Saat masih kuliah dulu, saya nge-kost di dekat kampus. Rumah kost
saya dulu penghuninya cowok semua dan mereka adalah senior saya di kampus. Awalnya saya tidak begitu berpikir yang aneh-aneh dengan rumah kost
ini. Kost-kost’an ini bentuknya rumah, punya halaman depan dan samping. Tapi
rumah kost ini lokasinya berada di dekat rawa. Dari jauh
kelihatan seperti sawah karena rumputnya yang tinggi dan hijau mirip padi,
padahal sebenarnya itu rawa.
Berhubung kost-kost-an ini tidak ada induk semangnya, jadi semua serba bebas. Rumah itu buka 24
jam, dan disinggahi banyak orang yang sekedar numpang nyanyi-nyanyi, mandi, makan
atau tidur. Keadaan ini membuat saya sedikit merasa beruntung, karena saya
menjadi banyak kenal orang, mulai dari preman, gigolo, polisi sampai aktifis. Saking akrabnya, yang namanya mandi bareng, seliweran bugil dan
tidur bareng sampai makan sebungkus berdua sudah lumrah di rumah itu. Tentu saja dengan jenis
kelamin yang sama. Lagian, yang paling sering datang kerumah itu kebanyakan
adalah berjenis kelamin cowok.
Anehnya, rumah ini sepanjang pagi sampai malam hari ramai terus., kecuali menjelang magrib. Jadi karena saya waktu itu adalah penghuni baru
disitu, saya sering ditinggal sendirian pas menjelang magrib. Awalnya saya
tidak menyadari kalau menjelang magrib pasti semua penghuni kost-kost-an ini akan pergi entah kemana.
Tetapi lama-lama saya curiga,
ada apa sih? Tetapi saya tidak pernah kepikiran bertanya, karena waktu itu saya
juga tidak berpikiran macam-macam.
Hingga suatu hari, saya baru pulang kuliah (tepat udah menjelang magrib). Seperti yang sudah
saya tebak, rumah sudah kosong ditinggalkan dan nanti jam delapan baru
orang-orang akan mulai berdatangan.
Saya masuk ke dalam rumah (yang memang tidak pernah dikunci) dan menyalakan lampu.
Menyusuri lorong menuju kamar saya, entah kenapa hari itu saya tiba-tiba merasa
merinding. Merasa ada yang sedang mengawasi. Untuk memastikan, saya buka semua
kamar satu persatu penghuni kost, semuanya kosong. Kamar mandi juga kosong. Masih dengan perasaan yang waswas (entah kerena apa), saya masuk ke dalam kamar saya yang letaknya berhadapan dengan kamar mandi. Pintu kamar
saya biarkan terbuka dan saya duduk di meja membaca majalah Hai
yang baru saja beli.
Pada saat saya sedang serius membaca, saya
seperti melihat sebuah bayangan berkelebat di pintu kamar saya. Upsss, apa itu. Bayangan itu begitu jelas, sehingga saya tidak mungkin tidak peduli atau pura-pura cuek. Saya menoleh dengan cepat ke arah pintu. Jantung
mulai dag-dig-dug, padahal saya tidak
merasa takut. Saya pikir mungkin itu penghuni kamar sebelah yang baru datang.
Tetapi tidak mungkin, penghuni kamar sebelah adalah orang yang sangat ramah,
bahkan terlalu ramah dan sangat akrab
dengan saya. Dia tidak akan
melewati pintu kamar saya sebelum menyapa atau sekedar ’mengganggu’ atau saling ledek-ledekan dulu dengan saya.
Saya berjalan menuju pintu kamar saya dan
mengintip ke kamar sebelah, masih kosong seperti tadi.
Jadi yang tadi itu siapa? Masak kucing sih? Siluet sosoknya terlalu besar untuk
ukuran kucing dan upssss....terlalu besar untuk ukuran manusia. Hiiiiii.....saya seperti langsung tersadar. Keringat dingin mulai mengucur di jidat. Dengan cepat saya masuk lagi ke dalam kamar, menutup dan mengunci pintu dari dalam.
Saya duduk diam di meja belajar saya menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Dan beberapa menit
kemudian, dari luar pintu saya mendengar langkah kaki yang
seperti terseret-seret di lantai. Hawa yang saya rasakan sudah tidak
enak dan munafik rasanya kalau saya bilang saya tidak ketakutan.
Suara langkah diseret itu seliweran dari
pintu depan menuju kamar mandi, kemudian balik lagi menuju pintu depan. Lama-lama
suara langkah diseret itu mulai diikuti dengan suara menggeram-geram. Suara
serak yang sangat rendah dan saya yakin itu bukan suara hewan atau
manusia. Daripada mati ketakutan, saya mencoba melakukan ’perlawanan’. Tidak,
jangan bayangkan saya akan keluar dari kamar sambil memasang kuda-kuda siap
salto di udara dan menghajar doski. Saya tidak seberani itu kok.
Saya meraih satu-satu kaset yang
tergeletak dimeja, album kaset Snow On
The Sahara – Anggun. **kalau mbak Anggun tau kisah ini,
pasti saya dijewer sampai putus. Masa iya albumnya yang keren itu saya pakai
untuk melawan hantu?** Saya langsung mencari-cari kira-kira lagu
mana di album ini yang paling berisik. Saya lihat pita
kasetnya sudah fifty-fifty. Pas saya
pasang ke tape recorder, terdengar lagu Gita yang melolong-lolong
seram itu. Ampun deh, makin tambah horor suasananya dan pasti makin senang dong
doski. Saya langsung rewind pita kaset itu untuk mendapatkan
lagu Over Their Walls di track nomor dua. Dan proses rewind itu rasanya seperti seabad lamanya. Lamaaaaaaaa banget sementara saya sudah hampir mati
ketakutan.
Saat saya tekan play, terdengar narasi Anggun membuka lagu Over Their Walls : ”atas
nama bulan aku ajak anda dalam perjalanan mimpi in”i. Dan JRENG!!!!!!!!! Intro musik nuansa China yang lumayan berisik itu langsung
membahana. Ya, atas nama bulan,
pergilah kau setan!!! Saya
langsung memutar volume suara sampai angka 8 (dari maksimum10). Terserah deh
orang yang lewat dari depan rumah ini nanti mengira saya sudah sinting atau
budek, yang penting suasana di rumah ini tidak boleh sunyi.
Lagu yang lumayan berisik itu membuat saya
tidak bisa mendengar apa-apa di luar pintu, dan itu
rasanya sangat melegakan. Lagu terus berlanjut hingga akhirnya lagu terakhir
side A : My Sensual Mind berakhir,
saya memasang telinga. Keadaan sudah sunyi, suara langkah diseret dan geraman itu sudah tidak terdengar lagi, tetapi saya belum berani keluar kamar. Masih takut, man!
Beberapa waktu kemudian, saya mendengar
suara lagi, tetapi kali ini suara-suara yang saya kenal.
Penghuni rumah kost ini satu persatu mulai berdatangan, dan saya-pun berani keluar.
Malam itu saya akhirnya beberapa penghuni
kost heran karena tumben saya mau ikut mandi rame-rame berdesak-desakan di dalam kamar mandi, satu hal yang hanya berani saya lakukan kalau bukan
karena terpaksa (misalnya karena sudah telat masuk kampus gara-gara bangun
kesiangan, daripada ngantri nunggu giliran). Setelah mengalami kejadian seram
tadi, saya sempat selama seminggu tidak berani masuk kamar mandi sendirian. Mandinya kalau tidak berdua sama teman satu kamar
ya rame-rame sama seluruh punghuni kost-kostan.
Sejak saat itu sepulang dari kampus
(apalagi kalo kebetulan jam pulangnya menjelang magrib) saya tidak akan
langsung pulang ke kost, tetapi akan mangkal...eh, kok mangkal? Kayak apa aja. Maksud saya mampir dulu dimana-dimana. Pokoknya saya
ogah kalau berada dirumah itu sendirian.
Suatu hari saya nekad curhat soal hal ini
kepada penghuni rumah kost paling senior di antara kami. Doski penghuni
paling lama kost di rumah ini. Saat saya selesai cerita, saya pikir dia akan menertawakan saya dan
mengatakan saya ngawur. Ternyata tidak, dia tersenyum maklum. Dia kemudian buka
rahasia kalau disini memang sering terjadi kejadian aneh seperti itu. Katanya
kejadian itu hanya dalam bentuk fenomena,tidak pernah sampai menganggu penghuni
rumah kost ini. Dan mungkin kejadian yang kemaren itu adalah bentuk salam ’selamat datang’ dari ’dia’ untuk saya. Amit-amit disambut
selamat datang dengan cara seperti itu.
Selama beberapa minggu saya terus menolak
’menjaga’ rumah pas magrib, tetapi lama-lama saya pikir ini sudah tidak benar.
Yang punya rumah siapa? Yang ’tergusur’ siapa? Banzai!!!
Setelah mengumpulkan nyali selama empat
hari, akhirnya saya memutuskan bahwa saya akan fight back. Rasanya nggak sudi diintimidasi di rumah sendiri oleh ’seseorang’ yang bahkan tidak ikut bayar sewa kamar
kost.
Sore itu sepulang kuliah, saya dengan
mantap langsung pulang ke rumah. Jujur, saya deg-degan, tetapi walau
bagaimanapun ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Seperti biasa, rumah
sudah kosong dan sepi. Saya menyalakan lampu, menyapu lantai **sempat-sempatnya
nyapu**, kemudian duduk di pintu depan seperti seorang penjaga pintu. Kali ini saya tidak akan mundur,
saya akan menghadapinya. Apalagi saya pernah baca sebuah ayat di Alkitab bahwa
manusia lebih ’mulia’ dan kuat daripada ’dia’ karena manusia terdiri dari fisik
dan roh, sementara dia hanyalah roh. Loe jual, gue beli. Hallahhh!
Saya mulai merasakan hawa yang sama
seperti tempo hari, tetapi saya menahan diri untuk tidak lari terbirit-birit
masuk ke kamar dan memutar musik yang berisik seperti kemaren. Selang
beberapa waktu kemudian, saya seperti bisa merasakan (tetapi tidak bisa
melihat) ada yang datang. Saya tetap bertahan duduk berselonjor di depan pintu, seperti memberi pesan bahwa kalau masuk harus melewati saya
dulu. Dalam hati saya juga mencoba berbicara : ”Ini rumah kami, saya adalah salah satu tuan rumahnya. Tolong hargai
kami. Kalau mau datang silahkan, tetapi jangan bikin ulah seperti yang kau
lakukan tempo hari.”
Saya merasakan sesuatu melewati wajah
saya, seperti hawa yang hangat. Saya langsung berdiri dan masuk ke dalam rumah. Inilah saatnya, saya tidak boleh lengah atau berpikiran
kosong. Ini saat yang kritis, dia atau saya yang lebih ’kuat’. Saya berjalan
menyusuri lorong yang memisahkan kamar-kamar, terus menuju kamar mandi. Entah kekuatan dari mana, saya langsung memukul
pintu kamar mandi dengan telapak tangan sekuat tenaga sambil berteriak ”Ini rumah saya, kau dengar itu? Rumah
saya!!!”. Wajah saya terasa panas antara takut dan emosi. Uhhh, sudah seperti adegan marah-marah di
sinetron saja.
Beberapa detik kemudian tiba-tiba saya merasa lega, hawa disekitar saya yang tadinya pengap perlahan-lahan
mulai kembali normal. Saya merasa saya berhasil memenangkan perang dominasi itu. Dia sepertinya
sudah tau bahwa saya itu galak dan belum disuntik rabies, jadi masih berbahaya
kalau menggigit.
Dan sejak saat itu, saya tidak lagi kabur menjelang magrib
dari rumah kost karena saya sudah tidak pernah dengar lagi suara langkah diseret dan bunyi geraman itu. Mungkin sesekali dia pernah datang, tetapi sudah
tidak petantang-petenteng lagi seperti dulu. Perlahan-lahan, rumah kost itu tak lagi kosong pas
magrib karena sejak mengetahui ada penghuni yang lain yang tinggal dirumah,
penghuni lainnya juga jadi berani tinggal di rumah meskipun pas magrib.
Bonus :
Di kampus, saya ikut club Tae
Kwon Do. Sebenarnya
latihannya diadakan di lantai 3 gedung perpustakaan. Tetapi
kadang untuk mencari suasana baru, kami latihan di halaman fakultas Ekonomi. Saya ingat dulu setiap kali ganti pakaian di toilet pria yang disampingnya ada tanah kosong, saya suka parno. Padahal
ganti bajunya rame-rame dengan teman-teman yang latihan Tae Kwon Do. Ganti baju
sebelum latihan dan sesudah kelar latihan artinya dua kali merasa parno.
Saya tidak atau apakah teman-teman yang merasakan hal yang sama, saya tidak
pernah menanyakannya dan mereka juga tidak pernah membahasnya.
Kadang di tengah latihan, dari lantai dua sering terdengar bangku dan meja yang
digeser-geser, atau kaca nako yang bergerak-gerak terbuka dan terturup. Waktu
itu kami tidak terlalu peduli karena kami pikir mungkin memang ada orang
disana. Logikanya, masa jam sembilan malam masih ada orang di dalam ruangan kampus, padahal kampus sudah tutup jam tujuh.
Beberapa tahun kemudian saya menonton cara
Percaya Nggak Percaya di AnTeve, dan
kebetulan liputan objek mereka adalah kampus saya itu. Astaganaga...ternyata dulu saya parno waktu ganti baju di toilet pria ada dasar alasannya. Menurut
penerawangan Pak Leo (ahli spritual acara itu), di dekat pintu masuk toilet itu ada genderuwo yang cukup narsis. Narsis
maksudnya suka menampakkan diri karena dia mempunyai energi negatif yang cukup
kuat. Saya jadi kebayang berarti genderuwo itu sudah puas melihat tubuh-tubuh telanjang kami saat ganti baju didalam
toilet. Dan satu yang saya syukuri, dulu setiap keluar atau masuk ke toilet
itu, saya tidak pernah menoleh ke samping gedung toilet. Kalo saya nekad menoleh, ada kemungkinan saya
akan melihat dia yang sedang ganjen menampakkan diri.
Dan mengenai suara meja dan kursi yang
digeser di lantai dua, masih menurut penerawangan Pak
Leo, itu adalah ulah seorang mantan mahasiswa. Kenapa
saya sebut mantan mahasiswa? Karena dia dulu bunuh diri di ruangan itu dan kini menjadi ’penghuni’ ruangan itu. Bunuh diri karena apa, saya tidak tau karena
kejadiannya sudah lama. Pantas
saja setiap saya lewat dari ruangan itu pas jam kuliah, ruangan itu selalu
kosong, padahal ruangan kanan kirinya adalah kantor dosen.
Ternyata ada sebabnya ruangan itu tetap dibiarkan kosong. Uh kalau saya sih,
nggak akan saya biarkan seperti itu. Banzai!!!
0 komentar:
Posting Komentar