24/02/14

Belajar MENYETIR






Saya terakhir kali belajar menyetir waktu masih kelas 2 SMA. Waktu itu saya hanya belajar menyetir di lapangan bola yang saya yakin bahkan nenek-nenek yang matanya ditutup dan duduk terbalik menghadap ke belakang juga pasti bisa menyetir kalau medannya seperti itu.

Kemudian saya kembali belajar menyetir di jalan perumahan. Sayangnya, saya masih rada-rada disoriented. Apa yang saya lihat, maka itu yang akan saya hampiri. Saya lihat tong, maka saya akan nabrak tong. Saya melihat kambing, maka saya akan menabrak kambing. Kakak saya bilang, bahkan saya juga bisa menabrak lalat. 

Pernah suatu hari, ketika saya sedang belajar nyetir sendirian (dan ini adalah salah satu hal yang paling goblok yg pernah saya lakukan) mobil saya nyaris nyemplung ke sungai. Kalau tangan saya tidak spontan menarik rem tangan, mungkin saya dan mobil  sudah hanyut sampai ke sungai Cisadane dan cerita ini tak akan pernah anda baca.

Tahun 2010, saya akhirnya memutuskan untuk belajar nyetir secara serius. Saya mendaftar di sebuah kursus menyetir di dekat rumah. 

HARI PERTAMA

Saya ditanya oleh instrukturnya apakah sudah pernah belajar nyetir? Dengan songong-nya saya jawab ‘sudah’.  Dan jawaban asal nyahut ini harus saya bayar mahal, karena saya langsung disuruh duduk di depan dan mengemudikan sendiri mobilnya. Mampus gue!  Dasar saya ini type orang yang gengsinya segede meriam, saya sok tenang-tenang aja duduk di jok supir. Saya langsung disuruh bawa sendiri mobilnya. Maju beberapa puluh meter sih masih lancar, ketika sampai dipersimpangan saya langsung di-instruksikan belok kanan. Hah? Belok kanan? Maksud loe?

FYI, belok kanan berarti masuk ke jalan raya Ciputat yang penuh dengan angkot dan pengendara sepeda motor yang setiap hari kesurupan. Tadinya saya berharap akan disuruh belok ke kiri, menuju lapangan sepak bola. Hah, lapangan sepak bola lagi? Hehehe...saya kan cari aman.  Apa boleh buat, instruktur harus dipatuhi. Maka meluncurlah kami menuju pasar Ciputat yang padatnya minta nambah itu. Saya sangat bersyukur mobil yang saya kemudikan ada stiker dengan tulisan ‘LATIHAN’ segede dosa, sehingga melihat laju mobil yang belum stabil maka para angkot dan ojek di pinggir jalan langsung pada menyingkir. Seperti melihat  ada badak labil yang mau lewat, takut diseruduk.

Dengan debar jantung di dada, sang instruktur bolak balik nyuruh saya injak kopling, rem, lepas kopling, injak lagi, lepas lagi, injak lagi, lepas perlahan, gas sedikit yang lama-lama justru bikin saya emosi. Tidak tergambarkan betapa bahagianya saya ketika berhasil melewati pasar Ciputat yg full angkutan dan orang-orang itu. Serasa baru sembuh dari luka batin. Menuju Bintaro, lalu lintas relatif lancar sehingga saya berani adu balap dengan sebuah metromini, namun langsung ditegur sang instruktur. Habis sopir metromini-nya nantangin sih.
Sampai di Bintaro, di sebuah persimpangan sepertinya ada pengalihan arah lalu lintas. Mobil saya diberhentikan seorang Pak Polisi untuk memberi kesempatan mobil-mobil yg dari arah kiri untuk melintas. Dasar tangan saya nggak pernah disekolahin, tiba-tiba saya tangan saya nyelonong dan menekan klakson. Dan berkumandanglah bunyi TWEEEIIIIIIIT!!!!!!. Kebayang dong gimana bunyi klakson yang dibunyikan tanpa sengaja, pasti bunyi yang ditimbulkan sanggup membangkitkan orang mati. Pak Polisinya terlonjak kaget. 

Seandainya ini film kartun, mungkin Pak Polisinya sudah meloncat kaget setinggi-tingginya menembus awan, membuat kaget kawanan burung, terus meluncur sampai ke luar angkasa, melewati satelit dan berakhir menjadi sebuah titik di antara bintang. Sang instruktur dan Pak Polisi-nya kompak memberi saya pelototan yang sangat mengguncang iman, sementara orang-orang di sekeliling kami tertawa, bahkan ada yang bertepuk tangan segala. Dikiranya saya sedang menghardik Pak Polisi yang memberhentikan mobil saya tersebut. Saya hanya bisa memberi kode bahwa saya melakukannya tanpa sengaja. Pak Polisi-nya hanya membuang muka lalu meludah. Sialan!

Latihan hari pertama relatif lancar, meski saya masih harus terus di-ingatkan bahwa melepas kopling itu harus pelan-pelan. Tetapi praktis selama latihan hari itu, mobil saya HANYA mati mesin (gara-gara melepas kopling terlalu buru-buru) sebanyak lima kali.

HARI KEDUA

Instruktur saya kali ini orang yang beda dan sangat baik hati. Dia memberi instruksi-nya lembut banget, kalo instruktur yg kemaren sih sambil ‘marah-marah’...udah pengen saya gibang aja. Kalau instruktur saya di latihan hari kedua ini, wuihhhhh...kayak melatih anak SD. Nggak tau juga sih, apakah saya terlihat sangat labil sehingga dia memberi instruksi seperti mengajari anak SD. Bayangkan saja, saya cuma berhasil menyalip angkot aja langsung dikasih applaus. Saya berhasil putar arah, langsung dikasih biskuit. Saya berhasil nyempil diantara macetnya lalu lintas di Serpong, saya langsung dikasih ikan. Hehehe...kok jadi kayak melatih singa laut?

Latihan hari kedua saya belajar untuk mencuri celah diantara macetnya lalu lintas, menyalip (dengan wanti-wanti harus larak-lirik spion dulu biar enggak nyenggol sepeda motor yg suka nyelonong dari kanan dan kiri se-enak jidatnya). Soalnya instrukturnya bilang, nggak peduli apakah sepeda motornya yg ngeyel atau ngotot, pokoknya kalo ada kecelakaaan antara mobil VS sepeda motor, pasti mobil yg disalahin.

Enaknya diajarin sama si Mas Instruktur ini, saya juga diajarin hal-hal penting lainnya seperti : kapan memberi mobil dari arah kanan atau kiri kesempatan memotong jalur kita. Jadi bukan asal ngasih atau asal nolak, harus baca situasi juga. Juga belajar mengerti lampu send yang dikasih mobil yg dibelakang kita. Wuihhh...ternyata yang namanya nyetir emang kudu punya konsentrasi yang tinggi, udah gitu nggak boleh fokus kedepan aja, harus larak-lirik kanan, kiri dan belakang LEWAT SPION.

Kenapa kata ‘LEWAT SPION’ saya cetak tebal? Karena dari dulu penyakit saya adalah tidak tau apa fungsi spion. Jadi kalau mau lihat situasi di belakang, maka dengan entengnya saya akan memutar leher untuk menoleh ke belakang. Untungnya selama latihan dua hari pertama ini, penyakit saya itu sudah tidak kumat lagi.

HARI KETIGA

Gubrak!!!!! Saya diajarin oleh instruktur saya yg pada hari pertama. Hmm...kayaknya hari ini bakalan beneran berantem nih. Kali ini medan-nya semakin menantang, kita menuju Cinere lewat lereng. Waduhhh, dulu saya pernah lewat jalur ini dan saya langsung mengerti kenapa disebut lereng. Jalurnya ya ampun, curam dan berbelok-belok, trus yang lewat truk semua lagi. Dalam hati saya sampai menyanyikan lagunya Anggun C. Sasmi "jurang curam menghadangku, getarkan jiwa" sebagai soundtrack

Turunan dan dakian-nya sama-sama bikin lemah syahwat karena sudut kemiringannya mungkin ada sekitar 45-50 derajat. Pertama kali menggeber turunannya, kepala saya sudah langsung tuing-tuing. Udah jalannya sempit, dua jalur pula. Untungnya oleh instrukturnya  saya diminta tenang (sambil pegang-pegang bahu segala lagi), trus gigi (gigi persneling maksudnya, bukan gigi saya) masuk posisi netral dan lebih banyak bermain rem. Ya iyalah, di jalur kayak menuju neraka begini mampus aja kalau masih nginjak-nginjak gas. 

Melewati jalur turunan seperti ini, habis deh tangan saya digrepe-grepe instrukturnya, soalnya setiap tikungan yang ketemu mobil lain, tangan dia ikut-ikutan pegang setir. Jadilah kita rebutan setir melulu setiap ketemu tikungan. Ketika melewati jalur yg mendaki, saya lumayan bisa handle **ceileh...handle! sudah mulai sombong kayaknya**, soalnya cuma masuk gigi dua, kemudian bermain gas. Itu juga karena situasi nggak macet. Saya nggak kebayang kalau misalnya macet, saya langsung kebayang mobil saya akan melaju mundur dan menabrak mobil dibelakang. Soalnya instruksi-nya bikin parno, katanya kalo di jalur mendaki dan macet pula, harus pinter pake kombinasi antara kopling, rem dan gas sekaligus. Busyet dah, tiga sekaligus gitu, sementara kaki cuma ada dua. Kadang tiga sih, tergantung mood. Eitsssss, nggak boleh porno.

HARI KEEMPAT

Saya lagi-lagi belajar merayap di antara kemacetan. Saya dikasih tau bahwa dalam keadaan macet, kita harus usahakan nyempil dengan mobil didepan, tetapi jangan sampai nabrak. Ya iyalah, gila loe nyetir dengan tujuan nabrak. Soalnya setiap ada celah, pasti langsung dimasuki sepeda motor yang tidak tau etika itu. Biasanya kalo satu sudah masuk, maka yang lain akan menyusul seliweran nyalip mobil kita kayak rombongan bebek. Lha kalo udah begitu, kapan mobil kita bisa maju? Para pengendara motor ini ternyata begitu ya, nggak pake pemanasan dulu, langsung main masuk aja. Eitsssss, nggak boleh porno.

HARI KELIMA

Tadinya saya pikir materi praktek yang satu ini tidak begitu penting : melintasi polisi tidur. Ternyata penting lho, karena bisa tidaknya seseorang menyetir dengan baik, ditunjukkan dengan apakah dia bisa meluncur lembut dan mulus saat melewati polisi tidur. Maka masuklah kami ke sebuah perumahan yang full polisi tidur. Gilaaa, ngeliat deretan polisi didepan sana saya langsung lemas. Itu polisi tidur atau arena lari gawang, gundukannya tinggi-tinggi banget.  Kuda aja bisa kejeduk tuh. Saya butuh enam kali mati mesin sebelum akhirnya bisa menaklukkan polisi tidur.

HARI KEENAM

Nah, ini materi yang sangat penting (dan amit-amit, mudah-mudahan nanti saya jarang ketemu situasi kayak begini) : macet dijalan yang mendaki dan menurun. Kalo di jalur yang menurun sih gampang, hanya ngandelin rem aja. Kalo jalan yang mendaki nih yang agak bikin impoten mendadak. Tetapi berkat kesabaran sang instruktur, akhir saya bisa mengatasi-nya. Busyet dahhh...harus pakai sense segala lho. Jadi kesannya kita harus dengerin mesin mobil, kalau bunyi-nya udah begini, maka sudah saatnya melepas kopling dan rem dan di-ikuti dengan gas. Ampun...kaki saya cuma dua!!!!! Ini nih yang paling sulit : denger’in mesin mobil. Ya buat telinga awam seperti saya, bunyi mesin mboil ya sama semua. Tetapi setelah disuruh mendengarkan pake hati **ceilehhh...pake hati, Nyet!**, ternyata emang ada perbedaan yang sangat halus.

HARI KETUJUH

Hari terakhir adalah evaluasi. Kata instruktur-nya, saya kalo sedang menyetir berubah menjadi autis alias terlalu fokus. Memang benar sih, ketika saya sedang menyetir silahkan ajak saya bicara. Saya pasti mendengarkan, tetapi saya tidak akan memberi tanggapan atau jawaban apa-apa.

Saya masih terlalu kaku megang setir. Padahal saya nggak merasa begitu lho, bisa saja kan cara pegang setir masing-masing orang beda.

Yang ini agak cemen, tetapi benaran terjadi sama saya. Saya di suruh belajar membunyikan klakson. Soalnya kalau saya membunyikan klakson, hasilnya cuma dua pilihan : tidak terdengar sama sekali ATAU justru sangat menggelegar sehingga bisa membuat semua orang mendadak kena serangan jantung.

Bukan berarti saya nggak punya kelebihan lho. Mas Instrukturnya memuji kalo cara saya menyetir hati-hati banget dan penuh perhitungan...SEPERTI PEREMPUAN. Kurang ajar!!!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar