08/03/14

KOPI Cap Ribet




Selama hampir dua tahun, saya pernah bekerja di restoran sebagai supervisor, cashier dan kadang harus turun tangan juga menjadi waiter.

Jarum jam baru menunjukkan angka tujuh. Restoran kami buka jam 8.30 pagi, tetapi meskipun begitu kami berkomitmen 'pantang menolak cintamu'. Eh, itu sih komitmen saya. Jadi komitmen restoran kami adalah 'pantang menolak tamu' jika datang sebelum jam operasional.

Maka begitulah. Pada suatu hari, terdengar suara tapak kaki di tangga yang menuju restoran kami yang letaknya berada di lantai dua. Lalu muncul seorang bapak-bapak berperawakan mungil dengan wajah bete. Mungkin baru berantem dengan istrinya atau tadi malam tidak dikasuh 'jatah', entahlah. Mudah-mudahan dia ke sini bukan untuk tidak minta jatah ke saya.

“Selamat pagi, Pak”. Saya menyapa atas nama tata krama.
“Hmmm..”, jawabnya ketus sambil menatap saya tajam sambil menyeringai. Busyet dah, kok marahnya ke saya? Dia tidak langsung duduk, tetapi berjalan mengelilingi ruangan sambil memukul-mukul meja satu persatu. Jangan-jangan habis mukul meja, dia akan memukul saya. Saya langsung jaga jarak.

“Mau minum apa, Pak”, tanya saya sambil berjalan menghampiri. Wajah saya sengaja saya setting seramah mungkin. Seperti kata pepatah, jangan melawan api dengan api.
“Nanti dulu”. Dia masih saja ketus.
“Baiklah, Pak. Tapi menunya saya tinggal disini ya”, jawab saya sambil meletakkan buku menu di salah satu meja. Juga sebagai kode agar dia duduk di situ, bukan malah mutar-mutar seperti ayam cari telur untuk dierami, bikin saya puyeng saja.

Saya kembali lagi ke tugas saya yang terinterupsi tadi, memeriksa stock buah dan sayuran di kulkas.  Sampai lima menit berlalu, tak ada tanda-tanda dia akan memanggil saya. Saya curiga dia sudah berubah jadi batu, karena saya tidak menangkap ada tanda-tanda kehidupan dari arah sana. Saya melirik dengan ekor mata saya, dia sudah duduk di meja yang tadi telah saya tetapkan dan duarrrrr....ternyata dia juga sedang menatap saya. Tatapannya masih sekejam tadi. Sayangnya, saya tak sempat mengarahkan pandangan ke arah lain karena dia keburu menggunakan kode jari telunjuk untuk memanggil saya.

“Kalian jualan nggak sih?”, ujarnya bengis begitu saya berdiri di hadapannya.
“Memang kenapa, Pak?”, tantang saya. Hahaha, sebenarnya saya balik bertanya, bukan menantang. Gila, apa?
“Kok saya tidak ditanya mau pesan apa?”
“Lho, tadi kan saya sudah tanya. Tapi bapak bilang ‘nanti dulu’”
“Itu kan tadi, sekarang saya ingin pesan”
“Kok bapak nggak manggil saya?”
“Saya sudah lihat'in kamu dari tadi, tapi kamu nggak lihat ke saya”. Ya elahhh,  maksudnya dia memanggil saya lewat jalur telepati? Dikira saya dukun?

“Mau pesan apa, Pak?”
“Ada apa aja?”. Oh God, bukankah tadi dia sudah membolak-balik buku menu ya?
“Ada kopi, jus,....”
“Ada susu?,” potongnya cepat.
“Kita nggak menyediakan susu, Pak”
“Kok bisa? Padahal karyawan kalian ada perempuan kan?”. Wajah sadisnya perlahan berubah menjadi wajah bandit. Wew, apa urusannya?  Tidak saya tanggapi, saya langsung pasang tampang malas terlibat obrolan semacam itu. Lagi nggak mood. Melihat gelagat saya, akhirnya dia serius.
“Kopi”, katanya dengan nada memerintah. Baiklah ,Paduka.

“Ini kopinya, Pak”, ujar saya sambil meletakkan kopi yang masih mengepulkan uap di depannya. Dia tidak menjawab, tetapi malah pura-pura melihat ke arah lain.  Baiklah bila itu maumu, bila itu caramu.

Sepuluh menit kemudian, dia memanggil saya.
“Ini kopinya kok nggak panas?”, protesnya. Ya iyalah nggak panas, wong sudah sepuluh menit dianggurin.
“Tadi panas, Pak. Tapi kan kalau sudah lama dan tidak langsung diseruput, kopinya jadi dingin”.
“Ganti ah, saya mau yang panas”. Baiklah. Saya bawa kembali kopinya ke dapur sambil mengurut-urut dada. Ini mahluk dari planet mana sih?

“Ini kopinya, Pak”, untuk yang kedua kali saya meletakkan cangkir kopi di depannya. Sengaja saya letakkan dengan jarak yang memungkinkan uap kopi yang panas itu tepat mengenai wajahnya biar tau rasa. Saya memang mulai jahat. Makanya, jangan macam-macam sama saya. Kadal kok diganggu.

Semenit kemudian, dia memanggil saya. Cara manggilnya itu lho, kayak manggil PSK. Dia memanggil dengan bunyi pissssst-pisssst gitu. Apa lagi sih? Masih kurang panas? Sekalian saja saya sediakan kompor di mejanya biar dia masak sendiri kopinya.

“Ini kopinya kok panas sekali? Kamu mau membakar mulut saya ya? Saya jadi tidak bisa minum. Saya minta air dingin deh buat nyampur, ini terlalu panas”. 

Oh tidaaaaaakkkkkkkkk! Kali ini saya benar-benar ingin membakar mulutnya persis  seperti kecurigaannya tadi.
Share: