24/02/14

BABY Julian



Sore yang sedikit membosankan. Saat itu saya baru pulang mengajar dari sebuah sekolah internasional tempat saya mengajar di kawasan Kemayoran. Dari terminal Senen saya naik bus jurusan Ciputat – Senen. 

Seperti yang bisa saya tebak, seorang pria muda penjual minuman kemasan gelas plastik dalam ember anti pecah muncul dan iseng duduk di bangku sebelah saya. 
Bus memang masih kosong, jadi entah berapa jam lagi saya harus menunggu sampai bus ini penuh. Sesuai kebiasaan, bus baru akan berjalan kalau bus sudah penuh.

“Baru pulang kerja, Mas?”, tanya mas penjual minuman disebelah saya. Saya menoleh, kemudian mengangguk sambil berusaha tersenyum ramah. Bukannya saya jahat atau sombong, tetapi sudah tiga minggu ini pria ini melakukan hal yang sama setiap hari saban senin sampai Jumat: duduk di bangku kosong sebelah saya ketika bus masih kosong, kemudian mengajukan pertanyaan yang itu-itu lagi.

Saya taksir usianya jeuh lebih muda dari saya, mungkin masih usia anak SMA. Wajahnya juga tidak bisa di bilang kriminal, bahkan tebilang tampan dengan sorot mata jenaka membuat saya tidak merasa was-was atau curiga dia berada dekat-dekat dengan saya.

Ketika bus sudah mulai terisi setengah, dia meninggalkan bangku disebelah saya sambil berkata ‘Mari, Mas” dengan sopan kemudian menajajakan dagangannya ke penumpang lain.

Bus mulai penuh ketika seorang wanita muda yang sedang menggendong bayi yang tertidur duduk di sebelah saya. Saya mengeser tas ransel saya kepangkuan saya, sekedar memberi ruang yang lebih lapang untuk ibu dan bayinya.

“Ini ke Ciputat khan Mas?”, tanya mbak itu  sambil menggeser tubuhnya merapat kearah saya. Saya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati saya geli, kok duduk dulu baru nanya. Seharusnya kan nanya dulu baru duduk, siapa tau naik bus yang keliru.

Bus akhirnya penuh lalu bergerak meninggalkan terminal Blok M. Ketika melewati jalan Salemba, tiba-tiba bayi dalam gendongan Ibu itu mulai rewel. Kaki dan tanganya mulai bergerak ke segala penjuru Si ibu itu membuka topi penutup kepala bayi itu. Saya melirik sepintas. Bayi itu matanya masih terpejam, tetapi mulut mungilnya sibuk komat-kamit seperti sedang mengunyah.

Beberapa saat kemudian terdengar rengekan yang memilukan. Sang ibu berusaha menenangkan bayi itu dengan cara menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.
Saya memutar corong aliran udara AC bis d iatas kepala saya, saya pikir mungkin bayi itu kepanasan.

Saya sudah hampir menggigil kedinginan karena tiupan AC super kencang di atas kepala saya, tetapi bayi itu masih saja rewel. Jadi masalahnya bukan karena panas atau dingin. Kali ini dia sudah seperti mahluk berwajah malaikat yang bertingkah seperti monster. Dia menjerit sekeras-kerasnya sambil menangis. Dia juga meronta-ronta hebat. Ibunya sampai beberapa kali minta maaf karena entah sudah beberapa kali lengan dan bahu saya terkena tendangan dan tonjokan nyasar monster cilik itu.

Lima menit berlalu, bayi mungil itu masih melakukan aksi akrobatnya. Saya melirik lagi, dia sudah keringatan sementara ibunya mulai kelihatan putus asa.

“Sudah berapa bulan, Bu?”, tanya saya iseng. Saya juga bingung, kok bisa saya begitu merasa penting bertanya seperti itu. Seperti sesama ibu-ibu muda saja.

“Bulan depan sudah mau satu tahun, Mas”.

Saya menatap mahluk mungil itu, dia juga sedang menatap saya dengan mulut terbuka mengeluarkan tangis. Wajahnya basah kuyup oleh keringat bercamput airmata. Nafasnya tersengal-sengal, sepertinya dia sudah kelelahan menangis, tetapi belum berencana untuk mengakhiri ‘konser tunggal’nya itu.

Spontan saya mengulurkan kedua tangan saya, sekedar mengajaknya bercanda. Di luar dugaan saya, dia juga mengulurkan kedua tangannya menyambut tangan saya sambil menyorongkan badannya ke arah saya.

“Eh, mau sama Om ya?”, kata Ibunya sambil menatap saya bingung.
“Mampus deh gue”, rutuk saya dalam hati karena si ibu langsung saja menyerahkan si bayi ke pangkuan saya. Apa-apa’an ini? Saya kan tadi cuma bercanda.

Seumur-umur saya belum pernah menggendong bayi, jadi saya sempat sedikit panik  ketika bayi itu sudah mendarat di pangkuan saya, seolah-olah bayi itu bisa meledak setiap saat. Ajaibnya, bayi itu sudah tidak menangis lagi. Sambil sesekali terkekeh-kekeh, dia sibuk manrik-narik rambut saya, menepuk-nepuk pipi saya dan memukul-mukul pelan jam tangan saya.

“Wah, kok sama mas dia langsung tenang ya?”, ujar Ibunya takjub campur lega.
“Mungkin dia mengira si mas ini Papanya” celutuk seorang penumpang pria yang berdiri di samping Ibu itu. Saya melotot kepadanya, dia hanya tersenyum jahil.
“Namanya siapa mbak?”, tanya saya iseng.
“Julian. Tadi baru dari rumah neneknya di Kwitang”.

Di Bundaran HI, akhirnya Julian tertidur lelap di pangkuan saya dengan posisi salah satu tangannya memeluk leher saya. Bagian dada kemeja saya sudah lembab karena keringatnya. Well, saya tidak keberatan. Tiba-tiba sore ini saya merasa menjadi seorang ayah yang sedang menggendong anaknya.

Sampai di Radio Dalam,. Ibu muda itu menoleh kearah saya. Dia tersenyum sambil memperhatikan anak kesayangannya yang terlelap dipangkuan saya.

“Kami udah mau turun, Mas. Maaf ya, udah ngerepotin. Ma kasih lho”. Kemudian dengan pelan-pelan saya memindahkan Julian dari pangkuan saya kepangkuan Ibu itu. Ada perasaan berat dan tidak rela ketika menyerahkan kembali Julian kepada Ibunya. Saking tidak relanya, saya sampai sempat kepikiran untuk memecahkan kaca jendela bus, lalu meloncat keluar sambil melarikan Julian. Saya berharap saat itu Julian segera bangun agar saya bisa melihat wajah malaikatnya manatap saya sambil tertawa. Tetapi hingga akhirnya Ibu itu turun, Julian masih juga terlelap. Dia tidak bisa melambaikan tangannya seperti yang saya harapkan.

Ketika bus melaju memasuki kawasan Pondok Indah, saya tiba-tiba merasa kehilangan Julian. Saya terbayang tawanya yang lucu, celotehan yang tidak jelas, dan tatapan matanya yang polos beberapa puluh menit yang lalu. Sambil memalingkan muka keluar kaca jendela bus untuk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca, saya berbisik dalam hati : "I hope to see you again, Julian".
Share:

0 komentar:

Posting Komentar