Dari lahir sampai kelas dua SMP, saya tinggal di rumah ini.
Sebenarnya ini bukan rumah beneran, tetapi ruangan SMPN 1 dimana bapak bekerja
sebagai guru. Berhubung lima ruangan ini berada di luar area sekolah, akhirnya
daripada kosong, dijadikanlah rumah dinas guru.
Saya sangat menikmati tinggal di rumah ini dulu, soalnya di
kiri kanan ada teman-teman sebaya yang jadi teman sepermainan yang asyik dan
seru. Mulai dari teman main petak umpet sampai lawan berantem.
Dulu setiap kali berantem saya selalu dianggap kalah karena gampang mimisan, itu sebabnya lawan saya selalu mengincar untuk menonjok hidung saya. Solusinya, setiap kali ditantang berkelahi, saya pasti pake helm.
Dulu setiap kali berantem saya selalu dianggap kalah karena gampang mimisan, itu sebabnya lawan saya selalu mengincar untuk menonjok hidung saya. Solusinya, setiap kali ditantang berkelahi, saya pasti pake helm.
Jalan setapak yang menurun itu adalah jalan menuju
jalan raya. Dan saya punya pengalaman gila disitu.
Ceritanya umur delapan tahun saya belajar naik sepeda, sepedanya sepeda mini warna merah. Gara-gara kepengen cepat bisa naik sepeda, maka meluncurlah saya naik sepeda dari jalan yang turunan itu menuju jalan raya dan GUBRAK!!!!!!!!!
Saya sukses menabrak kawat duri yang membatasi jalan raya dengan toilet SMP. Puji Tuhan, saya tidak mengalami luka-luka yang berarti, tetapi bibir saya yang sebelah atas bengkak selama dua minggu.
Hikmahnya, besoknya saya langsung bisa naik sepeda. Hebat kan?
Tapi kalau ingat kejadian itu sekarang, saya sering
merinding sendiri. Ya iyalah, masa merinding berdua atau bertiga?
Itu saya meluncur bebas hambatan menuju jalan raya. Nggak kebayang kalau misalnya ada kendaraan melintas, pasti langsung menubruk saya yang sedang lepas kendali muncul dari arah kanan. Saya mungkin sudah jadi tempe bacem.
Itu saya meluncur bebas hambatan menuju jalan raya. Nggak kebayang kalau misalnya ada kendaraan melintas, pasti langsung menubruk saya yang sedang lepas kendali muncul dari arah kanan. Saya mungkin sudah jadi tempe bacem.
Ini adalah tempat cuci motor, angkot dan truk
tepat di bawah ‘dataran’ persis di bawah lokasi rumah saya. Jadi setiap kali mau ke gereja,
kami selalu melewati ini.
Nah, disini ini sopir dan kernet truk dan angkutan cuek aja seliweran sambil cuci mobil cuma pake kolor doang. Bahkan kadang ada yang bugil, yang langsung lari pontang-panting kalau yang lewat ibu-ibu.
Kalau yang lewat cowok sih, dia cuek saja seliweran jualan lonceng.
Nah, disini ini sopir dan kernet truk dan angkutan cuek aja seliweran sambil cuci mobil cuma pake kolor doang. Bahkan kadang ada yang bugil, yang langsung lari pontang-panting kalau yang lewat ibu-ibu.
Kalau yang lewat cowok sih, dia cuek saja seliweran jualan lonceng.
Yang punya usaha tempat pencucian ini memiliki beberapa
pohon jambu air. Jadi kalau sedang musim, wuihhhhhhh...derai-derai
warna merah menyala blingsatan di atas pohon-pohon mengundang selera.
Sayangnya, si empunya lumayan pelit, jadi kalau kita pengen jambu, ya harus beli. Kadang kalau nggak punya uang, terpaksa nyolong jambunya pas malam-malam.
Parahnya, lokasi pohon jambu yang di luar jangkauan pandang si empunya berada dilokasi yang aga-agak spooky. Pokoknya konon banyak hantu disitu.
Tetapi dasar emang punya bakat jadi maling, demi buah jambu yang ranum-ranum itu kita bisa lupa bahwa disitu ada hantu.
Jangan-jangan hantunya juga ikut nyolong jambu kali ya, jadi kami dianggap teman senasib dan seperjuangan.
Sayangnya, si empunya lumayan pelit, jadi kalau kita pengen jambu, ya harus beli. Kadang kalau nggak punya uang, terpaksa nyolong jambunya pas malam-malam.
Parahnya, lokasi pohon jambu yang di luar jangkauan pandang si empunya berada dilokasi yang aga-agak spooky. Pokoknya konon banyak hantu disitu.
Tetapi dasar emang punya bakat jadi maling, demi buah jambu yang ranum-ranum itu kita bisa lupa bahwa disitu ada hantu.
Jangan-jangan hantunya juga ikut nyolong jambu kali ya, jadi kami dianggap teman senasib dan seperjuangan.
Dari kelas satu sampai kelas enam SD, saya
sekolah disini. Lokasinya di gunung. Jadi rute menuju kesini benar-benar
menanjak dan track-nya bukan jalan raya, tetapi tanah liat.
Namanya juga tanah liat, jadi kalo lembab atau kena air pasti jadi licin. Kalau hujan lagi turun, pulang sekolah banyak siswa-siswi dan guru yang berubah menjadi pemain ski alias kepleset. Keplesetnya bukan cuma syuttttttt....tetapi juga gubrakkkkkk alias punggung ikut mendarat di tanah.
Namanya juga tanah liat, jadi kalo lembab atau kena air pasti jadi licin. Kalau hujan lagi turun, pulang sekolah banyak siswa-siswi dan guru yang berubah menjadi pemain ski alias kepleset. Keplesetnya bukan cuma syuttttttt....tetapi juga gubrakkkkkk alias punggung ikut mendarat di tanah.
Selain itu, di depan dan sebelah kanan sekolah ini ada jurang yang menganga, tetapi entah kenapa kami dulu senang banget main-main di jurang itu sampai guru kami heboh menjerit-jerit melarang kami, bahkan harus digampar segala biar kapok nggak main di situ lagi. Kecil-kecil, dulu adrenalin kami sudah terpacu untuk menantang bahaya lho.
Ini ruangan kelas satu dan di ruangan ini dulu untuk pertama kalinya saya belajar membaca dan menulis. Biar katanya ruangan untuk anak-anak paling bungsu, bukan berarti jadi ruangan yang paling mendapat perhatian.
Buktinya anak-anak kelas satu cuek saja di tempatkan
berdampingan dan berhadapan dengan toilet yang baunya minta ampun.
Apalagi dulu, anak-anak kelas satu kalau minta izin pipis ke toilet, bukannya beneran pergi ke toilet yang cuma beberapa langkah dari depan pintu, tetapi justru cuek aja pipis tepat di depan pintu kelas.
Apalagi dulu, anak-anak kelas satu kalau minta izin pipis ke toilet, bukannya beneran pergi ke toilet yang cuma beberapa langkah dari depan pintu, tetapi justru cuek aja pipis tepat di depan pintu kelas.
Dari SMP kelas satu sampai kelas tiga saya sekolah di sini.
Saat pertama kali masuk sekolah sehabis penataran P4, saya pernah menyanyi di atas podium tempat Kepala Sekolah biasa berpidato menyanyikan lagu Suci Dalam Debu-nya Saleem Iklim di hadapan siswa-siswa kelas satu, dua dan tiga.
Tadinya mau nyanyi lagu Mimpi-nya Anggun C. Sasmi, tapi
sudah ada siswa lain yang nyanyi'in lagu itu sebelum saya 'tampil'. Ternyata
dulu muka saya termasuk muka badak alias tidak tau malu.
Bayangkan, nyanyi di depan seluruh siswa dan guru, nyanyinya sambil pake gerakan segala lagi. Saya sendiri penasaran, seperti apa gerakan saya saat menyanyikan bagian lirik yang ini “ku harap engkau kan terima. walau dipandang hina”.
Bayangkan, nyanyi di depan seluruh siswa dan guru, nyanyinya sambil pake gerakan segala lagi. Saya sendiri penasaran, seperti apa gerakan saya saat menyanyikan bagian lirik yang ini “ku harap engkau kan terima. walau dipandang hina”.
Untung zaman dulu belum hits rekaman video pakai handphone,
jadi sekarang saya tidak perlu bunuh diri saat melihat rekaman videonya
di Youtube.
Pas ngeliat sekolah ini kemaren, saya jadi sedih. Kok jadi
seperti ini? Padahal dulu zamannya saya, sekolah ini sering mendapat
penghargaan sebagai SMP paling bersih se-kota Tarutung.
Dulu lapangannya adalah tanah berpasir, ada pintu gerbangnya dan banyak bunga di sana-sini. Sekarang sih sudah kusam dan tandus.
Dulu lapangannya adalah tanah berpasir, ada pintu gerbangnya dan banyak bunga di sana-sini. Sekarang sih sudah kusam dan tandus.
Kelas tiga SMP, kami pindah ke rumah ini, jadi
dari kelas tiga SMP sampai lulus SMA saya tinggal di rumah ini.
Ini juga termasuk rumah favorit saya, soalnya setiap pagi kalau kita buka pintu dan jendela, sinar matahari langsung bebas masuk ke dalam rumah. Segar banget!
Ini juga termasuk rumah favorit saya, soalnya setiap pagi kalau kita buka pintu dan jendela, sinar matahari langsung bebas masuk ke dalam rumah. Segar banget!
Pemandangannya di depan rumahnya juga indah banget, di
kejauhan terlihat pegunungan hijau dan persawahan.
Sayangnya, sepuluh meter ke depan, pemandangannya enggak ada indah-indahnya : deretan kuburan kuno!
Sayangnya, sepuluh meter ke depan, pemandangannya enggak ada indah-indahnya : deretan kuburan kuno!
Dulu sekolah ini masih satu-satunya SMA Negeri yang ada di kota Tarutung, sekarang sih katanya sudah ada dua : SMAN 1 & SMAN 2.
Dari kelas satu sampai kelas tiga saya sekolah disini.
Lokasinya agak-agak seram, di kiri Taman Makam Pahlawan, di kanan jurang, di belakang hutan belantara.
Saya sebenernya dulu bingung, ini sekolah atau pusat
penangkaran dinosaurus ya?
Saya juga baru sadar, kok dari dulu sekolah saya nggak pernah jauh-jauh dari jurang. Apakah ini pertanda bahwa suatu saat nanti saya akan terjun ke lembah nista?
Saya juga baru sadar, kok dari dulu sekolah saya nggak pernah jauh-jauh dari jurang. Apakah ini pertanda bahwa suatu saat nanti saya akan terjun ke lembah nista?
Ruangan ketiga dari kiri adalah kelas Satu Sembilan. Satu Sembilan maksudnya kelas sati dengan nomor urut sembilan, karena waktu itu kelas satu ada sepuluh kelas.
Cewek yang saya taksir dulu bersemayam di ruangan kedua dari kiri, anak kelas
Satu Sepuluh.
Dimana ya dia sekarang? Adakah dia masih merasakan cinta terpendam yang masih tumbuh di dalam dada ini? Hallahhhhh...
Tapi memang benar sih bahwa cinta pertama tak akan pernah hilang meskipun sudah tak lagi memiliki atau bersama.
Dimana ya dia sekarang? Adakah dia masih merasakan cinta terpendam yang masih tumbuh di dalam dada ini? Hallahhhhh...
Tapi memang benar sih bahwa cinta pertama tak akan pernah hilang meskipun sudah tak lagi memiliki atau bersama.
Seperti inilah jalan di depan SMA saya dulu, jauh dari
kebisingan dan dekat dengan gunung yang ditumbuhi pohon pinus. Sayangnya
sekarang sekolahnya dipagari tembok, jadi kurang sedap dipandang mata.
Dulu
zamannya saya, sekolah ini cuma dipagari kawat duri yang gampang dipelintir
kalau mau kabur dari sekolah pas jam pelajaran yang enggak asyik.
Dulu seragam saya pernah sobek akibat nyangkut dikawat duri
sialan itu gara-gara kabur dari sekolah pas jam terakhir.
Ceritanya guru yang
akan mengajar pada jam terakhir nggak datang, eh ada guru lain yang kecentilan
jadi guru pengganti. Akhirnya kaburlah saya dan beberapa teman melalui kawat
duri dan entah kenapa, sang guru enggak tau kalau kita kabur.
Jadi kita nggak dapat hukuman seperti biasa kalo ada siswa yang ketahuan kabur pada jam pelajaran. Ternyata tidak sia-sia seragam saya sampai sobek.
Jadi kita nggak dapat hukuman seperti biasa kalo ada siswa yang ketahuan kabur pada jam pelajaran. Ternyata tidak sia-sia seragam saya sampai sobek.
Tuh, bener kan. Bahkan bagian belakang kelas IPA yang dulu menjadi tempat kabur favorit sudah dipasangin tembok setinggi beruang, kasian deh siswa-siswa itu sekarang jadi enggak bisa kabur se-enak perut.
Padahal sekali-kali kabur dari sekolah itu ada asyiknya juga lho, kan bosen juga kalau sepanjang tiga tahun itu cuma jadi siswa alim melulu.
Dulu sih setiap kali mau kabur, ini termasuk lokasi
pelarian paling menjanjikan. Soalnya kalau sudah lolos dari sini, maka kita
sudah berada di luar wilayah sekolah.
Proses kaburnya lumayan seru juga. Ruangan kelas IPA 1
& IPA 2 kan jendelanya pakai kaca nako, jadi aktifitas di luar kelas
pasti kelihatan. Sementara kami anakanak IPA 3 terkenal dengan gerombolan
biang rusuh dan tukang kabur, tetapi tetap menjunjung tinggi harga diri dan
wibawa. Makanya kami juga ogah ketahuan kabur dari sekolah, apalagi oleh
anak-anak IPA 1 & IPA 2 yang nerd dan jaim-jaim itu.
Maka mengendap-endaplah kami dari bawah jendela nako sambil
menahan nafas, nggak ada bedanya lagi sama kucing garong. Masih sambil
mengendap-endap dan merunduk (jadi yang punya penyakit encok dan rematik tidak
disarankan bergabung dengan anak-anak IPA 3), masih harus memelintir kawat duri
lagi.
Benar-benar harus hati-hati, soalnya jarak antar
kawat duri ke kebun seberang agak tinggi. Jadi kalau meloncat tetapi baju kita
nyangkut dikawat duri, itu artinya kita akan tergantung-gantung di sana
sampai minggu depan kayak nangka. Kecuali kalau ada orang yang melihat dan menyelamatkan
kita.
Syukurlah, dulu kami enggak pernah mengalami tergantung-gantung seperti itu, malunya pasti minta ampun. Udah ketahuan kabur dari sekolah, kepergok lagi tergantung-gantung pula. Malunya dobel!
Syukurlah, dulu kami enggak pernah mengalami tergantung-gantung seperti itu, malunya pasti minta ampun. Udah ketahuan kabur dari sekolah, kepergok lagi tergantung-gantung pula. Malunya dobel!
Seperti inilah jalan yang kami lewati saat pergi dan pulang
sekolah, makanya dulu saya sangat menikmati pergi dan pulang sekolah sambil
jalan kaki.
Di kanan kiri adalah asrama tentara, kantor Polisi, kantor Pengadilan, kantor Bupati dan Kantor Polisi.
Jadi nggak heran banyak cewek-cewek yang fetish cowok berseragam, yang sekolahnya satu lokasi dengan kami, suka ganjen-ganjen nggak jelas kalau lagi lewat dari depan kantor polisi dan asrama tentara. Caper-caper gitu deh.
Di kanan kiri adalah asrama tentara, kantor Polisi, kantor Pengadilan, kantor Bupati dan Kantor Polisi.
Jadi nggak heran banyak cewek-cewek yang fetish cowok berseragam, yang sekolahnya satu lokasi dengan kami, suka ganjen-ganjen nggak jelas kalau lagi lewat dari depan kantor polisi dan asrama tentara. Caper-caper gitu deh.
Jalan menuju rumah saya adalah simpang yang arahnya ke
kanan. Tetapi dulu segitiga beton & pohon itu belum ada, dulunya di situ
adalah pos polisi yang tak pernah berisi. Terakhir melongok ke dalam, yang terlihat kucing yang lagi beranak. Hasil hubungan gelap, pastinya.
Nggak asyiknya dulu di jalan menuju sekolah ada sebuah
warung yag pemiliknya agak terganggu jiwanya. Saya juga enggak habis pikir,
yang sakit jiwa kok buka warung? Yang beli siapa? Dan anehnya tetap aja ada
pembelinya.
Namanya juga pemiliknya terganggu jiwanya, jadi setiap hari
pasti ada adegan kejar-kejaran sambil mengumpat pake kata-kata kotor. Kadang
kalau yang dikejar enggak bisa ditangkep, maka kita yang akan dikejar dan
dimaki-maki. Padahal kita nggak salah apa-apa, karena emang lagi apes aja
kebetulan lewat di TKP itu.
Ini adalah rumah yang saya lewati setiap kali berangkat dan
pulang sekolah. Dari dulu sampai sekarang kayaknya rumah ini kosong terus. Saya
sih enggak heran, soalnya saya punya pengalaman horor di rumah ini.
Ceritanya waktu itu saya dan teman-teman saya sedang dalam
perjalanan pulang sekolah, trus tiba-tiba turun hujan deras.
Maka berteduhlah kami di depan rumah kosong ini.
Lagi asyik-asyiknya ngebahas hal-hal yang porno (biasalah, anak cowok), saya tiba-tiba menoleh ke dalam rumah dan saya melihat sesuatu yang hitam, besar dan berbulu mengangguk-angguk di sudut ruangan yang gelap.
Anehnya, saya malah diam saja. Padahal biasanya kalau
terkejut, saya pasti berteriak, “Eh kontrol, eh kontrol”.
Saya bahkan tidak mau cerita ke teman-teman saya waktu itu. Dan sepertinya mereka juga tidak melihat mahluk itu. Entah memang tidak melihat atau tidak bisa melihat. Takut kalau saya cerita, semua
pada lari tunggang langgang meninggalkan saya sendirian.
Pelan-pelan saya berjalan menuju posisi paling jauh dari
pintu dan bertingkah normal seolah tidak ada apa-apa.
Sampai hujan reda, saya tidak berani lagi menatap ke arah
pintu. Dan sampai dua minggu, setiap saya melewati rumah ini, saya selalu
berdebar-debar dan gak berani mengarahkan pendangan ke arah rumah. Takut ada
yang nongol lagi.
Pas kemaren waktu motret rumah ini, saya sudah merasa
biasa-biasa saja, tetapi tetap saja saya tidak berani mendekat. Takut ketemu
mahluk besar hitam dan berbulu itu lagi, trus dia menyapa : “Eh bo,
udah lama nggak ketemu. Kemana aja, Cin?”
Di rumah saya yang sekarang (nyokap pindah ke sini tujuh
tahun yang lalu), begitu kita keluar pintu dan menoleh ke kanan maka seperti
inilah pemandanganya: ada jembatan, mobil dan motor seliweran, orang gila
berbicara sendirian sambil lalu lalang.
0 komentar:
Posting Komentar