24/02/14

Guruku AJAIB Tersayang



Sejak usia tiga tahun, saya sudah sangat tertarik dengan yang namanya sekolah. Menyaksikan anak-anak lain berseragam putih merah (yang di mata saya waktu itu adalah seragam terkeren sedunia) saya berkali-kali merengek kepada Bapak agar mendaftarkan saya sekolah. 

Mungkin karena bosan direngekin setiap pagi, akhirnya Bapak membawa saya ke sebuah SD dekat rumah. Kebetulan Bapak kenal dengan Kepala Sekolahnya, jadi dengan sedikit kongkalikong, saya dititipkan di kelas satu saat usia saya belum genap 5 tahun.

Tetapi saya memang tidak bisa dibohongi, saya tau saya hanya ’murid titipan’ atau murid pungut. Saya duduk di meja paling depan, tetapi tidak memakai seragam putih merah idaman hati. Ketika seisi kelas belajar membaca dan menulis, saya malah disuruh menggambar. Tetapi pada saat pelajaran kesenian dimana setiap siswa disuruh menyanyi satu-satu didepan kelas, saya yang mendapat giliran pertama. Huh, ini tidak adil!

Selama tiga hari dititipkan dan saya tidak merasa ada perkembangan  karena saya tidak benar-benar dilibatkan dalam pelajaran yang sesungguhnya, akhirnya saya bosan sendiri dan berhenti ’sekolah’.

Ketika baru berusia lima tahun, akhirnya saya kembali sekolah. Kali ini benar-benar sekolah, pakai seragam baru, tas koper warna biru muda yang ada gambar anak ayam, dan sepatu yang kebesaran. Kata Mama biar sepatunya awet sampai kelas tiga. Astaganaga! Masa saya harus memakai sepatu yang sama setiap hari selama tiga tahun?

Tetapi itu bukan masalah buat saya, dengan memakai kemeja warna putih dan celana pendek merah, saya sudah merasa kalau saya adalah anak laki-laki paling ganteng se-Indonesia Raya.

Guru pertama saya di kelas 1 SD adalah Ibu Aritonang. 
Pada kesan pertama, penampilan ibu ini cukup mengintimidasi. Rambutnya keriting a la Ahmad Albar, postur tubuhnya agak pendek, tetapi selalu terlihat seksi karena beliau doyan mengenakan rok ketat selutut, atau rok panjang yang belahannya sampai ke leher. Dan pandangan mata yang sangat tajam. Untuk anak kecil yang masih polos seperti aku, beliau terlihat lebih mirip ibu tiri yang kejam dari pada seorang guru.

Ternyata memang benar pepatah yang mengatakan : jangan menilai buku dari sampulnya. Ibu ini sangat baik hati, lembut, sabar dan penyayang. Beliau adalah guru pertama saya yang berhasil membuat saya bisa membaca dan menulis. Meski dulu saya adalah anak yang paling susah disuruh ke depan untuk membaca, tetapi ibu ini dengan sabar membujuk saya hingga akhirnya saya mulai berani sendiri maju ke depan untuk membaca.

Di kelas 2, saya bertemu guru yang lain : Ibu Simorangkir. Ibu ini bukan hanya penampilannya yang lembut, tetapi juga sifatnya. Selama saya sekolah di SDN 2 itu, ibu ini adalah satu-satunya guru yang tidak pernah saya lihat marah-marah atau memukul murid.

Di kelas 3 saya bertemu Ibu Simatupang. Guru yang menurut saya biasa-biasa saja. Yang saya ingat, ibu sepanjang pelajaran duduk terus di meja guru di depan kelas dan berteriak-teriak kepada setiap siswa untuk belajar ini dan itu atau mengerjakan ini dan itu. 
Saat duduk di kelas 3 adalah puncak prestasi saya selama sekolah di SD, karena pada saat kelas 3 saya berhasil menjadi juara 2. Buat saya pribadi ini adalah sebuah prestasi karena dari kelas 1 sampai kelas 2 saya tidak pernah masuk Top 10. Bahkan waktu kelas 2 saya pernah dapat nilai merah di raport untuk mata pelajaran PMP. Duhhh....apakah pada saat itu saya dinilai kurang bermoral?

Di kelas 4 saya akhirnya harus terpaksa bertemu Ibu Pasaribu. Kenapa saya bilang ’terpaksa’? Karena di sekolah, ibu ini terkenal super killer. Bahkan yang paling killer di antara para killer.
Ibu ini tidak segan-segan memukul muridnya dengan ’sadis’ kalau melakukan kesalahan. Gaya pukul ibu ini lumayan mematikan. Bagian rambut di bawah telinga ditarik ke atas, kemudian PLAK...pipi (terserah pipi kanan atau pipi kiri, tergantung mood beliau) ditampar dengan keras. Saya masih ingat dulu saya juga pernah ditampar hanya gara-gara bolos sekolah. Aneh banget kan?

Tetapi saya juga pernah selamat dari tirani beliau. Waktu itu semua kelas 4 mendapat tugas menghafal butir-butir Pancasila. Bayangkan, Pancasila saja sudah ada lima. Kalau saya tidak salah, setiap sila rata-rata terdiri dari sepuluh butir. Nah, anak kelas 4 disuruh menghafal 50 butir Pancasila selama 3 hari? Apa tidak keriting tuh mulut? Ajaibnya, waktu itu hanya saya yang berhasil dan menjadi satu-satunya murid yang tidak kena tampar. Bukan karena saya hafal, tetapi karena saya licik. Psssssttt, sebenarnya saya tidak benar-benar hafal semuanya, saya hanya hafal sampai sila ke 3 saja. Makanya saya sudah sempat gemetaran dan keringat dingin waktu disuruh maju ke depan kelas untuk pembuktian. Mampus deh, sebentar lagi belang saya akan terkuak. Untunglah saat saya masih lancar menyebutkan sampai butir-butir sila yang ke-2, saya disuruh duduk kembali. Pffffff....penonton menarik nafas lega.

Saat naik ke kelas 5, akhirnya saya bertemu guru terbaik (menurut standar pribadi saya) dan juga menjadi guru favorit saya. Beliau bernama Ibu Sitorus. Kenapa saya suka ibu ini? Karena Ibu ini pikirannya maju dan wawasannya luas. Kami pernah belajar di halaman sekolah hanya untuk kepentingan mencari suasana baru. Keren banget! Belajar di luar kelas merupakan hal yang baru buat kami, dan rasanya menyenangkan banget.

Wawasan ibu ini juga super luas. Karena ketika mengajar, ibu ini memberi contoh atau ilustrasi dengan cara bercerita tentang hal-hal yang sifatnya pengetahuan umum. Bayangkan saja, kami sebenarnya sedang belajar IPS, tetapi pembahasan bisa meluas sampai kepada profil Lady Diana di Inggris, draft legalisasi hubungan sesama jenis di beberapa negara di Eropa, konflik Jerman Timur dan Jerman Barat, elegi pedagang sayur di pasar tradisional, dan lain-lain.
Pokoknya she’s the best! Sayangnya, tahun lalu saya mendengar beliau sudah meninggal saat beliau masih berada di puncak karirnya sebagai seorang guru yang merangkap menjadi Kepala Sekolah.

Di kelas 6 saya dipertemukan dengan Ibu Sinaga. Ibu yang santai, baik hati, humoris, tetapi sedikit genit, terutama kepada murid yang berjenis kelamin laki-laki.

Lulus SD dan melanjut ke SMP, saya mulai ketar-ketir. Pasalnya, Bapak adalah guru di SMPN 1  tersebut. Menurut anak-anak lain, punya Bapak atau Ibu yang menjadi guru di sekolah kita adalah sesuatu yang keren, tetapi buat saya sama sekali nggak keren. Saya akan merasa diawasi setiap waktu dan saya tidak terlalu suka diperhatikan.

Dan perjalanan panjangpun dimulai. Menjadi anak seorang guru di SMP tempat saya sekolah, otomatis kita mendapat sorotan publik. Terkutuklah anak-anak guru di angkatan sebelumnya, karena mereka sudah membangun paradigma bahwa semua anak-anak guru itu pintar dan berprestasi. Maka anak guru seperti saya yang tidak terlalu pintar ini menjadi terbeban, karena merasa punya tanggung jawab untuk tetap mempertahankan paradigma konyol itu.
Saya sebenarnya pintar, cuma masalahnya: banyak yang lebih pintar, sehingga rating saya biasa-biasa saja.

Duduk dikelas 1, saya sejenak boleh bernafas lega. Bapak tidak mengajar di kelas saya. Teman-teman sekelas saya kecewa, tetapi saya tidak.
Tetapi guru yang saya dapat di kelas satu ternyata cukup buruk. Beliau adalah seorang perempuan dengan status guru baru. Celakanya, beliau sedang ada masalah pribadi dengan Mama saya, jadilah saya yang jadi korban.

Setiap ada tugas, ibu ini cenderung menyuruh saya mengerjakannya dan berharap saya akan melakukan kesalahan supaya dia punya alasan untuk mengomeli atau menjewer kuping saya.
Percobaan pertama dan kedua, saya lolos dari bahaya. Sayang, percobaan ketika saya tersungkur. Waktu itu saya disuruh akting berantem untuk pelajaran drama. Dasar saya memang tidak suka akting, jadi saya melakukannya asal-asalan. Dan tuinggggg......telinga saya dijewer sekuat tenaga. Please deh, kalau saya memang berbakat akting, pasti sekarang saya sudah membintangi puluhan judul sinetron.

Makanya, waktu beliau akhirnya mengambil cuti melahirkan, saya sangat bersyukur karena tidak akan disuruh melakukan hal yang konyol-konyol lagi. Dan inilah yang disebut, lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut macan. Beliau digantikan oleh...eng-ing-eng : Bapak saya!. JRENG!!!! Teman-teman sekelas saya bersorak-sorai, tinggal saya sendiri yang manyun. Pertama kali Bapak mengajar di kelas saya, teman-teman sekelas saya lebih sibuk melirik-lirik saya daripada memperhatikan pelajaran. Apa sih? Atau bergantian memandangi wajah saya dan bapak saya kayak lagi nonton pertandingan bulutangkis. Mungkin mau membandingkan apakah wajah saya mirip dengan bapak saya. Jelas tidak! Wajah saya mandiri dan independen.

Naik ke kelas 2, saya bertemu guru yang ajaib. Galak, tetapi galaknya nggak jelas. Kadang baru masuk kelas sudah marah-marah. Kalau hari lagi panas terik, semua bisa menjadi masalah untuk beliau. Bahkan siswa yang kepergok sedang senyum bisa menjadi penyebab kami semua diomelin. Apa salahnya senyum, coba?

Lalu ada ibu guru yang kalau menghukum murid, maka hukumannya adalah diraba-raba. Gurunya perempuan, maka kita yang anak-anak cowok berlomba-lombalah bikin kesalahan agar diraba. Sedap!!!
Sekarang baru ngeh kalo itu termasuk pelecehan seksual dan seharusnya nggak boleh. Mohon maafkan kami dan guru kami itu. Walaupun suka sama suka, tetapi tetap saja itu tidak boleh. Jangan  ditiru ya meskipun enak.

Di kelas 2, saya juga ketar-ketir. Guru PMP saya adalah tetangga sebelah rumah saya. Bapak itu tongkrongannya tinggi besar. Sejak kecil saya sudah takut sama beliau. Alamat mampus dan malu deh saya kalau sampai ketahuan bego saat beliau mengajar. 
Untunglah mata pelajaran yang beliau ajarkan bukan pelajaran yang rumit, yaitu PMP. Jadi bukan masalah buat saya. Terbukti di raport saya selalu dapat nilai 8 dan 9. Jadi ingat dulu waktu kelas 2 SD, saya pernah dapat nilai 5 di raport untuk mata pelajaran yang sama. Itu artinya roda kehidupan memang berputar.

Di kelas 3, tidak banyak memori yang saya ingat. Gurunya biasa-biasa saja, nggak ada yang spesial. Saya hanya ingat kalau cinta dada semakin membara kepada siswi kelas sebelah yang sudah saya taksir sejak kelas 2. Dengar-dengar dia juga sebenarnya naksir saya, tetapi gengsi nyatain karena badan saya kecil.
Iya, dulu saya memang kecil. Sekarang sih sudah besar, besar semuanya. Pasti sekarang dia menyesal setengah mati.

Lulus dari SMP dan masuk SMA, saya merasa sangat diberkati. Saya akan pakai seragam celana panjang. Memakai celana pendek di atas lutut selama tiga tahun di SMP sudah cukup membuat saya tersiksa, karena paha saya yang kelewat mulus untuk ukuran anak laki-laki sering menjadi sumber masalah karena habis dicubitin dan dielus-elus teman-teman saya.

Kelas 1 di SMA adalah hal yang paling membosankan. Kami para kelas satu masuknya siang hari sekitar jam 1.30. Kebayang dong pulang sekolahnya di atas jam 6. Kadang ruangan kelas menjadi ajang pertemuan siswa-siswi yang ngantuk dengan guru yang juga ngantuk. 

Asyiknya di kelas 1, saya dapat guru olahraga bernama Pak Simanjuntak yang hobby melucu. Maksud saya beliau memang benar-benar bisa melucu, bukan lucu yang garing kerontang. Saya sudah kenal beliau sejak kecil karena rumahnya persis di belakang rumah saya dan hanya di batasi pagar berduri.

Saya juga bertemu guru bahasa Inggris yang enggak banget. Saking ’enggak banget’, saya menjadi goblok sekali dalam pelajaran bahasa Inggris. Padahal waktu SMP saya dikenal sebagai siswa yang lumayan menonjol dalam bahasa Inggris. Hingga saya menulis kisah ini, saya bahkan tidak ingat lagi nama beliau. Nggak penting.
Pernah kejadian hampir 95% siswa di kelas saya mendapat nilai 6 di raport, termasuk saya. Awalnya kami senang-senang saja. Tetapi beliau kemudian membuat semacam 'konferensi pers bahwa angka 6 adalah angka paling rendah yang dia berikan meskipun kami tololnya minta ampun. Dan harga diri kami pun segera runtuh berantakan setelah mendengarnya. Praktis selama semester satu dan semester dua, saya betah dengan angka 6 itu di raport untuk pelajaran yang merupakan mata pelajaran favorit saya.

Saya juga mendapat guru Matematika yang cantik : Ibu Hutapea, tetapi sayang sekali, super duper galak. Tetapi beliau ini galaknya jelas dasar alasannya. Biasanya beliau galak kalau ada siswa yang nggak ngerjain PR. Berhubung cubitan beliau cukup berbisa, maka saya selalu berusaha mengerjakan PR. Meski sebenarnya saya enggak ngerti cara mengerjakannya, saya nekad saja. Bodo amat mau salah atau ngawur jawaban PR-nya, yang jelas saya punya niat mengerjakannya. Jadi saya boleh di bilang lumayan terhindar dari azab berbentuk cubitan itu. Konon banyak teman-teman saya yang naksir sama ibu ini, tetapi saya sih enggak, karena saya ngincar guru yang lain. Lho...

Naik ke kelas 2, saya ambil jurusan IPA. Ini namanya bunuh diri karena saya paling benci pelajaran Biologi dan Kimia, tetapi kok nekad milih jurusan IPA?
Nah, di kelas 2 ini saya bertemu guru Kimia yang ajaib. Saking ajaibnya, saya juga jadi lupa nama beliau. Gosipnya sih, ibu ini naksir sama salah satu teman saya yang paling ganteng nomor 2 di kelas dan juga di sekolah. Nomor 1 siapa? Ya, saya!
Tuh anak di omelin melulu tiap hari. Masa kalo naksir di omelin sih? Well, namanya juga gosip. Atau jangan-jangan, itu omelan itu cuma pelampiasan karena benang-benang cinta tak mungkin terajut seindah mimpi. Tsahhhhhh.....
Yang jelas beliau guru perempuan yang masih muda, yang lipstiknya memberi kesan glossy pada bibirnya yang merekah nirwana. Ibu ini galaknya minta ampun. Kalau sedang kesal, kata-kata yang keluar dari bibirnya hanya bisa disaingi oleh preman terminal.
Keadaan ini membuat saya mati-matian serius belajar Kimia. Karena ibu ini doyan menyindir siswa yang gobloknya minta ampun dengan sindiran yang sanggup menjatuhkan martabat dan menimbulkan trauma.

Satu lagi guru ajaib adalah guru mata pelajaran PMP, nama beliau Ibu Saragih. Ibu ini mengajar dengan genre narasi. Nggak ada catatan sama sekali. Saat dia ’bercerita’, kita harus konsentrasi penuh, karena dia sangat awas kepada setiap siswa yang kepergok tidak konsentrasi mendengarkannya. Kalau dia merasa ada siswa yang pikirannya lagi kemana-mana, dengan mendadak beliau akan mengajukan semacam shocking question kepada yang bersangkutan sambil menunjuk hidung. Ditunjuk seperti itu, tepat di hidung pula, biasanya siswa yang bersangkutan akan gelagapan. Yang tadinya tau jawaban pertanyaannya, bisa mendadak buyar.

Saya pernah jadi korban, gara-gara cewek idaman sedang seliweran di depan pintu kelas. Hasilnya, telinga saya dijewer dalam radius beberapa sentimeter. 

Di kelas 2 ini juga saya lagi-lagi mendapat guru Biologi : Ibu Siburian yang kebetulan rumahnya dekat rumah saya. Udah tetangga dekat, beliau itu teman dekatnya Mama saya pula. Gawat deh! Jadi ketika sedang mengajar dan beliau mengajukan pertanyaan Yang sering sekali tidak bisa saya jawab, saya malu’nya sampai ke ubun-ubun. Kan saya sudah bilang tadi kalau Biologi bukan pelajaran favorit saya.

Ini sepatu yang membuat saya main kucing-kucingan dengan guru BP saya di SMA
Oh ya, satu lagi kejadian di kelas 2, saya agak-agak bermasalah dengan guru BP (yang saya nggak pernah tau siapa namanya). Sama beliau ini saya sering main kucing-kucingan. 

Di sekolah kan ada peraturan tidak boleh memakai sepatu selain warna hitam. Nah, zamannya saya dulu lagi tren yang namanya sepatu DocMart (sejenis sepatu kulit berbentuk semi-boot). Kebetulan saya dapat sepatu DocMart yang di’import’ langsung dari Jakarta oleh kakak saya dan warnanya coklat. Namanya juga masih ABG, usia saya waktu itu masih 15 tahun, masih songong, suka pamer dan pengen cari perhatian. Makanya saya nekad pernah memakai sepatu itu ke sekolah. Nggak kebayang gimana bangganya waktu itu karena sepatu seperti itu masih jarang ada yang pakai di kota saya. 

Jadi pernah suatu hari, saya lagi melenggang kangkung menuju kelas, tiba-tiba GLEK!, saya berpapasan dengan beliau di koridor sekolah. Saya sudah banting setir belok kanan (yang artinya masuk ke ruangan Kepala Sekolah, makin gawat dong!). Terlambat! Beliau sudah mempelototi sepatu saya. Dan jadilah hari itu untuk pertama kalinya dalam hidup saya dipanggil ke ruangan BP. Untunglah waktu itu saya tidak disuruh buka sepatu dan nyeker di sekolah sepanjang hari.
Saya pernah melihat siswa lain yang memakai sepatu warna putih, disuruh buka sepatu dan nyeker sampai jam pulang sekolah. 

Saat ini beliau ngomong gini : ”Saya tau itu sepatu bagus dan harganya mahal. Saya tau kalau saya bakar sepatu itu, kamu akan bunuh diri. Jadi sekali lagi saya lihat kamu memakai sepatu itu, saya benar-benar akan membakarnya”. Tentu saja saya langsung ketar-ketir, nggak rela rasanya sepatu indah ini dibakar. Maka sejak saat itu saya tidak pernah lagi memakai sepatu itu kesekolah, sebagai gantinya saya memakai sepatu butut warna hitam yang sangat saya benci karena terlalu awet. Gara-gara terlalu awet dan tahan lama, saya sampai tidak bisa ganti sepatu sejak kelas 1.

Naik ke kelas 3, lagi-lagi saya dapat guru yang tetangga sebelah dan teman baik Mama saya. Guru Kimia pula! Waduhhhhhhhh....lagi-lagi saya harus mati-matian belajar Kimia agar tidak bikin malu keluarga di kampung. Saya sampai mati-matian menghafal rumus kimia dan unsur yang bisa bikin otak mendadak ’hang’ itu. Bersyukurlah saya punya otak yang tidak beku-beku amat, jadi saya masih bisa menyelamatkan muka saya di hadapan tetangga yang menjadi guru Kimia saya.

Di kelas 3, saya lagi-lagi bertemu guru ajaib. Namanya Pak Simanjuntak, guru Matematika. Bapak ini humoris, tetapi kalau sedang marah, penghuni neraka bisa kalah seram. Kalau memukul juga enggak tanggung-tanggung, pakai media pula. Kalau tidak pakai penghapus papan tulis, beliau mendaya-gunakan penggaris kayu kebanggaannya itu. Meski saya dulu lumayan pintar Matematika, tetapi saya pernah sekali menjadi korbannya. Waktu itu saya disuruh mengerjakan soal di papan tulis. Sebenarnya saya bisa mengerjakannya, tetapi karena kelamaan mikir, maka PLAKKKK, mendaratlah penggaris kayu terkutuk itu di betis saya. Pada akhirnya saya memang berhasil mengerjakan soal yang lumayan rumit itu dan beliau jadi merasa bersalah gitu. Gak apa-apa, Pak. Aku sudah memaafkanmu.

Begitulah sekelumit pengalaman hidup saya bersama guru-guru saat masa-masa sekolah saya dulu. Tidak peduli sebagaimana ajaib, menyebalkan, garing dan serunya guru-guru saya, saya sangat berterima kasih dan menghormati mereka. Bahkan sampai sekarang, meski sudah lupa sebagian nama-namanya, saya masih hafal wajah-wajah guru saya mulai dari SD sampai SMA. Terima kasih buat Bapak dan Ibu Guru saya, semoga suatu hari nanti saya bisa membuat kalian bangga dan berkata : ”Itu lelaki yang cakepnya minta ampun itu adalah murid saya lho zaman dahulu kala”.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar