Kalimat
ini tiba-tiba menjadi sangat populer diutarakan oleh beberapa orang yang merasa
ini adalah kalimat ampuh untuk play it safe di musim Pilpres ini. Sepintas
memang kalimat ini terdengar keren, terdengar bijak, terdengar tidak memihak.
Benarkah?
Seperti
yang saya tulis di atas, sepintas memang begitu. Tetapi kalau dipikir-pikir, kok ya
terkesan 'kosong' ya? Siapapun Presidennya, yang penting bisa mensejahterakan
rakyat. Siapapun Presidennya, yang penting mampu mengatasi permasalahan negara.
Siapapun Presidennya, yang penting bla..bla..bla. Hallo apa kabar? Presiden
nggak jatuh dari langit. Presiden nggak di kirim Tuhan begitu saja seperti
malaikat terbang klepek-klepek pakai sayap, turun perlahan dari langit hingga menginjak
bumi diiringi lagu Indonesia Raya. Presiden juga tidak tumbuh sendiri di ladang
kubis, sehingga tinggal kita petik kapan saja kita butuh. Jadi sebenarnya
tidak ada alasan kita untuk pasrah dengan kalimat “Siapapun Presidennya...” , karena kita yang menentukan
dan kita yang memilih sendiri.
Ya, benar. Kita
punya pilihan dan kita bebas memilih. Kita punya pertimbangan berdasarkan track record dan prestasi kerja. Kita
juga dibantu lewat sisi sosial, siapa di antara Capres yang lebih dipercaya dan
dicintai masyarakat. Kita bahkan bisa melihat sosoknya sendiri, entah lewat televisi, koran atau dalam mimpi. Jadi sama sekali bukan seperti membeli sapi dalam kulkas.
Kalimat
“Siapapun Presidennya...” menurut
saya mengusung spirit oportunis yang negatif. Mengharapkan ini dan itu, tetapi
tidak mau berbuat sesuatu. Mengharapkan perubahan ke arah yang lebih baik,
tetapi malas melakukan sesuatu yang berhubungan dengan itu.
Kita
tidak mungkin mengharapkan Presiden akan menjalankan pemerintahan yang bersih
dan jujur jika dia dikelilingi oleh
orang-orang yang memiliki latar belakang pelaku korupsi dana haji & impor
Sapi. Kita tidak mungkin berharap Presiden akan memperhatikan kesejahteraan
masyarakat jika dia dikelilingi oleh orang-orang yang pernah menimblkan bencana
bagi kehidupan dan pemukiman warga. Kita tidak mungkin mengharapkan Presiden
menjunjung tinggi keadilan jika dia dikelilingi oleh orang-orang yang pernah
tercatat mendapat ‘hak istimewa’ di mata hukum. Kita tidak bisa mengharapkan
Presiden yang bisa menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan jika dia dikelilingi
oleh preman-preman intoleran yang dikenal sering berbuat anarkis. Kita tidak
bisa mengharapkan Presiden akan peduli dengan Hak Azasi jika dia sendiri dulu
adalah pelanggar HAM berat.
Sekali
lagi. Kita punya pilihan dan kita bebas memilih, sehingga tidak ada alasan
untuk pasrah dengan kalimat “Siapapun
Presidennya, yang penting...”. Kalimat itu sebaiknya diganti dengan “Saya ingin bla...bla...bla...maka saya akan
pilih si A atau si B”. Harus punya sikap dan pendirian dong!
Orang
bisa saja berkata “Siapapun Presidennya,
tidak akan ngefek dalam hidup saya. Toh, saya tetap usaha dan susah payah sendiri
untuk mencari uang”. Lha,
Presiden kan juga manusia. Presiden bukan peri yang dengan sekali ayun tongkat
wasiat, wuuusssshhhhh.....maka
seluruh masyarakat tak perlu lagi bekerja, tinggal ongkang-ongkang kaki dan
menunggu uang tumbuh sendiri di pekarangan. Emang ada kehidupan seperti itu? Bahkan di surga sekalipun, rasanya nggak akan begitu-begitu banget deh.
Kata
siapa siapapun Presidennya tidak akan ngefek dalam kehidupan kita? Ingat lho,
kita tinggal dan hidup di negara yang dia pimpin, bukan di bawah tanah, apalagi
di atas pohon. Setiap keputusan yang dia buat jelas akan langsung berpengaruh
dalam hidup kita. Misalnya dia langsung memutuskan kenaikan harga BBM,
siap-siap saja besok berantem sama tukang sayur dan tukang ikan karena bahan
pokok harganya tiba-tiba melonjak naik. Atau ketika dia tiba-tiba memutuskan
perang karena lagi kumat sintingnya, siap-siap saja besok telinga jadi tuli atau mati konyol karena bom yang meledak di kanan kiri dan peluru nyasar yang seliweran kayak laler.
Kalau
misalnya tiba-tiba dia memutuskan bahwa setengah dari pendapat anda harus
disetor ke negara, anda harus mau. Anda mau protes sampai jereng juga, ya
percuma. Menolak berarti melawan hukum, akibatnya ngendon di penjara. Mau
seperti itu?
Makanya,
menentukan pemimpin atau Presiden itu tidak boleh pasrah. Harus menentukan
sendiri selagi anda diberi hak untuk menentukan sendiri siapa pemimpin anda.
Kebayang nggak kalau misalnya hak anda dicabut gara-gara pemerintahan yang
otoriter. Anda nggak dikasih hak untuk menentukan Presiden anda, pokoknya anda
tinggal terima aja siapapun Presidennya. Biar monster atau naga sekalipun, anda
harus terima dia sebagai Presiden dan siap dilahap kapan saja. Presiden gitu
lho, pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di negara. Apa gunanya hidup kalau
tidak punya hak? Karena hak itu adalah sesuatu yang sudah kita miliki sejak
kita dilahirkan dan merupakan anugrah Tuhan. Masa nggak menghargai anugrah Tuhan? Jadi, masih berani bilang bahwa siapapun Presidennya nggak ngefek dalam kehidupan anda?
Lagian,
cara memilih dan menentukan Presiden nggak ribet-ribet amat. Cuma disuruh
datang berdasarkan undangan yang akan dikirim Pak RT ke rumah, lalu datang ke
TPS sesuai jadwal, lalu nyoblos dan nyelup. Bukan disuruh bikin sesajen berupa kembang bunga tak jadi,
ayam petelur yang masih perawan dan ginjal lalat.
Ingat! Kertas suara yang tidak terpakai sangat potensial dicurangi untuk keuntungan pihak-pihak yang tidak menginginkan Pemilu yang bordil eh, jurdil alias jujur dan adil. Ya, setidaknya anda ikut andil dong merayakan pesta demokrasi dengan cara ikut berpartisipasi. Tau apa arti demokrasi kan? Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Anda kan bagian dari rakyat toh? Bukan jin atau tuyul toh?
Ingat! Kertas suara yang tidak terpakai sangat potensial dicurangi untuk keuntungan pihak-pihak yang tidak menginginkan Pemilu yang bordil eh, jurdil alias jujur dan adil. Ya, setidaknya anda ikut andil dong merayakan pesta demokrasi dengan cara ikut berpartisipasi. Tau apa arti demokrasi kan? Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Anda kan bagian dari rakyat toh? Bukan jin atau tuyul toh?
Jadi
jangan kayak orang susah yang pasrah menerima apa yang datang dan terjadi. Karena
pada hakekatnya, jika anda menginginkan sesuatu, maka anda harus berjuang dan
melakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Bukan menunggu dan pasrah menerima apa
yang terjadi. Ya sampai lebaran monyet juga anda nggak akan pernah mendapat apa
yang anda inginkan dan harapkan. Wong makan aja harus ngunyah dulu, kadang malah keselek. Nggak ada ceritanya makanan langsung pindah ke perut.
0 komentar:
Posting Komentar