Saya bukan penggemar wisata
kuliner karena saya type orang yang tidak terlalu hobby makan, maklum supermodel. Tetapi bukan
berarti saya tidak punya makanan favorit yang sudah saya gandrungi sejak saya
masih anak-anak.
Anehnya, meskipun saya sudah kemana-mana, tetapi saya merasa tidak ada makanan yang bisa menandingi makanan yang HANYA saya temukan di kota kelahiran saya : Tarutung.
Anehnya, meskipun saya sudah kemana-mana, tetapi saya merasa tidak ada makanan yang bisa menandingi makanan yang HANYA saya temukan di kota kelahiran saya : Tarutung.
Beberapa di antaranya adalah :
KUE TALAM
Kue Talam versi mini |
Serius!
Jenis penganan ini hanya saya temukan di Tarutung. Kalau saya boleh tebak-tebak
buah manggis, kue ini bahan bakunya hampir sama dengan bahan yang dipakai untuk
membuat jenang atau dodol. Iya nggak sih? Iya!
Jadi kue
ini dibuat dari bahan gula merah campur santan yang dimasak dalam suhu dan
ritme kocokan tertentu sehingga matangnya pas bener. Soalnya kalo terlalu matang atau
terlalu cepat diangkat, hasilnya bisa amburadul. Mungkin Ruth Sahanaya dulu nyanyi lagu "Ah, ah, ahhh...amburadul!" gara-gara kue talamnya amburadul. Maybe!
Jadi
hasil dari olahan ini nanti akan berbentuk krim berwarna coklat muda keemasan.
Kenapa disebut kue talam? Ya, karena penganan ini ditaruh di dalam talam. Nggak
kreatif banget ya yang ngasih nama kue ini. Kalo misalnya penganannya di ember,
namanya jadi kue ember dong?
Jadi
penganan berbentuk krim kental ini dimasak di dalam talam dengan diameter sekitar 50
cm, kemudian bagian atasnya dikasih santan yang juga berbentuk krim. Yang bikin
saya heran, topping-nya
adalah santan beku. Beku, tetapi sangat panas. Bagaimana caranya, coba?
Jangan-jangan, untuk urusan topping santan panas yang beku, penjualnya
minta bantuan Bandung Bondowoso? Maybe!
Saat baru
matang, kue talam ini hanya kelihatan sebagai lautan putih di dalam talam.
Tetapi kalau sudah disendok untuk dibagi dalam piring-piring kecil, wuihhhhhh...baru kelihatan lapisan coklat muda keemasan dengan topping santan warna putih bersih yang
mengundang selera. Paling nikmat kalau dimakan panas-panas. Sedaaaaaaap!!!! **pas nulis ini, saya sampai netes-netes ngiler atas bawah**.
MIE GORENG
Sejak
saya masih kecil, Mie Goreng ini sudah menjadi idola kawula tua dan muda.
Terkenal dengan nama Mie Goreng Harmonis. Pokoknya kalau sudah menikmati mie
ini, surga terasa sudah dekat. Saya termasuk penggemar berat makanan ini. Meski
saya tergolong orang yang susah menikmati makanan tertentu, tetapi kalau
dihidangkan Mie Goreng Harmonis saya pasti tak kuasa menolak. Sayangnya, jenis
makanan ini bukan untuk semua orang karena mengandung lemak babi.
Tetapi
berbeda dengan pengunjung lain, saya malas makan di restorannya. Saya lebih
suka bungkus bawa pulang. Pasalnya, penjualnya berisik banget. Bukan hanya
berisik suara, tetapi juga berisik kuali. Jadi tukang masaknya suka
teriak-teriak kalau berbicara dengan pelayan dan pengunjung. Ditambah lagi
dengan bunyi tang-teng-tang-teng suara sendok baja segede lembing beradu dengan
kuali segede neraka, aduhhh...saya bisa stress kalau lama-lama di situ.
CENDOL (bahasa Batak-nya Sendor, dibaca : sedor)
Ini juga
salah satu minuman yang hanya saya temukan di Tarutung. Waktu kecil saya selalu
merindukan seorang bapak-bapak yang berjualan cendol dengan cara dipikul yang dijajakan berkeliling.
Pokoknya kalau si bapak sudah lewat di depan rumah, aroma cendolnya pasti
langsung tercium kemana-mana. Harum sekali, aroma daun pandannya sangat kuat.
Bedanya cendol Tarutung dengan
cendol dimana-mana, cendol di Tarutung disajikan panas. Bahkan kuah santannya
ketika dituang ke dalam gelas, masih mengeluarkan uap panas yang cukup
mengintimidasi.
Tapi kalau sudah dingin
atau hangat-hangat kuku, rasanya sudah tidak senikmat saat masih ‘mendidih’.
Setiap saya mudik, saya selalu berusaha bisa mendapatkan minuman ini. Pokoknya kalau urusan cendol panas ini, saya berani sesumbar kalau saya bisa ngabisin segentong.
Sayangnya, minuman masterpiece ini sekarang sudah jarang ditemukan di Tarutung. Paling gampang nemuinnya pas ada acara kenduri aja, misalnya ada acara pernikahan dan kematian aja. Karena biasanya di TKP akan berjejer ibu-ibu jualan cendol ini.
Tetapi entah kenapa, saya lebih suka sama cendol yang dijual dengan cara dijajakan berkeliling sambil dipikul bapak-bapak. Mungkin ini cuma sebatas sugesti, tetapi di lidah saya rasanya jauh lebih nikmat dibanding yang dijual sambil lesehan.
Setiap saya mudik, saya selalu berusaha bisa mendapatkan minuman ini. Pokoknya kalau urusan cendol panas ini, saya berani sesumbar kalau saya bisa ngabisin segentong.
Sayangnya, minuman masterpiece ini sekarang sudah jarang ditemukan di Tarutung. Paling gampang nemuinnya pas ada acara kenduri aja, misalnya ada acara pernikahan dan kematian aja. Karena biasanya di TKP akan berjejer ibu-ibu jualan cendol ini.
Tetapi entah kenapa, saya lebih suka sama cendol yang dijual dengan cara dijajakan berkeliling sambil dipikul bapak-bapak. Mungkin ini cuma sebatas sugesti, tetapi di lidah saya rasanya jauh lebih nikmat dibanding yang dijual sambil lesehan.
PANGGELONG
Ini
sejenis penganan yang terbuat dari tepung ketan yang diadon kemudian dibentuk bulat pipih dengan
diameter sekitar 3 sentimeter, lalu digoreng. Serius lho, digoreng! Jadi
kebayang dong gimana alotnya makanan ini. Lalu hasilnya disiram dengan saus gula
merah kental supaya tampilannya lebih menggoda. Meski banyak orang yang
menggemari makanan ini, tetapi saya sih enggak. Buat saya, memakan panggelong
rasanya seperti menggerogoti sandal kulit. Tetapi harus saya akui kalau rasanya
memang enduaaaaaaaang!!!
ANEKA KUE BASAH
Banyak
yang jualan kue basah seperti kue lapis, wajik, dan teman-temannya di Tarutung,
tetapi yang paling juara adalah bikinan warga keturunan Chinese yang dikenal dengan nama Robin.
Bukan bermaksud rasis ya, tetapi untuk urusan kue basah, memang mereka yang paling jago bikinnya. Seperti kue lapis, mereka tuh bukan cuma mempertimbangkan cita rasa, tetapi juga penampilan. Jadi kue lapis bikinan mereka itu warnanya asyik banget, komposisinya pas, nggak lengket dan rasanya juga enak.
Beda dengan kue lapis bikinan pribumi yang aduhhhhhhh...udah warnanya norak seperti warna bendera negara yang baru merdeka, rasanya juga group band Slank banget: terlalu manis maksudnya. Dan kalau dipegang pake tangan, tuh kue bakal cuma setengahnya saja yang masuk ke mulut, karena setengah lagi lengket di tangan.
Bukan bermaksud rasis ya, tetapi untuk urusan kue basah, memang mereka yang paling jago bikinnya. Seperti kue lapis, mereka tuh bukan cuma mempertimbangkan cita rasa, tetapi juga penampilan. Jadi kue lapis bikinan mereka itu warnanya asyik banget, komposisinya pas, nggak lengket dan rasanya juga enak.
Beda dengan kue lapis bikinan pribumi yang aduhhhhhhh...udah warnanya norak seperti warna bendera negara yang baru merdeka, rasanya juga group band Slank banget: terlalu manis maksudnya. Dan kalau dipegang pake tangan, tuh kue bakal cuma setengahnya saja yang masuk ke mulut, karena setengah lagi lengket di tangan.
OMBUS-OMBUS
Penganan
ini terbuat dari tepung ketan, diisi dengan gula merah atau parutan kelapa,
dibungkus dengan daun pisang kemudian dikukus. Menurut saya nama penganan ini
enggak banget deh! Konon katanya namanya berasal dari kelakuan orang-orang yang
beli penganan ini, yaitu mereka akan meniup-niup kue ini sebelum dimakan. Ditup-tiup bukan karena kurang kerjaan atau kelebihan nafas, tetapi karena situasi dan kondisi Ombus-Ombusnya yang memang panas menghempas.
Ombus
dalam bahasa Batak artinya tiup. Jadi ombus-ombus artinya kira-kira sesuatu
yang ditiup-tiup karena panas. Nggak banget kan namanya? Kue ini sebenarnya bukan berasal
dari Tarutung, tetapi dikota ‘tetangga’nya Tarutung yaitu Siborong-borong.
Saya pernah iseng membeli Ombus-Ombus ketika saya sedang berada di Siborong-borong. Penjualnya bapak-bapak naik sepeda. Kalau kita beli, si bapak akan dengan sigap membungkus Ombus-Ombus dengan kertas koran dan kemudian dimasukkan ke kantong plastik. And guess what, memang pantaslah namanya Ombus-Ombus. Panas banget, gila!!!
Saya pernah iseng membeli Ombus-Ombus ketika saya sedang berada di Siborong-borong. Penjualnya bapak-bapak naik sepeda. Kalau kita beli, si bapak akan dengan sigap membungkus Ombus-Ombus dengan kertas koran dan kemudian dimasukkan ke kantong plastik. And guess what, memang pantaslah namanya Ombus-Ombus. Panas banget, gila!!!
SANGSANG (dibaca : Saksang)
Warung
makan khas Batak yang terkenal di Tarutung adalah Lapo Bintatar (baca :
Bittatar). Pokoknya kalau mau puas dengan makanan khas Batak seperti sangsang,
panggang, arsik dan teman-temannya, maka disini-lah tempatnya.
Asyiknya karena harga menu di lapo ini relatif manusiawi, maka lapo ini udah kayak melting pot segala macam penggemar masakan Batak dari segala strata sosial. Ketika sedang berkunjung ke sini, saya sering menemukan pengunjung yang naik mobil mewah dan penarik becak atau sopir angkot duduk satu meja menikmati hidangan pesanan-nya masing-masing. Sungguh pemandangan yang indah sekali.
Seperti yang saya sebut pada kalimat awal: 'makanan khas Batak', maka makanan yang satu ini is not for everybody karena bahan bakunya 'haram'. Biasalah, yang nikmat-nikmat memang banyak yang haram.
KUE KACANG
Saya percaya banyak penganan dengan judul Kue Kacang di persana Nusantara. Nama boleh sama, tetapi wujud beda-beda. Nah, kalau Kue Kacang versi Tarutung bentuknya bulat pipih dan sepintas lebih mirip roti.
Cara masaknya di panggang. Namanya memang Kue Kacang, bukan berarti bahan bakunya kacang. Bahan bakunya tetap sama seperti bahan baku roti. Disebut Kue Kacang karena bagian dalam roti mungil ini diisi dengan kacang hitam yang ditumbuk halus. Bentuk dan bahan baku memang sangat sederhana, tetapi cobalah mencicipi satu, maka anda akan minta lagi dan lagi.
Saya nggak bilang rasanya luar biasa. Sumpah, rasanya biasa aja kok. Tetapi itulah yang bikin Kue Kacang ini istimewa, less is more. Justru kesederhanaannya itu yang membuatnya luar biasa.
Di Tarutung, yang bisa membuat Kue Kacang jenis ini cuma satu orang yaitu ibu-ibu keturunan Tionghoa, yang rumahnya dekat rumah saya. Jadi saya dulu kalau mau bawa oleh-oleh Kue Kacang, saya tinggal nyebrang jalan dan teriak dari pintu.
PUTU
Kalau yang ini jauh lebih sederhana dari Kue Kacang. Bahan bakunya cuma tepung dan campuran gula. Udah itu aja. Cara masaknya dengan cara dikukus. Warnanya putih bersih. Rasanya juga nggak istimewa-istimewa banget, tetapi penggemarnya banyak. Ya, anda taulah rasanya tepung beras dicampur gula.
Teman-teman saya sering menitip dibawain Putu ini setiap mereka tau saya mudik. Rasa manisnya samar, jadi pasti aman untuk yang menderita diabetes. Dan karena bahan bakunya dari tepung beras, Putu ini bikin kenyang, pas banget kalau dijadikan sarapan. Apalagi kalau dinikmati dengan kopi atau teh manis. Sedaaaapppp!!! Tetapi kalau untuk dijadikan makanan pokok? Jangan kayak orang susah deh!
Di Tarutung, Putu ini tidak dijual di sembarangan tempat. Jadi, di Tarutung ada satu kawasan, namanya Simorangkir (sebuah desa yang lokasinya tepat di lereng bukit tempat Salib Kasih didirikan). Jadi kalau mau mendapatkan Putu ini, ya harus mau repot-repot ke Simorangkir yang letaknya agak-agak jauh dari peradaban. Tetapi percayalah, worth it kok!
Asyiknya karena harga menu di lapo ini relatif manusiawi, maka lapo ini udah kayak melting pot segala macam penggemar masakan Batak dari segala strata sosial. Ketika sedang berkunjung ke sini, saya sering menemukan pengunjung yang naik mobil mewah dan penarik becak atau sopir angkot duduk satu meja menikmati hidangan pesanan-nya masing-masing. Sungguh pemandangan yang indah sekali.
Seperti yang saya sebut pada kalimat awal: 'makanan khas Batak', maka makanan yang satu ini is not for everybody karena bahan bakunya 'haram'. Biasalah, yang nikmat-nikmat memang banyak yang haram.
KUE KACANG
Cara masaknya di panggang. Namanya memang Kue Kacang, bukan berarti bahan bakunya kacang. Bahan bakunya tetap sama seperti bahan baku roti. Disebut Kue Kacang karena bagian dalam roti mungil ini diisi dengan kacang hitam yang ditumbuk halus. Bentuk dan bahan baku memang sangat sederhana, tetapi cobalah mencicipi satu, maka anda akan minta lagi dan lagi.
Saya nggak bilang rasanya luar biasa. Sumpah, rasanya biasa aja kok. Tetapi itulah yang bikin Kue Kacang ini istimewa, less is more. Justru kesederhanaannya itu yang membuatnya luar biasa.
Di Tarutung, yang bisa membuat Kue Kacang jenis ini cuma satu orang yaitu ibu-ibu keturunan Tionghoa, yang rumahnya dekat rumah saya. Jadi saya dulu kalau mau bawa oleh-oleh Kue Kacang, saya tinggal nyebrang jalan dan teriak dari pintu.
PUTU
Teman-teman saya sering menitip dibawain Putu ini setiap mereka tau saya mudik. Rasa manisnya samar, jadi pasti aman untuk yang menderita diabetes. Dan karena bahan bakunya dari tepung beras, Putu ini bikin kenyang, pas banget kalau dijadikan sarapan. Apalagi kalau dinikmati dengan kopi atau teh manis. Sedaaaapppp!!! Tetapi kalau untuk dijadikan makanan pokok? Jangan kayak orang susah deh!
Di Tarutung, Putu ini tidak dijual di sembarangan tempat. Jadi, di Tarutung ada satu kawasan, namanya Simorangkir (sebuah desa yang lokasinya tepat di lereng bukit tempat Salib Kasih didirikan). Jadi kalau mau mendapatkan Putu ini, ya harus mau repot-repot ke Simorangkir yang letaknya agak-agak jauh dari peradaban. Tetapi percayalah, worth it kok!
ES CAMPUR
Satu hal
yang saya ‘sesali’ dari Tarutung adalah
es campurnya. Sejak kecil saya adalah frequently drinker Es Campur. Es campur versi Tarutung
rasanya enggak jelas, tetapi entah saya kesambet jin apa, kok dulu saya bisa
menyukainya.
Bahkan bahan-bahan campurannya juga ala kadarnya: tape pulut hitam, lengkong **lengkong ya, bukan lekong** atau lebih dikenal dengan nama cincau, cendol dan segala macam, ditambah es serut sebagai topping. Kalau semuanya sudah dicampur dalam gelas, bisa menghasilkan warna baru yang tidak pernah terdaftar dalam komposisi warna yang resmi dalam dunia seni rupa. Rasanya, aduhhhh….sama mengerikannya dengan tampilannya, alias nggak jelas.
Bahkan bahan-bahan campurannya juga ala kadarnya: tape pulut hitam, lengkong **lengkong ya, bukan lekong** atau lebih dikenal dengan nama cincau, cendol dan segala macam, ditambah es serut sebagai topping. Kalau semuanya sudah dicampur dalam gelas, bisa menghasilkan warna baru yang tidak pernah terdaftar dalam komposisi warna yang resmi dalam dunia seni rupa. Rasanya, aduhhhh….sama mengerikannya dengan tampilannya, alias nggak jelas.
Es Campur
paling juara hanya saya temukan hanya di Medan. Ada selusin stoples berjejer
sebagai bahan baku Es Campur dengan aneka warna yang menggoda selera. Ketika
semua sudah dicampur, masing-masing bahan tetap mempertahankan lapisan warnanya
masing-masing sehingga kelihatan indah di dalam gelas. Setelah dikasih topping es serut, kemudian disiram pake kuah
kental gula merah berwarna coklat tua keemasan, tampilannya semakin indah.
Bagaimana dengan rasanya? Pokoknya kalau sudah menikmati Es Campur kota Medan,
saya enggak akan peduli apabila besok dunia akan kiamat. Wong saya sudah
menikmati minuman paling enuaaaak sedunia.
Makanya
kalau ingat es campur Tarutung yang dulu entah sudah berapa gentong saya
habisin, rasanya saya dulu seperti minum pamurian . Pamurian itu istilah dalam bahasa
Batak, yang artinya sisa-sisa makanan dalam bentuk kuah yang dikumpulkan dalam
satu wadah untuk diberikan kepada ternak. Yikesssss!!!!
KACANG SIHOBUK
The last but not the least, makanan paling hits dari Tarutung adalah Kacang Sihobuk. Kacang tanah yang disangrai tanpa minyak. Ya iyalah tanpa minyak, namanya juga disangrai. Disangrainya pake butiran pasir di dalam kuali raksasa. Saking gedenya sang kuali, ngaduk kacangnya harus pakai sekop biar seimbang.
Rasa kacangnya sih hambar. Yang diutamakan dari Kacang Sihobuk memang bukan rasanya, tetapi garingnya. Hambar tetapi garing, ya tetap saja nikmat buat dicamil.
Kenapa namanya Kacang Sihobuk? Karena di Tarutung ada sebuah perkampungan berjudul Sihobuk. Nah, warga di perkampungan ini mayoritas mata pencahariannya adalah menjual kacang yang disangrai itu, itu sebabnya sang kacang dikenal dengan nama Kacang Sihobuk.
Tetapi seiring waktu berjalan, produksi Kacang Sihobuk tidak lagi monopoli oleh warga Sihobuk. Saya lihat beberapa wilayah di Tarutung sudah mulai memproduksi kacang garing sangrai ini sebagai bisnis. Anehnya, namanya tetap Kacang Sihobuk, padahal produksinya bukan lagi dari Sihobuk.
Dengar-dengar, pernah ada yang memakai brand yang bukan Kacang Sihobuk tetapi dengan mutu produk dan kemasan yang sama, tetapi ternyata kurang diminati. Begitu namanya diganti dengan Kacang Sihobuk, eh diminati lagi. Brand Kacang Sihobuk mungkin benar-benar sudah hits dan terpercaya. Apakah kemudian wilayah lain yang memakai brand Kacang Sihobuk bayar royalti kepada warga Sihobuk sebagai kompensasi penggunaan nama Sihobuk? Entahlah...
KACANG SIHOBUK
Rasa kacangnya sih hambar. Yang diutamakan dari Kacang Sihobuk memang bukan rasanya, tetapi garingnya. Hambar tetapi garing, ya tetap saja nikmat buat dicamil.
Kenapa namanya Kacang Sihobuk? Karena di Tarutung ada sebuah perkampungan berjudul Sihobuk. Nah, warga di perkampungan ini mayoritas mata pencahariannya adalah menjual kacang yang disangrai itu, itu sebabnya sang kacang dikenal dengan nama Kacang Sihobuk.
Tetapi seiring waktu berjalan, produksi Kacang Sihobuk tidak lagi monopoli oleh warga Sihobuk. Saya lihat beberapa wilayah di Tarutung sudah mulai memproduksi kacang garing sangrai ini sebagai bisnis. Anehnya, namanya tetap Kacang Sihobuk, padahal produksinya bukan lagi dari Sihobuk.
Dengar-dengar, pernah ada yang memakai brand yang bukan Kacang Sihobuk tetapi dengan mutu produk dan kemasan yang sama, tetapi ternyata kurang diminati. Begitu namanya diganti dengan Kacang Sihobuk, eh diminati lagi. Brand Kacang Sihobuk mungkin benar-benar sudah hits dan terpercaya. Apakah kemudian wilayah lain yang memakai brand Kacang Sihobuk bayar royalti kepada warga Sihobuk sebagai kompensasi penggunaan nama Sihobuk? Entahlah...
Ea campur yg enak memang di Medan ;) tapi es campur si Harmonis juga not bad :)
BalasHapus