14/06/14

I Stand On The RIGHT Side

Mungkin saya bukan satu-satunya  orang yang tiba-tiba sok melek politik sejak Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden. Tiba-tiba saja saya tertarik mengikuti berbagai berita mengenai sepak terjang Jokowi. Tiba-tiba saya tertarik mengenal lebih jauh tentang sosok Jokowi. Bukan karena ngefans (karena sesungguhnya saya ngefans sama Ahok),  tetapi karena penasaran. Nih orang pantas nggak sih jadi presiden. Kurus gitu? Wah, saya kok jadi main fisik ya, padahal saya juga kursi roda (bahasa banci untuk mengatakan kurus).

Dan nggak tau kenapa, melihat Jokowi kok rasanya adem ya. Seperti melihat diri sendiri. Bukan karena sama-sama kurus, tetapi sosok dia tuh merakyat banget. Ya, anda mungkin akan menuduh saya dangkal karena menilai berdasarkan hasil pandangan mata. Masalah buat loe? Yang jelas, Jokowi punya karakter yang bikin orang nggak akan merasa terintimidasi. Karakter yang bikin orang berani ngomong. Karakter yang bikin orang berani ngajak bercanda. Itu yang saya sebut dengan ‘merakyat’, kita merasa sama dengan dia. Masih menganggap saya dangkal? Mampus aja loe!

Saya tau Jokowi tidak mengenal saya. Kenal darimana, coba? Saya kan bukan artis atau pelawak atau tukang sulap. Seharusnya ketika Jokowi difitnah, dizolimi dan menjadi korban Black Campaign, saya nggak akan peduli. Wong nggak kenal kok. Tetapi yang namanya insting sebagai manusia kan tidak bisa berdusta. Rasanya kok ikut merasakan sakit ketika Jokowi dizolimi seperti itu. Jujur deh sama hati nurani, ketika anda melihat orang lain dizolimi padahal dia nggak salah apa-apa, anda pasti akan merasa sakit juga kan? Nggak? Berarti anda setan.

Saya sih orangnya type step in & speak out. Kalau merasa ada yang salah, saya berani ngomong, tapi nggak berani nampar. Makanya ketika Pasukan Nasi Bungkus meraja-lela di Social Media, saya juga berusaha melakukan pembelaan sesuai kapasitas saya. Jujur ya, Pasukan Nasi Bungkus ini memang gampang digamparin, soalnya rata-rata dangkal. Gosipnya sih mereka memang dibayar untuk melakukan itu. Namanya juga bayaran, berarti nggak berdasarkan hati nurani. Akhirnya ya asal bunyi, bahkan kadang menjadi blunder. Ahmad Dhani aja pernah blunder bilang bahwa TNI seharusnya memilih Prabowo sebagai presiden. Lha, emang TNI boleh ikut Pemilu? Bukannya netral? Oh iya, Ahmad Dhani kan emang terkenal asbun. Seperti itulah kira-kira kwalitas pendukung Prabowo dan para Pasukan Nasi Bungkus.

Misalnya waktu melakukan pembelaan soal anak Hatta Rajasa yang mukanya nyebelin itu menabrak orang sampai mati pake mobil mewahnya. Katanya Acid (nama panggilan anak Hatta Rajasa) sudah menjalani hukuman percobaan. Hukuman Percobaan? Untuk kasus kecelakaan yang menghilangkan nyawa orang memangnya hukumannya Hukuman Percobaan? Padahal kasusnya hampir sama dengan kasus Afriani Susanti yang terkenal dengan sebutan Tragedi Tugu Tani. Sama-sama nabrak orang sampai meninggal. Bedanya, Afriani dipenjara sembilan tahun penjara karena doski rakyat jelata. Sementara Acid selaku anak menteri boleh melenggang suka-suka. Makanya waktu Hatta Rajasa ngomong soal kesetaraan hukum di acara debat Capres di Kompas TV kemarin itu, saya sudah pengen teriak ‘Oh, shut up!

Mau blunder yang lain? Itu lho Pak Amien Rais yang makin tuwir kok makin ngawur yang juga pendukung Prabowo. Doski bilang pilih Capres yang ganteng. Saya bingung, emang ada yang ganteng? Perasaan, Ario Bayu nggak nyapres deh. Tommy Tjokro juga enggak. David Beckham, apalagi. Oh, mungkin maksudnya Prabowo? Prabowo ganteng? Well, mungkin selera cowok Pak Amien Rais mungkin selevel tampangnya Prabowo. Cuccok, Cyin!

Kemaren itu Prabowo orasi soal cikal bakal keinginan menjadi Presiden karena Indonesia dianggap bodoh oleh supir taksi di negara antah berantah. Kenapa saya sebut antah berantah? Karena Prabowo sendiri nggak tau waktu itu kejadiannya ada dimana. Entah ngarang atau emang beneran, yang jelas Prabowo juga blunder. Jadi menurut Prabowo ini, sang sopir bertanya apakah Prabowo berasal dari Indonesia. Eh, Prabowo (entah malu atau memang tukang bohong) mengaku dari Filipina. Lha, jadi orang Indonesia aja malu, gimana mau memimpin Indonesia? Selanjutnya (masih menurut Prabowo) sang sopir taksi bilang bahwa orang-orang Indonesia itu bodoh. Parahnya , Prabowo diam saja dan malah bertekad ingin menjadi Presiden. Sinetron banget nggak sih? Ya, sedangkal itu. Ternyata, sedangkal-dangkalnya saya, masih lebih dangkal lagi Prabowo. Kalau saya bilang pengecut, cocok juga dong. Direndahkan bangsa lain kok malah diam saja. Yang begini mau jadi macan Asia? Macan dangdut, kali! Eh, itu sih Trio Macan ya namanya.

Kalau misalnya saya berada di posisi Prabowo, saya akan tanya si sopir taksi “Tau darimana anda kalau orang Indonesia itu bodoh-bodoh”. Pokoknya akan saya hardik sampai dia terpipis-pipis demi nasionalisme. Enak saja bilang orang Indonesia di depan saya. Memangnya di Indonesia nggak ada yang pintar? Gue kepret loe!

Pasukan Nasi Bungkus juga sangatlah dangkal. Wong fitnah dan serangannya cuma muter-muter disitu aja. Fitnah SARA-lah, bilang Jokowi cuma pencitraan-lah, taunya cuma blusukan-lah. Lha, blusukannya Jokowi ada hasilnya dong. Tuh, beberapa pasar tradisional di Jakarta yang tadinya kumuh dan becek  sudah rapi. Waduk-waduk yang dulu jadi sumber banjir kalau meluap sudah tidak meluap lagi karena sudah dibersihkan dari debit sampah. Dulu  setiap kali turun hujan, berita banjir pasti akan langsung mendominasi berita. Sekarang? Sudah nggak lagi tuh. Jadi yang masih ngotot bahwa Jokowi tidak membawa perubahan apa-apa selama menjadi Gubernur DKI mungkin tinggalnya di bawah tanah atau di atas pohon, sehingga tidak bisa melihat perubahan apa saja yang sudah terjadi.

Jokowi juga paling sering dibilang bodoh, tetapi kalau ditanya bodohnya Jokowi di sebelah mana, mereka malah nggak bisa jawab. Bodoh kok bisa jadi Walikota dan Gubernur. Bodoh kok bisa berbicara lancar mengenai solusi dengan menggunakan sistem dalam setiap permasalahan? Jangan-jangan Pasukan Nasi Bungkus ini yang bodoh karena tidak mampu mencerna penjelasan Jokowi. Biasa, seperti kata pepatah : buruk muka, cermin dibacok.

Atau soal kemampuan Bahasa Inggris? Ya jelas aja Bahasa Inggris Prabowo lebih kece dari Bahasa Inggris Jokowi. Prabowo kan pernah kabur ke Luar Negeri saat mau disidang, jadi saat tinggal di Luar Negeri di belajar bahasa. Jokowi belajar Bahasa Inggris di Indonesia saja karena memang tidak  pernah kabur saat mau disidang. Gimana mau disidang? Wong nggak salah apa-apa, seperti nyulik orang misalnya.

Belum lagi yang bilang Jokowi tidak amanah. Amanah apa? Amanah Cendrakasih yang berperan sebagai emaknya si Doel di sinetron Si Doel Anak Sekolahan? Logika kok kayak logika Ibu-Ibu PKK. Mereka nggak tau bahwa kadang ada keputusan yang diputuskan secara mendadak untuk tujuan yang lebih baik. Masa mau ngotot pengen terus jadi Gubernur, sementara kursi ke-Presidenan membutuhkan dia serta didukung oleh rakyat pula. Kebanyakan yang ngomong begini itu mahasiswa dan pegawai lho. Kok bisa saya ada orang dewasa dengan pemikiran a la anak umur lima tahun begini? Ternyata ada. Kasian sekali.

Masalah banjir  dan macet itu masalah klasik di Jakarta. Dari dulu nggak pernah ada penyelesaiannya, malah tambah parah. Sejak era Jokowi Ahok, sedikit demi sedit mulai terjadi perubahan. Ya namanya juga masalah yang sudah menahun sejak zaman purba, penyelesaiannya juga bertahap, tidak langsung wes-jewes-jewes-bablas begitu.

Hasil kerja ini jugalah yang membuat saya dan orang lain percaya dengan Jokowi. Dia tidak banyak bicara, dia terjun langsung ke masyarakat untuk mengetahui secara pasti permasalahan masyarakat sehingga bisa memikirkan solusi yang tepat. Tetapi oleh para Pasukan Nasi Bungkus, ini dinilai sebagai bentuk pencitraan. Ya kalau pencitraan dan blusukan ada hasilnya, ya why not? Makan deh tuh pikiran sempit nan dangkal dalam sepiring nasi bungkus. Tambahin kecap biar makin enak.

Kebiasaan blusukan ini justru yang membuat Jokowi menjadi salah satu Tokoh Paling Berpengaruh Sedunia versi majalah Fortune, karena kegiatan ini dianggap sebagai keinginan sang pemimpin untuk membaur dengan rakyatnya supaya lebih mengerti dan memahami persoalan yang sedang dihadapi rakyatnya.

Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu kejahatan kemanusiaan paling parah yang pernah terjadi di negeri ini. Sangat mengerikan dan menyakitkan hati. Saya pribadi tentu tidak mau kejadian seperti itu terulang lagi. Saya tidak sudi memilih pemimpin yang doyan menyalah-gunakan wewenang, menyalahi prosedur kekuasaan dan pelanggar HAM ketika memiliki power. Bukan berarti nggak mau memberi kesempatan kedua lho ya. Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Tetapi kalau ada orang lain yang jauh lebih layak dipercaya, kenapa harus memaksakan diri percaya kepada orang yang pernah melakukan kesalahan? Sesederhana itu kok saya mikirnya.

Ini jelas bukan pilihan yang sulit. Hanya sebatas memilih Yang Akan Bekerja (1) VS Yang Sudah Bekerja (2). Yang Memberikan Janji (1) VS Yang Memberikan Solusi (2), Yang Didukung Koruptor (1) VS Yang Menentang Koruptor (2), Penjahat (1) VS Orang Baik (2), Yang Track Record-nya Buruk (1) VS Yang Track Record-nya Bersih (2). Masih bingung membedakan dan menentukan pilihan? Coba dengarkan hati nurani.

Dan pada akhirnya semakin banyak orang yang bisa melihat, bahwa bukan hanya Jakarta yang butuh orang seperti Jokowi, tetapi seluruh Indonesia.


Saya dari dulu paling anti berpose sambil acung dua jari membentuk huruf V. Tetapi berhubung Jokowi dan Jusuf Kalla mendapat urutan nomor 2 yang umum disimbolkan dengan simbol dua jari (V), ya terpaksa untuk sementara saya berkhianat dulu. Toh cuma sampai tanggal 9 Juli 2014. Karena setelah Jokowi terpilih jadi Presiden RI yang baru, saya akan berhenti menjadi pendukungnya dan berubah menjadi Spiderman, eh kritikus. Kritikus ya, bukan tikus.
Share:

2 komentar: