Sore yang
sedikit membosankan. Saat itu saya baru pulang mengajar dari sebuah sekolah
internasional tempat saya mengajar di kawasan Kemayoran. Dari terminal Senen saya naik bus jurusan Ciputat
– Senen.
Seperti yang bisa saya tebak, seorang pria muda penjual minuman kemasan gelas plastik dalam ember anti pecah muncul dan iseng duduk di bangku sebelah saya.
Bus memang masih kosong, jadi entah berapa jam lagi saya harus menunggu sampai bus ini penuh. Sesuai kebiasaan, bus baru akan berjalan kalau bus sudah penuh.
Seperti yang bisa saya tebak, seorang pria muda penjual minuman kemasan gelas plastik dalam ember anti pecah muncul dan iseng duduk di bangku sebelah saya.
Bus memang masih kosong, jadi entah berapa jam lagi saya harus menunggu sampai bus ini penuh. Sesuai kebiasaan, bus baru akan berjalan kalau bus sudah penuh.
“Baru pulang kerja, Mas?”, tanya mas penjual
minuman disebelah saya. Saya menoleh, kemudian mengangguk sambil berusaha
tersenyum ramah. Bukannya saya jahat atau sombong, tetapi sudah tiga minggu ini
pria ini melakukan hal yang sama setiap hari saban senin sampai Jumat: duduk di bangku kosong
sebelah saya ketika bus masih kosong, kemudian mengajukan pertanyaan yang
itu-itu lagi.
Saya taksir
usianya jeuh lebih muda dari saya, mungkin masih usia anak SMA. Wajahnya juga
tidak bisa di bilang kriminal, bahkan tebilang tampan dengan sorot mata jenaka membuat saya tidak merasa was-was atau
curiga dia berada dekat-dekat dengan saya.
Ketika bus sudah
mulai terisi setengah, dia meninggalkan bangku disebelah saya sambil berkata
‘Mari, Mas” dengan sopan kemudian menajajakan dagangannya ke penumpang
lain.
Bus mulai penuh
ketika seorang wanita muda yang sedang menggendong bayi yang tertidur duduk di sebelah saya.
Saya mengeser tas ransel saya kepangkuan saya, sekedar memberi ruang yang lebih
lapang untuk ibu dan bayinya.
“Ini ke Ciputat
khan Mas?”, tanya mbak itu sambil menggeser
tubuhnya merapat kearah saya. Saya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati saya geli,
kok duduk dulu baru nanya. Seharusnya kan nanya dulu baru duduk, siapa tau naik
bus yang keliru.
Bus akhirnya penuh lalu bergerak
meninggalkan terminal Blok M. Ketika melewati jalan Salemba, tiba-tiba bayi
dalam gendongan Ibu itu mulai rewel. Kaki dan tanganya mulai bergerak ke segala penjuru Si ibu itu membuka topi
penutup kepala bayi itu. Saya melirik sepintas. Bayi itu matanya masih
terpejam, tetapi mulut mungilnya sibuk komat-kamit seperti sedang mengunyah.
Beberapa saat
kemudian terdengar rengekan yang memilukan. Sang ibu berusaha menenangkan bayi
itu dengan cara menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.
Saya memutar
corong aliran udara AC bis d iatas kepala saya, saya pikir mungkin bayi itu
kepanasan.
Saya sudah
hampir menggigil kedinginan karena
tiupan AC super kencang di atas kepala saya, tetapi
bayi itu masih saja rewel. Jadi masalahnya bukan karena panas atau dingin. Kali
ini dia sudah seperti mahluk berwajah malaikat yang
bertingkah seperti monster. Dia menjerit
sekeras-kerasnya sambil menangis. Dia juga meronta-ronta hebat. Ibunya sampai
beberapa kali minta maaf karena entah sudah beberapa kali lengan dan bahu saya
terkena tendangan dan tonjokan nyasar monster cilik itu.
Lima
menit berlalu, bayi mungil itu masih melakukan aksi akrobatnya. Saya melirik
lagi, dia sudah keringatan sementara ibunya mulai kelihatan putus asa.
“Sudah berapa
bulan, Bu?”, tanya saya iseng. Saya juga bingung, kok bisa saya begitu merasa
penting bertanya seperti itu. Seperti sesama ibu-ibu muda saja.
“Bulan depan
sudah mau satu tahun, Mas”.
Saya menatap
mahluk mungil itu, dia juga sedang menatap saya dengan mulut terbuka
mengeluarkan tangis. Wajahnya basah kuyup oleh keringat bercamput airmata.
Nafasnya tersengal-sengal, sepertinya dia sudah kelelahan menangis, tetapi
belum berencana untuk mengakhiri ‘konser tunggal’nya itu.
Spontan saya
mengulurkan kedua tangan saya, sekedar mengajaknya bercanda. Di luar dugaan
saya, dia juga mengulurkan kedua tangannya menyambut tangan saya sambil
menyorongkan badannya ke arah saya.
“Eh, mau sama Om
ya?”, kata Ibunya sambil menatap saya bingung.
“Mampus deh
gue”, rutuk saya dalam hati karena si
ibu langsung saja menyerahkan si bayi ke pangkuan saya.
Apa-apa’an ini? Saya kan tadi cuma bercanda.
Seumur-umur saya
belum pernah menggendong bayi, jadi saya sempat sedikit panik ketika bayi itu sudah mendarat di pangkuan saya, seolah-olah bayi itu
bisa meledak setiap saat. Ajaibnya, bayi itu sudah tidak menangis lagi. Sambil sesekali
terkekeh-kekeh, dia sibuk manrik-narik rambut saya, menepuk-nepuk pipi saya dan
memukul-mukul
pelan jam tangan saya.
“Wah, kok sama mas
dia langsung tenang ya?”, ujar Ibunya takjub campur lega.
“Mungkin dia
mengira si mas
ini Papanya” celutuk seorang penumpang pria yang berdiri di samping Ibu
itu. Saya melotot kepadanya, dia hanya tersenyum jahil.
“Namanya siapa mbak?”, tanya saya iseng.
“Julian. Tadi
baru dari rumah neneknya di Kwitang”.
Di Bundaran HI,
akhirnya Julian tertidur lelap di pangkuan saya dengan posisi salah satu tangannya
memeluk leher saya. Bagian dada kemeja saya sudah lembab karena keringatnya. Well, saya tidak keberatan. Tiba-tiba
sore ini saya merasa menjadi seorang ayah yang sedang menggendong anaknya.
Sampai di Radio
Dalam,. Ibu muda itu menoleh kearah saya. Dia tersenyum sambil memperhatikan
anak kesayangannya yang terlelap dipangkuan saya.
“Kami udah mau
turun, Mas. Maaf ya, udah ngerepotin. Ma kasih lho”. Kemudian dengan
pelan-pelan saya memindahkan Julian dari pangkuan saya kepangkuan Ibu itu. Ada perasaan berat dan
tidak rela ketika menyerahkan kembali Julian kepada Ibunya. Saking tidak relanya, saya sampai sempat kepikiran
untuk memecahkan kaca jendela bus, lalu meloncat keluar sambil melarikan Julian.
Saya berharap saat itu Julian segera bangun agar saya
bisa melihat wajah malaikatnya manatap saya sambil tertawa. Tetapi hingga
akhirnya Ibu itu turun, Julian masih juga terlelap. Dia tidak bisa melambaikan
tangannya seperti yang saya harapkan.
Ketika bus
melaju memasuki kawasan Pondok Indah, saya tiba-tiba merasa kehilangan Julian.
Saya terbayang tawanya yang lucu, celotehan yang tidak jelas, dan tatapan
matanya yang polos beberapa puluh menit yang lalu. Sambil memalingkan muka
keluar kaca jendela bus untuk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca, saya
berbisik dalam hati : "I hope to see you again, Julian".
0 komentar:
Posting Komentar