25/02/14

PREMAN, Preman!


Saya sudah banyak mendengar tentang kasus-kasus yang sering terjadi di kawasan terminal di Jakarta yang rawan tindakan kriminal. Beruntung saya sudah lebih dari dua tahun tinggal di Jakarta yang sedikit banyak membentuk mentalitas dan karakter saya menjadi lebih tangguh. Ceilehhhh...tangguh! Dan memang benar, pada saatnya saya akhirnya mengalami kejadian itu.

Saat itu pagi sangat cerah, tetapi berbeda dengan suasana hati saya. Sepuluh menit lagi saya sudah harus sampai di tempat kerja saya atau saya akan tercatat telat masuk kerja. Turun tergopoh-gopoh dari atas bus jurusan Ciputat – Senen, saya berlari menuju pangkalan Metromini jurusan Sunter.

Baru beberapa meter saya berjalan, tiba-tiba saya mendengar teriakan keras yang lebih mirip bentakan.
“Hoi, kesini dulu kau!!!”

Merasa teriakan itu tidak ditujukan untuk saya, saya cuek saja dan terus berjalan. Dari arah belakang saya mendengar sebuah derap langkah orang berlari menjejeri langkah saya. Seketika lengan saya dipegang dengan kasar dan membalikkan tubuh saya menghadap ke dia. Jantung saya hampir copot saking terkejutnya, saya tidak menyangka ada yang akan memperlakukan saya seperti itu.

Dia adalah pria beranting satu, berwajah sangat kasar. Hitam, berambut cepak tak beraturan, tubuhnya tinggi besar menjulang, bertelanjang dada dan memakai celana jeans yang sangat lusuh. Saya melihat dia saja sampai harus menengadah seperti berhadapan dengan Robocop. Sekali tonjok saja, mungkin saya sudah terbang ke Slovakia.

“Woi, lu tadi enggak dengar gue panggil? Apa lu tuli?”, bentaknya kasar. Kalau dia melakukan ini pada saya lima tahun yang lalu, mungkin saya sudah menangis ketakutan sambil memohon ampun. Tetapi sekarang, oh nanti dulu. Saya sudah setiap hari mempersiapkan diri menghadapi kejadian-kejadian model begini. Ini Jakarta, Bung. Kita harus selalu siap berkelahi di jalan raya setiap saat.

“Tadi anda memanggil saya?”. Saya sengaja berbicara dalam bahasa resmi, untuk menunjukkan status saya.
“Pura-pura tuli lu ya?”
“Tadi manggilnya bagaimana?”, saya masih pura-pura cool, padahal sebenarnya keder juga. Dia besar banget, dan eughhhh...bau asam dan melinjo.

“Nantang lu ya?”
“Tadi manggilnya dengan ‘woi’ kan?”, saya mulai emosi karena tangannya masih mencengkeram lengan saya. Saya tepis saja sampai lepas. Eh, dia mau pegang lagi. Volume suara saya naik satu oktaf. 

“Kalau panggil saya, tolong panggil dengan nama saya ya. Saya punya nama”.
“Sok banget lu! Mau lu digebuk rame-rame disini?”
“Oh, disini gampang ya gebuk orang biarpun nggak salah”.
“Lu belum pernah liat ya?”
“Mas, saya sudah terlambat sampai dikantor. Saya tau mas maunya apa dan saya tidak ada waktu untuk hal-hal seperti ini. Sudah biasa dan sudah bosan. Cari korban yang lain aja deh Mas!”
“Ya udah, enyahlah kau!”, serunya, masih dengan sorot mata galak. Lho, segini aja? Nggak ada baku hantam? Hohohoho, sombong! 
Tanpa buang waktu saya langsung kabur dari situ dan naik ke atas Metromini.

Pulang kerja, saya sudah duduk diatas bus jurusan Senen-Ciputat. Setelah berbasa-basi dengan penjual minuman yang punya ritual duduk di bangku kosong sebelah saya, saya mengedarkan pandangan keluar jendela bus, bermaksud mencari sosok menyebalkan yang tadi pagi bikin kasus dengan saya. Di sisi sebuah bus saya melihat dia sedang berbicara sambil tertawa-tawa dengan seseorang. Kemudian tanpa malu-malu, dia pipis sembarangan di dekat ban, depan bis di sampingnya. Tempat terbuka dan banyak orang lalu lalang dan dia berserta perabotannya itu bisa terlihat dari ke-delapan arah mata angin.  What a jerk!

Saya merapatkan tubuh ke bangku bis, berusaha agar tidak terlihat olehnya dari luar kaca. Siapa tau kalau dia melihat saya lagi, dia akan melanjutkan keributan tadi pagi. Bukannya saya pengecut, tapi males aja berurusan sama orang-orang seperti itu.

Besok paginya saat turun dari bus jurusan Ciputat – Senen dan berjalan menuju pangkalan Metromini jurusan Sunter, saya melihat dia di depan sana berdiri sambil merokok. Dia melihat saya juga. Segera saya buang pandangan dan pura-pura tidak melihat dia. Ketika saya melewati dia, saya merasa dia melirik saya sekilas. Sambil berjalan, saya memasang telinga, siapa tau ada langkah dari belakang mengikuti saya. Rada was-was juga, namanya juga preman, bisa melakukan hal-hal nekad. Tapi saya sudah bertekand kalau dia berani macam-macam, saya bersumpah saya akan menghajarnya. Hari ini saya sudah siap. Tadi malam saya sudah berlatih meninju bantal guling.

Tetapi sampai saya berlalu semakin jauh, dia tetap diam. Tidak berkata atau melakukan apa-apa seperti yang saya khawatirkan tadi. Saya menoleh ke belakang untuk memastikan. Aduh, sialan! Dia juga pas sedang memandang saya. Bahaya! saya bisa dikira nantangin nih. Saya langsung mempercepat langkah.

Saya sudah duduk di dalam Metromini yang msih menunggu penumpang lain, posisi duduk saya di pojok paling belakang dekat pintu, agar mudah meloncat, karena metromini ini tidak pernah benar-benar berhenti ketika saya mau turun. Ya Tuhan, dia nongol dari pintu depan. Seketika saya merasa deg-degan ketika dia naik ke dalam Metromini, terus berjalan dan mendekati saya. Lalu duduk di sebelah saya. Mati gue! Lalu seolah tidak pernah terjadi apa-apa, dia meminjam korek api ke saya. Karena saya memang tidak merokok, jadi saya bilang saya tidak punya korek api. Tak mendapat apa yang dia mau dari saya, dia turun lalu menghilang dan tak pernah terlihat lagi.

Saya menarik nafas lega. Well, hari ini dan hari selanjutnya saya merasa yakin bahwa dia tidak akan cari masalah lagi dengan saya. Dan memang meskipun tidak setiap hari, saya masih sering melihatnya seliweran di Senen. Bahkan saya akhirnya pernah ngobrol dengan dengannya ketika tanpa sengaja dia mendengar saya ngobrol sama pemilik warung pakai bahasa Batak. Lalu dia nimbrung dan menanyakan marga saya, kali ini nada bicara dan ekspresinya sudah ramah. Ya elahhhh, ternyata sama-sama Batak.

Share: