berpikiran bahwa perempuan yang harus menjaga dirinya? Kenapa sebagian besar orang berpikiran bahwa laki-laki wajar jika ‘mengganggu’ perempuan?

Saya masih ingat kejadian waktu kelas 1 SMP. Teman sekelas saya (cowok) yang mungkin pubernya terlalu dini, tidak bisa menahan hasratnya, sehingga iseng mencium pipi salah satu siswi (sekelas dengan saya juga). Si cewek pun menangis tersedu-sedu.
Sayangnya beberapa orang (termasuk guru-guru) malah memaklumi dengan kalimat, “Sudahlah, gak perlu nangis. Anak cowok biasa begitu”.
Bahkan ada yang malah memuji si cowok. “Itu baru jantan”.

Waktu SMA, salah satu teman sekelas saya (Ya ampun, seolah dari dulu saya sekelas dengan cowok brengsek terus ya!?) iseng meraba bokong siswi kelas sebelah di depan umum. 
Yang anak cowok bersorak sambil tersenyum, tapi gak termasuk saya ya. Yang cewek bisik-bisik maklum.
“Pantatnya semok banget sih, ya wajar cowok-cowok pengen pegang”.

Waktu SMA, saya termasuk yang bisa menahan hasrat. Jadi gak peduli senaksir atau sesuka apa saya sama cewek kelas sebelah, saya bisa pura-pura cuek dan bertingkah seolah gak tertarik. Menyuitin cewek pun saya tidak pernah, apalagi nyuitin cowok. Gila, apa!?

Di rumah saya ada tiga perempuan: nyokap dan dua orang kakak. Jadi sejak kecil mama saya sudah mendidik saya untuk menghormati perempuan.
“Kamu jangan pernah menyakiti atau mengganggu perempuan karena kamu juga punya kakak perempuan. Jangan melakukan sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Begitu kira-kira didikan yang ditanamkan Mama saya.

Kurang tau sih apakah didikan ini hanya ditanamkan ke saya atau juga ke semua abang-abang saya. Yang jelas saya juga gak pernah melihat abang-abang saya menyuitin atau cat-calling perempuan. Pas saya lihat, enggak. Tetapi pas saya nggak lihat, mungkin mereka kukuruyuk-kukuruyuk. Who knows!?

Dan didikan ini bukan berarti tidak punya efek samping. Jadi teman-teman sekolah saya dulu sering  ngeledekin, 
“Ih, kamu kok gak pernah  nyuitin cewek. Kamu gak suka cewek ya?”, atau “Jangan-jangan kamu gak jantan nih?”. 
Toh tuduhan itu tidak berarti, karena mereka juga tidak pernah melihat saya menyuitin cowok, kambing atau monyet.

Lama-lama mereka mengerti bahwa saya beda dari cowok kebanyakan karena saya memang menghormati dan menghargai perempuan. Alhasil, teman-teman saya dulu rebutan nyomblangin saya ke adik atau kakak perempuannya.
“Adik/kakak saya pasti aman kalau sama kamu”, katanya sambil ngasih gorengan dan Cocacola sebagai ‘mas kawin’. Ya, mungkin mereka pikir saya semurahan itu.

Saya jadi berpikir bahwa pola pikir dan kelakuan yang mengganggap wajar laki-laki melecehkan perempuan terbentuk dari didikan dan pengalaman waktu kecil yang juga didukung oleh lingkungan sosial.
Kita terbiasa dipaksa menerima ‘budaya’ bahwa laki-laki harus ‘menganggu’ perempuan supaya sah disebut jantan. Bahwa perempuan harus begini dan begitu, tidak boleh begini dan begitu supaya tidak men-trigger laki-laki. Bahwa segala tindak-tanduk pelecehan yang dilakukan oleh laki-laki murni karena ada undangan sengaja/tak sengaja dari perempuan.

Perempuan tidak boleh jalan sendirian supaya tidak mau diganggu. Perempuan tidak boleh pulang malam-malam supaya tidak diganggu. Perempuan tidak boleh punya pinggul atau payudara gede supaya tidak diganggu. Perempuan tidak boleh terlalu cantik atau seksi supaya tidak diganggu. Jadi seolah semua pusat dari permasalah kasus pelecehan seksual ada pada diri perempuan. What a hell!

Padahal kalau mau dirunut di semua kasus pelecehan seksual, banyak korbannya yang justru tidak berada pada posisi yang saya sebutkan di atas. Ada korban perkosaan/pencabulan dengan korban di bawah umur atau keterbelakangan mental. Ada korban pelecehan yang justru terjadi di rumah pada siang bolong yang pelakunya justru adalah kerabat/keluarga sendiri.

Video CCTV yang terakhir saya lihat di sosial media justru memperlihatkan korban begal payudara adalah perempuan berhijab yang sedang berjalan berdua dengan perempuan lain yang juga berhijab.

Didikan yang salah sejak kecil sehingga telah mengakar dalam pikiran kita membuat kita seperti terjebak dalam paradigma bahwa dalam kasus pelecehan seksual, yang salah adalah perempuan. Jadi meskipun kita dijejeli dengan fakta bahwa perempuan yang menjadi korban tidak berada dalam situasi atau posisi yang terkesan ‘memancing’ hasrat laki-laki, kita tetap berpendirian untuk selalu mencari pembenaran atas perilaku laki-laki.

Padahal dengan edukasi sederhana saja, mungkin bisa membentuk pola pikir semua anak laki-laki untuk menghargai dan menghormati perempuan. Edukasi dalam bentuk penjelasan bahwa kita semua terlahir dari perempuan (atau ada yang dulu tumbuh dari ladang kol atau digotong-gotong bangau?), seharusnya kita punya naluri alamiah untuk menyayangi perempuan. 

Kita selama sembilan bulan pernah berada dalam tubuh perempuan, satu tubuh dan satu asupan kehidupan, seharusnya akan sangat gampang untuk menumbuhkan rasa hormat kepada perempuan.

Jika muncul hasrat untuk melakukan pelecehan verbal maupun fisik, coba bayangkan jika ibu atau saudara perempuan kita yang diperlakukan begitu.

Tetapi karena sejak kecil tidak pernah diberi didikan dan penjelasan mengenai perempuan, dan diperparah dengan lingkungan sosial yang memandang perempuan hanya sebagai objek…dapat salam dari Atiek CB: Ya sudah-sudahlah, Boy!

Jadi buat anda yang punya akses untuk mendidik anak kecil, anda punya chance untuk mengubah budaya yang selama ini dibenarkan untuk dikoreksi saat ini. Ajarlah anak laki-laki (dan juga anak perempuan)  untuk menghargai dan menghormati (sesama) anak perempuan apapun kondisi dan keadaannya: mau memakai pakaian seksi kek, pakai hijab kek, supaya kelak attitude ini bisa tumbuh seiring pertumbuhan mereka, sehingga ketika mereka memiliki hasrat dan pemikiran yang salah saat melihat perempuan, mereka sadar bahwa hasrat yang ada dalam pikiran mereka itu salah, bukan pada penampilan si perempuan. 
Sehingga sepuluh atau dua puluh tahun lagi kita bisa memiliki generasi yang lebih baik  dan beradab.

CODA:
Lalu bagaimana dengan kasus pelecehan dan perkosaan dari kronologi perempuan yang diajak kenalan oleh pria yang tidak dikenal, mau diajak jalan-jalan, dibawa ke tempat sepi, dicekoki minuman keras, lalu diperkosa? Maaf ya, kalau itu sih memang dasar perempuannya saja yang goblok. Dia punya kesempatan untuk menghindari kejadian buruk terjadi, tetapi dia tetap nekad menghampiri dan memberi peluang.

Pria banyak yang brengsek, tetapi bukan berarti perempuan boleh goblok. Take care, ladies...

            
Share:

16/06/20

CORONA Bencooooong!!!

/ Ilustrasi Foto : Dialeksis / 

Siapa yang masih waras setelah kurang lebih tiga bulan disuruh mendekam di rumah #StayHome dan gak bisa kemana-mana?

Kalau dipikir-pikir, dulu kejadian kayak begini hanya kita tonton di cerita film. Film ya, bukan sinetron, apalagi drakor. 

Saya lupa apa saja judul film-film yang pernah bikin setting cerita persis seperti ini. Jadi semua warga sebuah kota atau negara atau bumi terpaksa harus ngumpet di rumah, di gorong-gorong dan tempat persembunyian lainnya karena di luar sana lagi ada serangan virus, alien, zombie, monyet liar dan lain sebagainya.

Jadi memang benar ya, ketika Tuhan sudah berdaulat atas alam semesta, tak ada ilmu pengetahuan dan kekayaan manusia yang sanggup menghentikannya. Mudah-mudahan ini juga bisa menjadi semacam reminder buat kita bahwa kita ini apalah, hanya remahan rengginang di atas taplak meja yang kelak akan diangkut semut yang berduyun-duyun. 
Tak ada alasan untuk sombong, merasa hebat, merasa kaya. Buktinya, saat Coronavirus meraja, semua orang dari segala strata sosial tanpa terkecuali lari berhamburan masuk rumah.

Covid 19 ini memang menakutkan. Takut bukan karena nih virus zahanam bisa bikin mati, wong mati kan bukan hanya disebabkan virus. Apalagi umur juga tidak ada yang tau, itu misteri dan kuasa Tuhan semata. Hari ini sehat seperti kuda, besok bisa saja sudah tinggal nama. Yang namanya kematian kan memang tidak harus tua atau sakit dulu.

Menakutkan karena kamu bisa saja terinfeksi, tetapi yang mati justru bukan kamu, tetapi orang yang berada di sekitarmu. Orang-orang yang imunitas tubuhnya lemah, seperti orangtua atau anak-anak. Kamu hanya jadi carrier (pembawa virus), itu juga kalau imunitasmu sakti mandrawaty. Kalau kamu punya riwayat penyakit serius, kamu juga potensial untuk mati.

And like it’s not bad enough, perlakuan terhadap jenazah pasien Covid 19 juga ada S.O.P-nya. Gak boleh dilayat banyak orang, bahkan oleh keluarga dan kerabat terdekat. Boro-boro dilayat, disentuh saja tidak boleh karena masih beresiko penyebaran virusnya.

Prosesi penguburannya hanya boleh dilakukan oleh petugas dengan APD lengkap.

Kesel? Iya! Makanya saking keselnya, ada saat tertentu saya naik ke atap rumah pada malam hari, lalu teriak, “Corona bencoooooooongggggg!!!!”.

Virus ini kita nggak tau sampai kapan akan eksis karena sampai saat ini belum jua ditemukan vaksin atau apapun yang menjadi penangkalnya. Jadi mau nggak mau, kita memang untuk sementara harus rela hidup ‘berdampingan’ dulu.

Ngendon di rumah aja sampai kiamat tentu bukan solusi yang tepat karena dapur harus ngebul. Nggak semua pekerjaan bisa dilakukan melalui sistem Work from Home toh?

New normal sudah diberlakukan sejak beberapa hari yang lalu. New normal maksudnya kembali menjalani kehidupan seperti biasa, tetapi dengan prosedur yang baru. Prosedurnya nggak ribet-ribet banget sih: pakai masker, rajin cuci tangan dan jaga jarak kayak tulisan di bagian belakang angkot dan truk. Namun prosedur sesederhana itu pun masih sangat susah dilakukan oleh warga dari negara ber-flower ini.

Begitu mall dibuka, udah langsung ada antrian panjang di depan gerai busana. Gerai busana lho, kalau sembako saya mungkin masih maklum. Beberapa pengantri bahkan mengabaikan jarak dan nggak pakai masker.

Para dokter dan perawat yang bertugas menangani pasien Covid 19 pun pasti nangis melihat kelakuan mahluk-mahluk ini. Karena penambahan pasien artinya semakin lama mereka harus menahan diri untuk tidak pulang ke rumah dulu.

Memang banyak orang-orang yang sama sekali nggak mau memikirkan orang lain  demi kesenangan pribadi. Kesenangan pribadi yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Mudah-mudahan kita bukan menjadi salah satu dari mereka ya.

Hari pertama New Normal saja saya didatangi oleh tamu saya dari luar kota. Mereka segerombolan, request mau pesta pora di halaman belakang hotel saya untuk merayakan New Normal.
Whaaaaatttt? Merayakan New Normal? Dikira menang perang, apa!? Langsung saja saya tolak, meskipun saya bolak-balik dikedipin sambil jilat bibir.

Soal pemakaian masker, mungkin ini yang bikin beberapa orang agak apatis ya. Mereka bilang masker bukan jaminan bisa bebas dari virus Corona.
Lha, yang bilang bikin bebas dari Corona siapa, coba!?

Sebenarnya aksi memakai masker ini keren banget lho. Kita jadi kayak saling menyelamatkan. Salah satu cara penyebaran virus kan lewat droplet (percikan yang tersembur saat kita batuk atau bersin).

Nah, pada beberapa kasus, orang yang terinfeksi Covid 19 tidak menunjukkan gejala. Jadi kadang kita nggak sadar kalau kita sebenarnya sudah terinfeksi karena mungkin kita belum melakukan test.
Tau sendiri dong, ada beberapa orang tertentu yang kalau batuk atau bersin kayak adegan dalam film kartun: “Hatsyiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!”, lalu semua meja dan kursi beterbangan ke angkasa.

Memang di kehidupan nyata tidak seekstrim itu, tetapi mau seningrat apa pun cara kamu batuk atau bersin, tetap ada semburan droplet. Nah, masker ini fungsinya untuk menahan droplet biar tetap di tempat yang semestinya, nggak piknik kemana-mana.

Jadi sebenarnya masker yang kita pakai berfungsi untuk melindungi orang lain, sementara masker yang dipakai orang lain fungsinya untuk melindungi kita. Ini mungkin salah satu hikmah dari pandemi ini, kita tanpa sdari jadi saling melindungi, padahal biasanya saling lempar-lemparan tombak dan rencong.

Jadi masih malas pakai masker? Toh pakai masker juga bisa bikin keren karena sekarang masker yang beredar bukan lagi yang polos kayak masker rumah sakit, tetapi sudah banyak dengan corak dan motif yang sesuai selera.

Takut maskermu menutupi wajahmu yang rupawan? Ya elah, yang jelek saja jadi kelihatan keren kalau pakai masker yang OK.

Makanya jangan cuma peduli dengan kecantikan atau kegantengan wajah saja, tetapi kecantikan hati juga. Jadi meskipun kamu pakai masker demi alasan kesehatan, kecantikanmu tetap terpancar dari dalam lewat aura dan lewat mata.

Share:

EMON (Bukan) Catatan Si Boy

/ Photo : Kumparan / 
Emon bikin gonjang-ganjing dunia persilatan. No, ini bukan Emon di film Catatan Si Boy, tetapi Emon yang punya nama lengkap Bintang Emon, yang lagi naik daun gara-gara funny edutainment speech masalah virus Corona di media sosial. 

Dulu tak banyak yang mengenalnya saat lulus dari salah satu akademi hasil besutan sebuah stasiun TV berformat kompetisi Stand Up Comedy.

Tapi sesuai dengan namanya, dia memang terlahir untuk menjadi seorang bintang.

Kebetulan karena saya pengagum doski sejak viral video edutainment speech-nya itu, saya juga follow media sosialnya dia. 

Saya juga suka saat dia mulai berani menyentuh ranah serius walaupun tetap dengan gaya yang khas dia. Contohnya, vonis satu tahun untuk penyerang Novel Baswedan dan dalih 'tak sengaja' dari sang terdakwa.

Sayangnya, dia mungkin tak menyadari bahwa ada resiko yang harus dia hadapi jika berani menyentil ranah sensitif. Dia bereaksi berlebihan saat ada respon negatif atas konten speech menyindir vonis hukuman untuk penyerang Novel Baswedan tersebut. 
Padahal yang menyerang dia hanya akun-akun robot dengan memposting berita seolah-olah Emon mengkonsumsi narkoba. Bahkan anak TK juga tau bahwa berita dan foto yang diposting itu editan dan omong kosong.

Reaksi Emon yang berlebihan lewat pengakuan mendapat ancaman dan serangan itu pun digoreng pihak-pihak yang anti pemerintah untuk memberi kesan seolah-olah anak muda yang kritis menyuarakan pendapat harus dibungkam. Sosok Emon yang sedang jadi idola dijadikan alat untuk mendiskreditkan pemerintah.

Coba kalau Emon santai saja, semua akan berlalu begitu saja. Emon bukan figur publik yang pertama pernah mengalami kejadian serupa. Beberapa artis (yang tidak etis jika saya sebut namanya) pernah diserang dengan fitnah sebagai pecandu narkoba, penyuka sejenis, pekerja seks komersial terselubung dan hal-hal yang lebih jahat lainnya. Reaksi mereka? Santai saja, karena mereka merasa tidak seperti yang dituduhkan. Mereka cerdas berpikir bahwa semakin bereaksi, semakin gencar fitnah tersebut di-blow up oleh media yang notabene menawarkan popularitas tetapi dalam konteks negatif yang istilahnya disebut notorious.

Atau memang ini yang diinginkan Emon? Who knows? Sayang sekali jika itu benar, karena Emon tidak butuh itu. He is a natural talent, no need to push.

Saya yang rakyat jelata saja pernah mendapat ancaman dan serangan (di media sosial) menyangkut tweet dan tulisan di blog, apalagi mereka yang figur publik yang merupakan sasaran empuk buat mereka-mereka yang ingin pansos atau menjadikannnya sebagai alat untuk memperkeruh suasana?

Emon anak muda yang cerdas, itu harus diakui dari konten-konten yang dia tawarkan di akun media sosialnya. Konten dia ada value-nya dan jelas mencerdaskan, he is one in a million dalam hal kreatifitas. Tapi mungkin Emon masih muda dan perlu banyak belajar dalam hal bagaimana bereaksi terhadap serangan-serangan netizen yang cenderung hanya berani menyerang karena bisa bersembunyi di balik akun anonim. Hanya berani menyerang lewat kata-kata dari negeri antah berantah, yang jika bertemu langsung mungkin hanya sebentuk kucing basah.

Ahhh..., Emon, contohlah si Boy yang cuek dan tak peduli apa kata orang-orang yang gak jelas.

Share:

14/06/20

INFLUENCER Atau Influenza

Memang tidak semuanya, tapi beberapa Youtuber atau vlogger asal Indonesia beberapa waktu terakhir ini seperti kehilangan kewarasannya.

Well, mungkin pandemi Covid 19 bukan hanya membahayakan nyawa, tetapi juga pikiran. Jika virus ini tidak membuatmu mati, maka dia akan membuatmu kehilangan pikiran. What doesn’t kill you, makes you losing your sanity.

Masih segar diingatakan salah satu Youtuber yang katanya terkenal dengan entengnya syuting untuk konten di saat orang-orang lagi ketakutan setengah mati takut tertular virus Corona. Syutingnya di pemukiman warga yang notabene situasi lagi mencekam, saat orang-orang lebih memilih mendekam di dalam rumah dari berkeliaran kayak kuman.

Alhasil ditegur warga. Yang ditegur ngeyel dengan alasan sudah dapat izin. Izin untuk mati konyol mungkin maksudnya. Trus, kasus ini dijadiin konten. Duhhhh, cari makan kok gini amat. Dia juga kan yang dulu pamit dari Youtube, tapi balik lagi. Mungkin baru sadar dapur rumah nggak ngebul dengan sendirinya.

Yang juga viral, Youtuber jenis kelamin pejantan yang jadi korban trend yang penting viral. Ngasih sembako ke orang yang membutuhkan. Inspirasinya sih bagus, pengen ikut ngasih sesuatu kayak orang-orang, tetapi niatnya nggak bener. Berlagak ngasih bantuan yang dibungkus rapi dalam kotak kardus yang ternyata isinya sampah, dikasih ke kaum yang oleh masyarakat dianggap kaum marginal.
Mungkin memilih korban dengan modus jika menjadi kasus maka masyarakat akan membenarkan dan membela kelakuan dia. 
Dan semua itu didokumentasikan dalam video dan di-upload ke Youtube. Lagi-lagi demi konten. Duhhhh, cari makan kok gini amat ya?
Hasilnya? Masuk penjara!

Berikutnya!!! Seorang yang ngakunya beauty vlogger (yang jadi ketahuan nggak beautiful inside, neither outside) diwawancara oleh Youtuber yang juga kayaknya type “duhhhh, cari makan gini amat”.
Dengan songongnya ngaku nggak mau pake masker karena bikin susah nafas dan hal-hal lain yang intinya menyepelekan penyebaran virus yang sesungguhnya sudah memakan korban puluhan ribu jiwa manusia. 
Lha, perkara pakai masker di tengah pandemi Covid 19 kan bukan perkara bernafas, monyong! Tapi agar sekiranya ada virus bersemayam di mulut dan rahang loe, tuh virus tetap setia bermukim di situ dan gak piknik kemana-mana.

Sayangnya, hal-hal konyol seperti ini yang gampang viral dari Indonesia. Kadang bikin malu dan was-was juga sih. Khawatir orang-orang dari negara lain mikir dari sekian miliar penduduk Indonesia, yang mencuat ke permukaan hanya orang yang model begini? Jadi kayak semacam representasi gitu, walaupun sebenarnya nggak mutlak begitu.

Dan hal-hal kayak gini juga sangat susah untuk dibendung karena masalah taste atau selera. Karena selera memang tidak bisa diubah, hanya bisa di-upgrade

Yang bikin sedih, there are people with low taste in large number in Indonesia. Sedih juga sih menerima kenyataan ini. Makanya Youtuber-youtuber sejenis Ria Which Is atau Atta Petir bisa punya jutaan followers. If you ever watched their Youtube contents, you’ll know what I mean. Kalau kita satu frekwensi lho ya...

Sementara Youtuber-youtuber dengan konten yang punya esensi dan substansi malah followers-nya nggak sampai jutaan. Nggak perlu sebut nama ya karena nanti tersinggung, dikira saya pandang sebelah mata.

Sebenarnya yang pengen saya sampaikan di sini adalah, kamu bebas membuat konten apa pun. Tetapi mbok ya bikin konten yang positif, yang ada nilainya, bukan sekedar konyol nggak jelas. 
Saya pikir ketika kamu punya followers atau subscribers segudang, itu artinya kamu punya corong atau panggung untuk menyampaikan sesuatu for a better life and world.

Saya juga berpikir bahwa kita kan nggak sekedar hidup hari ini, terus mati tahun depan. Saya sangat terkesan dengan sebuah kalimat yang mengatakan “Learn like you’ll live forever, do something good like you’ll die tomorrow”. 
Sebenarnya kalimat persisnya nggak seperti itu, tetapi kira-kira seperti itulah pesan yang ingin disampaikan. Buat saya, penting banget sebelum melakukan atau mengatakan sesuatu berpikir ribuan kali dan bertanya ke diri sendiri: perlu nggak?, efeknya apa?

Makanya saya kadang miris melihat mereka yang hanya mengejar viral, viewer, subscriber atau hal-hal lain yang sifatnya kuantitas, tetapi mengesampingkan esensi. Kayak masuk ke kandang bebek, lalu ribuan bebek serentak merubungi menganggap kamu datang bawa makanan, padahal yang kamu bawa adalah petasan yang bisa membunuh mereka.

Mereka berpikir nggak kalau hal-hal bodoh yang mereka sengaja lakukan demi konten dan viral masih akan jadi sesuatu yang bisa mereka banggakan tiga atau empat tahun lagi? Atau akan menjadi sesuatu yang mereka sesali karena kelak akan menjadi semacam aib buat keluarga dari generasi ke generasi?

Resiko Youtuber yang nggak punya profesi di luar Youtube memang begitu ya. Seperti yang menjadi jargon tulisan ini: “Cari makan kok gitu amat”. Ya kalau nggak gitu, ya nggak makan. Coba saja bandingkan dengan Youtuber lain yang punya profesi lain di luar dunia Youtube, konten mereka jelas lebih punya value. Karena mereka nggak cari makan dari konten Youtube.
OK, mungkin mereka dapat uang dari adsens atau sistem monetisasi, tetapi meskipun nggak dapat karena persyaratan kuantitas, mereka fine-fine saja. Wong mereka masih ada pendapatan dari profesi atau pekerjaan lain mereka, jadi nggak harus melacurkan diri membuat konten demi people with low taste in large number.

Iri bilang, boss!!!!

Share:

Kembali MENULIS

Hai rekan remaja putra dan putri, bapak-bapak, ibu-ibu dan semua yang ada di sini. Karena itu Inul goyang...


Pertama, saya mau minta maaf karena sudah durhaka sama kalian pembaca blog saya. Saya sudah sangat luaaaaaaammmmaaaa nggak setor tulisan. 
GR banget saya ya, padahal siapa juga yang nungguin saya nulis.

Tulisan terakhir bulan Juli tahun lalu. Trus dari Agustus 2019 sampai dengan Juni 2020 saya ngapain aja?

Sejak menjadi hotelier, durasi waktu saya untuk menulis memang sangat berkurang drastis. Kayak semacam ada distraksi yang mengalihkan perhatian saya dari keranjingan menulis. Padahal dulu saya banci tulis, semua ditulis, termasuk dosa-dosa umat manusia. Siapa tau kelak direkrut jadi malaikat pencatat dosa.

Kalau dibilang nggak punya waktu, ya nggak juga. Saya sebenarnya punya waktu kalau memang niat mau nulis lagi. Tetapi ya seperti yang saya bilang tadi, saya cenderung terdistraksi. Saat ada waktu lowong, saya membaca, menggambar, main sama anjing tetangga, tidur, nongkrong menatap danau Toba.

Kadang memang ada niat untuk menulis. Pas buka laptop, dan FYI, laptop saya loading-nya lama banget, bikin malas nungguin proses. Kayaknya kena virus, karena kemaren waktu laptop saya dipinjam teman untuk ngetik, saya lihat dia bersin-bersin di depan layar. Mungkin virusnya berasal dari situ.

Kadang dapet ide dalam bentuk tema untuk nulis, eh... pas kebetulan lagi rebahan. Pas bangun untuk buka laptop, eh... udah lupa tadi mau nulis apa.
Pas laptop lagi on, eh... malah bingung mau nulis apa. Mungkin akan begitu terus sampai Anggun jadi duta sampo lain.


Selama pandemik Covid 19 ini, sektor pariwisata termasuk sektor yang paling KO dihajar efek virus Corona, Hotel menjadi sepi, dan saya pun menjadi punya lebih banyak waktu untuk.....ehmmm, rebahan sambil nonton film kartun favorit saya: Jacob Two-two, di Youtube. Saya juga nonton video jadul tahun 90'an, Mak Beti, Friends, Derry Girls dan lain-lain.

Saya kan orangnya gatelan, ibaratnya nggak mau kalah, tetapi dalam konteks positif ya. Jadi selama menikmati video-video di Youtube, saya jadi kepikiran “kok saya cuma jadi penonton?”, “kok saya nggak memposisikan diri juga sebagai objek yang ditonton?”.


Akhirnya saya bikinlah konten video Youtube yang segmented. Ya, saya memang maunya begitu, ada segmennya, jadi yang nonton juga terfiltrasi, penonton yang bener-bener mencari dan pengen melihat konten itu.
Males banget kan video kita dikomentari oleh orang-orang yang nggak ngerti dan nggak nyambung. Makanya subscriber-nya juga cuma bisa disaingi jumlah jari tangan doang. Saya juga bingung kok ada yang mau subscribe sih?
Cuma di-subscribe sepuluh orang aja saya sudah tertekan karena jadi mikirin harus loyal bikin dan upload video yang ada substansinya. Bagaimana dengan mereka yang subscriber-nya jutaan itu ya?


Kadung asyik upload video, tiba-tiba ada satu komentar yang sebenarnya nggak ngomentarin videonya, tapi langsung membuat saya....**bayangin saja ekspresi saya saat terhenyak, lalu mata berkaca-kaca, lalu buru-buru ngusap air mata pake kanebo**.
Komentarnya simple aja satu kalimat, “Bang Harrys, nulis lagi dong di blog”. 

Jedderrrrrrrrrrrrrrrrrrr..., kayak disambar petir. Eh, bukan disambar petir sih, mampus dong saya. Tapi kayak dengar suara petir yang menggelegar dan mengingatkan saya bahwa hujan sudah lama tidak turun.
Beneran! Saya disadarkan bahwa saya sudah lama  tidak menulis, dan buat saya itu dosaaaa banget karena menulis itu adalah passion utama saya selain penari latar.
Jadi kayak semacam reminder sekaligus titik balik untuk bertekad mau aktif menulis lagi.

Ma kasih ya, Jaka Faried. Ya, itulah nama yang sudah mengingatkan saya untuk kembali ke jalan yang benar.

Share:

09/07/19

Konser Gemilang ANGGUN

/ Photo: AntaraNews /  

Terakhir nonton konser Anggun tahun 2006 di Bandung. Itu udah berapa tahun yang lalu ya? 13 tahun!!!

Tahun 2011 beliau pernah menggelar konser tunggal juga, tetapi pada saat itu saya pas lagi berada di luar orbit bumi, masih miskin sehingga belum sanggup bayar tiket pesawat ulang-alik dari angkasa ke bumi. Sedih…

Makanya saat mendengar Anggun akan menggelar konser tanggal 5 Juli 2019, jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri. Mulai dari booking tiket konser dan tiket pesawat yang biaya bikin saya langsung jatuh miskin. Tetapi berhubung ini adalah konser amal, dimana seluruh penjualan tiketnya akan dialokasikan sebagai bantuan dana pembangunan sekolah-sekolah di daerah-daerah di Indonesia yang terkena dampak bencana, ya saya fine-fine aja. Bersyukur banget malah, karena bisa menikmati hidup sambil beramal. Ya, buat saya menikmati hidup itu ya aktifitas seperti membaca buku, mendengarkan musik, menonton film & turnamen tennis, dan menonton konser.

Saya malah berharap semoga tiket pesawatnya juga ikut dihibahkan untuk tujuan acara konser, secara empat kali lipat gitu dari  harga tiket. Tetapi apa boleh buat, tidak ada afiliasinya, Bambang!!!

Kurang lebih lima tahun meninggalkan Jakarta cukup membuat saya sedikit pangling. Semua serba e-money. 
Untungnya saya gak goblok-goblok amat, jadi masih bisa keep up-lah. Mulai dari naik Damri sampai nyobain MRT, lancar jaya. 

Trus, langit Jakarta juga bikin kaget, kelabu banget, padahal lagi gak mendung. Mungkin efek dari polusi udara Jakarta yang katanya masuk Guinness Book of Records atau apalah itu.

Perjalanan menuju gedung konser sempat bikin emosi gara-gara ulah babang Gojek. Saya sudah wanti-wanti bilang mau ke Tennis Indoor Senayan, eh di bawa ke JCC. Iya, sama-sama gedung konser, tetapi di JCC mau nonton siapa, Ceunah???

“Lho, tadi katanya mau nonton konser?”, kata si babang Gojek membela diri.
“Iya, tetapi bukan di JCC”
“Konser biasanya di JCC lho, mas”
“Nah, ini JCC-nya  kelihatan kayak mau ada konser gak?”

Dia melayangkan pandangannya ke gedung JCC. Sepi, hanya terdengar bunyi jangkrik. Tiba-tiba sekawanan kelelawar beterbangan dari balik gedung ke angkasa hitam gelap dengan suara riuh mencicit. Lalu terdengar lolongan serigala. Hallahhhh, jadi kayak sandiwara radio.

Singkat cerita, kami menghabiskan waktu kira-kira 30 menit keliling senayan mencari gedung yang berjudul Tennis Indoor. Belum ketemu gedungnya, tiba-tiba hujan turun lumayan deras.

“Kayak di film Korea kita ya, mas”, kata si babang Gojek. “Naik motor sambil hujan-hujanan gini. Hahaha…”
Saya pura-pura mati di belakang. Ada ya adegan kayak gitu di drama Korea? Ini mah bukan drama Korea, tetapi lebih mirip wabah kolera.

Begitu ketemu gedungnya, saya langsung menghambur menuju ticket box untuk menukar e-tiket dengan tiket benaran. Langsung disapa seseorang yang ternyata teman Twitter saya yang sama sekali belum pernah ketemu.
Saya juga heran kok dia bisa langsung mengenali saya. Jangan-jangan, saya artis tetapi saya gak menyadarinya.

Selanjutnya ketemu teman-teman lama di Jakarta yang udah bikin kangen berat: salam, peluk dan ngobrol melepas rindu.

Mungkin ada beberapa orang yang bertanya apa sih pentingnya nonton konser sampe dibela-belain datang dari luar pulau dan ngabisin biaya yang tidak sedikit? Mending uangnya untuk beli siomay, gitu ya?

Well, saya mengagumi beberapa artis. Tetapi dari sejumlah nama tersebut hanya Anggun yang menurut saya bisa memberi pengaruh positif dalam hidup saya. Dia yang menginspirasi saya agar baik ke orang, rendah hati, ramah dan hal-hal positif lain yang berkenaan dengan self-improvement

Saya sudah pernah menulis buku, tulisan saya sudah pernah dimuat di majalah dan koran skala nasional. Itu semua berawal dari kekaguman saya terhadap Anggun.

Dengar lagunya zaman dulu sejak zaman SD, saya sering kecentilan menulis versi bahasa Inggrisnya. Melihat perjalanan karirnya, saya terpecut untuk menulis artikel tentang sosoknya. Berawal dari situ kemampuan menulis saya pun semakin terasah. 

Dan sebagai wujud terima kasih saya karena sudah memberi pengaruh yang baik dalam hidup saya, saya sudah menulis dua buku yang terinspirasi dari Anggun: Mengejar Anggun (2010) dan Kekuatan Mimpi (2013).

Saya percaya bukan hanya saya yang beruntung dan merasa terberkati karena telah mengidolakan Anggun, tetapi mungkin ada ribuan atau bahkan jutaan orang di luar sana yang sama seperti saya, dengan latar belakang berbagai macam profesi.

Meskipun Anggun adalah seorang penyanyi dan musisi, tetapi Anggun Effect-nya mampu menembus cakrawala bathin dan pikiran lintas profesi, tidak hanya sebatas menginspirasi sesama penyanyi atau musisi saja.

Beberapa teman saya yang juga pengagum Anggun rata-rata berprofesi bukan hanya dalam bidang musik. Ada yang business man/woman, pialang saham, penulis skenario film, bankir, dokter, pramugari, karyawan jasa transportasi, karyawan/ti perusahaan, mahasiswa/i, Master of Ceremony (MC), Chef, guru, IT, sales representative, photographer, jurnalis, actor/aktris, model iklan, dll. Dan semua ragam profesi ini pada tanggal 5 Juli 2019 membaur atas nama persaudaraan dan persahabatan yang dilingkup kehangatan energi yang sama dari seluruh penjuru nusantara, disatukan oleh seorang Anggun.

OK, sekarang ngomongin konsernya ya.

Acung jempol untuk Konser Gemilang 30 Tahun P&G ini untuk sisi punctuality, karena sejak awal sampai akhir sama sekali tidak buang-buang waktu. Begitu lampu gedung dipadamkan, satu persatu musisi pengiring mulai menempati wilayah masing-masing.

Dan thank God karena gak pakai MC, secara Anggunnya sendiri sudah cukup komunikatif dengan penonton.

Konser dibuka dengan semacam acara protokoler dimana semua hadirin diundang berdiri (termasuk Anggun kali ya?!) untuk menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’. Nasionalisme saya langsung melambung jauh terbang tinggi, saya pun bernyanyi keras-keras.
Mudah-mudahan gak fals ya.

Rangkaian sesi konser diawali dengan kemunculan Maudy Ayunda. Di barisan penonton namanya sempat kami bahas dan plesetin menjadi “Mau Diayun, Nda?”. “Mau, Bang!”.
Maaf ya, Maudy.

Maudy bermonolog membawakan kisah semut dan pengalaman menyaksikan daerah-daerah yang terkena dampak bencana. Setelah itu menghilang ke balik panggung dan gak nongol-nongol lagi. Kata teman saya, setelah ngambil nasi kotak, Maudy langsung pulang.
Yeee, emang lagi kendurian?

Kemudian disusul dengan penampilan Yura Yunita. Saya tau orangnya, tetapi gak tau lagu-lagunya. Makanya sepanjang penampilan doski, saya hanya bisa tepuk-tepuk pramuka. Tapi suaranya bagus banget. Bahkan saat sempat menginjak ekor blazernya dan nyaris terjungkal, nyanyi falsetto-nya tetap mulus meluncur. Kalau saya di posisi dia, boro-boro falsetto, mungkin justru penonton yang kaget dengar suara latah saya, “Eh, kontrol. Eh, kontrol!”.

Yang jelas Yura suaranya bagus, lagunya enak. Apalagi lagu yang berjudul ‘Naik Rakit’ yang didendangkan bersama anak-anak tunanetra yang juga bersuara keren. 'Naik Rakit' bukan sih judulnya. Saya cuma sempat dengar kata 'rakit'-nya doang.

Jeda antara penampilan Yura dan Anggun juga gak banyak membuang waktu. Begitu Yura raib secara gaib, langsung terdengar geberan musik yang sempat membuat saya bingung, “Ini lagu apa?”.
Begitu terdengar lengkingan lirih, “ Huuuuuuu…uhhh!!!”, saya langsung tersengat aliran listrik arus pendek. Lagu ‘No Promises’ dari album 8.

Anggun nongol dalam balutan kostum gaya kimono warna putih-putih melati Alibaba, dengan bawahan mini dipadukan dengan layer-layer transparan berwarna seragam.

“If you love me don’t tell me then prove it. I don’t need a ring on my finger”.
Lagu ini mengingatkan  saya sama seseorang. Seseorang yang dari dulu sampai sekarang ngomong cinta doang. Iya, ngomong doang. Setelah itu gak ada pembuktian sampai Hari Kebangkitan Nasional tahun berikutnya.

Saya gak hafal urutan lagu-lagu yang dibawain, tetapi lagu-lagu yang bikin saya girang bukan kepalang antara lain: ‘Breathing’.
Ini mah lagu wajib tiap naik angkot dulu zaman masih mas-mas kantoran, duduk di samping sopir yang mengendalikan angkot dengan pelan. Catet ya, saat itu gak turun hujan. Jadi sama sekali gak kayak drama Korea.

Pada lagu ‘The Good is Back’, Anggun duet dengan Rossa yang mirip lampu diskotik. Bajunya berkilau banget.

Selanjutnya Anggun (dengan gaya Pak Lurah nitip pos kamling ke Pak Hansip) menitipkan panggung untuk dikuasai Rossa, karena Anggun mau ganti kostum. Rossa pun manut dan menjajah panggung sambil menyanyikan lagu Anggun berjudul ‘Still Reminds Me’.

Rossa keren deh, karena beneran hafal lirik lagu ‘Still Reminds Me’ sampai bagian chorus yang verse 02. Saya aja masih sering kebalik-balik liriknya, soalnya terbiasa cuma jadi backing vocal aja sih: “Somebody new…., still reminds me of you. My point of view…, still reminds me of you”.

Tapi yang paling merebak sukma adalah saat Anggun (duet dengan sang suami: Christian Kretschmar yang memainkan cello) memainkan piano menyanyikan lagu Paul McCartney ‘This Never Happened Before’. Memakai hiasan kepala model Mohawk dari rangkaian bulu-bulu (entah bulu apa, yang jelas bukan bulu kaki), tanpa banyak  permainan lighting, tanpa banyak gerakan, duduk manis di satu spot saja. Dan sesekali (eh, bukan sesekali sih, tapi seribu kali) saling melempar tatapan mesra satu sama lain.

Saya jadi geregetan sendiri pengen juga saling lempar tatapan mesra. Berhubung saya gak bawa pasangan, jadi saya pengennya saling lembar tombak saja.

Seandainya ya semua lagu dibawakan dengan gaya akustikan seperti ini, terasa banget sentuhan romantis dan intimate-nya. Syahdu!
Benar-benar fokus menikmati lagu dan musiknya. Suka banget dan bagus banget!

Mbak Anggun, next time bikin konser gaya Unplugged gitu dong. Jangan lupa bawain lagu ‘Secret of the Sea’.
Hahahaha, siapa saya ya yang sok mau ngatur-ngatur konser istri orang.

Saat nyanyi lagu ‘Takut’, Iwa K nongol di tengah lagu untuk ngerap. Ya iyalah ngerap, masa ngasih makan bebek? 

Iwa K ini termasuk salah satu idola saya masa SMA. Saya bahkan punya demo rekaman suara sendiri nyanyi lagu ‘Bebas’, dan masih saya simpan sampai sekarang, dan saya putar kalau saya lagi benci sama diri sendiri. 

Meski sempat keteteran tempo di awal, tetapi kemudian klop sampai akhir lagu. Dan benar, saat Iwa K nyanyi lagu ‘Bebas’, saya pun lepas rantai: nyanyi dan joged kerasukan.

Terakhir lihat Anggun dan Iwa K tampil bareng saat jadi co-host acara BASF Award tahun 1993 membacakan nominasi dan nama pemenang, zaman saya masih SMP.

Yang bikin surprise, Anggun juga membawakan lagu ‘Ocean’ yang gaya rap a la Salt & Peppa itu. Dan ya, Anggun beneran ngerap secara live. Keren! 
Liriknya bener atau gak, entahlah ya. Soalnya saya gak hafal liriknya, hanya hafal pas baris “But people get jealous” aja, trus udah…gak tau lagi lirik selanjutnya.

Mungkin karena kelelahan atau memang pecicilan gara-gara dikasih panggung dengan lantai yang menanjak, Anggun pada beberapa kesempatan sempat bernyanyi sambil rebahan di atas panggung. Pada kesempatan lain duduk di tepi panggung dengan satu kaki terlipat, dan satu lagu menjuntai tergantung terayun-ayun ke bawah. Pokoknya, tampil kalem bisa, tampil pecicilan juga bisa. Energinya luar biasa!

Menjelang lagu terakhir, Anggun mendaulat pejabat perwakilan P&G Asia & Timur Tengah (orangnya tinggi besar, pasti besar semuanya), didampingi pimpinan MRA Media dan perwakilan P&G Indonesia untuk tampil ke atas panggung dan secara simbolik menyerahkan dana yang terkumpul dari tiket konser, sponsor, lelang, fund raising events dan acara-acara lain yang mengusung hashtag #KonserGemilang30Tahun dan #RaihMimpi sebesar 3.050.000,000 rupiah.
Wow!!! Duit semua lho itu!

Sempat kepikiran seandainya total jenderalnya dibulatkan jadi 3 M, trus yang 50 juta itu buat saya saja. Alangkah senangnya hati ini. Soalnya hati ini juga sering terkena bencana: bencana perasaan. Duhhh, di acara amal sempat-sempatnya ya saya kesambet begitu.

Bubar konser, sempat berbincang dan bersenda gurau dengan teman-teman sesama penggemar Anggun di luar gedung sambil dalam hati berdoa kencang-kencang semoga ada sesi ketemu dan foto bareng Anggun.

Terakhir saya foto bareng Anggun tahun 2013 di salah satu acara RCTI, waktu itu saya jadi Liaison Officer salah satu artisnya. Teman-teman tiap tahun memperbaharui fotonya, lha masa saya sudah 6 tahun masih mengandalkan foto lama untuk pamer dan bahan kesombongan diri?

Sempat ada acara foto bareng sih di dekat pintu masuk gedung, karena Anggun memang kayak semacam punya ritual menemui fans-nya setelah konser, at least meskipun cuma sekelebat. Baik banget kan?

Antrian cukup banyak dan berdesak-desakan. Saat siap-siap antri, orang-orang di kanan kiri muka belakang pada curhat kalau datang dari luar kota dan luar pulau dan sama sekali belum pernah ketemu langsung dan foto bareng Anggun. Saya pun langsung tau diri, mundur dari barisan biar saingan beratnya berkurang satu ekor.

Dan saat melihat mereka yang berhasil mendapatkan foto bareng Anggun keluar dari kerumunan sambil melonjak-lonjak kegirangan, saya justru bahagia luar biasa. Jauh lebih bahagia dari jika saya yang mendapatkan kesempatan itu.

See? Energi positif itu akan selalu bersinergi dengan energi yang sama. Tanpa saya sadari, spirit dari konser amal yang digelar Anggun & P&G ini juga menginsprasi saya untuk berbagi: berbagi kesempatan bertemu & berfoto bareng Anggun.
Sok banget saya ya? Padahal cuma gitu doang. Haha!

Jadi jika idolamu gak menginspirasi kamu menjadi orang yang lebih baik secara attitude maupun karakter, beneran deh kamu cuma buang-buang waktu, uang dan energi dalam hidup yang suma sementara ini. Sudah saatnya mencari idola baru cepat-cepat sebelum terlambat.

Terima kasih mbak Anggun dan P&G sudah mengajak kami untuk berpartisipasi dalam aksi amal persembahan untuk anak bangsa yang bermakna dan bernilai kehidupan ini.









Share: