Teman-teman
saya sering menganggap saya orang yang jarang marah, tetapi mereka yakin kalau sekalinya saya marah, pasti sanggup bikin keder monster. Nah, mungkin kesan tidak bisa
marah ini juga-lah yang mungkin ditangkap oleh anak kelas lima saat
minggu-minggu pertama saya mengajar mereka. Jadi kadang mereka terlalu 'terbuka' kepada
saya, hingga kerap cross the line too far.
Jadi pernah kejadian,
kelas begitu berisik pas jam pelajaran saya. Saya sudah berkali-kali
mengingatkan agar volume suara
dijaga. Satu menit dua menit bisa tenang, tetapi menit ketiga udah mulai rusuh
lagi. Saat itu art project-nya adalah melukis pakai cat air, jadi mereka memang
tidak bisa diam karena beberapa akan seliweran ke sana kemari melihat karya
temannya, meminjam kuas dan saling membandingkan. Kalau itu dilakukan dengan mulut tertutup atau sambil bisik-bisik sih saya masih bisa tolerir. Ini malah kadang sambil kejar-kejaran dan saling teriak.
“Guys, can you please be quiet?”, seru saya
entah untuk yang keberapa kalinya. Mungkin karena terbawa suasana yang fun
dan mungkin saya bukan dianggap guru yang galak, maka mereka spontan
menjawab ‘No!!!’ dengan suara yang
keras. Saya kaget. Biasanya mereka hanya akan menjawab ‘Yes Sir’, lalu kalem
sebelum kemudian ribut lagi. Emosi saya langsung membubung tinggi. Saya berdiri dan
berjalan mengitari seluruh ruangan.
“Who said ‘no’ just now?”.
Satu orang angkat tangan sambil pamer
tampang tengil. Satu persatu ikut-ikutan mulai angkat tangan. Ini sudah parah
banget, dikira saya bisa dibikin main-main. Wibawa, mana wibawa?
“So you can’t be quiet in this room?”. Saya merasa
wajah saya pasti sekarang sudah berubah angker, dan intonasi suara saya juga
sudah agak tinggi. Buktinya beberapa anak mulai mengkeret. Semua tiba-tiba
diam. Satu persatu tangan yang tadi terangkat gugur berjatuhan.
“If you don’t want to be in my art session, please leave. You are
free to leave, don’t stay here only to make trouble and trigger noisy”.
Saya berjalan
ke arah pintu, membuka daun pintu lebar-lebar.
“If you can’t be quiet, please leave now. Don’t worry, you still
can come back when you think you can be quiet after get some fresh air out
there.You may need it”
Tak ada yang
bergerak. Bahkan anak yang paling jahil di kelas bernama Brennan, yang tadi
mengangkat tangan duluan, yang badannya sudah lebih tinggi dan lebih besar dari
saya, menunduk sambil pura-pura sibuk dengan coretannya.
“OK, if you don’t want to leave...then I’ll leave”. Hahaha, sudah
seperti dialog sinetron saja.
Saya mengambil
selembar kertas dari atas meja saya lalu menulis: ‘Dear Principal, we don’t want Mr Harrys to teach us anymore. Please dump him out of this school and get us a new teacher.’
Selesai menulis itu,
lalu kertasnya saya berikan kepada siswa
yang duduknya di meja depan paling pinggir.
“Pass this to all the students in this class until everyone done signing. Please all of you
sign this and we’ll submit it to the principal today. I’ll be waiting in
Teachers Room, hand me the paper there when you have finished”. Saya
pura-pura keluar dari kelas, pintunya saya tutup dari luar dan saya pergi ke
ruangan guru, duduk di meja saya menunggu sambil menenangkan diri.
Sepuluh menit
kemudian, Suresh - sang ketua kelas, siswa cowok keturunan India, mendekati
saya.
“We’re done, Sir”, katanya pelan, matanya menatap tegas tepat ke mata
saya. Oh, mau coba-coba mengintimidasi saya? Saya melirik kertas yang
disorongkan ke depan saya. Astaga, saya hampir kena serangan jantung. Kertas
kini sudah penuh berisi tanda tangan. Jadi mereka memang benar-benar membenci
saya? Jadi benar saya akan berhenti bekerja disini? Kok jadi begini? Padahal
tadi kan saya hanya gertak sambal. Saya nggak benar-benar meminta mereka bikin
petisi untuk memecat saya. Saya hanya pura-pura. Sekarang saya kena batunya. Bagaimana
besok saya akan mencari nafkah? Bagaimana saya akan memberi makan anak istri saya di rumah? Mati
deh saya! Hallahhh, kok jadi drama queen betulan.
Tetapi apa itu?
Ternyata tulisan yang saya tulis di bagian atas kertas tadi sudah di-tipex dan diganti menjadi: “Dear Mr. Harrys. We don’t want you to
leave. We like you. We’re very sorry. We promise we’ll be nice from now on.”
Saya menatap si ketua kelas, dia tersenyum malu-malu.
“Let’s go back to the classroom”, ajak saya sambil merangkul bahunya. Eh, dia
ikut-ikutan merangkul bahu saya karena tinggi kami hampir sama. Lancang ya!
Begitu memasuki
kelas, semua siswa menatap saya tegang. Saya juga pura-pura pasang tampang
seram dan masih murka.
“All of you are monsters. You hear me? You are monsters”, omel saya
dengan nada marah. Semua menahan nafas dan kelihatan sangat takut. “But you know what, I like monsters and all
of you are my favorite monsters”.
Lalu semua
tertawa lega, berdiri dan satu persatu memeluk saya. Sejak saat itu mereka
menjadi lebih tertib pada saat jam pelajaran saya. Ternyata menjadi Drama Queen kadang ada gunanya juga.
0 komentar:
Posting Komentar