Saya
terakhir kali belajar menyetir waktu masih kelas 2 SMA. Waktu itu saya hanya
belajar menyetir di lapangan bola yang saya yakin bahkan nenek-nenek yang
matanya ditutup dan duduk terbalik menghadap ke belakang juga pasti bisa
menyetir kalau medannya seperti itu.
Kemudian
saya kembali belajar menyetir di jalan perumahan. Sayangnya, saya masih
rada-rada disoriented. Apa yang saya lihat, maka itu yang akan saya
hampiri. Saya lihat tong, maka saya akan nabrak tong. Saya melihat kambing,
maka saya akan menabrak kambing. Kakak saya bilang, bahkan saya juga bisa
menabrak lalat.
Pernah
suatu hari, ketika saya sedang belajar nyetir sendirian (dan ini adalah salah
satu hal yang paling goblok yg pernah saya lakukan) mobil saya nyaris nyemplung
ke sungai. Kalau tangan saya tidak spontan menarik rem tangan, mungkin saya dan
mobil sudah hanyut sampai ke sungai Cisadane dan cerita ini tak akan
pernah anda baca.
Tahun
2010, saya akhirnya memutuskan untuk belajar nyetir secara serius. Saya
mendaftar di sebuah kursus menyetir di dekat rumah.
HARI PERTAMA
Saya
ditanya oleh instrukturnya apakah sudah pernah belajar nyetir? Dengan
songong-nya saya jawab ‘sudah’. Dan jawaban asal nyahut ini harus saya
bayar mahal, karena saya langsung disuruh duduk di depan dan mengemudikan
sendiri mobilnya. Mampus gue! Dasar saya ini type orang yang
gengsinya segede meriam, saya sok tenang-tenang aja duduk di jok supir. Saya
langsung disuruh bawa sendiri mobilnya. Maju beberapa puluh meter sih masih
lancar, ketika sampai dipersimpangan saya langsung di-instruksikan belok kanan.
Hah? Belok kanan? Maksud loe?
FYI,
belok kanan berarti masuk ke jalan raya Ciputat yang penuh dengan angkot dan
pengendara sepeda motor yang setiap hari kesurupan. Tadinya saya berharap akan
disuruh belok ke kiri, menuju lapangan sepak bola. Hah, lapangan sepak bola
lagi? Hehehe...saya kan cari aman. Apa boleh buat, instruktur harus
dipatuhi. Maka meluncurlah kami menuju pasar Ciputat yang padatnya minta nambah
itu. Saya sangat bersyukur mobil yang saya kemudikan ada stiker dengan tulisan
‘LATIHAN’ segede dosa, sehingga melihat laju mobil yang belum stabil maka para
angkot dan ojek di pinggir jalan langsung pada menyingkir. Seperti melihat
ada badak labil yang mau lewat, takut diseruduk.
Dengan
debar jantung di dada, sang instruktur bolak balik nyuruh saya injak kopling,
rem, lepas kopling, injak lagi, lepas lagi, injak lagi, lepas perlahan, gas
sedikit yang lama-lama justru bikin saya emosi. Tidak tergambarkan betapa
bahagianya saya ketika berhasil melewati pasar Ciputat yg full angkutan
dan orang-orang itu. Serasa baru sembuh dari luka batin. Menuju Bintaro, lalu
lintas relatif lancar sehingga saya berani adu balap dengan sebuah metromini,
namun langsung ditegur sang instruktur. Habis sopir metromini-nya nantangin
sih.
Sampai
di Bintaro, di sebuah persimpangan sepertinya ada pengalihan arah lalu lintas.
Mobil saya diberhentikan seorang Pak Polisi untuk memberi kesempatan
mobil-mobil yg dari arah kiri untuk melintas. Dasar tangan saya nggak pernah
disekolahin, tiba-tiba saya tangan saya nyelonong dan menekan klakson. Dan
berkumandanglah bunyi TWEEEIIIIIIIT!!!!!!. Kebayang dong gimana bunyi
klakson yang dibunyikan tanpa sengaja, pasti bunyi yang ditimbulkan sanggup
membangkitkan orang mati. Pak Polisinya terlonjak kaget.
Seandainya
ini film kartun, mungkin Pak Polisinya sudah meloncat kaget setinggi-tingginya
menembus awan, membuat kaget kawanan burung, terus meluncur sampai ke luar
angkasa, melewati satelit dan berakhir menjadi sebuah titik di antara bintang.
Sang instruktur dan Pak Polisi-nya kompak memberi saya pelototan yang sangat
mengguncang iman, sementara orang-orang di sekeliling kami tertawa, bahkan ada
yang bertepuk tangan segala. Dikiranya saya sedang menghardik Pak Polisi yang
memberhentikan mobil saya tersebut. Saya hanya bisa memberi kode bahwa saya
melakukannya tanpa sengaja. Pak Polisi-nya hanya membuang muka lalu meludah.
Sialan!
Latihan
hari pertama relatif lancar, meski saya masih harus terus di-ingatkan bahwa
melepas kopling itu harus pelan-pelan. Tetapi praktis selama latihan hari itu,
mobil saya HANYA mati mesin (gara-gara melepas kopling terlalu buru-buru)
sebanyak lima kali.
HARI KEDUA
Instruktur
saya kali ini orang yang beda dan sangat baik hati. Dia memberi instruksi-nya
lembut banget, kalo instruktur yg kemaren sih sambil ‘marah-marah’...udah
pengen saya gibang aja. Kalau instruktur saya di latihan hari kedua ini, wuihhhhh...kayak
melatih anak SD. Nggak tau juga sih, apakah saya terlihat sangat labil sehingga
dia memberi instruksi seperti mengajari anak SD. Bayangkan saja, saya cuma
berhasil menyalip angkot aja langsung dikasih applaus. Saya berhasil
putar arah, langsung dikasih biskuit. Saya berhasil nyempil diantara macetnya
lalu lintas di Serpong, saya langsung dikasih ikan. Hehehe...kok jadi kayak
melatih singa laut?
Latihan
hari kedua saya belajar untuk mencuri celah diantara macetnya lalu lintas,
menyalip (dengan wanti-wanti harus larak-lirik spion dulu biar enggak nyenggol
sepeda motor yg suka nyelonong dari kanan dan kiri se-enak jidatnya). Soalnya
instrukturnya bilang, nggak peduli apakah sepeda motornya yg ngeyel atau
ngotot, pokoknya kalo ada kecelakaaan antara mobil VS sepeda motor, pasti mobil
yg disalahin.
Enaknya
diajarin sama si Mas Instruktur ini, saya juga diajarin hal-hal penting lainnya
seperti : kapan memberi mobil dari arah kanan atau kiri kesempatan memotong
jalur kita. Jadi bukan asal ngasih atau asal nolak, harus baca situasi juga.
Juga belajar mengerti lampu send yang dikasih mobil yg dibelakang kita.
Wuihhh...ternyata yang namanya nyetir emang kudu punya konsentrasi yang tinggi,
udah gitu nggak boleh fokus kedepan aja, harus larak-lirik kanan, kiri dan
belakang LEWAT SPION.
Kenapa
kata ‘LEWAT SPION’ saya cetak tebal? Karena dari dulu penyakit saya
adalah tidak tau apa fungsi spion. Jadi kalau mau lihat situasi di belakang,
maka dengan entengnya saya akan memutar leher untuk menoleh ke belakang.
Untungnya selama latihan dua hari pertama ini, penyakit saya itu sudah tidak
kumat lagi.
HARI KETIGA
Gubrak!!!!!
Saya diajarin oleh instruktur saya yg pada hari pertama. Hmm...kayaknya
hari ini bakalan beneran berantem nih. Kali ini medan-nya semakin menantang,
kita menuju Cinere lewat lereng. Waduhhh, dulu saya pernah lewat jalur ini dan
saya langsung mengerti kenapa disebut lereng. Jalurnya ya ampun, curam dan
berbelok-belok, trus yang lewat truk semua lagi. Dalam hati saya sampai
menyanyikan lagunya Anggun C. Sasmi "jurang curam menghadangku,
getarkan jiwa" sebagai soundtrack.
Turunan
dan dakian-nya sama-sama bikin lemah syahwat karena sudut kemiringannya mungkin
ada sekitar 45-50 derajat. Pertama kali menggeber turunannya, kepala saya sudah
langsung tuing-tuing. Udah jalannya sempit, dua jalur pula. Untungnya
oleh instrukturnya saya diminta tenang (sambil pegang-pegang bahu segala
lagi), trus gigi (gigi persneling maksudnya, bukan gigi saya) masuk
posisi netral dan lebih banyak bermain rem. Ya iyalah, di jalur kayak menuju
neraka begini mampus aja kalau masih nginjak-nginjak gas.
Melewati
jalur turunan seperti ini, habis deh tangan saya digrepe-grepe instrukturnya,
soalnya setiap tikungan yang ketemu mobil lain, tangan dia ikut-ikutan pegang
setir. Jadilah kita rebutan setir melulu setiap ketemu tikungan. Ketika
melewati jalur yg mendaki, saya lumayan bisa handle **ceileh...handle! sudah mulai sombong kayaknya**,
soalnya cuma masuk gigi dua, kemudian bermain gas. Itu juga karena situasi
nggak macet. Saya nggak kebayang kalau misalnya macet, saya langsung kebayang
mobil saya akan melaju mundur dan menabrak mobil dibelakang. Soalnya
instruksi-nya bikin parno, katanya kalo di jalur mendaki dan macet pula, harus
pinter pake kombinasi antara kopling, rem dan gas sekaligus. Busyet dah, tiga
sekaligus gitu, sementara kaki cuma ada dua. Kadang tiga sih, tergantung mood.
Eitsssss, nggak boleh porno.
HARI KEEMPAT
Saya
lagi-lagi belajar merayap di antara kemacetan. Saya dikasih tau bahwa dalam
keadaan macet, kita harus usahakan nyempil dengan mobil didepan, tetapi jangan
sampai nabrak. Ya iyalah, gila loe nyetir dengan tujuan nabrak. Soalnya setiap
ada celah, pasti langsung dimasuki sepeda motor yang tidak tau etika itu.
Biasanya kalo satu sudah masuk, maka yang lain akan menyusul seliweran nyalip
mobil kita kayak rombongan bebek. Lha kalo udah begitu, kapan mobil kita bisa
maju? Para pengendara motor ini ternyata begitu ya, nggak pake pemanasan dulu,
langsung main masuk aja. Eitsssss, nggak boleh porno.
HARI KELIMA
Tadinya
saya pikir materi praktek yang satu ini tidak begitu penting : melintasi polisi
tidur. Ternyata penting lho, karena bisa tidaknya seseorang menyetir dengan
baik, ditunjukkan dengan apakah dia bisa meluncur lembut dan mulus saat
melewati polisi tidur. Maka masuklah kami ke sebuah perumahan yang full
polisi tidur. Gilaaa, ngeliat deretan polisi didepan sana saya langsung lemas.
Itu polisi tidur atau arena lari gawang, gundukannya tinggi-tinggi
banget. Kuda aja bisa kejeduk tuh. Saya butuh enam kali mati mesin
sebelum akhirnya bisa menaklukkan polisi tidur.
HARI KEENAM
Nah,
ini materi yang sangat penting (dan amit-amit, mudah-mudahan nanti saya jarang
ketemu situasi kayak begini) : macet dijalan yang mendaki dan menurun. Kalo di
jalur yang menurun sih gampang, hanya ngandelin rem aja. Kalo jalan yang
mendaki nih yang agak bikin impoten mendadak. Tetapi berkat kesabaran sang
instruktur, akhir saya bisa mengatasi-nya. Busyet dahhh...harus pakai sense
segala lho. Jadi kesannya kita harus dengerin mesin mobil, kalau bunyi-nya udah
begini, maka sudah saatnya melepas kopling dan rem dan di-ikuti dengan gas.
Ampun...kaki saya cuma dua!!!!! Ini nih yang paling sulit : denger’in mesin
mobil. Ya buat telinga awam seperti saya, bunyi mesin mboil ya sama semua.
Tetapi setelah disuruh mendengarkan pake hati **ceilehhh...pake
hati, Nyet!**, ternyata emang ada perbedaan yang sangat halus.
HARI KETUJUH
Hari
terakhir adalah evaluasi. Kata instruktur-nya, saya kalo sedang menyetir
berubah menjadi autis alias terlalu fokus. Memang benar sih, ketika saya sedang
menyetir silahkan ajak saya bicara. Saya pasti mendengarkan, tetapi saya tidak
akan memberi tanggapan atau jawaban apa-apa.
Saya
masih terlalu kaku megang setir. Padahal saya nggak merasa begitu lho, bisa
saja kan cara pegang setir masing-masing orang beda.
Yang
ini agak cemen, tetapi benaran terjadi sama saya. Saya di suruh belajar
membunyikan klakson. Soalnya kalau saya membunyikan klakson, hasilnya cuma dua
pilihan : tidak terdengar sama sekali ATAU justru sangat menggelegar sehingga
bisa membuat semua orang mendadak kena serangan jantung.
Bukan
berarti saya nggak punya kelebihan lho. Mas Instrukturnya memuji kalo cara saya
menyetir hati-hati banget dan penuh perhitungan...SEPERTI PEREMPUAN. Kurang
ajar!!!
0 komentar:
Posting Komentar