27/09/15

Cerita MUFFIN

Zaman masih kantoran dulu, saya hampir setiap hari naik turun angkutan umum. Saya tinggal di Jakarta Selatan, kantor saya di Jakarta Barat. Praktis saya bisa naik turun nyambung kendaraan sampai lima kali. 

Dari rumah naik angkot sampai pasar, dari pasar naik angkot lagi sampai terminal Lebak Bulus. Dari terminal naik Kopaja sampai ke Mall Ciputra. Dari Ciputra naik busway sampai terminal Kalideres. Dari Kalideres naik ojek ke kantor.

Tetapi sebenernya maksud dari tulisan ini bukan untuk curhat mengenai trayek perjalanan saya dari rumah ke kantor zaman susah dulu. Tetapi coba ajalah terus membaca, OK?

Di Social Media, khususnya Path dan Facebook, saya sering membaca sebuah post mengenai petugas  Satpol PP yang ganteng, PNS yang gagah & cantik molek, penjual Nasi Uduk yang semlohai. Trus, apa istimewanya? Memangnya semua Satpol PP, PNS atau penjual Nasi Uduk itu lusuh? Memangnya tidak boleh ada yang bening? Kasihan amat!

Tetapi ada satu jenis post yang langsung membuat saya tersentuh dan ingat masa lalu di masa-masa masih lincah ngejar-ngejar bis, adu tinggi-tinggian dengan sesama penumpang yang nggak kebagian bangku di Busway dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Post yang menyentuh saya itu adalah sebuah foto yang memperlihatkan nenek-nenek atau kakek-kakek yang menjual buah, sayur, botol air mineral atau apalah.
Yang intinya, beliau-beliau ini lebih memilih untuk melakukan sesuatu atau menjual sesuatu daripada menunggu. Ibaratnya, mereka merindukan hujan, maka mereka akan menarikan Tari Hujan daripada diam menunggu mendung.

Biasanya selalu ada kalimat pengantar semacam caption bahwa kakek-kakek atau nenek-nenek itu sebenarnya bisa saja mengemis. Dengan tongkrongan yang udah renta dan ringkih, tentu akan begitu mudah mendapat iba.  Namun yang namanya prinsip hidup memang sangat kuat untuk beberapa orang. Apapun yang terjadi, ada nilai yang tetap akan dipegang teguh: bekerjalah agar mendapatkan uang.

Begitulah. Menolak menggadaikan martabat dan harga diri mengharapkan belas kasihan orang lain tanpa melakukan apa-apa, mereka lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berarti, yang mungkin tidak memberi dampak sedemikian berarti, namun dengan modal kesabaran dan keuletan pada akhirnya apa yang diharapkan akan bisa didapatkan.

Hal yang hampir serupa juga pernah saya alami. Tempatnya di jembatan halte busway Jelambar.  Saya naik busway dari Jelambar sampai ke Kalideres. Jadi setiap pagi, saya selalu melewati seorang pria, tubuhnya tinggi gede, kulit coklat, rambut ikal, berjualan muffin. Iya, elite banget jualannya. Padahal biasanya kan kita cuma ketemu penjual roti atau gorengan saja. Rasanya seperti lagi di Paris. Eh, Paris punya muffin atau croissant ya?

Awalnya saya cuek saja, karena saya memang bukan penggemar muffin, dan saya bukan type orang yang suka bela-beli makanan sembarangan, apalagi yang di jalanan.

Jadi setiap pagi, setiap saya lewat dari depannya, dia akan menyapa ramah, “Boleh dibeli muffinnya, Mas”. Seperti biasa, saya hanya tersenyum, melambaikan tangan sebagai sinyal dari kata ‘tidak’ sambil terus berlalu. Dan memang sih, bukan ke saya saja dia ramah menawarkan dagangannya, hampir semua orang yang lalu lalang dia sapa. Jadi, ya kurang ajar banget kalau saya GR dan sok populer.

Cara dia menawarkan dagangannya juga unik dan sangat personal. Misalnya jika yang lewat di depannya adalah perempuan berbaju merah, maka dia akan menyapa, “Silahkan Mbak yang berbaju merah, muffin-nya masih hangat”.
Atau kalau yang lewat adalah cowok kuliahan, dia akan bilang “Boleh mas muffinnya, buat sarapan di kampus. Bisa dibagi juga ke ceweknya”.
Sok akrab bin sok tau banget ya?! 

Disapa begitu dan langsung kena sasaran karena bukan sekedar basa-basi, beberapa pejalan kaki akhirnya luluh juga. Terhenti sejenak, melirik, mungkin merasa geli. Lalu singgah dan membeli beberapa. Cara jualan yang cerdik. Setan alas emang dia!

Ke saya sendiri dia punya sapaan khusus: “Mas yang mirip Hugh Jackman dan Zach Efron”.
Bohong banget ya. Sejujurnya  ke saya panggilan dia sederhana saja: “Mas yang berkacamata”.
Ya, hanya sebegitu saja. Padahal saya mengharapkan lebih.

Hari pertama disapa begitu, saya masih tegar. Hari kedua, masih bisa menahan diri. Hari ketiga saya, sempat berhenti sejenak, tetapi kemudian berlalu. Hari ke-empat, akhirnya iman saya goyah.

Mari mas yang berkacamata, boleh dicoba muffin-nya”, sapanya ramah. Saya berhenti dan menoleh.
“Saya maksudnya?”

“Iya, mas”

“Kan yang pake kacamata bukan saya saja”

“Iya, tetapi kebetulan setiap mas lewat bersama dengan yang lain, kebetulan cuma mas yang berkacamata”

“Trus, nanti kalo misalnya saya lewat, dan kebetulan orang yang di depan dan belakang saya juga cowok berkacamata, gimana tuh”

“Panggilannya beda lagi”

“Jadi apa?”
“Mas yang memakai jam tangan di tangan kanan”
Saya melihat pergelangan tangan saya dan tak tahan untuk tertawa. Dia bahkan memperhatikan kalau saya memakai jam tangan di tangan kanan.

“Trus, orang berkacamata yang di depan dan belakang saya nggak ditawarin muffin?”

“Tergantung. Lihat orangnya dulu dong. Kalau orangnya tidak lewat sini setiap hari, ya saya skip. berarti bukan calon pelanggan yang potensial”
Ya ellah, pakai istilah ‘skip’ dan 'potensial' segala dia. 

“Emang tau siapa-siapa saja yang rutin atau sesekali lewat sini?”

“Tau dong. Kan saya setiap hari nongkrong di sini. Gak terlalu sibuk juga, jadi masih punya waktu merhati’in wajah-wajah orang yang lewat”

Sekedar tata karma, saya beringsut melihat-lihat tumpukan muffin aneka warna dan rasa di dalam compartmen warna biru miliknya. Saya kebingungan, saya tidak suka muffin. Tetapi kok ya kurang ajar banget kalau tidak jadi beli.

“Sebenarnya saya nggak suka muffin”, guman saya nggak jelas.
“Kenapa?”

“Nggak suka aja”. Typical jawaban orang yang malas mikir. Gila apa, masih pagi saya disuruh mikir yang berat-berat urusan muffin.

“Coba dulu nggak apa-apa, mas. Nggak usah bayar”
Nggak usah bayar? JRENG! Telinga saya langsung tegak, naluri penyuka gratisan saya langsung merasa terpanggil.

“Ada rasa mocca nggak?”, tanya saya, sekedar iseng. Mudah-mudahan tidak ada supaya saya punya alasan untuk tidak beli. Bukannya saya pelit, tetapi ini lagi tanggal tua sehingga ikat pinggang dan celana dalam lagi ketat-ketatnya **if you know what I mean**.

“Wah, nggak ada mas. Mas suka mocca ya?”, tanya dia penuh perhatian. Ada raut sedih di wajahnya karena merasa tidak bisa memenuhi permintaan saya. Saya jadi merasa bersalah, padahal saya kan iseng saja, eh dia malah menanggapi serius, pakai drama segala lagi.

“Iya”

“Besok saja saya bawa mas. Janji deh!”

“Emang yang sekarang ada rasa apa saja?”

“Ada rasa pisang, vanilla, susu, kopi?”

“Hah? Kopi???”

“Iya, ini rasa kopi”, ujarnya sambil menyodorkan muffin ukuran besar berwarna coklat tua.

“Kopi kok warnanya coklat?”

“Sekedar member aroma kopi saja, Mas. Kalau kebanyakan, nanti muffinnya menjadi pahit. Warna hitam juga kurang bagus untuk warna makanan”

“Black Forest?”
“Perhati’in aja, Mas. Black Forest sebenarnya warnanya tidak hitam, tetapi coklat. Kan dari bahan coklat”
Terserah deh. Saya tidak punya waktu untuk flashback ke masa lalu dimana saya pernah menggerogoti seiris Black Forest untuk mengingat-ingat kembali warnanya apakah coklat atau hitam.

“OK, saya coba yang kopi. Satu berapa?”

“Nggak usah bayar dulu, Mas. Besok aja bayar yang rasa mocca”

“Ini saya mau ambil lima. Bener nggak usah bayar?”

“Lho, kan mau nyoba. Masa mau langsung lima? Nggak mau nyoba satu aja dulu?”

“Saya mau ambil lima? Benar nggak usah bayar?”

Dia tampak kikuk, saya jadi tidak tega. Well, saya memang tidak berencana untuk tidak membayar sama sekali. Saya tidak seiblis itu. Sumpah! Saya hanya sekedar menguji komitmennya.

“Nah, milih saya nggak usah bayar atau saya bayar?”

“Nggak usah bayar deh, mas. Nggak apa-apa, tadi saya yang bilang nggak usah bayar. Saya harus konsisten”

“Tetapi saya nggak mau begitu”

“Begitu bagaimana?”

“Ya begitu. Saya kan orang kaya, gengsi dong nggak bayar”

“Sombong ya ,mas”

“Iya”

“Tapi sombong yang positif”

“Udah buruan, berapa semua kalau saya ambil lima?”

“Dua puluh ribu aja, mas”

“Emang satu berapa?”

“Lima ribu”

“Trus kenapa jadi dua puluh ribu? Dulu nilai Matematikanya  merah terus ya di raport?”

“Satu gratis, Mas. Mas bayar yang empat aja”

“Saya nggak mau seperti itu. Saya kan udah bilang kalau saya orang kaya yang gengsi kalau nggak bayar”

“Udah deh, mas. Bayar empat saja, saya ikhlas kok?”

“Iya, situ yang ikhlas, tapi saya nggak. Ini bertentangan dengan hati nurani saya”
Dia tertawa. Dikira saya lagi bercanda?

“Nggak apa-apa, Mas. Bayar dua puluh ribu saja”

“Ya udah, kalau begitu nggak jadi deh”. Saya meletakkan kembali muffin yang tadi saya pegang dan pura-pura hendak beranjak pergi.

“Yahhh, si mas jadi marah ya? Saya jadi nggak enak. Ya udah deh, mas. Bayar semua juga nggak apa-apa”

Singkat cerita, saya membeli lima muffin yang sebenarnya tidak saya inginkan. Saya hanya sekedar menghargai jerih payahnya saja. Walau diam-diam saya sempat heran dan penasaran. Dengan tampang kecenya yang satu tingkat di bawah saya itu, hanya dengan pura-pura tersandung di depan kantor MD Entertainment, dia pasti ditampung jadi bintang sinetron.
Atau cuma sekedar nongkrong di pinggir jalan sambil telanjang dada, pasti tante-tante girang dan mami-mami binal dari balik kemudi mobil mewah masing-masing pada rebutan heboh menepi sambil melambai-lambaikan duit dua puluh ribuan.
Eh, kok saya tau banget ya?! 

Atau profesi apa kek yang mengandalkan wajah dan body, dia punya modal. Namun yang menarik perhatian saya adalah karena dia memilih menjadi penjual muffin. Muffinnya sih keren, tetapi jualan di jembatan? Dia lebih cocok jadi pengusaha bakery khusus muffin, dengan toko yang bersih dan rapi.

Dia sempat cerita kalau yang bikin muffin ini bibinya, dia cuma bantu menjualnya. Sekedar alasan supaya ada kegiatan, karena dia ternyata putus sekolah dari SMA kelas dua. Tau kenapa putus sekolah? Bukan karena tak ada biaya, tetapi karena dia malas sekolah. Mau jadi kayak Bob Sadino katanya. Busyet dah!

Perdebatan tentang muffin barusan telah menghabiskan durasi lebih dari dua puluh menit. Saya telat! Begitu meloncat ke dalam busway, saya sudah lupa

Besok paginya, saya melintasi jembatan itu lagi. Dia tampak sibuk melayani beberapa pembeli: tiga anak perempuan  berseragam SMA, satu ibu-ibu berseragam PNS dan dua orang mas-mas dengan baju kantoran.
Sibuk begitu, tentu saja dia tidak punya waktu memperhatikan orang yang lalu lalang dan menyapa dengan sesuai dengan wujud masing-masing.
Saya bergegas, melewati tanpa menoleh, posisi para pembeli menutupi arah pandangnya ke area tempat orang lalu lalang.

Saya berhasil lewat tanpa sepengetahuannya, terus melangkah menuju loket busway.

“Satu, Mbak”, ujar saya seraya menyerahkan uang lima ribuan ke mbak-mbak tukang jual tiket busway. Begitu menerima tiket dan kembalian, saya langsung masuk ke halte setelah melewati screening gate.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar kegaduhan. Orang-orang yang sedang berjalan di jembatan langsung menyingkir ke arah pinggir. Ada terdengar suara berlari berdentum-dentum, heboh sekali. Maklum, lantai jembatan busway terbuat dari bahan aluminium tebal yang gampang sekali berdentum-dentum jika diinjak. Sepertinya ada copet yang sedang kejar-kejaran. Saya menoleh, semua orang yang yang sedang menunggu armada busway juga menoleh, ingin tau juga apa yang terjadi.

Si mas penjual muffin berlari dan berhenti sampai di batas screening gate, gak bisa lewat karena tidak punya tiket, mencari-cari seseorang di antara kerumunan orang-orang.  Nafasnya terengah-engah, keringatan.
Begitu melihat saya, dia  langsung menyodorkan sebuah sebuah kantong plastik kecil ke saya. Saya mengarahkan jari telunjuk saya ke dada, sekedar memastikan bahwa orang yang dia maksud adalah saya. Bisa aja kan bukan saya, tapi orang lain. Dia mengangguk. OK, berarti benar saya yang dimaksud. Saya lalu berjalan menghampiri.

“Mas kok tadi nyelonong aja, jadi saya yang repot ngejar mas sampai ke sini”, katanya dengan nada kesal sambil masih kesulitan mengatur nafas. Busyet, dia dengan lancang mengomeli saya. Dia pikir dia siapa?
“Apa ini?”, tanya saya kebingungan, menatap kantong plastik yang dia sodorkan dengan ragu. Siapa tau isinya anak kucing.
“Muffin rasa mocca pesanan mas yang kemarin”. 

Muffin rasa mocca? Saya bahkan sudah lupa dengan benda itu. Saya sudah lupa saya pernah memesannya.

Tidak sabar menunggu saya bengong, sementara dia meninggalkan dagangannya  nun jauh di sana, dia langsung menarik tangan kanan  saya, memaksa jari-jari saya untuk mengenggam pegangan kantong plastik tersebut. Setelah berhasil membuat saya menerima kantong kecil tersebut, dia lalu berbalik dan pergi. Tanpa basa-basi dan tanpa menoleh lagi.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar