02/03/14

Menyerbu Markas GARUDA INDONESIA



Saya pertama kali naik pesawat saat saya sudah berumur 18 tahun. Kasihan banget saya ya? Dan pengalaman pertama naik pesawat saya adalah dengan Garuda Indonesia tujuan Medan - Jakarta. Ternyata memang benar ‘kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya minta nambah’. 

Bayangkan saja, saat itu saya beli tiket langsung di agen Garuda Indonesia di dekat Lapangan Banteng Medan, saya sama sekali tidak akan membayangkan bahwa saya akan mendapat kejutan dari Garuda Indonesia. 

Saat diminta menyerahkan KTP, saya berikan Kartu Mahasiswa saya. Begitu petugas pelayanan tiketnya mengetahui bahwa saya masih berstatus mahasiswa, saya langsung diberi informasi bahwa saya bisa mendapatkan diskon harga tiket karena saat itu Garuda Indonesia memang sedang menjalankan program diskon khusus untuk pelajar dan mahasiswa.
Saya sudah lupa berapa potongan harga yang saya dapatkan, yang jelas sisa uangnya saya yang seharusnya untuk beli tiket bisa saya gunakan untuk foya-foya di warteg.

Saya termasuk anak yang pertumbuhannya sedikit terganggu, jadi pada saat berusia 18 tahun saya masih terlihat seperti anak SMP atau mungkin anak macan. Sejak di-lobby airport orang-orang sudah mulai memperhatikan saya dengan tatapan khawatir. Maklum, saat itu saya berangkat sendirian dan hanya membawa ransel. Jadi bisa saja penumpang lain berpikir bahwa saya anak yang minggat dari rumah. Tetapi kalau benaran minggat, keren banget saya ya.

Remaja minggat biasanya paling mewah naik taksi ,kabur ke rumah temannya. Kalau saya minggatnya naik pesawat, kabur lintas pulau pula. Tetapi sumpah, waktu itu saya tidak sedang minggat kok. Kalau minggat, masa saya dikasih uang untuk beli tiket pesawat oleh orangtua saya?  Kejam benar orangtua saya, anak minggat kok didukung.

Begitu boarding, giliran para pramugari Garuda Indonesia yang memberi saya tatapan khawatir. Begitu hendak melewati pintu masuk pesawat, salah satu pramugari langsung mencegat saya sementara pramugari yang pasang kuda-kuda untuk antisipasi.

“Orangtuanya mana, Dik?”, sapa mbak pramugarinya ramah.
“Di rumah”, jawab saya tak kalah ramah.
“Sendirian?”
“Nggak, di rumah banyak orang kok”
“Maksud saya, adik berangkat sendirian?”
“Iya”
“Beneran?”
“Benar”
“Bukannya lagi minggat nih?”. Tuh kan?
“Bukan. Saya sudah 18 tahun kok, saya beli tiketnya pake KTP”
“Oh, udah 18 tahun?”
“Udah mahasiswa lho”
“Udah pernah naik pesawat?”
“Belum”
“Udah tau nomor tempat duduknya?”
“Belum”
“Saya bantu cari tempat duduknya ya?”
“Boleh”.

Aduhhh, pramugari baik dan perhatian benar. Dia dengan sopan minta izin melirik sejenak tiket saya untuk melihat nomor seat saya, lalu saya digiring...eh, bukan digiring (emangnya kawanan sapi?) tetapi dibimbing mencari tempat duduk saya. Tangan saya dipegang terus lho, mungkin takut saya hilang atau tersesat di antara penumpang pesawat yang lain.

Akhirnya saya ketemu tempat duduk saya, trus disuruh duduk manis dan disuguhi makanan dan minuman lalu dibacain dongeng. Hahaha, bohong! Yang benar adalah saya disuruh duduk dan diajari cara pakai seat belt dan cara mengatur posisi sandaran kursi. Saya mendapat kesan kalau pramugari Garuda Indonesia ini memang dilatih untuk memprioritaskan penumpang yang memang membutuhkan. Ya seperti saya waktu itu. Itu kan pengalaman pertama saya naik pesawat.

Kalau tidak ditolongin pramugari, mungkin saya masuk pesawat dari pintu depan, terus jalan melewati koridor pesawat dan keluar lagi dari pesawat lewat pintu belakang. Srimulat banget ya?

Begitu landing di bandara Soekarno Hatta Jakarta, mbak pramugari yang tadi lagi-lagi menunjukkan perhatiannya pada saya yang ‘anak minggat’ ini. Ditanyain apakah nanti saya dijemput. Karena saya tidak dijemput, mbak pramugari itu kasih informasi agar saya naik Damri saja daripada taksi, soalnya lebih murah. Dan lagi-lagi diingatkan agar memperhatikan jurusan bis Damri, supaya tidak salah naik bis sehingga nyasar sampai keluar provinsi.


Tanggal 20 Juni 2013, saya berkesempatan untuk mengunjungi kantor Garuda Indonesia di bandara Soekarno Hatta. Begitu sampai di Cengkareng, kita memasuki ruangan auditorium Garuda Indonesia. Pak Reza Adityawarman dari pihak Garuda Indonesia langsung menyapa dengan ramah, kemudian menjelaskan profil singkat tentang Garuda Indonesia.
Ketika Pak Reza memberi informasi bahwa Garuda Indonesia baru saja menerima penghargaan sebagai The Best World Economi Class (Maskapai Penerbangan Dengan Kelas Ekonomi Terbaik Sedunia) dari Skytrax di Paris, saya langsung teringat pengalaman saya waktu berusia 18 tahun itu. 

Terus terang saya bangga ada maskapai penerbangan asal Indonesia yang berhasil mengungguli maskapai penerbangan dari seluruh dunia, tetapi jelas saya tidak heran atau tercengang dengan penghargaan itu karena saya sendiri sudah mengalami seperti apa kelas ekonomi Garuda Indonesia. Kelas Ekonomi aja memberi kesan yang memorable begitu, apalagi kalau kelas Bisnis ya? Sayangnya saya belum ada rezeki untuk mencoba kelas Bisnis-nya. Mudah-mudahan nanti bisa, karena Tuhan tidak buta. Hallahhh...

Setiap tahun Garuda Indonesia menunjukkan prestasi yang sangat sungguh teramat signifikan lho. Bayangkan saja, pada tahun 2010 sampai 2013 Garuda Indonesia mendapat status maskapai penerbangan bintang empat. Dan tahun depan yaitu tahun 2014, Garuda Indonesia akan mendapatkan bintang lima. Hebat!
Belum lagi mengenai prestasi positioning-nya. Tahun 2010, Garuda Indonesia masuk Top 20 maskapai penerbangan terbaik dunia, lalu tahun 2011 meningkat menjadi Top 16, lalu Top 12 pada tahun 2012, lalu Top 10 pada tahun 2013. Tahun 2014? Mudah-mudah bisa masuk Top 5 atau mungkin berada diposisi nomor satu? Amin!

Pelayanan Garuda Indonesia juga bukan hanya sebatas jual tiket dan antar penumpang sampai ke tujuan, tetapi Garuda Indonesia juga aware dengan bentuk pelayanan dari sisi humanis. Pak Fikri menjelaskan ada sekitar 28 Touch Point yang diterapkan dalam pelayanan Garuda Indonesia terhadap penumpang.
Maksudnya penumpang disentuh maksimal 28 kali oleh para flight attendant Garuda Indonesia? Oh bukan, meskipun saya yakin penumpang Garuda Indonesia tidak akan menolak disentuh sampai 28 kali.

Jadi sentuhan yang dimaksud dalam hal ini bukan sentuhan harafiah, tetapi lebih kepada human touch dalam bentuk kesan dan perasaan nyaman dan dihormati. Singkatnya, mulai dari pemesanan tiket, check in, boarding, in flight, landing, turun dari pesawat, claim baggage dan keluar dari airport penumpang Garuda Indonesia akan disuguhi pelayanan dan sentuhan khas Indonesia. Misalnya pada waiting lounge dan dalam pesawat, penumpang akan disuguhi makanan dan minuman serta aroma khas Indonesia.
Apa itu aroma Indonesia? Saya sendiri juga tidak tau. Mungkin melati atau cengkeh? Anda yang pernah nongkrong di waiting lounge Garuda Indonesia mungkin sudah bisa mengerti maksud saya.

Pak Fikri juga meluruskan paradigma Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan yang mahal. Ya memang mahal kalau dibandingkan dengan maskapai penerbangan yang kelasnya di bawah Garuda Indonesia. Istilahnya Hotel Bintang 5 pasti mahal kalo dibandingkan dengan hotel melati karena fasilitas, pelayanan dan prestise-nya jelas sudah berbeda.

Sayangnya, Garuda Indonesia belum mempunyai maskapai penerbangan kompetitor dengan kelas yang sama sehingga agak sulit untuk membandingkan bahwa harga tiket Garuda Indonesia itu sebenarnya sudah tergolong murah kalau dibandingkan dengan maskapai penerbangan dengan kelas yang sama dengan Garuda Indonesia. Buktinya, Garuda Indonesia juga memberlakukan sistem early bird dimana pemesanan tiket jauh hari bisa mendapatkan harga tiket dengan harga yang lebih murah.

Setelah merasa cukup dibekali ilmu mengenai sepak terjang Garuda Indonesia di dunia persilatan maskapai penerbangan, selanjutnya saya dipersilahkan untuk menyaksikan secara langsung tempat perawatan dan perbaikan mesin-mesin pesawat Garuda Indonesia di Garuda Maintainance Facility (GMF) Aero Asia. Ibu Gita Tobing menjadi tour guide untuk urusan penjelasan mengenai perbaikan dan perawatan mesin-mesin pesawat Garuda Indonesia.

Memasuki gedung workshop, saya nyaris buka sepatu gara-gara lantainya mengkilat banget. Saya pikir mengkilat karena bersih, tetapi ternyata mengkilat karena dicat dengan cat minyak sehingga membri kesan super glossy. Fiuhhhh, saya hampir saja tertipu. Untung saya belum sempat buka sepatu. Apakah ada  hubungannya lantai yang mengkilat dengan perawatan dan perbaikan mesin pesawat? Hanya Garuda Indonesia dan Tuhan yang tau.

Di dalam workshop, saya ‘diperkenalkan’ dengan berbagai berbagai bentuk mesin pesawat yang sudah selesai diperbaiki maupun yang akan diperbaiki. Melihat mesin mobil saja saya bingung, apalagi melihat mesin pesawat yang jauh lebih kompleks dengan ukuran sebesar kingkong dewasa seperti ini.
Tetapi kemudian dijelaskan bahwa perbaikan dan perawatan mesin pesawat ini dilakukan dengan sistem komputerisasi. Jadi mesin akan dimasukan kedalam sebuah alat yang mirip oven  raksasa lalu selanjutnya di-check dan diutak-atik melalui komputer dari ruang kontrol.

Sebelum mesin pesawat masuk oven, mesin tersebut terlebih dahulu diangkat dan digantung dengan menggunakan hidrolik. Ketika berada di ruangan workshop, saya melihat ada satu mesin yang sudah tergantung pasrah siap diperbaiki.
Dan demi Tuhan, saya tidak berani berdiri dekat-dekat karena siapa tau itu mesin tiba-tiba jatuh menimpa saya. Melihat bentuk dan ukurannya yang mengintimidasi, tertimpa mesin seukuran itu pasti sama rasanya dengan tertimpa 35 ekor gajah remaja.

Selanjutnya kami menuju hanggar tempat pemeriksaan dan perawatan pesawat Garuda Indonesia. Kalau tadi di workshop adalah tempat perawatan mesinnya saja, maka di hanggar ini pesawatnya bulat-bulat masuk ke area ini untuk dilakukan pengecekan dan perawatan. Jadi bisa dibayangkan seberapa luas hangga ini karena bisa memuat empat sampai lima pesawat sekaligus. Ini adalah bagian dari safety yang diaplikasikan oleh Garuda Indonesia.

Sebelum pesawat melakukan penerbangan, pesawat wajib melapor dulu ke hanggar ini. Para karyawan di workshop ini kebanyakan masih brondong-brondong seperti saya. Katanya mereka anak sekolah kejuruan tingkat lanjutan atas. Pada serius kerja semua, saya sampai segan ngajak ngobrol, takut dilempar pakai obeng.

Setelah merasa tiba-tiba sangat maskulin sekali akibat dijejali pengetahuan mengenai perawatan dan pemeriksaan mesin pesawat, sekarang giliran menguji naluri feminin: kami menuju gedung Aerowisata Catering Service (ACS). 

Di gedung ini saya bertemu Pak Agus yang menjelaskan perihal penyediaan Food & Beverage untuk maskapai Garuda Indonesia dan beberapa maskapai penerbangan asing yang tidak mungkin saya sebut namanya, kecuali kalau mereka mau memberi saya tiket gratis. ACS memiliki sekitar lima ribuan karyawan dengan spesialisasi masing-masing untuk menjamin mutu, kebersihan dan kesegaran suplai makanan dan minuman ke pesawat. 

Konon katanya sehelai rambut pada makanan atau minuman harganya dua juta rupiah. Maksudnya bukan penumpang yang mendapat sehelai rambut yang bayar dua juta, tetapi penumpang yang diberi uang dua juta sebagai kompensasi. Ternyata di Garuda Indonesia harga sehelai rambut harganya mahal sekali ya. Lalu bagimana jika ada penumpang yang mencabut rambutnya sendiri kemudian menyelipkannya dalam makanan atau minuman, dengan dalih itu adalah akibat kecerobohan ACS? Saya sih percaya bahwa orang-orang dengan mentalitas seperti tidak akan mungkin memilih naik Garuda Indonesia.

Itu sebabnya ketika akan melihat blok-blok storage dan pengepakan makanan dan minuman, semua karyawan termasuk saya para pengunjung wajib menggunakan coat dan penutup kepala yang mirip kostum dokter bedah. Saya sempat memoto diri sendiri saat mengenakan kostum tersebut, lalu saya pajang di Twitter dengan penjelasan bahwa saya adalah adalah dokter bedah, eh semua teman-teman saya pada percaya dan antri minta dibedah.

Seluruh karyawan juga saya lihat wajib menggunakan kostum yang menutup kepala dan kaki serta sarung tangan sehingga mustahil rasanya rambut, bulu kaki dan bulu-bulu yang lain  seliweran diatas makanan.

Untuk membuktikan bahwa makanan dan minuman yang disediakan ACS terjamin kesegaran dan kebersihannya, kami sempat disuguhi minuman dan makanan kecil. Rasanya memang segar dan nikmat.
Tetapi saya sendiri sebenarnya sempat mempertanyakan kesegaran dan kenikmatan makanan dan minuman itu nyata atau tidak, mengingat pada saat itu waktu sudah menunjukkan jam 3 sore, sekitar sudah 3 jam berlalu dari makan siang. Seperti yang kita tau, semua memang terasa nikmat dan segar saat dalam keadaan kelaparan.

Mengikuti safari tour ke markas Garuda Indonesia jelas semakin mengokohkan wawasan bahwa betapa Garuda Indonesia sangat memperhatikan safety dan pleasure penumpang dari berbagai sisi, bahkan dari sudut yang paling detil. Mulai dari visi dan misi, operasional dan service semua dilakukan dengan sangat penuh dedikasi terhadap keamanan dan kenyamanan penumpang.
Share: