25/02/14

Belajar Dari Bayi BEBEK


Waktu saya masih berusia enam tahun, saya adalah penggemar berat bayi bebek. Bayi bebek yang baru menetas adalah idola saya. Makanya waktu kecil saya pernah bercita-cita ingin menjadi dokter hewan spesialis bayi bebek. 

 Bangun bagi sebelum berangkat sekolah dengan seragam sekolah yang sudah rapi, saya tidak keberatan melawat ke kandang ayam yang becek (meskipun tidak ada ojek) dan berbau tidak sopan itu, demi sebuah acara ‘jumpa fans’ dengan idola saya,

Pernah kejadian waktu telur bebek yang dierami berjumlah enam butir, tetapi yang menetas baru tiga. Karena mendengar sebuah ketukan halus dan suara lirih dari dalam tiga telur yang masih tersisa, saya mengetuk telur-telur tersebut dan memecahkan cangkangnya, kemudian mengeluarkan bayi-bayi bebek itu dari dalam telur. Saat itu saya merasa seperti dukun beranak yang membantu persalinan ayam dan bebek. Dan itu sering saya lakukan setiap kali ada telur yang ‘terlambat’ menetas.

Setelah saya beranjak remaja, saya membaca ensiklopedia tentang bayi-bayi binatang termasuk hal remeh temeh tentang bayi bebek. Saat itu  saya baru tau bahwa tindakan ‘dukun beranak’ yang sering saya lakukan dulu adalah hal yang salah.

Bayi bebek ternyata harus keluar dengan sendirinya dari dalam cangkang telur karena itu berhubungan dengan daya tahan mereka untuk menjadi anak bebek yang kuat, sehat dan cerdas. Hehehe…

Ternyata tidak ada istilah terlambat atau terlalu lama dalam proses menetas. Anak-anak bebek akan menetas bila memang sudah waktunya. Proses memecahkan cangkang dari dalam telur adalah bagian dari kekuatan dan daya tahan tubuh mereka ketika mereka sudah menjadi anak-anak bebek yang lucu. Jadi ketika saya membantu memecahkan telur untuk mengeluarkan mereka, itu sama halnya dengan saya memaksa mereka keluar lebih cepat dari waktu yang seharusnya.

Pantas saja sejak dulu ayah saya selalu heran dan tidak habis pikir kenapa bayi-bayi ayam dan bebek peliharaannya hanya tiga atau empat ekor saja yang akhirnya bisa bertahan hidup hingga tumbuh besar. Mungkin ada hubungannya dengan kelakuan saya yang sok dukun beranak.

Berkaca dari pengalaman saya di masa kecil, saya menjadi sadar bahwa mungkin saja ada bagian dari kehidupan kita yang mirip dengan bayi-bayi bebek tersebut. Dimana ketika kita mengalami kesukaran dalam hidup, mungkin orangtua atau saudara kita langsung membantu kita tanpa terlebih dahulu membiarkan kita berusaha sendiri. Atau sebaliknya, kita sendiri yang langsung menjerit minta bantuan orang lain, padahal kita bahkan belum mencoba untuk mengatasinya sendiri.

Meminta bantuan orang lain itu memang tidak salah. Tetapi selama kita masih bisa mengerjakan atau mengatasinya sendiri, kenapa harus meminta bantuan atau merepotkan orang lain? Mengatasi masalah kita sendiri justru membuat kita menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng, karena pengalaman itu akan membuat kita siap menghadapi permasalahan yang akan datang selanjutnya.

Hei, permasalahan dalam hidup tidak hanya satu lho, tetapi seribu atau bahkan sejuta. Kalau kita berhasil mengatasi satu masalah, maka kita akan lebih percaya diri menghadapi masalah yang akan datang. At least, kita kan sudah berusaha sendiri terlebih dahulu. Kalo udah mentok, boleh dong meminta bantuan orang lain, biar mereka merasa ‘penting’ gitu.

Ah…semoga juga bayi-bayi bebek yang tidak berhasil tumbuh besar karena ulah saya, sudi kiranya memaafkan saya dan mau mengerti bahwa niat saya adalah hanya ingin membantu. Meskipun bantuannya sangat salah kaprah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar