Langka dan unik, tetapi justru terlupakan. Itu adalah
gambaran yang tepat untuk menggambarkan mata air soda yang hanya ada di dua lokasi
di dunia, yaitu di Venezuela (Amerika Selatan) dan Tarutung (Sumatera
Utara). Kenapa saya bilang terlupakan? Karena setelah saya browsing mengenai
kedua lokasi yang seharusnya bisa menjadi objek wisata ini, informasi yang saya
dapatkan malah sangat sedikit. Sudah sedikit, seragam pula.
Sepertinya semua
penulisnya sama-sama copy paste dari
sumber yang sama. Bahkan untuk informasi mengenai mata air soda yang di
Venezuela, saya hanya mendapat informasi ala kadarnya. Hanya sebaris kalimat
kalau mata air soda ini terletak di Venezuela. Itu saja. Tidak jelas
diinformasikan di sebelah mananya Venezuela, karena saya yakin Venezuela ini
bukan nama kecamatan atau kelurahan, karena pasti terbagi-bagi juga dalam
berbagai wilayah dan distrik.
Tetapi kalau mengenai mata air soda yang di Tarutung, saya
jelas bisa menjelaskannya pada anda. Bahkan saking tau lokasi ini, saya bisa
menjelaskannya sambil tutup mata dan tanpa membaca script.
Saya dibikin, dikandung dan dilahirkan di Tarutung. Lalu
kemudian saya tumbuh dan mekar di Tarutung mulai dari SD sampai SMA. Lulus SMA
pada usia 16 tahun, saya pindah ke Medan untuk belajar mandiri seperti
remaja-remaja di Amerika dan Eropa. Tapi bohong. Sebenarnya saya pindah ke
Medan untuk kuliah, dan sampai tamat saya masih dibiayai orangtua. OK-lah,
balik lagi ke topik semula.
Sejak kecil saya sudah akrab dengan mata air soda ini. Di
Tarutung mata air ini dikenal dengan nama Aek Rara. Dalam
bahasa Batak, Aek Rara artinya air yang merah. Kalau dilihat dengan mata, mata
air yang dibuat berbentuk kolam dengan bentuk yang random ini memang terlihat
merah. Tetapi sebenarnya bukan airnya yang merah, tetapi tanah di dasar dan
yang menjadi dinding kolam yang berwarna merah akibat kadar soda dalam air.
Banyak cerita dan mitos yang saya dengar yang berhubungan
dengan mata air ini. Salah satu dari mitos dan cerita yang saya dengar adalah
mata air ini sudah eksis sejak zaman penjajahan Jepang. Dulu mata air ini masih
berupa mata air biasa, belum ber-soda-ria.
Jadi saat tentara Jepang ingin mandi di mata air ini, mereka melihat banyak
ular berenang-renang di genangan mata air, mungkin latihan gymnastic swimming untuk
ikut Olimpiade.
Namanya manusia dan ular kan tidak mungkin berenang bersama,
maka para tentara Jepang ini mencoba menghalau ular supaya pergi, maksudnya
supaya bergantian menggunakan mata air. Mungkin para ular ini keturunan ular
yang bandel, mereka tidak mau pergi dan malah menantang berkelahi. Maka tentara
Jepang menembaki para ular ini, sehingga kemudian genangan air berubah menjadi
berwarna merah akibat darah ular.
Cerita yang kedua adalah masih berhubungan dengan tentara
Jepang. Konon katanya setiap kali pesawat patroli Jepang terbang tepat di atas
sebuah lokasi, maka pesawat tersebut pasti jatuh. Kejadian ini membuat tentara
Jepang curiga dengan apa yang terjadi dibawah sana. Setelah diperiksa, ternyata
pesawat selalu jatuh jika terbang tepat di atas mata air tersebut. Kemudian
mata air tersebut disakralkan karena dianggap punya kekuatan. Lahan yang
tadinya berupa hutan, kemudian dirambah menjadi pemukiman warga.
Akibat cerita benda jatuh itu, mungkin dulu banyak juga
gadis-gadis yang menanti harap-harap bergairah di pinggir kolam, berharap ada
Superman atau Batman jatuh. Lumayan buat jodoh.
Cerita ketiga adalah cerita yang lebih masuk akal menurut
saya. Ada seorang bidan yang menemukan mata air ini saat sedang jalan
sore-sore. Jalan sore-sore kok ke hutan ya? Suka-suka dia dong! Kemudian dia
menemukan mata air yang mengeluarkan banyak gelembung air seperti air soda.
Setelah yakin itu bukan mata air biasa, maka sang bidan membuatkan kolam ala
kadarnya untuk menampung air soda tersebut agar bisa digunakan untuk mandi atau
sekedar kecipak-kecipung.
Saya sendiri waktu kecil sudah sering bermain-main kesana.
Biasanya sepulang sekolah karena kebetulan teman-teman sekolah saya banyak yang
rumahnya dekat dengan lokasi mata air soda tersebut, nama persis lokasinya
adalah Parbubu. Jika ada yang mengatakan kepada anda bahwa air soda ini rasanya
persis seperti rasa softdrink, jangan
percaya.
Saya sudah pernah iseng mencicipi airnya dan rasanya sungguh perpaduan
antara rasa kutu kupret bercampur pipis anak-anak. Saya pikir banyak orang yang
salah kaprah dengan sebutan air soda ini. Memang wujudnya seperti air soda,
misalnya saat kita mencelupkan anggota tubuh ke dalam air, maka akan muncul
gelembung-gelembung menyerupai gelembung-gelembung seperti yang sering kita
lihat dalam gelas berisi bir atau softdrink serta memberi efek sengat-sengat
nikmat. Jadi sodanya hanya sebatas wujud saja, tetapi rasanya sama sekali bukan
rasa air soda. Mungkin kalau dicampur gula dan di-fermentasi selama beberapa
hari, mungkin rasanya akan sama.
Anda mau mencobanya? Silahkan! Saya sih ogah.
Lokasi mata air soda ini sendiri sebenarnya sangat
mendukung. Karena saat kita berendam, pemandangan sekeliling kita adalah
deretan gunung-gunung hijau, sementara sebelah kanan kiri kolam adalah
persawahan yang menghampar kuning atau hijau, tergantung musim. Apakah musim
tanam atau musim panen.
Letak kolam juga persis berada di pinggir jalan raya yang
menuju Hutapea. Dulu saya dan teman-teman cuek saja mandi telanjang di area
terbuka seperti itu dan ditonton gadis-gadis. Namanya juga masih anak-anak,
belum berbulu dan belum tau malu. Coba kalau sekarang? Ayo!
Masuk ke dalam area kolam (seingat saya) tidak dipungut
bayaran karena dianggap milik umum. Pihak pengelola hanya menyediakan tempat
makan dan minum saja untuk pengunjung yang kelaparan setelah berendam selama
beberapa lama. Istilahnya, hanya sebatas dijadikan tempat usaha, bukan
di-eksploitasi.
Konon katanya air soda ini juga manjur menyembuhkan segala
macam penyakit kulit. Saya tentu saja belum pernah membuktikannya karena saya
belum pernah mengidap penyakit kulit. Tetapi mitos ini jelas membuat saya
sedikit ngeri. Itu sebabnya saat musim liburan, saya tidak mau mandi di air
soda ini karena pada saat itu air kolam pasti penuh dengan pengunjung dari
berbagai penjuru dengan penyakit kulit masing-masing dan berharap bisa
disembuhkan. Setelah beberapa hari berlalu, saya baru berani kembali ke tempat
itu. Karena pada saat itu air kolam sudah 1000% berganti dengan air yang baru.
Ya, air soda ini mengalir terus dengan sistem meluap. Mata air berasal dari
bawah terus memproduksi air yang baru, sementara air yang lama dibagian
permukaan akan meluap dari kolam dan tumpah keluar kolam. Jadi tidak perlu
takut akan tercemar penyakit kulit warisan dan cideramata dari pengguna kolam
sebelumnya.
Efek samping mata air soda ini? Tentu saja ada. Selain membuat
mata pedih jenderal (jika mata terkena air soda), juga bisa membuat gigi
berkarat (jika gigi terlalu lama terekpos air kolam). Dulu hampir semua
teman-teman saya yang rumahnya dekat mata air soda ini giginya berwarna abu-abu
kelambu. Mungkin karena terlalu sering menceburkan diri ke dalam air soda pada
pagi, siang dan sore. Tetapi tetap mengherankan buat saya, kenapa bisa kena
gigi? Mungkinkah mereka berenang sambil nyengir-nyengir? Entahlah!
Seperti umumnya wilayah-wilayah lain di Indonesia, disini juga
masih dijaga sisi kearifan lokalnya. Misalnya di lokasi ini tidak boleh memaki
atau mengucapkan kata-kata kotor, bahkan memaki di dalam hati-pun tidak boleh.
Padahal sebenarnya bukan cuma disini yang tidak boleh memaki atau mengucapkan
kata-kata kotor, tetapi dimana saja-pun tidak boleh toh?
Itu sebabnya dulu
teman-teman saya yang berandalan dan tukang maki anak orang harus mati-matian
menahan nafsu untuk tidak memaki, lalu kemudian memuaskannya di tempat lain di
hadapan pohon belimbing.
Satu hal lagi, dilarang mandi telanjang alias bugil
hura-hura. Saya pikir siapa juga yang mau berenang bugil di area terbuka, di
tepi jalan raya dan ditengah pemukiman penduduk seperti ini?
Tahun lalu, saat sedang mudik, saya sempat melewati lokasi
ini secara sekelebat. Belum ada perubahan berarti. Segala sesuatunya masih ala
kadarnya, mulai dari bentuk kolam, kamar mandi dan eksterior lokasi. Sama
sekali tidak merepresentasikan sebuah lokasi yang layak untuk menjadi objek
wisata. Padahal kalau didaya gunakan secara maksimal, ini akan menjadi daya
tarik wisatawan yang menjanjikan untuk Tarutung. Apalagi mata air soda ini
tidak ada dimana-mana di seluruh dunia, hanya ada di Tarutung dan Venezuela.
Teman-teman saya saat browsing sering
tiba-tiba bertanya kepada saya apakah benar ada air soda di Tarutung sebagai
salah satu dari yang hanya ada dua di seluruh dunia? Saya saya mengiyakan,
mereka akan mencecar saya dengan pertanyaan “kenapa tidak terkenal?
kenapa tidak pernah ada rekomendasi mengenai hal ini? kenapa begini? kenapa
begitu?”. Ya karena memang mata air yang unik ini tidak ditangani
dengan serius dan profesional sebagaimana layaknya tempat wisata.
Tidak pernah
ada informasi yang menjelaskan mengenai tempat wisata ini secara informatif,
detail dan persuasif yang menggoda pembaca untuk mengunjunginya. Doakan saja
saya cepat-cepat dapat harta, tahta dan wanita (baca: kesempatan untuk berbuat
sesuatu) supaya nanti saya bisa menjadikannya menjadi tempat wisata yang indah
permai dan layak dikunjungi orang-orang dari seluruh dunia.
Mengapa air terjun Niagara bisa
begitu terkenal dan mendunia? Padahal di Balige (satu jam perjalanan dari
Tarutung) banyak terdapat air terjun yang tak kalah eksotisnya, bahkan dengan
bonus penampakan hantu-hantu pada jam-jam tertentu.
Masalahnya terletak pada
inisyatif pemerintah setempat untuk mengoptimalkan sumber daya. Semua dibiarkan
ala kadarnya saja, tidak tergerak untuk berbuat sesuatu yang bertujuan untuk
menarik lebih banyak lagi minat dari pengunjung dengan strata sosial dan kota asal
yang lebih luas.
Dan sepertinya, mata air soda di Venezuela juga mengalami
hal yang sama. Tetapi setidaknya masih mending, karena menurut teman saya yang
sering traveling, saat traveling ke Venezuela mata air soda ini masuk dalam
paket wisata, tetapi tidak terlalu direkomendasikan. Entah kenapa?