02/03/14

Terdampar Di Hotel MARRIOTT




Terakhir kali saya menginap di hotel berbintang adalah tujuh tahun lalu. Setelah itu saya lebih banyak menginap di motel, penginapan tradisional dan ‘hotel bintang seribu’ alias emperan toko atau tempat-tempat lain yang beratap langit. Saya sudah lupa rasanya seperti apa, yang jelas sudah sanggup membuat saya pangling dan seperti rusa masuk panti pijat saat kembali dihadapkan dengan kejadian serupa.

Jadi ceritanya saya dapat voucher menginap di sebuah hotel JW. Marriott yang letaknya di kawasan Kuningan. Saya dikasih kesempatan menginap selama tiga hari dua malam gratis, tis, tis. Pokoknya tidak mau kalah sama tuntas-tas-tas milik Marissa Haque di iklan obat terlambat datang bulan.

Berhubung hotelnya bukan hotel sembarangan (yang saya tau ini hotel dengan reputasi internasional dan hampir ada di seluruh kota-kota besar di dunia), jadi saya sempat gengsi datang ke hotel naik bajaj atau ojek seperti biasa, apalagi jalan kaki.
Maka dengan dagu diangkat dan dada agak membusung, saya mencegat taksi di depan Blok M. Saya memang orangnya ogah rugi. Kalau naik taksi dari rumah, saya bangkrut dong. Makanya saya ambil jalur shorcut a la orang melarat, biar bayarnya nggak mahal-mahal amat **issshh..., kayak pantun ya, kalimatnya ber-rima begitu**. Apalagi mengingat Ciputat yang kawasan Machica Muchtar **bahasa gaul untuk ‘macet total’ versi saya**, saya bisa jatuh miskin hanya gara-gara bayar taksi.

Singkat kata, meluncurlah taksi yang saya tumpangi menuju kawasan Kuningan. Jagad raya seolah berpihak pada saya, karena tumben tidak ada macet. Biasanya jalan Sudirman jam segini macetnya minta digampar, bikin orang-orang rajin PAMER PENIS (PAdat MERayap PENgen nangIS maksudnya).

Apalagi sopir taksinya juga ‘jodoh gue’ banget. Biasanya kan mereka suka bawa muter-muter dulu buat ngulur argo, apalagi kalau penumpangnya ‘orang buta’ kayak saya. Nah, sopir taksi yang ini, saking jarangnya mungkin nemu jalan raya yang lengang begini, dia langsung kalap membalap. Dalam keadaan ngebut seperti itu, saya langsung membayangkan diri saya pegang pistol di tangan kanan dan kiri, mengeluarkan anggota tubuh bagian pinggang ke atas lewat jendela, lalu DOR DOR DOR...tembak kanan kiri, seperti adegan-adegan tembak-tembakan di jalan raya a la film Hollywood. Seru! Ya, ya, ya...mau dibilang masa kanak-kanak saya kurang bahagia, terserahlah.

“Mau di dalam atau diluar, Mas” tanya Pak Sopir. Ya ellahhh...pertanyaannya menjurus banget ya? Kayak Ariel dan Cut Tari aja. Upssss...
“Di dalam aja, Pak. Biar enak” jawab saya. Nah lho! Kayak beneran lagi ngapain aja.

Sebelum memasuki area hotel, saya melewati pasukan keamanan dulu. Pintu mobil dibuka, para petugas memeriksa. Tiba-tiba ada anjing gede warna hitam nyaris meloncat ke dalam. Eh kontrol, eh kontrol...saya kaget setengah mati. Kirain tadi iblis. Anjingnya bukan mau menerkam saya, tetapi sepertinya gemas melihat saya, sampai ekornya goyang-goyang girang kayak ngebet mau kawin.

Ternyata jarak dari tempat drop tamu ke lobby hotel masih harus jalan kira-kira 58 langkah lagi. Beneran, saya hitung lho saking nggak ada kerjaannya saya. Jadi, habis dilepeh taksi, saya harus melewati screening petugas dan metal detector dulu.
Saya perhatikan, rata-rata tamu dari kategori cowok usia muda yang paling di’curigai’. Kalau yang perempuan biasanya cuma diperiksa isi tasnya dan melewati  metal detector, habis itu ya sudah, bisa melenggang suka-suka.

Kalau saya, tas saya diperiksa dulu, lalu diluncurin melewati kamera tembus pandang (saya tidak tau apa nama istilahnya untuk alat itu), lalu saya sendiri berjalan melewati metal detector. Lewat metal detector sih saya aman, tetapi ya karena saya cowok usia muda dan berpenampilan menarik, jadi saya nggak bisa langsung bebas melenggang kayak ibu-ibu dan remaja putri.

Saya disuruh berdiri dengan posisi kaki ngangkang tanggung, lalu seluruh tubuh saya disenter-senter pakai alat yang mirip catokan rambut. Seperti biasa, bagian selangkangan yang paling lama disorot karena bagian itu yang dari luar tampak paling mencurigakan, karena sekilas kita para cowok kan memang seperti menyimpan atau menyembunyikan sesuatu di situ. Ya iyalah, namanya juga cowok.

Tuit, tuit, tuit...tiba ‘catokan’-nya bunyi. Nah lho, benarkan dugaan saya! Saya kaget, tetapi berusaha tampil tenang dan santai.

“Minta tolong dikeluarin Mas isinya” pinta petugasnya ramah. Hah? Maksud loe? Saya disuruh eksibisionis disini? Baiklah, bila itu maumu, bila itu caramu.
“Isi sakunya, Mas.” Petugasnya menjelaskan lebih rinci, seperti mengetahui keterkejutan saya. Oh, ternyata bagian yang bunyi itu adalah bagian saku celana saya. Hahaha, kirain yang ‘itu’, padahal saya sudah pasrah tadi dan nyaris buka ritsleting.

Ini apa coba yang bunyi-bunyi? Bikin malu aja. Saya merogoh saku kiri celana saya, berharap tidak menemukan benda-benda terkutuk seperti sendok garpu atau gagang pintu. Ternyata tutup botol parfum, tutupnya doang. Tidak lebih bermartabat daripada sendok garpu dan gagang pintu.

“Kok tutupnya doang, Mas?” tanya petugas ingin tau.
“Soalnya parfum saya habis, jadi saya kalau beli yang baru, tutupnya saya bawa biar tidak salah beli” jawab saya asal, tetapi dalam hati merutuki kebiasan buruk saya yang suka menjejali barang-barang tidak penting ke dalam saku celana kalau sedang buru-buru.

Lolos dari petugas screening, saya melenggang ke lobby hotel yang langsung disambut hangat oleh greeter yang seragamnya seperti serdadu Inggris.
Di bagian resepsionis, saya lagi-lagi disambut oleh petugas resepsionis dengan welcome drink berupa segelas kecil lemon tea. Aduh, lagi haus begini kok cuma disuguhin segelas kecil? Saya mauya segentong.
Setelah mengurus segala macam administrasi dan isi formulir ini dan itu, si mbak resepsionis yang tinggi dan langsing mengambil kunci kamar. Lalu saya disuruh ngikutin doi dari belakang menuju lift.

“Sudah pernah menginap disini sebelumnya, Mas?” tanya si mbak. Karena ingin sok kece dan gengsi ketahuan udik, saya langsung jawab “Sudah”. Ternyata sok kece itu kadang membawa bencana. Si mbak mengulurkannya kunci yang berbentuk kartu itu ke saya saat pintu lift terbuka.

“Silahkan mas, di kartunya ada nomor kamarnya. Selamat menikmati pelayanan kami”, ultimatum si mbak dengan ramah, tetapi langsung balik badan kembali ke alamnya. Tinggal saya yang bengong, menatap kartu di tangan saya. Ada tulisan nomor 1018. Kamar nomor seribu delapan belas? Ini di lantai berapa?

Sayangnya, mental sok kece dan gengsi ketahuan udik saya kumat lagi. Daripada balik lagi ke bagian resepsionis dan mengaku dosa, mending saya nekad cari sendiri. Maka saya masuklah ke dalam lift yang kosong.
Setelah pintu lift tertutup, ternyata hanya saya sendiri ‘penumpangnya’. Saya mencoba tebak-tebak buah manggis. Hmmm, dua digit angka pertamanya 10, berarti lantai sepuluh dengan kamar nomor delapan belas. Tidak mungkin kan kamarnya di lantai seribu dengan kamar nomor delapan belas. Masa  hotel ini lantainya ada sampai seribu, bisa sampai ke surga dong?

Ngomong-ngomong, kok ini lift sepertinya nggak bergerak dari tadi, padahal sudah sepuluh menit. Kita pasti tau dong kalau lift-nya bergerak karena akan memberi efek jantung jatuh. Saya tekan-tekan lagi angka sepuluh di sisi kanan pintu lift. Tetapi nomornya memang tidak menyala seperti biasa. Saya sampai tinju tombolnya, tetap tidak menyala juga. Ah, jangan-jangan lift-nya sudah naik, tapi tidak terasa saking canggihnya lift hotel ini

Ting! Bunyi lift mendengking. Tuh kan! Pintu terbuka, saya melangkah keluar. Lho, kok masih di lantai satu? Buru-buru saya masuk lagi, rebutan dengan tamu-tamu lain.
“Lho, kok masuk lagi Mas” tanya bapak-bapak bertampang India. Saya cuma cengengesan, sambil dalam hati menjawab “Bukan urusanmu, Tuan Thakur!”.

Nah, di dalam lift mata saya langsung jalang jelalatan. Si bapak India dan tamu-tamu lain memasukkan kartunya masing-masing ke sebuah celah di bagian bawah tombol-tombol nomor lift. Dimasukin sekelebat, terus di tarik lagi. Kayak quicky sex gitu, cuma asal celup. Lalu tekan tombol nomor sesuai selera. Nah tuh, menyala deh tombol dambaan hati masing-masing.
Oh, begitu toh caranya? Tetapi saya diam saja, nanti saja saya coba kalau semua sudah keluar.

Begitu satu persatu tamu sudah enyah dari lift, saatnya saya beraksi. Ting! Tiba-tiba, lift mendengking lagi. Pintu terbuka saat berada di lantai lima belas. Masuklah office boy, eh kok office boy? Roomboy, maksudnya. Masuklah roomboy menggeret troley hotel model sangkar burung yang ukurannya sangat kompetitif dengan ukurannya badannya sendiri.

Dengan gaya sok tau medan perang, saya masukkanlah kartu saya ke celah lift, menariknya cepat-cepat, lalu menekan tombol angka 10. Lho, kok tidak menyala? Saya coba lagi, masih tetap tak berhasil. Ini kenapa lagi sih?

“Kartunya terbalik, Mas” ujar Si Roomboy. Gubrak! Buru-buru saya tukar posisi kartu dan cling....berhasil! Berhasil membuat lampunya menyala, tetapi tidak berhasil membuat saya membawa lari muka tebal saya yang menahan malu.
Berhubung lift-nya sudah terlanjur melewati lantai sepuluh, terus meluncur ke lantai satu, jadi saya masih harus bertahan sok cuek berdiri samping-sampingan dengan mas roomboy.
Saya bersyukur hotel zaman sekarang sudah tidak menempatkan petugas lagi di dalam lift. Tidak kebayang kalau saat ini ada petugas di dalam lift, pasti saya dicurigai lift fetish. Nongkrong di lift melulu, padahal karena ‘buta aksara’.

Begitu lift mendengking dan pintu terbuka, saya langsung menghambur keluar. Kejadian barusan cukup membuat saya tidak ingin berlama-lama lagi di dalam lift. Sekarang mencari kamar. Ayo kita kemon!

Tuh kan, benar tebakan saya. Semua kamar di lantai ini dua digit pertamanya pakai angka 10.  Saya menemukan kamar saya letaknya paling pojok.
Sambil berdoa mudah-mudahan kamar saya tidak berhantu, saya memasukkan setengah bagian kartu lagi ke panel di gagang pintu, begitu lampunya menyala warna hijau, kartunya saya tarik bersamaan dengan gagang pintu dan blashhhhh...pintunya terbuka. Pakai naluri begitu saja dan berhasil. Ahhh, ternyata saya tidak goblok-goblok amat kok.

Kamarnya sepertinya untuk dua orang, karena ranjangnya king size dengan lampu baca di kanan kiri ranjang. Ada kursi empuk dengan dudukan untuk kaki persis di depan jendela. Asyik nih baca-baca sambil sesekali memandang ke luar. Kebetulan jendela kamar saya menghadap ke bagian depan hotel. Jadi dari kamar saya kelihatan aktifitas pemeriksaan mobil-mobil yang hendak memasuki area hotel.

Melirik ke sebelah kanan, tampak kolam renang hotel. Asyik, besok pagi mau berenang ah. Mungkin saya memang masih ada keturunan bebek, jadi setiap kali melihat kolam renang atau pantai atau genangan air yang minimal setinggi pinggang, saya pasti langsung girang. Seperti melihat kehidupan.

Ting tong! Benaran, bunyi pintu kamar hotelnya seperti itu, saya tidak mengada-ada. Buru-buru saya membuka pintu, siapa tau Pak Pos yang membawa surat cinta dari Vina Panduwinata.  Di depan saya tampak mas-mas Room Service pamer senyum manis, menawarkan apel.

Saya ragu sejenak, sedikit curiga. Jangan-jangan apelnya beracun nih seperti  dalam cerita Putri Salju. Ah, tetapi peduli setan, saya sedang kelaparan, apelnya langsung saya sambar. Kalau saya kenapa-kenapa, kan tinggal cari katak untuk mencium saya supaya segera hidup kembali. Eh, cerita Putri Salju seperti itu bukan sih?

Berhubung saat saya menginap di situ sedang berlangsung turnamen Tennis ATP tahunan World Championship. Jadi sepanjang malam saya ngendon di kamar hotel menonton pertandingan. Apalagi tadi siang saya lihat banyak karangan bunga ucapan ‘Selamat Menempuh Hidup Baru’ berderet di sepanjang akses masuk ke hotel sampai ke lobby. Sepertinya sedang ada resepsi pernikahan mewah di sini, jadi pasti lobby sekarang lagi hiruk pikuk. Males banget kan?

Jam lima pagi, saya sudah bangun, lalu mandi. Di kamar mandi ada bathtub lengkap dengan lilin-lilin aroma terapi dan cairan untuk menghasilkan gelembung-gelembung Norwegia. Sempat tergoda untuk berendam, tetapi saya teringat bahwa berendam di bathtub adalah pemborosan air lima belas kali lipat dari air yang kita butuhkan untuk mandi. Jadi saya memutuskan untuk mandi pakai shower saja.

Di kamar mandi hotel, disediakan ‘seribu’ handuk. Ada di wastafel , ada di atas toilet, ada di tembok pembatas toilet dengan wastafel. Pokoknya belok kanan, nemu handuk. Mundur tiga langkah, eh ada handuk lagi. Saya sampai bingung mau pakai handuk yang mana dulu.
Tetapi saya memutuskan untuk hanya memakai satu handuk saja, sayang kalau dipakai semuanya. Kasihan tukang cucinya, sayang biaya operasionalnya. Apalagi kan saya cowok, handukan pakai keset juga sebenarnya tidak masalah.

Agar handuk yang sudah saya pakai tidak ‘disita’ oleh petugas Housekeeping, sehabis saya pakai, handuknya saya jemur dengan cara dibentangkan. Saya pernah baca entah di buku mana, saya sudah lupa, katanya kalau kita mau handuk yang baru, caranya adalah handuk yang sudah dipakai ditumpuk saja dengan sembarangan aja. Itu adalah kode untuk petugas Housekeeping apakah kita mau handuk baru atau masih  menggunakan handuk yang sudah dipakai.

Jam enam tepat, saya turun ke lantai satu untuk sarapan. Di lantai satu hotel ada tiga restoran yang menyediakan hidangan Chinese Food, European Food dan Indonesian (National) Food.
Saya masuk ke restoran Sailendra. Begitu melewati pintu, saya langsung disambut deretan roti-roti aneka bentuk dan ukuran, mulai dari donat, muffin, sampai roti gede yang mirip pentungan Mr. Flinstone.
Masuk lebih ke dalam lagi, saya disambut hidangan nasional Indonesia. Dandang-dandang mengepulkan uap panas menebarkan aroma kehidupan. Saya perhatikan satu persatu pilihan makanan yang disediakan secara prasmanan. Ada soto, sop ayam, sop sapi, bakso, gado-gado. Hmmm, sarapan yang hangat-hangat berkuah sepertinya seru nih. Saya berhenti sampai disini, tidak berminat masuk lebih dalam lagi. Ya, saya memang bukan penggemar kuliner dan lagi malas mengembara cari makanan yang pada akhirnya bukan selera saya. Akhirnya saya memilih soto dengan kuah sop ayam.
Hah? Jauh-jauh nginap di hotel berbintang, cuma milih soto dengan kuah sop ayam? Biarin!

Menu sarapan saya pagi itu adalah soto, jus mangga, yogurt, potongan buah dan kopi. Sarapan yang cukup mewah bin random menurut standar saya, karena saya termasuk manusia yang jarang sarapan. Biasanya hanya minum kopi atau teh manis saja sampai jam makan siang. Padahal tadinya saya berencana busuk mau makan seperti kuda.
Saya berencana ingin mencoba roti-roti yang tadi menggoda saya di pintu masuk, pengen berlagak seperti bangsawan-bangsawan Eropa, menikmati roti dengan aneka selai. Namun sayang, saya tidak berbakat gembul atau mungkin usus saya sekecil usus ayam,  karena baru beberapa suap soto, saya sudah langsung kenyang.
Sebelum meninggalkan restoran, saya menandatangi bill tagihan sarapan yang barusan saya nikmati, yang nantinya akan disatukan dengan tagihan kamar hotel.
Oh ya, waitress-nya menyapa saya pakai bahasa Inggris lho. Mungkin saya dikira bule gara-gara tampang saya yang Hispanik. Wait, what? Hispanik? Udahlah, nggak usah dibahas.

Habis sarapan, saya balik lagi ke kamar hotel. Ranjang yang tadi acak-acakan sudah kembali rapi jali. Wuihhh, cepat banget. Ini Housekeeper-nya berwujud manusia atau jin?
Handuk yang tadi saya jemur bentang, tidak di usik sama sekali. Handuk-handuk yang sejak tadi malam belum saya sentuh, juga masih utuh. Cakep! Pasti semua hotel berharap semua tamunya seperti saya.

Saya menyambar handuk yang saya pakai mandi tadi pagi, lalu turun ke lantai tiga, ke kolam renang di lantai 3. Busyet, ternyata kolam renangnya kecil banget. Panjangnya cuma dua puluh meter dengan lebar empat meter. Mau tau dalamnya berapa? Cuma sepusar saya. Saya jadi curiga, jangan-jangan ini kolam renang untuk anak-anak.
Apalagi pas saya turun ke kolam, masih saya satu-satunya pengunjung. Menjelang siang, satu persatu berdatanganlah para perenang itu. Ada anak-anak, ada juga orang dewasa. Syukurlah, berarti saya tidak salah kolam.
Namanya juga kolam renang hotel bintang lima, biarpun dangkal dan sempit, tetapi pasti higienis meskipun banyak anak-anak. Soalnya kalau di kolam renang umum, kalau banyak anak-anak, pasti air kolamnya langsung bau pipis.

Enaknya menginap di hotel ini, suasananya hijau banget. Banyak tanamannya, jadi mata dan paru-paru segar. Saya cuek aja seliweran dari lobby hotel sampai lokasi drop tamu, siapa tau berpapasan dengan artis atau jodoh. Apalagi di sepanjang jalan dari lobby menuju drop tamu, ada kafe outdoor yang menjual jus dan roti-roti kecil yang cocok untuk dicamil.

Untuk makan siang, saya memutuskan di luar hotel saja. Tau dong harga makanan di hotel bintang lima, bisa membuat rakyat jelata seperti saya jantungan seketika. Apalagi dari hotel ke Mall Ambassador bisa jalan kaki. Dan sepanjang perjalanan dari hotel ke Mall Ambasador juga berderet pedagang aneka makanan. Ya taulah makanan ‘jalanan’ yang sudah pasti bisa bikin kenyang seharian. Sebagai orang kampung, perut saya juga lebih klop dengan makanan-makanan type begini.

Balik dari makan siang, saya tiba-tiba menemukan banyak bule seliweran di lobby dan di lift. Asyikkkk, saya langsung pura-pura menggeliat-geliat. Siapa tau salah satu dari mereka adalah jodoh saya.
Ternyata bule itu bukan manusia yang rajin bangun pagi ya, soalnya tadi pagi tak ada satu ekor-pun penampakan bule saya lihat. Siang ini tiba-tiba saja hotel sudah seperti diserbu kompeni. Bahkan restoran-restoran yang tadi didominasi wajah-wajah Asia, kini sudah didominasi wajah-wajah Eropa.

Asyiknya di hotel ini lagi, berhubung hotelnya bintang lima, tamu-tamunya juga terseleksi. Tadinya saya nggak berharap akan ada interaksi dengan sesama tamu. Karena tamu-tamu hotel ini orang berduit semua (kecuali saya), maka saya yakin mereka lebih behave, dalam arti tidak kampungan bertingkah yang bisa menganggu dan bikin nggak nyaman tamu hotel lainnya.  Saya setiap ketemu dengan sesama tamu hotel, entah itu sesama orang Indonesia, Asia atau bule, pasti saling menyapa atau minimal melempar senyum saat bertemu di lift. Ya iyalah melempar senyum, masa melempar granat?

Saat balik dari kolam  renang menuju kamar saya, saya sampai bolak-balik noleh ke belakang ketika tamu-tamu lain menyapa saya di lift, karena saya nggak yakin dia sedang berbicara dengan saya. Biasanya kalau di lift mall-mall di Jakarta, saya terbiasa satu lift dengan orang-orang asosial, yang tidak peduli dengan saya karena lebih memilih sibuk mencet-mencet gadget-nya.
Senang rasanya karena ternyata di dunia ini masih ada tempat-tempat tertentu dimana saya bisa menemukan manusia-manusia yang masih lebih memilih berinteraksi dengan manusia yang ada di depannya daripada berinteraksi lewat gadget dengan manusia yang entah ada di mana.

Terima kasih, Hotel JW. Mariott. Kapan-kapan undang saya lagi ya.
Share:

1 komentar: