Selama hampir dua tahun, saya pernah bekerja di restoran
sebagai supervisor, cashier dan kadang harus turun tangan juga
menjadi waiter.
Jarum jam baru menunjukkan angka tujuh. Restoran kami buka
jam 8.30 pagi, tetapi meskipun begitu kami berkomitmen 'pantang menolak
cintamu'. Eh, itu sih komitmen saya. Jadi komitmen restoran kami adalah
'pantang menolak tamu' jika datang sebelum jam operasional.
Maka begitulah. Pada suatu hari, terdengar suara tapak kaki
di tangga yang menuju restoran kami yang letaknya berada di lantai dua. Lalu
muncul seorang bapak-bapak berperawakan mungil dengan wajah bete. Mungkin baru
berantem dengan istrinya atau tadi malam tidak dikasuh 'jatah', entahlah.
Mudah-mudahan dia ke sini bukan untuk tidak minta jatah ke saya.
“Selamat pagi, Pak”. Saya menyapa atas nama tata krama.
“Hmmm..”, jawabnya
ketus sambil menatap saya tajam sambil menyeringai. Busyet dah, kok marahnya ke
saya? Dia tidak langsung duduk, tetapi berjalan mengelilingi ruangan sambil
memukul-mukul meja satu persatu. Jangan-jangan habis mukul meja, dia akan
memukul saya. Saya langsung jaga jarak.
“Mau minum apa, Pak”, tanya saya sambil berjalan
menghampiri. Wajah saya sengaja saya setting seramah mungkin.
Seperti kata pepatah, jangan melawan api dengan api.
“Nanti dulu”. Dia masih saja ketus.
“Baiklah, Pak. Tapi menunya saya tinggal disini ya”, jawab
saya sambil meletakkan buku menu di salah satu meja. Juga
sebagai kode agar dia duduk di situ, bukan malah mutar-mutar seperti ayam cari
telur untuk dierami, bikin saya puyeng saja.
Saya kembali lagi ke tugas saya yang terinterupsi tadi,
memeriksa stock buah
dan sayuran di kulkas. Sampai lima menit berlalu, tak ada tanda-tanda dia
akan memanggil saya. Saya curiga dia sudah berubah jadi batu, karena saya tidak
menangkap ada tanda-tanda kehidupan dari arah sana. Saya melirik dengan ekor
mata saya, dia sudah duduk di meja yang tadi telah saya tetapkan dan duarrrrr....ternyata
dia juga sedang menatap saya. Tatapannya masih sekejam tadi. Sayangnya, saya
tak sempat mengarahkan pandangan ke arah lain karena dia keburu menggunakan
kode jari telunjuk untuk memanggil saya.
“Kalian jualan nggak sih?”, ujarnya bengis begitu saya
berdiri di hadapannya.
“Memang kenapa, Pak?”, tantang saya. Hahaha,
sebenarnya saya balik bertanya, bukan menantang. Gila, apa?
“Kok saya tidak ditanya mau pesan apa?”
“Lho, tadi kan saya sudah tanya. Tapi bapak bilang ‘nanti
dulu’”
“Itu kan tadi, sekarang saya ingin pesan”
“Kok bapak nggak manggil saya?”
“Saya sudah lihat'in kamu dari tadi, tapi kamu nggak lihat
ke saya”. Ya elahhh, maksudnya dia memanggil saya lewat jalur
telepati? Dikira saya dukun?
“Mau pesan apa, Pak?”
“Ada apa aja?”. Oh God, bukankah tadi dia sudah
membolak-balik buku menu ya?
“Ada kopi, jus,....”
“Ada susu?,” potongnya cepat.
“Kita nggak menyediakan susu, Pak”
“Kok bisa? Padahal karyawan kalian ada perempuan kan?”.
Wajah sadisnya perlahan berubah menjadi wajah bandit. Wew, apa urusannya?
Tidak saya tanggapi, saya langsung pasang tampang malas terlibat obrolan
semacam itu. Lagi nggak mood. Melihat gelagat saya, akhirnya dia
serius.
“Kopi”, katanya dengan nada memerintah. Baiklah ,Paduka.
“Ini kopinya, Pak”, ujar saya sambil meletakkan kopi yang
masih mengepulkan uap di depannya. Dia tidak menjawab, tetapi malah pura-pura
melihat ke arah lain. Baiklah bila itu maumu, bila itu caramu.
Sepuluh menit kemudian, dia memanggil saya.
“Ini kopinya kok nggak panas?”, protesnya. Ya iyalah nggak
panas, wong sudah sepuluh menit dianggurin.
“Tadi panas, Pak. Tapi kan kalau sudah lama dan tidak
langsung diseruput, kopinya jadi dingin”.
“Ganti ah, saya mau yang panas”. Baiklah. Saya bawa kembali
kopinya ke dapur sambil mengurut-urut dada. Ini mahluk dari planet mana sih?
“Ini kopinya, Pak”, untuk yang kedua kali saya meletakkan
cangkir kopi di depannya. Sengaja saya letakkan dengan jarak yang memungkinkan
uap kopi yang panas itu tepat mengenai wajahnya biar tau rasa. Saya memang
mulai jahat. Makanya, jangan macam-macam sama saya. Kadal kok diganggu.
Semenit kemudian, dia memanggil saya. Cara manggilnya itu
lho, kayak manggil PSK. Dia memanggil dengan bunyi pissssst-pisssst gitu.
Apa lagi sih? Masih kurang panas? Sekalian saja saya sediakan kompor di mejanya
biar dia masak sendiri kopinya.
“Ini kopinya kok panas sekali? Kamu mau membakar mulut saya
ya? Saya jadi tidak bisa minum. Saya minta air dingin deh buat nyampur, ini
terlalu panas”.
Oh tidaaaaaakkkkkkkkk!
Kali ini saya benar-benar ingin membakar mulutnya persis seperti
kecurigaannya tadi.