24/02/14

TERTINDAS Saat Mengungsi



Setiap kali mendengar kabar gempa bumi yang melanda beberapa wilayah Indonesia atau mungkin di negara lain, saya selalu merinding. Bukan karena ada kuntilanak lewat sekelebat di atas kepala, tetapi karena saya akan seperti merasakan sesuatu yang seperti blast from the past.

Saya akan teringat kejadian waktu saya masih kelas 3 SD. Umur tujuh tahun adalah pertama kalinya saya merasakan gempa bumi yang lumayan dahsyat (kalau tidak salah waktu itu kekuatan gempanya 6,9 SR). Yang saya ingat, kejadiannya waktu itu sekitar jam 2-3 dini hari ketika semua orang masih terlelap. Saya adalah type kerbau, maksudnya hanya bisa terbangun kalau ada helikopter jatuh. Sekedar jatuh saja belum cukup mampu membangunkan saya, tetapi helikopternya harus benar-benar jatuh menimpa saya, barulah saya bisa bangun.  

Jadi waktu itu ketika gempa mengguncang, saya justru bangun setelah diseret oleh kakak saya keluar dari rumah. Mata masih terpejam ketika berlari-lari melintasi ruang tengah menuju pintu luar, tetapi saya bisa mendengar bunyi bangunan dan perabotan rumah yang berderak-derak.

Nyawa saya baru benar-benar terkumpul sepuluh menit kemudian. Di halaman rumah semua tetangga sudah berkumpul, beberapa anak seusia saya menangis ketakutan. Berada di luar rumah dengan pakaian seadanya benar-benar membuat saya menggigil kedinginan. Tidak ada yang berani masuk ke dalam rumah karena gempa susulan dengan kekuatan yang nyaris sama masih setia mengguncang setiap lima menit. Apalagi saat itu aliran listrik juga mati. Udah ketakutan, kedinginan, gelap gulita pula.

Ketika pagi tiba, sekolah diliburkan sampai jangka waktu yang tidak jelas, apalagi bangunan sekolah saya juga sudah roboh. Biasanya mendengar kabar sekolah diliburkan sudah seperti kabar surgawi. Tetapi kali ini siapa yang bisa bergembira di tengah teror gempa? Saya lebih memilih sekolah dengan sejumlah PR yang sanggup membunuh daripada hidup tanpa sekolah dengan rasa takut akibat guncangan gempa setiap menit.

Dalam situasi seperti ini, saya menyaksikan para tetangga saling bekerja sama membangun tenda untuk masing-masing keluarga di halaman sekolah dekat rumah saya. Terbersit rasa khawatir mendengar gosip bahwa gunung (yang terlihat jelas dari rumah saya) akan segera meletus. Itu terlihat dari gugusan asap hitam yang membubung di puncak gunung tersebut.

Belakangan diketahui bahwa bubungan asap itu adalah ban bekas yang dibakar oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di puncak gunung, untuk tujuan membuat masyarakat kota kelahiran saya parno. Sampai sekarang saya masih tidak habis pikir, kok ada ya orang yang lahir dengan hati biadab seperti itu. Mungkin ibunya tidak pernah mengajari mereka sejak kecil.

Berhubung gempa masih terus menerus mengguncang, sebagai antisipasi kejadian terburuk yang mungkin saja terjadi, akhirnya bapak saya memutuskan bahwa mama dan para anak-anaknya sebaiknya mengungsi saja. Dengan dana seadanya (saya dan kakak-kakakku terpaksa harus memecahkan celengan ayam kesayangan kami), kami sekeluarga ‘ditumpuk’ beserta pengungsi lain ke dalam mobil truk menuju kota Tebing Tinggi.

Mengantar keberangkatan kami, untuk pertama kalinya saya melihat bapak menangis, sesuatu yang hampir tidak pernah beliau lakukan dalam keadaan seburuk apapun. Bapak menangis sambil mencium kepala saya. Sebenarnya saya ingin tinggal bersama bapak, karena saya menbayangkan tidur di dalam tenda dihalaman sekolah pasti sangat asyik. Tetapi Bapak bersikeras bahwa semua anak-anaknya harus pergi mengungsi. Bapak dan salah satu abang saya akan tinggal di tenda dan bertahan di Tarutung.

Sepanjang perjalanan malam hari selama tujuh jam, hujan turun dan airnya merembes melalui terpal dan membasahi manusia-manusia yang bertumpuk di dalam truk. Buat saya itu adalah pengalaman paling menyedihkan yang pernah saya alami waktu kecil dulu. Anak kecil dan orang dewasa berhimpitan di dalam truk menempuh perjalanan di malam hari dan hujan deras.

Di lokasi pengungsian kami di tampung di sebuah keluarga dari pihak tante saya yang baik hati.. Waktu itu image anak pengungsi kesannya adalah anak yang menderita banget, jadi anak-anak setempat suka memandang dengan mata sebelah, bahkan cenderung bullying. Apalagi waktu itu saya termasuk anak yang bertubuh kecil dan dikira gampang jadi sasaran, maka yang namanya berkelahi dengan anak-anak berandalan warga asli lokasi pengungsian sudah seperti kebutuhan dan panggilan jiwa. Masih terguncang akibat trauma gempa, membuat saya lebih nekad dan galak menjawab semua ancaman dan hardikan dari para anak-anak nakal dan tukang bully di lokasi pengungsian. 

Seingat saya, ada salah satu anak perempuan yang bertubuh sangat besar yang menjadi salah satu tukang bully. Saya sendiri curiga dia bukan anak perempuan. Badannya sangat berotot dan suaranya berat seperti perokok. Hobby-nya saja melempari kendaraan yang lewat di jalan raya dan memaki nenek-nenek. Tinggi saya hanya seketiaknya dia. Tanpa salah apa-apa, dia mendorong saya sampai tercebur ke dalam sekolan yang airnya berwarna hitam dan bau.

Saya masih ingat, lumpurnya sempat masuk ke dalam mulut saya (dan itu membuat saya mual setiap kali mengingat kejadian itu). Setelah berhasil menceburkan saya, dia menunggu saya keluar dari kubangan sambil tertawa penuh kemenangan. Dan itulah kesempatan saya untuk membalas dendam. Saya tonjok perutnya dengan gerakan menipu. Saya pura-pura akan meninju wajahnya, dengan begitu dia fokus melindungi wajahnya dan melupakan perutnya. Dengan gerakan cepat saya arahkan tonjokan saya ke perutnya. Hasilnya, dia sempat sesak nafas selama beberapa saat. Lalu dengan kesetanan dia meringkus tubuh kurus saya dan lagi-lagi di lempar ke dalam selokan yang sama. Score sementara 2 : 1 untuk kemenangan dia.

Jadi kalau saya ditanya apakah saya pernah berkelahi dengan anak perempuan? Jawabnya pernah, tapi tolong dicatat ya bahwa dia yang memulai duluan.

Dua minggu kemudian, lega rasanya ketika kami kembali ke rumah. Senang bertemu bapak dan abang serta tetangga. Lega karena tidak harus berkelahi lagi setiap hari, karena saya sebenarnya pencinta damai.

Merinding melihat sisa-sisa guncangan gempa : retakan tanah di sana-sini, bukit yang longsor, bangunan yang miring dan yang paling menyeramkan dan sanggup membuat saya lari tunggang langgang adalah kuburan yang retak. Pikiran musryik saya membuat saya berpikir, mungkin dari retakan itu akan muncul tangan dan langsung menjawil pipi saya dengan gemas seperti yang sering dilakukan orang-orang setiap kali melihat saya.

Puluhan tahun berlalu, saya ingat waktu itu saya tidak menangis sama sekali seperti anak-anak lainnya. Anehnya, justru sekarang saya pengen menangis setiap kali ingat kejadian itu. Terbayang kembali bumi yang terasa terombang-ambing di atas ombak, jeritan ketakutan di kanan kiri dan bapak yang menangis.

Jadi setiap kali mendengar kabar tentang bencana gempa, saya pasti akan selalu berusaha mengasingkan diri selama beberapa saat karena saya malu kalau tiba-tiba menangis di hadapan publik.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar