Waktu
melakukan perjalanan liburan dari Medan menuju Jakarta naik bus adalah waktu
saya masih remaja (yang sudah entar berapa tahun yang lalu) dan saya
melakukannya sendirian. Sejak kecil saya memang sudah dibiasakan oleh orangtua
saya untuk melakukan segala sesuatu sendiri.
Mendaftar masuk SMP, SMA dan
kuliah saja saya lakukan sendiri. Hanya waktu SD saja saya dikawal untuk
mendaftar. Ya wajarlah, karena panitia pendaftaran pasti lari ketakutan kalau
saya (yang waktu itu masih berusia empat tahun) datang dan mendaftar sendiri, saya
pasti disangka tuyul.
Membayangkan
perjalanan darat yang berdurasi tiga hari dua malam, mungkin orang langsung
terbayang lelahnya. Ya, memang lelah, tetapi pengalaman selama perjalanan jelas
sangat memperkaya khasanah **ya ellah, khasanah!** pengalaman dan hidup kita.
Beda dengan perjalanan lewat pesawat udara, kita hanya memandang langit selama
beberapa jam (tergantung durasi menuju kota tujuan). Atau hanya memandang laut
tanpa tepi saat melakukan perjalanan lewat kapal laut.
Bedanya,
di kapal kaut kita masih bisa jalan-jalan seperti sedang berada di rumah atau Mall. Tetapi ya itu, hanya sebatas
melihat sesama penumpang dan ruang-ruang kapal. Memandang ke luar kapal, yang
tampak hanya air laut yang bergejolak. Romantis jika anda traveling dengan pasangan anda, karena anda bisa berdiri di ujung
anjungan kapal sambil berpangku-pangkuan seperti Jack dan Rose di film Titanic. Tetapi percayalah, selama dua
hari hanya memandang laut, saya yakin bisa membuat anda sinting dan tanpa sadar
loncat ke laut.
Sementara
perjalanan melalui darat banyak hal yang bisa dinikmati mata. Mulai dari
sawah-sawah yang menghijau, pegunungan sejuk, dan ehmmm...kalau beruntung, kadang bus juga melewati sungai atau
pancuran dimana gadis-gadis dan emak-emak sedang mandi hanya mengenakan penutup
badan sebatas dada sampai ke betis.
Jangan
bayangkan bus akan melewati jalan protokol atau jalan besar dengan gedung di
kanan kiri yang sudah biasa anda nikmati saat berangkat kerja buat anda yang
tinggal di kota besar. Jika anda melakukan perjalanan naik bus dari Jakarta ke
Medan atau sebaliknya, anda akan disuguhi pemandangan-pemandangan yang mungkin
selama ini hanya anda nikmati lewat acara Jejak Petualang di layar televisi.
Tetapi
tentu saja stamina anda juga harus kuat. Bayangkan anda akan duduk di dalam bus
selama tiga hari dua malam, tidur dengan posisi duduk di dalam bus yang
bergerak. Bukan berarti selama tiga hari dua malam itu anda hanya duduk sampai
bangkotan di tempat duduk anda. Bus akan berhenti pada jam-jam tertentu untuk
memberi waktu kepada penumpang yang ingin sarapan, sholat, makan siang, makan
malam. Dan kalau anda beruntung mendapatkan supir bus yang pengertian, bus akan
berhenti di lokasi yang memungkinkan anda bisa menikmati pemandangan alam atau
tempat membeli oleh-oleh dan wisata kuliner. Percayalah, pemandangan alam yang
paling menakjubkan dan wisata kuliner yang paling sedap itu justru lokasi
kuliner yang tidak pernah masuk TV atau majalah.
Bayangkan
saja, anda terjaga di pagi hari karena dibangunkan oleh sinar pertama mentari
pagi yang menyapa bumi, tembus melalui jendela kaca bus dan langsung dengan
lembut menerpa wajah anda. Rasanya sangat luar biasa, seperti menjadi orang
pertama yang merasakan hangatnya sinar matahari untuk hari ini.
Coba
anda hitung, berapa kali anda berhasil menjalin pembicaraan dengan orang yang
duduk di sebelah anda saat naik pesawat? Pasti masih bisa dihitung dengan jari
kan? Beda dengan jika anda naik bus. Anda tidak hanya akan akrab dengan
kondektur dan sopirnya, tetapi dengan seluruh penumpang. Apalagi anda yang
melakukan perjalanan sendirian, anda secara naluriah akan berusaha mencari
teman. Mulai dari orang yang duduk di sebelah anda, sampai orang yang duduk di
depan dan di belakang anda.
Dengan penumpang lain yang jauh dari anda tetap
akan ada kemungkinan anda akan menjalin ‘persahabatan’, karena anda akan selalu
berpapasan dengan mereka di pintu masuk bus saat akan masuk/keluar, bertemu di
kamar mandi, di tempat sarapan/makan siang/ makan malam. Ketemu, melihat dan
bersama orang yang sama selama tiga hari dua malam jelas akan membangun chemistry, anda akan seperti mendapat
keluarga baru, walaupun hanya untuk sementara.
Bahkan
situasi yang genting dan tak terduga bisa menciptakan suasana kekeluargaan
dengan orang yang sebenarnya asing buat kita. Misalnya pengalaman saya waktu
antri di kamar mandi untuk mandi di pagi hari. Kebetulan waktu itu entah apa
sebabnya, hampir semua bus berhenti di tempat yang sama. Hasilnya, antrian di
depan kamar mandi menjadi sepanjang ular naga. Sementara, waktu yang diberikan
untuk mandi dan sarapan juga sudah ditentukan, yaitu hanya sekitar 45 menit.
Mengantri saja sudah 30 menit. Akhirnya daripada menghabiskan waktu berdiri
ngantri, satu orang akan berinisyatif (yang pas mendapat giliran untuk masuk
kamar mandi) berteriak “Siapa yang mau
mandi bareng saya?”. Siapa yang mau mandi bareng anda? Maksud anda? Seperti
sayembara berhadiah saja.
Karena
tidak ada yang memberi respon, dia-pun berkata, “ Ya sudah kalau tidak ada yang mau. Daripada masuk satu-satu, bukankah
lebih baik mandi sekali lima atau enam orang untuk menghemat waktu.” Begitu
mendengar pencerahan tersebut, maka orang-orang yang antri-pun akan segera
berebutan menjadi pasangan mandinya, bahkan sampai melebihi kuota. Situasi seperti
ini membuat orang tidak lagi jaga image,
sok esklusif dan menjadi akrab. Biasanya
yang mandinya satu kloter, akan sarapan bareng juga. Menjadi sangat akrab.
Istilahnya, saya sudah melihatmu telanjang tadi, jadi tak perlu lagi ada yang
disembunyikan. Dan sejak itu, pada pemberhentian berikutnya, segala sesuatu
menjadi dilakukan bersama-sama sehingga sangat menghemat waktu.
Tetapi
perjalanan yang penuh pengalaman ini bukan tanpa resiko. Pengalaman buruk yang
pernah saya alami adalah menjadi incaran penjahat kelamin. Ini tidak terjadi di
dalam bus, tetapi setelah berada di atas kapal laut. Lho?
Jadi
ceritanya begini. Saat akan menyeberang dari ujung Sumatera ke pulau Jawa,
tidak mungkin bus-nya berubah bentuk menjadi kapal pesiar seperti cerita dalam
film kartun. Jadi bus akan naik ke atas kapal Feri. Pada saat bus naik ke kapal
Feri, para penumpang akan disuruh keluar dari bus dan naik ke geladak kapal
bersama penumpang yang lain. Nah, di geladak ini biasanya berkeliaran para
penjahat kelamin dari semua jenis kelamin. Mulai dari tante-tante, om-om dan
rekan sebaya. Apalagi waktu itu saya sendirian, masih muda dan ehmmm...berpenampilan menarik. Tiga kali
saya naik bus ke Jakarta, tiga kali juga saya berhadapan dengan para penjahat
kelamin ini. Pengalaman pertama saya nyaris ternoda, tetapi pada pengalaman
kedua dan ketiga saya sudah tau harus berbuat apa supaya terhindar dari nafsu
durjana.
Jadi
ketika turun dari bus untuk naik ke anjungan kapal, kita berbaur dengan
penumpang bus lain yang jumlahnya ratusan karena harus antri menaiki tangga dan
melewati lorong yang panjang dan sempit. Jadi mau tidak mau, kadang kita
terpencar atau terpisah dari rombongan satu bus. Mulai dari antri naik tangga saja sudah mulai
ada gangguan. Dari belakang suka ada yang menggesek-gesek sok terdesak, trus
niup leher. Saya sih selalu pura-pura cuek, menoleh ke belakang-pun males. Kita
baru akan bertemu lagi dengan rombongan kita setelah sama-sama berada di atas.
Nah, pada saat sudah berada di geladak kapal, saat kita sibuk mencari rombongan
kita, saat itulah kita akan di dekati.
Yang
namanya mencari rombongan , saya tidak mau jelalatan seperti maling jemuran,
tetapi duduk di bangku sambil memperhatikan orang yang lalu lalang. Dan seperti
yang sudah umum terjadi, pada saat kita menunggu sesuatu, sesuatu yang kita
tunggu itu pasti lama sekali munculnya. Padahal saat sedang tidak ditunggu,
malah rajin benar nongolnya.
Saat
duduk menunggu ini kita akan di dekati. Bukan langsung nempel dan minta cium,
tapi duduk di sebelah kita, lalu ngajak ngobrol basa-basi. Kalau obrolannya
nyambung, selanjutnya diajak mencari tempat sepi. Alasannya, supaya lebih enak
ngobrolnya. Maksud loe? Memangnya mau ngobrolin kode rahasia militer Pentagon
makanya harus mencari tempat sepi?
Kalau
orang gatal ketemu orang ganjen, ya pasti gayung bersambut, lalu saling setuju
mencari lokasi yang kondusif. Langsung ketahuan kok kalau orang yang duduk di
sebelah kita itu penjahat kelamin atau bukan. Biasanya tatapan matanya juga
sudah memberi kode. Belum lagi tangan yang sudah berani pegang-pegang atas
bawah, padahal kita belum dirayu dan dibeli’in donat.
Untuk
menghindari orang-orang seperti ini, biasanya saya akan nempel terus sama
bapak-bapak sesama penumpang bus yang sudah saya kenal sejak di dalam bus. Dan
si bapak biasanya langsung ngerti dan berani pasang badan. Saya tau ada juga
beberapa orang yang menikmati pertemuan dengan para penjahat kelamin ini. Saya
menyaksikan sendiri anak seumuran saya yang tempat duduknya di belakang sopir,
bahkan berlari kecil dengan riang saat diajak sang penjahat kelamin mencari
tempat sepi. Tetapi ya itu bukan urusan saya.
Tetapi
tentu saja secuil kejadian aneh begitu tidak sebanding dengan pengalaman selama
tiga hari dua malam perjalanan dengan bus. Ada rasa kebersamaan, empati dan
kekeluargaan yang sangat berharga antar sesama penumpang bus yang tidak akan
pernah temukan jika anda naik pesawat atau kapal laut. Kalau tidak sedang
memburu waktu atau sedang mencari ilham untuk bahan tulisan, saya pasti akan
lebih memilih perjalanan naik bus. Kata orang buang-buang waktu. Tergantung
tujuan anda apa dulu. Kalau anda bukan type
orang yang menikmati perjalanan dan lebih mementingkan segera sampai tujuan
sih, ya memang kesannya seperti buang-buang waktu. Tetapi yakinlah, anda
kehilangan kesempatan untuk menikmati hal-hal yang mungkin tidak akan pernah
anda nikmati seumur hidup anda.
Ahhh,
jadi kangen traveling baik bus lagi. Tetapi please
ya, tanpa bonus penjahat kelamin.