29/04/14

GENERASI MTV Versus Generasi YKS


Jika masa remaja anda dicekokin dengan musik-musik keren Indonesia dan mancanegara, acara-acara keren di TV, majalah-majalah hiburan yang berbobot, berarti anda termasuk Generasi MTV. Namun jika masa remaja anda dicekokin dengan musik-musik tidak jelas yang lebih banyak curhat tentang selingkuh yang katanya indah dan drama, acara TV yang dijejelin artis-artis tak terkenal yang gila sensasi, majalah-majalah hiburan yang isinya hanya K-Pop melulu, berarti anda termasuk Generasi YKS.

Generasi MTV memang keren. Saya bisa bilang begini bukan karena saya salah satu dari generasi itu, tetapi memang beneran generasi MTV itu memang beneran keren. Dulu MTV emang serius keren mampus (dulu yaaa, sekarang sih....ya gitu deh!).Video-video musik yang diputerin yang happening semua : dari Amerika, Eropa sampai Indonesia. Gak ada tuh yang namanya boyband-boyband cantik atau girlband-girlband yang kayak baru pulang dari sekolah, bergerombol kayak mau tawuran antar etnis.

Udah gitu, namanya juga MTV itu kan afiliasi TV asing, otomatis bahasa pengantarnya banyak menggunakan Bahasa Inggris. See? MTV nggak hanya bisa menghibur, tetapi juga sekaligus mendidik. Membuat kesan bahwa bisa bahasa Inggris itu keren banget, sehingga anak-anak mudanya terobsesi pengen bisa bahasa Inggris, termasuk saya. Belum lagi trend busana dan gaya rambut para VJ-nya yang selalu trendy. Gak ada yang aneh-aneh pake model jingkrak-jingkrak segala. Paling aneh juga cuma model ‘paku’, gak ada tuh model ‘poni tempurung’ atau ‘gorden berat sebelah’ ala-ala boyband Korea.

Generasi YKS? Boro-boro bisa bahasa Inggris, wong pecetus dan kru acaranya saja saya yakin nggak ada yang becus berbahasa Inggris. YKS itu Yuk Keep Smile. Keep Smile itu apa’an? Bahasa Inggris dari negara mana? Ada gitu dua buah verb (kata kerja) dengan bentuk v1 yang sama bisa berdampingan gitu? Bukankah seharusnya Keep Smiling? Dan apalagi itu dengan presenter dan penonton yang sama begonya, joged-joged nggak jelas dan heboh sendiri. Yang penting berani malu dan konyol adalah salah satu syarat nongol di YKS.

Dulu acara hiburan nggak sehancur ini. Contohnya variety show bernama Pesta. Penontonnya tertib dan hanya riuh tepuk tangan jika memang perlu. Penontonnya hadir berdasarkan undangan, bukan dibayar pakai nasi bungkus supaya mau datang. Presenternya juga pintar-pintar dan punya wibawa, ngomongnya jelas dan dengan tone yang normal, bukan teriak-teriak kesurupan. Juga nggak ada rating-rating-an segala yang bikin stasiun TV saling mencontek acara TV lain yang dianggap laku tanpa peduli apakah acara tersebut bermutu atau tidak.

Misalnya ketika Indosiar punya Pesta, maka ANTV punya Planet Remaja. Sama-sama format hiburan dan informasi, tetapi beda konten. Pesta menampilkan atraksi di atas panggung dengan penonton, Planet Remaja di dalam studio tanpa penonton. Sama-sama menampilkan penyanyi-penyanyi yang lagi happening (benar-benar happening karena lagu, bukan karena gosip) dari Indonesia maupun mancanegara.


Ah, jadi kangen masa-masa dimana rating BUKAN menjadi dewata-nya stasiun-stasiun TV. Kangen masa-masa dimana stasiun-stasiun TV berkompetisi secara kreatif membuat format acara yang berbeda dari stasiun TV kompetitor namun dengan konten yang sama-sama menghibur dan bermutu. Damn you, AC Nielsen!!!
Share:

28/04/14

Nonton SERIAL TV Sambil Nyolong Ilmu


Pernah nonton sinetron Indonesia yang bertema anak sekolahan, nggak? Pasti sudah tau kalau konflik yang dibangun di antara tokoh-tokohnya tidak jauh-jauh dari rebutan pacar dan sirik-sirikan. Ya, sebelas dua belas-lah dengan sinetron Korea. Harap maklum, karena memang kiblatnya memang itu.

Pernah nonton serial TV asing yang berjudul Gilmore’s Girl? Setting dan ceritanya hampir sama, tentang anak-anak sekolahan. Tetapi di Gilmore’s Girls, konflik yang berkembang adalah persoalan seputar nanti lulus SMA mau melanjut ke mana, kompetisi menjadi ketua OSIS, berlomba menjadi lulusan terbaik agar diterima di universitas dambaan hati. Pacaran sih pacaran, kadang malah sering ribut selain romantis, tetapi fokus konfliknya tetap pada sisi edukatifnya.

Itu adalah salah satu contoh perbedaan serial TV karya orang asing dengan karya bangsa sendiri. Saya nggak mau menghakimi SDM Indonesia untuk industri hiburan. Saya yakin banyak yang punya otak jenius dan kreatif, tetapi tidak bisa berbuat banyak karena disetir produser atau siapalah sang cukong produksi. Tetapi memang harus diakui bahwa SDM asing memang jauh lebih unggul dibanding SDM asing. Nggak usah munafik, banyak buktinya kok. Misalnya di industri musik, film, acara televisi dan lain-lain.

Yang bikin acara TV asing itu asyik adalah mereka mendidik pemirsanya dengan cara menghibur. Jadi sisi edukasinya dikemas dalam bentuk lain, entah itu talkshow, serial TV atau dokumenter. Jadi tanpa sadar pemirsanya belajar sambil menikmati hiburan.

Misalnya nih ya, saya penggemar serial TV Law & Order SVU. Selain saya memang penggemar cerita detektif-detektif’an, serial ini juga banyak membagi-bagi ilmu, terutama dalam bidang kriminologi. Bahwa kriminologi itu bukan hanya sekedar hitam putih, jika si A benar maka si B salah. Kriminologi itu kompleks, nggak boleh asal percaya. Bahkan kadang prejudice yang tadinya masuk akal, malah akhirnya nggak masuk akal setelah terkumpul banyak bukti dan kesaksian.

Kemarin itu Law & Order SVU ini mengangkat tema tentang Paedofilia. Dalam bayangan kita, pasti kita akan menggambarkan bahwa ada orang dewasa yang mengeksploitasi anak di bawah umur secara seksual. Padahal kasus Paedofilia ini banyak faktornya. Bukan hanya orang dewasa saja yang terobsesi sama anak kecil, tetapi ada juga anak kecil yang memang terobsesi sama orang dewasa sehingga memicu terjadinya aksi paedofilia ini. Misalnya karena di rumah kurang kasih sayang, sering dibentak, dicuek’in, disalahkan melulu. Akhirnya si anak mencari shelter dalam diri orang lain yang notabene seorang stranger yang bisa memberi kebutuhan akan perasaan secured itu.

Contoh lain adalah serial TV (favorit saya juga) Grey’s Anatomy. Mungkin secara moral (aduh, jadi ngomongin moral) memang ahlak para tokoh dalam serial ini kampret banget. Sedikit-sedikit ciuman di selokan, sedikit-sedikit tindih-tindihan di pengkolan dengan siapa saja sesuai selera. Sudah kayak ayam saja. Tetapi secara edukasi, serial ini sangat banyak berbagi ilmu. Tentu saja bukan ilmu seksualitas, tetapi ilmu kedokteran. Dari menonton serial ini saya belajar banyak mengenai anestesi (yang ternyata tidak boleh sembarangan digunakan), first aid, pentingnya menjaga emosi dan spirit pasien supaya obat bisa bekerja efektif. Belum lagi narasi di awal dan akhir di tayangannya sangat inspiratif, sama seperti serial TV Desperate Housewives. Desperate Housewive juga bagus narasinya dan ceritanya, tetapi akting para tokoh-tokohnya menurut saya agak lebay.

Ada lagi satu serial TV favorit saya, bukan film, tapi reality show berjudul Bondi Vet. Acara ini membahas habis hiruk pikuk aktifitas di klinik hewan, kecelakaan yang sering menimpa hewan peliharaan, penyakit yang sering di derita hewan di kebun binatang dan hewan ternak, lengkap dengan cara pengobatannya. Jadi di acara ini wajib banget ada adegan kucing atau anjing atau ular di bedah untuk operasi jantung, hati, ginjal dan lain sebagainya. Betapa hewan itu diperlakukan sama pentingnya dengan manusia.

Yang menggelikan, mereka pernah menemukan kasus tikus yang kena tumor. Kalau kita mungkin nggak akan peduli atau bisa saja langsung membuang tuh tikus ke got. Tetapi mereka enggak. Si tikus di bawa ke ruang operasi, di-rontgen segala untuk melihat posisi tumor apakah memahayakan pembuluh darah atau tidak, lalu dibedah. Tikus lho, tikur warna hitam yang di Indonesia mungkin di anggap hama...bukan beruang panda yang notabene hewan langka dan berharga.

Buat mereka, setiap kehidupan itu berarti dan berharga tak peduli apakah bentuknya manusia, hewan atau tumbuhan. Sangat inspiratif sekali. Ironis banget kalau dibandingkan dengan kejadian pembataian anjing-anjing ras tempo hari di Bali oleh pemerintah daerah Bali, seolah anjing-anjing mahal itu nggak ada harganya sama sekali. Well, mungkin pemerintah disana berpikiran pendek. Ya, maklumlah. Padahal bisa saja kan ada Dog Shelter yang mau menampung anjing-anjing yang tidak diakui oleh para pemiliknya karena didatangkan ke Bali secara ilegal. Tapi mereka terlalu malas mencari tau. Dasar kutu kupret memang. Maaf, saya jadi emosi.

Intinya adalah, saya berharap kita mau mendidik diri sendiri lewat tontonan televisi. Acara-acara hiburan TV nasional kita saat ini lebih cenderung membodohi pemirsa dengan lawakan dan celoteh-celoteh kosong. Kita tidak dapat apa-apa selain seringai segaris. Memang benar kata pepatah ‘ada harga, ada mutu’. Kita memang akan membayar biaya bulanan jika berlangganan TV Kabel yang menawarkan channel-channel edukasi yang menghibur), tapi percayalah bahwa itu worth it banget.

Apalagi sekarang kan lagi marak promo TV Kabel dengan harga terjangkau dengan aneka paket pilihan. Mari tunjukkan kepada pemilik televisi Indonesia bahwa kita sudah muak dengan acara-acara bodoh mereka. Jika kelak rating mereka turun, mereka akan sadar bahwa acara-acara bodoh mereka memang hanya untuk orang bodoh, sehingga nantinya mereka akan kepikiran untuk membuat acara-acara yang berbobot.


Saya bukan lagi promosi TV Kabel lho, tetapi memang niat pengen berbagi. Toh, baca sendiri kalau saya tidak menyebut merek kan?
Share:

20/04/14

Bully Oh BULLY




Kasus bully sudah akrab dengan saya sejak hari pertama saya masuk sekolah di Sekolah Dasar, tetapi dulu saya belum tau kalau kejadian seperti disebut dengan istilah bully. Yang jelas sejak hari pertama memasuki halaman sekolah sambil digandeng kakak saya yang juga sekolah di SD yang sama, beberapa pasang mata yang tidak ramah sudah langsung mengintimidasi saya. Mulai dari sesama kelas satu sampai kakak-kakak kelas. Mungkin perawakan saya yang seperti anak yang pertumbuhannya terganggu, membuat beberapa anak yang berbakat sebagai bullyer langsung melihat saya sebagai sasaran yang empuk.

Dari kelas satu sampai kelas tiga saya tidak punya teman karena saya terlalu pendiam dan pemalu. Kalau ada yang mengajak berbicara, saya akan langsung melarikan diri karena tidak nyaman berinteraksi dengan orang baru. Pada saat jam istirahat saya lebih suka menyendiri, berdiri dan bersandar di tembok kelas memperhatikan anak-anak lain yang bermain di halaman. Keadaan inilah yang semakin membuat sosok saya semakin menarik perhatian para pelaku bully. Rata-rata mereka adalah orang yang berbadan besar, bertampang brengsek dan bau keringat babi. 

Awalnya mereka akan sekedar menggoda saya dengan cara ikut berdiri di sebelah saya, sekedar membuat saya merasa tidak nyaman. Lalu perlahan menggeser badannya merapat ke badan saya dan mendorong saya dengan kasar sampai terlempar atau kadang jatuh. Namanya anak kecil yang masih takut, saya waktu itu hanya bisa menangis diam-diam. Bisa saja saya menangis kencang-kencang agar menarik perhatian guru dan anak-anak lain dan melihat apa sedang terjadi, tetapi itu tidak saya lakukan karena kecil-kecil saya sudah tau gengsi.
Saya juga bisa saja mengadu sama guru atau kakak saya, tetapi tetap tidak saya lakukan karena saya memang bukan tukang mengadu. Kejadian seperti itu terjadi dan terulang hampir setiap hari, mulai dari sekedar dorong-dorong, memukul saya memakai penggaris, sampai menghina fisik dengan mengatakan kalau saya mirip tuyul saking kecilnya. Perlakukan buruk itu tidak saya terima hanya dari satu orang saja, tetapi lebih dari lima orang sampai beberapa waktu.

Tetapi yang namanya sabar memang ada batasnya. Pernah saya habis kesabaran dan tanpa sadar menonjok wajah pem-bully saya. Awalnya dia hanya mendorong-dorong saya, lalu salah satu temannya memprovokasi dia untuk menyentuh area terlarang di tubuh saya. Tau dong yang mana maksud saya. Pokoknya istilah zaman sekarang sdisebut dengan sex harrasment. Itu yang akhirnya membuat saya lepas kendali. Tangan saya melayang tanpa dia sangka-sangka sehingga tidak sempat menghindar da langsung mendarat tepat di hidungnya. Lalu saya diseret ke dalam kelas dan dihajar habis-habisan. Tetapi karena saya juga bukan type yang diam saja kalau dihajar, maka saya juga balas hajar. Dan anehnya pertempuran dimenangkan oleh saya. Dia berhasil membuat hidung saya berdarah, dan saya juga berhasil membuatnya jatuh sehingga saya bebas merdeka menginjak-injak punggungnya. Dari situ saya belajar bahwa tukang bully itu adalah orang-orang yang payah kalau berkelahi. Mereka mem-bully hanya untuk menutupi kekurangan mereka. Mereka memaksa menunjukkan dominasi mereka agar orang lain tidak berani mendominasi mereka. Intinya para tukang bully itu adalah pengecut yang sok-sok pemberani.

Setelah kejadian berkelahi didalam kelas itu, si tukang bully sudah tidak pernah lagi mengangggu saya, sementara kepercayaan diri saya juga bertambah. Ternyata saya lumayan bisa berkelahi juga. Dia memang masih saja seliweran di depan saya sambil mengirimkan sinyal lewat gerak tubuh seolah dia akan membunuh saya, tetapi toh dia tidak pernah beani dekat-dekat dengan saya karena dia sudah tau kalau saya punya tonjokan yang mematikan. Anak-anak lain yang dulu ikut-ikutan menganggu saya juga sudah tidak berani lagi berurusan dengan saya, mungkin mereka sudah diperingatkan oleh rekan sesama tukang bully yang kemaren saya hajar. Memang benar peribahasa yang mengatakan bahwa ‘jika ingin membunuh kawanan ular, bunuh induknya’. Begitu juga dengan menghadapi komplotan pem-bully, cari tau yang mana pemimpinnya, lalu  hajar di depan anak buahnya. Mengalahkan pemimpinnya berarti mengalahkan mereka semua. Jika pemimpinnya sudah takut kepada anda, maka para umatnya juga.

Pada saat itu juga saya juga sadar bahwa saya menjadi korban bully karena sifat saya yang pendiam, lugu (atau istilah zaman sekarang : unyu-unyu) dan penyendiri. Dan harus saya akui kalau berada dalam posisi korban bully itu rasanya sangat tidak menyenangkan. Kalau mental kita tidak kuat menerima perlakukan itu, kita bisa saja menjadi frustasi atau stress bahkan menjadi pribadi yang rendah diri. Untungnya saya termasuk yang ‘kuat’ dan berani melawan kalau sudah melewati batas toleransi saya. Saya juga tau ada beberapa anak yang bernasib seperti saya sehingga akhirnya mereka ada yang tidak mau sekolah, ada juga yang akhirnya pindah sekolah. Saya sebenarnya sempat terpikir untuk pindah sekolah, tetapi kemudian saya juga sadar kalao di sekolah lain bisa saja ada tukang bully yang mungkin lebih kejam.

Maka ketika naik ke kelas tiga, saya berani mengubah sifat saya. Saya mulai bergaul dan membaur.  Saya mulai berani menyapa duluan teman sekelas maupun kakak kelas, lebih banyak tersenyum dan melucu. Iya, ternyata saya baru sadar kalau ternyata saya bisa melucu. Kadang teman-teman saya tertawa terbahak-bahak saat saya sedang membicarakan sesuatu, padahal saya sedang tidak membicarakan sesuatu yang lucu. Akhirnya saya resmi menjadi anggota sebuah geng cowok di sekolah saya waktu itu. Istilahnya geng cowok paling populer disekolah karena anggotanya terdiri dari anak paling pinter dikelas, anak paling jago berantem di sekolah, anak paling jago menyanyi dan anak yang paling jago bercerita yang semuanya satu kelas. Menurut mereka, saya diterima masuk menjadi anggota karena mereka menganggap saya sebagai anak yang paling jago menggambar. Jadi dari kelas empat sampai lulus SD saya merdeka dari bully karena saya selalu dikelilingi oleh teman-teman saya yang siap pasang badan kalau ada yang macam-macam.

Masuk SMP, saya berpisah dengan teman-teman satu geng saya. Sebenarnya kami diterima di SMP yang sama, tetapi kelas yang berbeda. Dengan kelas yang berbeda tentu sangat susah untuk menjaga hubungan persahabatan dengan intens. Menjaga persabahatan dengan sahabat dari kelas yang berbeda sama susahnya dengan menjaga hubungan Long Distance Relationship. Pada akhirnya kita jalan sendiri-sendiri sebelum akhirnya saya menemukan sahabat-sahabat baru. 

Ayah saya yang menjadi guru ditempat saya sekolah bukan jaminan saya bebas dari bully. Kadang saya pernah menyesali kenapa Tuhan mengaruniakan tubuh yang kurus kecil ini kepada saya sehingga banyak orang yang tidak bisa cuek dengan eksistensi saya. Pokoknya dulu, sepertinya anak-anak lain tidak merasa tenang hidupnya kalau tidak menganggu saya. Mulai dari topi yang dibawa kabur, celana yang ditarik-tarik, dibopong-bopong seperti membopong anak kucing, diledek mirip Unyil dan lain-lain. Bahkan saat upacara bendera saja selalu saja ada yang memperhatikan saya kemudian berbisik-bisik dengan siswa dikanan kirinya sambil terkekeh-kekeh. 

Untung hal-hal yang seperti itu saya masih bisa cuek. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa saya terima, yaitu ketika ada dua orang kakak kelas saya menyinggung soal ayah saya. Merekaawalnya hanya meledek tubuh saya yang katanya kecil seperti tuyul. Karena mungkin saya cuek saja, mereka switch to plan B : membuat sebuah candaan kampungan dengan objek ayah saya. Saya tidak tau apakah mereka pernah dihukum atau dijewer ayah saya sehingga mereka begitu benci dengan ayah saya, tetapi jelas apa yang mereka katakan itu benar-benar membuat saya mengamuk. Kesalahan fatal mereka adalah, mereka mengejek ayah saya langsung di depan saya. Meledek seperti apa? Biarlah hanya saya dan teman-teman sekelas saya yang tau. Yang jelas sangat menyakitkan hati. Karena waktu itu mereka mendatangi saya ke kelas dan mengejek ayah saya di depan teman-teman sekelas saya. , maka saya langsung mengejar mereka seperti anjing gila. 

Kemarahan membuat saya seperti memiliki kekuatan super, apalagi teman-teman sekelas saya juga menyoraki memberi semangat, sehingga saya seperti memiliki energi berlebih untuk memburu mereka ke seluruh penjuru sekolah, keluar masuk kelas, melompati pagar dan jendela, naik turun meja hingga akhirnya saya berhasil meringkus salah satu dari mereka dan menghajarnya di sudut lapangan. Anehnya saat saya pukuli, dia sama sekali tidak melawan. Seolah dia sadar bahwa dia memang layak mendapatkannya. 

Kejadian ini sempat membuat heboh seluruh sekolah karena terjadi pas jam istirahat. Saya langsung disamperin ayah saya dan PLAK….pipi saya ditampar di depan teman-teman saya dan banyak siswa-siswi lain di sekolah. Ayah saya mengira bahwa saya yang berandalan dan cari masalah dengan cara memukuli anak-anak lain.

“Jangan kamu pikir karena bapakmu guru disini maka kamu boleh berbuat sesuka hatimu ya”, ujar ayah saya waktu itu. Dan memang sampai sekarang ayah saya tidak pernah tau bahwa saya melakukan itu untuk membela beliau, dan saya juga memang tidak pernah menjelaskannya kepada ayah saya. Yang jelas saya merasa bangga saya bisa membela beliau meskipun ayah saya tidak menyadarinya.

Belakangan anak yang saya pukuli itu berubah menjadi cari-cari muka sama saya, seperti menebus dosa. Saya dipinjami kamus, alkitab dan buku textbook tanpa saya minta bahkan meskipun saya tidak butuh. Lalu dia juga cerita kalau temannya yang dulu ikut mengejek ayah saya sudah pindah sekolah karena takut saya pukuli seperti dia dulu. Soalnya mereka tadinya tidak menyangka kalau dibalik perawakan saya yang seperti tuyul, ternyata ada kekuatan macan lapar. Mendengar itu saya jadi merasa bersalah, soalnya saya kasihan sama orangtuanya yang mungkin jadi kerepotan mengurus kepindahan anak tengilnya itu. Apalagi saya tau bahwa dia berasal dari sesama keluarga miskin seperti saya.

Masuk SMA, perawakan saya masih saja kecil. Jangan-jangan pertumbuhan badan saya memang benar-benar terganggu. Pernah saat sedang jalan sendirian berangkat kesekolah, saya berpapasan dengan segerombolan anak-anak SD. Beberapa dari mereka bahkan bertubuh sedikit lebih tinggi dari saya. Dan coba tebak apa yang terjadi? Mereka menantang saya berkelahi. 

Tetapi naik ke kelas dua, Puji Tuhan...pertumbuhan tubuh saya mulai menunjukkan hasil yang signifikan. Meski mungkin termasuk siswa yang paling muda di sekolah (saya masih berusia 14 tahun saat duduk dikelas 1 SMA) tetapi tinggi badan saya sudah sejajar dengan mayoritas anak-anak SMA yang lain. Satu-satunya bully yang saya alami adalah dari pegawai sekolah saya. Entah kenapa dia suka mempermasalahkan segala sesuatu yang ada pada saya. Dia pernah mengancam akan melaporkan warna sepatu saya kepada guru BP. Pada saat itu saya memakai sepatu warna coklat padahal peraturan disekolah semua siswa wajib memakai sepatu warna hitam. Padahal saya sudah minta izin kepada guru BP karena sepatu saya yang warna hitam yg sebelah kiri hanyut di sungai kemarin sore. 

Pernah saya dan beberapa teman saya terlambat masuk sekolah sehingga terpaksa memanjat pagar tapi ternyata kepergok  dia. Teman-teman saya disuruh pergi, sementara saya disuruh tinggal untuk dibentak-bentak.

Pernah juga kejadian dia tiba-tiba mendorong saya sampai jatuh karena saya balas memaki dia (tapi saya sudah lupa gara-gara persoalan apa). Sebelum saya sempat berdiri dan balas menerjang, tiba-tiba saja beberapa siswa yang sama sekali bukan teman akrab saya langsung mendorong dia dan bilang “Heh, kalau berani lawan saya dong, jangan dia”. Wah, ternyata ada yang mau membela saya.

Kita harus sadar bahwa bully ada dimana-mana dan tidak bisa dihindari. Diri kita sendirilah yang harus di’perkuat’ secara mental (dan kalau boleh, juga secara fisik) agar bisa mematahkan dominasi para pelaku bully saat terjadi perang mental. Menjadi korban bully sejak SD jelas sudah membentuk mental saya menjadi lebih kuat dan siap menghadapi bully, tetapi tentu saja secara fisik saya masih kurang. Maka begitu lulus SMA dan kuliah saya langsung ikut club Tae Kwon Do.

Pelaku bully tidak bisa dibiarkan tetapi juga tidak bisa dilarang. Keinginan untuk membully itu adalah sebuah kebutuhan buat mereka. Karena berhubungan dengan mental, maka attitude –nya itu susah untuk diubah atau dihilangkan. Bisa saja untuk semntara dia berhenti, tetapi nanti dia pasti akan melakukannya lagi karena memang dia butuh untuk melakukannya. Jadi buat anda yang tidak ingin menjadi korban bully, tekankan dalam diri anda bahwa pelaku bully ini adalah pengecut yang menyamar menjadi pemberani. Jangan pernah biarkan, tetapi lakukan perlawanan. Karena sekali saja anda menunjukkan bahwa anda tidak selemah yang dia sangka, maka dia tidak akan menganggu anda lagi dan tentu saja dia akan mencari korban yang lain. Saya sudah bilang kalau mereka ini memang tidak akan berhenti. Mem-bully itu sebuah menjadi panggilan dan pilihan hidup mereka.
Share:

DANAU TOBA & Monyet Yang Terlupakan



Sejak tahun 1996, saya hampir setiap tahun melintasi kawasan Danau Toba dari Medan - Tarutung pulang pergi. Dari Medan ke Parapat (kota tempat Danau Toba berada) menghabiskan durasi kira-kira empat sampai lima jam perjalanan darat. Tetapi kalau anda tidak terlalu suka menghabiskan waktu duduk lama-lama didalam bis sehingga bisa mengakibatkan bokong menjadi semakin rata, maka ada jalur alternatif lain. Anda bisa naik pesawat dari Kuala Namu (Medan) – Silangit (Siborong-borong) dengan durasi waktu tidak lebih dari satu jam. Tetapi dari Silangit ke Danau Toba anda masih harus menghabiskan waktu kira-kira tiga jam perjalanan darat lagi agar bisa sampai ke Danau Toba.

Dulu saat masih kecil, saya begitu mengagumi Danau Toba. Apalagi sejak kecil sudah dijejali dengan cerita legenda mengenai asal mula terjadinya Danau Toba. Konon menurut cerita dari moyang ke moyang hingga ke anak cucu cicit, dulu ada seorang pemuda yang memancing ikan di kolam. Tidak jelas diceritakan dia memancing ikan di kolam sendiri atau di kolam orang lain. Singkat cerita dia berhasil mengail seekor ikan mas yang bisa bicara. Ya, ikan yang bisa bicara. Jadi dengan ekspresi galau dan menghiba-hiba, ikan mas ini memohon kepada sang pemuda agar tidak dipotong dan dimasak, tetapi sebaiknya dibawa ke rumah dan dijadikan istri. What? Ya namanya juga cerita rakyat yang lebih banyak dialog dan adegan tidak masuk akalnya. Pokoknya singkat cerita si pemuda setuju dengan permohonan sang ikan. Saya sebenarnya ingin tau seperti apa tampang si pemuda sehingga dia terkesan begitu putus asa tidak punya jodoh, sehingga mau-mau saja memperistri ikan.

Sampai di rumah, ikan tersebut berubah menjadi perempuan cantik. Syukurlah, karena sangat sulit membayangkan si pemuda hidup berdampingan dan berkembang biak dengan seekor ikan. Singkat cerita (lagi) mereka mempunyai anak laki-laki. Pada suatu hari, si anak disuruh sang ibu untuk mengantar nasi ke ayahnya yang sedang bertani. Ya, si pemuda kini sudah menjadi seorang ayah dan  sudah alih profesi dari pemancing ikan menjadi petani. Mungkin karena jarak tempuh dari rumah menuju ladang begitu jauh, si anak kelaparan ditengah jalan dan kemudian memakan nasi untuk ayahnya sampai habis. Begitu sampai di ladang tempat ayahnya bekerja, si ayah yang sudah kelaparan mengamuk karena mendapati tempat makan siangnya sudah kosong. Sudah lapar tingkat rektor, cuaca panas pula, maka keluarlah sumpah serapah untuk si anak : “dasar anak ikan!!!”. 

Ternyata sumpah serapah itu direkam dengan baik oleh si anak, maka sambil berurai airmata si anak berlari pulang menemui ibunya dan menceritakan apa yang baru saja diteriakkan ayahnya. Sang ibu begitu sedih luar biasa. Ya, sesederhana itu. Padahal bisa saja si ibu menghibur si anak dengan mengatakan bahwa bapaknya mungkin lagi murka semurka-murkanya sehingga mengatakan sesuatu secara random. Tetapi tidak, si ibu langsung tersinggung karena mungkin lagi PMS, kemudian menyuruh si anak naik ke puncak gunung. Eh si anak menurut saja. Sepertinya si anak bukan type anak yang kritis seperti anak-anak zaman sekarang yang selalu punya pertanyaan untuk semua hal. 

Lalu si ibu menangis luar biasa, saking luar biasanya sampai airmata bisa menghasilkan banjir bandang dan menghanyutkan seluruh kampung, kecuali puncak gunung dimana si anak sudah nongkrong. Maka puncak gunung itulah yg menjadi cikal bakal pulau Samosir, sementara genangan air mata tersebutlah yang menjadi Danau Toba. Mungkin itu sebabnya rasa air Danau Toba tidak tawar, tetapi mengandung sedikit rasa asin. Nah lho, jangan-jangan memang benar asal mula Danau Toba begitu.

Tetapi seiring waktu dan saya mulai tumbuh remaja dan dewasa, asal mula terjadinya Danau Toba versi ilmiah lebih masuk akal saya dimana Danau Toba terjadi akibat letusan gunung super vulkanik puluh ribuan tahun yang lalu. Bukankah hampir semua danau terjadi akibat ledakan gunung berapi dimana kawahnya kemudian dipenuhi air yang membentuk danau. Apalagi mengingat bentuk fisik Danau Toba juga seperti kawah gunung yang menjorok dalam ke bawah perut bumi, sementara daratan yang mengelilingi adalah dataran tinggi.

Di mata saya dulu, kawasan Danau Toba adalah surga. Sebuah danau biru yang luas dikelilingi oleh pegunungan hijau dengan naungan awan biru. Setidaknya pemadangan alamnya bisa membuat saya menganga. Maklum, di tempat tinggal saya, saya hanya bisa melihat pohon pisang saja. Pokoknya dulu saat masih sekolah liburan paling keren itu ya ke Danau Toba, bahkan jauh lebih gengsi daripada liburan ke luar negeri. 

Selain itu dulu Danau Toba sangat menarik perhatian wisatawan asing. Jadi setiap kali kita melangkah dan tubrukan sama seseorang, bisa dipastikan orag kita tubruk itu adalah bule. Saya masih ingat waktu masih SMP dan SMA, setiap akhir pekan teman-teman saya yang ingin melatih kemampuan bahasa Inggrisnya akan pergi ke Danau Toba untuk praktek langsung dengan native speaker yaitu bule-bule yang banyak berkeliaran disana. 

Ada satu lagi spot wisata yang berada di kawasan Danau Toba yang sering saya sebut ‘kampung monyet’. Jangan membayangkan sebuah kampung dengan warga yang mirip monyet, tetapi kawasan ini benar-benar dimukimi oleh monyet asli. Disini kita bisa ikut memberi makan monyet yang jumlahnya ratusan itu. Jangan takut, monyet-monyet disini lebih ramah dan lebih sopan dari monyet-monyet yang ada di Uluwatu (Bali). Huh, kalau ingat monyet di Uluwati langsung emosi saya. 

Tetapi seramah-ramahnya monyet, ya tetap saja namanya monyet. Jadi biasanya pengunjung akan diwanti-wanti agar melepas segala aksesori yang kira-kira gampang dicopet seperti kacamata, anting, topi, dan benda-benda yang lain kira-kira menarik perhatian monyet. Dengan membayar tiket masuk dua ribu rupiah, kita bisa masuk kawasan penangkaran monyet. Pada saat memasuki area kampung monyet, anda mungkin hanya melihat beberapa ekor monyet. Tetapi begitu sang pawang membunyikan ‘genderang perang’ dari sebuah alat tiup dari tanduk kerbau, maka ratusan monyet akan segara berdatangan, siap untuk setor tampang.

Sekarang Danau Toba tidak seindah dulu lagi. Airnya tak lagi biru karena di sekeliling pinggiran danau telah dijadikan tambak ikan yang otomatis pasti akan mempengaruhi biota dan kwalitas air danau lewat pakan atau pemeliharaan tambak yang menggunakan bahan kimiawi. Wisatawan yang yang dulu berduyun-duyun memenuhi kota Parapat kini tinggal satu-satu, itupun lebih memilih ngendon di hotel menikmati pemadangan Danau Toba dari kejauhan untuk menghindari beberapa oknum warga yang tak lagi seramah dulu. 

Saya sudah berkali-kali mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat berada di Parapat. Beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sangat mengintimidasi para tamu. Mereka dengan cara memaksa menghalang-halangi penumpang yang ingin menaiki angkutan tertentu hanya karena sopir angkutan tersebut tidak memberi tip sesuai yang diinginkan. Untuk wisatawan lokal saja mereka bersikap seperti itu, apalagi sama yang wisawatan domestik atau asing? Seperti pemerkosaan hak azasi saja, seharusnya penumpang kan bebas menentukan dia mau naik kendaraan apa.

Saya sendiri tidak habis pikir, Danau Toba ini adalah spot wisata yang sangat menjanjikan. Mengingat luasnya membentang sepanjang 100 x 30 KM, Danau Toba adalah salah satu danau terbesar di Dunia dan pasti sangat menarik perhatian dunia. Yang saya lihat, potensi besar kawasan ini tidak disadari oleh pemerintah setempat. Semua dibiarkan terbengkalai. Lihatlah rongsokan kapal-kapal yang dulunya dipakai sebagai transportasi safari untuk mengarungi Danau Toba kini hanya teronggok di bagian tepi danau yang hanya memberi pemandangan yang kurang elok. Setiap tahun memang diadakan Pesta Danau Toba disini, sayangnya itu hanya sebatas rutinitas dalam artian hanya mengulang-ulang seremoni tahunan yang sangat tidak menjanjikan sesuatu yang baru dan inovatif yang mampu menarik minat warga di luar kawasan sekitar atau dari luar kota, luar pulau atau mungkin luar negeri.

Saat mata saya menatap barisan pegunungan hijau yang mengelilingi Danau Toba, tiba-tiba saya terpikir seandainya ada investor (entah asing maupun lokal) yang terpikir untuk membuat semacam alat transportasi wisata dalam bentuk kereta gantung dari uung yang satu ke ujung yang lain di seberang Danau Toba. Saya bisa membayangkan sensasi seperti apa yang akan saya serasa saat menaiki kereta gantung melintasi Danau Toba dengan luas luar biasa itu, mungkin rasanya seperti terbang. 

Saya juga melihat kedai-kedai tempat duduk santai di sepanjang pinggir jalan raya perbatasan ke Danau Toba yang terkesan asal jadi. Maksud saya hanya menawarkan pemandangan ‘mentah’ ke arah Danau Toba. Saya menjadi kepikiran seandainya di sepanjang area ini dibangun semacam alun-alun yang menyediakan tempat duduk santai atau selonjoran dengan pelayanan yang lebih baik dengan pohon-pohon yang bisa dipasangi hammock. Pelayanan yang lebih baik maksud saya adalah Food & Beverage yang menyediakan masakan nusantara dan mancanegara. Sepanjang yang saya perhatikan, kedai-kedai disana hanya menjual minuman mineral,minuman soda dan mie instant. Terlalu standar untuk sebuah kawasan wisata yang sebenarnya sangat menjanjikan.

Soal safety pengendara kendaraan di sepanjang jalan raya yang melintasi pinggiran Danau Toba juga cukup mengganggu saja. Sama sekali tidak ada batasan antara jalan raya ke arah danau yang letaknya jauh di bawah sana. Jadi kalau misalnya kendaraan tergelincir ke arah kanan, maka akan menubruk bukit, sementara kalau terpeleset ke kiri maka kendaraan yang mobil atau motor akan terjun bebas ke jurang dan kalau beruntung bisa langsung tercebur ke Danau Toba. Apalagi mengingat jalan raya sepanjang kawasan tersebut didominasi oleh belokan dan tikungan tajam. Jadi buat anda yang berencana mengunjungi Danau Toba dari arah Medan, sebaiknya hati-hati saat mengendarai kendaraan anda, terutama saat sudah melewati kota Siantar. Banyak tikungan yang lebih pantas disebut jebakan Batman karena selain minim penerangan pada malam hari. Jalan rayanya juga relatif sempit, hanya muat dua kendaraan dari arah yang berlawanan. Jadi saat bertemu tikungan, biasanya masing2 kendaraan dari arah yang berlawanan akan saling menunggu dulu agar salah satu melintas lebih dulu.

Dan soal monyet-monyet yang tadi saya bicarakan, mereka tidak lagi betah di habitatnya karena kurangnya pasokan makanan. Maka mereka akan turun ke jalanan, nongkrong di tepi jalan raya sambil memasang ekspresi wajah penuh harapan bahwa akan ada pengendara kendaraan yang melintas akan melempar sesuatu yang bisa dimakan. Akibatnya, jumlah monyet-monyet primata berwarna kelabu dan berekor panjang ini semakin hari semakin berkurang karena banyak yang tewas tertabrak kendaraan. Dan gosipnya, tidak sedikit juga yang ditangkap dan dijual oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Saya juga mendengar bahwa pawang monyet-monyet tersebut saat ini sedang terlibat masalah hukum dan terpaksa dipenjara, sehingga nasib monyet-monyet ini semakin tidak jelas juntrungannya. Entah siapa sekarang yang menyediakan makanan untuk mereka, mengingat pegunungan di sekeliling Danau Toba adalah pohon-pohon pinus yang jelas tidak menghasilkan buah atau daun yang bisa mereka konsumsi.

Saat saya melintasi jalan raya dipinggiran Danau Toba ini bulan Mei tahun kemarin dari Tarutung menuju Medan, tiba-tiba seekor monyet berukuran besar yang saya yakin adalah kepala suku para monyet ini diikuti seekor lagi monyet berukuran lebih kecil meloncat keatas bagasi mobil yang saya tumpangi, lalu kawin di depan mata saya dan sopir mobil saya. Hmmmm, betapa beruntungnya saya disuguhi live sex show dengan latar Danau Toba, sebuah adegan yang tidak akan saya dapatkan di film porno manapun. Saat melakukan adegan itu, sang jantan menatap saya dengan tatapan penuh arti. Oh tidak, saya harap dia tidak sedang berfantasi dengan cara menatap wajah saya. Saya yakin dia sedang mencoba mengirimkan sebuah pesan kepada saya agar saya menulis tentang hal itu. Tentu saja bukan menulis quicky sex yang sedang dia pertontonkan, tetapi tentang keadaan mereka yang sungguh saat ini butuh perhatian. Begitu saya mengangguk, pertunjukan langsung usai dan mereka meloncat lagi ke tepi jalan raya, mungkin kembali menunggu orang lain lagi yang mau peduli dengan keresahan mereka.

Share: