Setiap kali
mendengar kabar gempa bumi yang melanda beberapa wilayah Indonesia atau mungkin
di negara lain, saya selalu merinding. Bukan karena ada
kuntilanak lewat sekelebat di atas kepala, tetapi
karena saya akan seperti merasakan sesuatu yang seperti blast from the past.
Saya akan teringat kejadian waktu saya masih kelas 3 SD. Umur tujuh tahun adalah pertama kalinya saya merasakan gempa bumi yang lumayan dahsyat (kalau tidak salah waktu itu
kekuatan gempanya 6,9 SR). Yang saya ingat, kejadiannya waktu itu sekitar jam 2-3
dini hari ketika semua orang masih terlelap. Saya adalah type kerbau, maksudnya hanya bisa terbangun kalau ada
helikopter jatuh. Sekedar jatuh saja
belum cukup mampu membangunkan saya, tetapi helikopternya harus benar-benar
jatuh menimpa saya, barulah saya bisa bangun.
Jadi waktu itu
ketika gempa mengguncang, saya justru bangun setelah diseret oleh kakak saya keluar dari rumah. Mata masih terpejam ketika berlari-lari melintasi ruang
tengah menuju pintu luar, tetapi saya bisa mendengar bunyi bangunan dan
perabotan rumah yang berderak-derak.
Nyawa saya baru benar-benar terkumpul sepuluh menit kemudian. Di halaman rumah semua tetangga sudah berkumpul, beberapa anak seusia saya menangis ketakutan. Berada di luar rumah dengan pakaian seadanya benar-benar membuat saya menggigil
kedinginan. Tidak ada yang berani masuk ke dalam rumah karena gempa susulan dengan kekuatan yang nyaris sama masih
setia mengguncang setiap lima menit. Apalagi saat itu aliran listrik juga mati. Udah ketakutan, kedinginan, gelap gulita pula.
Ketika pagi tiba, sekolah diliburkan sampai jangka waktu yang
tidak jelas, apalagi bangunan sekolah saya juga sudah roboh.
Biasanya mendengar kabar sekolah diliburkan sudah seperti kabar surgawi. Tetapi kali ini siapa yang bisa bergembira di tengah teror gempa? Saya lebih memilih sekolah dengan sejumlah PR yang sanggup
membunuh daripada hidup tanpa sekolah dengan rasa takut akibat guncangan gempa setiap
menit.
Dalam situasi seperti ini,
saya menyaksikan para
tetangga saling bekerja sama membangun tenda untuk masing-masing keluarga di halaman sekolah dekat rumah saya. Terbersit rasa khawatir mendengar gosip
bahwa gunung (yang terlihat jelas dari rumah saya) akan segera
meletus. Itu terlihat dari gugusan asap hitam yang
membubung di puncak gunung tersebut.
Belakangan diketahui bahwa bubungan asap itu
adalah ban bekas yang dibakar oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di puncak gunung, untuk tujuan membuat
masyarakat kota kelahiran saya parno. Sampai sekarang saya masih tidak habis pikir, kok ada ya
orang yang lahir dengan hati biadab seperti itu. Mungkin ibunya tidak pernah
mengajari mereka sejak kecil.
Berhubung gempa masih terus menerus
mengguncang, sebagai antisipasi kejadian terburuk yang mungkin saja terjadi,
akhirnya bapak
saya memutuskan
bahwa mama
dan para anak-anaknya
sebaiknya mengungsi
saja. Dengan dana seadanya (saya dan kakak-kakakku terpaksa harus memecahkan
celengan ayam kesayangan kami), kami sekeluarga ‘ditumpuk’ beserta pengungsi
lain ke dalam mobil truk menuju kota Tebing Tinggi.
Mengantar keberangkatan kami, untuk pertama
kalinya saya melihat bapak menangis, sesuatu yang hampir tidak pernah beliau lakukan dalam keadaan
seburuk apapun. Bapak menangis sambil mencium kepala saya. Sebenarnya saya
ingin tinggal bersama bapak, karena saya menbayangkan tidur di dalam tenda dihalaman
sekolah pasti sangat asyik. Tetapi Bapak bersikeras bahwa semua anak-anaknya harus pergi
mengungsi. Bapak
dan salah satu abang saya akan tinggal di tenda dan bertahan di Tarutung.
Sepanjang perjalanan malam hari selama tujuh jam, hujan turun dan
airnya merembes melalui terpal dan membasahi manusia-manusia yang bertumpuk di dalam truk. Buat saya itu adalah pengalaman paling menyedihkan
yang pernah saya alami waktu kecil dulu. Anak kecil dan orang dewasa
berhimpitan di dalam truk menempuh perjalanan di malam hari dan hujan deras.
Di lokasi pengungsian kami di tampung di sebuah keluarga dari pihak tante saya yang
baik hati.. Waktu itu image anak pengungsi kesannya adalah anak yang menderita banget,
jadi anak-anak setempat suka memandang dengan mata sebelah, bahkan cenderung bullying. Apalagi waktu itu saya
termasuk anak yang bertubuh kecil dan dikira gampang jadi sasaran, maka yang
namanya berkelahi dengan anak-anak berandalan
warga asli lokasi pengungsian
sudah seperti kebutuhan dan panggilan jiwa. Masih
terguncang akibat trauma gempa, membuat saya lebih nekad dan galak menjawab
semua ancaman dan hardikan dari para anak-anak nakal dan tukang bully di lokasi
pengungsian.
Seingat saya, ada salah satu anak perempuan yang bertubuh sangat besar yang menjadi salah satu tukang bully. Saya sendiri curiga dia bukan anak perempuan. Badannya sangat berotot dan suaranya berat seperti perokok. Hobby-nya saja melempari kendaraan yang lewat di jalan raya dan memaki nenek-nenek. Tinggi saya hanya seketiaknya dia. Tanpa salah apa-apa, dia mendorong saya sampai tercebur ke dalam sekolan yang airnya berwarna hitam dan bau.
Seingat saya, ada salah satu anak perempuan yang bertubuh sangat besar yang menjadi salah satu tukang bully. Saya sendiri curiga dia bukan anak perempuan. Badannya sangat berotot dan suaranya berat seperti perokok. Hobby-nya saja melempari kendaraan yang lewat di jalan raya dan memaki nenek-nenek. Tinggi saya hanya seketiaknya dia. Tanpa salah apa-apa, dia mendorong saya sampai tercebur ke dalam sekolan yang airnya berwarna hitam dan bau.
Saya masih ingat,
lumpurnya sempat masuk ke dalam mulut saya (dan itu membuat saya mual setiap
kali mengingat kejadian itu). Setelah berhasil menceburkan saya, dia menunggu
saya keluar dari kubangan sambil tertawa penuh kemenangan. Dan itulah
kesempatan saya untuk membalas dendam. Saya tonjok perutnya dengan gerakan
menipu. Saya pura-pura akan meninju wajahnya, dengan begitu dia fokus
melindungi wajahnya dan melupakan perutnya. Dengan gerakan cepat saya arahkan
tonjokan saya ke perutnya. Hasilnya, dia sempat sesak nafas selama beberapa
saat. Lalu dengan kesetanan dia meringkus tubuh kurus saya dan lagi-lagi di
lempar ke dalam selokan yang sama. Score
sementara 2 : 1 untuk kemenangan dia.
Jadi kalau saya ditanya
apakah saya pernah berkelahi dengan anak perempuan? Jawabnya pernah, tapi
tolong dicatat ya bahwa dia yang memulai duluan.
Dua minggu
kemudian, lega rasanya ketika kami kembali ke rumah. Senang
bertemu bapak dan abang serta tetangga. Lega karena tidak harus berkelahi lagi setiap
hari, karena saya sebenarnya pencinta damai.
Merinding melihat
sisa-sisa guncangan gempa : retakan tanah di sana-sini, bukit yang longsor, bangunan yang miring dan yang paling
menyeramkan dan sanggup membuat saya lari tunggang langgang adalah kuburan yang
retak. Pikiran musryik saya membuat saya berpikir, mungkin dari retakan itu akan muncul tangan dan langsung menjawil pipi saya
dengan gemas seperti yang sering dilakukan orang-orang setiap kali melihat saya.
Puluhan tahun
berlalu, saya ingat waktu itu saya tidak menangis sama sekali seperti anak-anak
lainnya. Anehnya, justru sekarang saya pengen menangis setiap
kali ingat kejadian itu. Terbayang kembali bumi yang terasa terombang-ambing di atas ombak, jeritan ketakutan di kanan kiri dan bapak yang menangis.
Jadi setiap kali
mendengar kabar tentang bencana gempa, saya pasti akan selalu berusaha
mengasingkan diri selama beberapa saat karena saya malu kalau tiba-tiba
menangis di hadapan publik.
0 komentar:
Posting Komentar