Saya sudah
banyak mendengar tentang kasus-kasus yang sering terjadi di kawasan terminal di
Jakarta yang rawan tindakan kriminal. Beruntung saya
sudah lebih dari dua tahun tinggal di Jakarta
yang sedikit banyak membentuk mentalitas dan karakter saya menjadi lebih
tangguh. Ceilehhhh...tangguh! Dan memang benar, pada saatnya saya akhirnya
mengalami kejadian itu.
Saat itu pagi
sangat cerah, tetapi berbeda dengan suasana hati saya. Sepuluh menit lagi saya
sudah harus sampai di tempat kerja saya atau saya akan tercatat telat masuk
kerja. Turun tergopoh-gopoh dari atas bus jurusan Ciputat – Senen, saya berlari
menuju pangkalan Metromini jurusan Sunter.
Baru beberapa
meter saya berjalan, tiba-tiba saya mendengar teriakan keras yang lebih mirip
bentakan.
“Hoi, kesini
dulu kau!!!”
Merasa teriakan
itu tidak ditujukan untuk saya, saya cuek saja dan terus berjalan. Dari arah
belakang saya mendengar sebuah derap langkah orang berlari menjejeri langkah
saya. Seketika lengan
saya dipegang dengan kasar dan membalikkan tubuh saya menghadap ke dia. Jantung saya
hampir copot saking terkejutnya, saya tidak menyangka ada yang akan
memperlakukan saya seperti itu.
Dia adalah pria beranting satu, berwajah sangat kasar. Hitam, berambut cepak tak beraturan, tubuhnya tinggi besar menjulang, bertelanjang
dada dan memakai celana jeans yang sangat lusuh. Saya melihat dia saja sampai harus menengadah seperti berhadapan dengan Robocop. Sekali tonjok saja, mungkin saya sudah terbang ke Slovakia.
“Woi, lu tadi
enggak dengar gue panggil? Apa lu tuli?”, bentaknya kasar. Kalau dia melakukan
ini pada saya lima
tahun yang lalu, mungkin saya sudah menangis ketakutan sambil memohon ampun.
Tetapi sekarang, oh nanti dulu. Saya sudah setiap hari mempersiapkan diri
menghadapi kejadian-kejadian model begini. Ini Jakarta, Bung. Kita harus selalu siap berkelahi di jalan raya setiap saat.
“Tadi anda
memanggil saya?”. Saya sengaja berbicara dalam bahasa resmi, untuk menunjukkan
status saya.
“Pura-pura tuli
lu ya?”
“Tadi manggilnya
bagaimana?”, saya masih pura-pura cool, padahal sebenarnya keder juga. Dia besar banget, dan eughhhh...bau asam dan melinjo.
“Nantang lu ya?”
“Tadi manggilnya
dengan ‘woi’ kan?”, saya mulai emosi karena tangannya masih mencengkeram
lengan saya. Saya tepis saja sampai lepas. Eh, dia mau pegang lagi. Volume suara saya naik satu
oktaf.
“Kalau panggil saya, tolong panggil dengan nama saya ya. Saya punya nama”.
“Sok banget lu!
Mau lu digebuk rame-rame disini?”
“Oh, disini
gampang ya gebuk orang biarpun nggak salah”.
“Lu belum pernah
liat ya?”
“Mas, saya sudah
terlambat sampai dikantor. Saya tau mas maunya apa dan saya tidak ada waktu
untuk hal-hal seperti ini. Sudah biasa dan sudah bosan. Cari korban yang lain
aja deh Mas!”
“Ya udah,
enyahlah kau!”, serunya, masih dengan sorot mata galak. Lho, segini aja? Nggak ada baku hantam? Hohohoho, sombong!
Tanpa buang
waktu saya langsung kabur dari situ dan naik ke atas Metromini.
Pulang kerja,
saya sudah duduk diatas bus jurusan Senen-Ciputat. Setelah berbasa-basi dengan
penjual minuman yang punya ritual duduk di bangku kosong sebelah saya, saya
mengedarkan pandangan keluar jendela bus, bermaksud mencari sosok menyebalkan
yang tadi pagi bikin kasus dengan saya. Di sisi sebuah bus saya melihat dia
sedang berbicara sambil tertawa-tawa dengan seseorang. Kemudian tanpa
malu-malu, dia pipis sembarangan di dekat ban, depan bis di sampingnya. Tempat
terbuka dan banyak orang lalu lalang dan dia berserta perabotannya itu bisa terlihat dari ke-delapan arah mata angin. What a jerk!
Saya merapatkan tubuh ke bangku bis, berusaha agar tidak terlihat olehnya dari luar kaca. Siapa tau kalau dia melihat saya lagi, dia akan melanjutkan keributan tadi pagi. Bukannya saya pengecut, tapi males aja berurusan sama orang-orang seperti itu.
Besok paginya
saat turun dari bus jurusan Ciputat – Senen dan berjalan menuju pangkalan Metromini
jurusan Sunter, saya melihat dia di depan sana
berdiri sambil merokok. Dia melihat saya juga. Segera saya buang pandangan dan
pura-pura tidak melihat dia. Ketika saya melewati dia, saya merasa dia melirik saya sekilas.
Sambil berjalan, saya memasang telinga, siapa tau ada langkah dari belakang mengikuti saya. Rada was-was juga, namanya juga preman, bisa melakukan hal-hal nekad. Tapi saya sudah bertekand kalau dia berani macam-macam, saya bersumpah saya akan menghajarnya. Hari ini
saya sudah siap. Tadi malam saya sudah berlatih meninju bantal guling.
Tetapi sampai
saya berlalu semakin jauh, dia tetap diam. Tidak berkata atau
melakukan apa-apa seperti yang saya khawatirkan tadi. Saya menoleh ke belakang untuk memastikan. Aduh, sialan! Dia juga pas sedang memandang saya. Bahaya! saya bisa dikira nantangin nih. Saya langsung mempercepat langkah.
Saya sudah duduk
di dalam Metromini yang msih menunggu penumpang lain, posisi duduk saya di pojok paling belakang dekat pintu, agar mudah meloncat, karena metromini ini tidak pernah benar-benar berhenti ketika saya mau turun. Ya Tuhan, dia nongol dari pintu depan. Seketika saya merasa
deg-degan ketika dia naik ke dalam Metromini, terus berjalan dan mendekati saya. Lalu duduk di sebelah saya. Mati gue! Lalu seolah tidak pernah terjadi apa-apa, dia meminjam korek api ke saya. Karena saya memang tidak merokok, jadi saya bilang saya tidak punya korek api. Tak mendapat apa yang dia mau dari saya, dia turun lalu menghilang dan tak pernah terlihat lagi.
Saya menarik
nafas lega. Well, hari ini dan hari selanjutnya saya merasa yakin bahwa dia
tidak akan cari masalah lagi dengan saya. Dan memang meskipun tidak setiap hari, saya masih sering melihatnya seliweran di Senen. Bahkan saya akhirnya pernah ngobrol dengan dengannya ketika tanpa sengaja dia mendengar saya ngobrol sama pemilik warung pakai bahasa Batak. Lalu dia nimbrung dan menanyakan marga saya, kali ini nada bicara dan ekspresinya sudah ramah. Ya elahhhh, ternyata sama-sama Batak.