Jakarta
Sabtu, 4 Juli 2009
Entah apa yang saya kerjakan sepanjang pagi hingga pas melirik ke arah jam dinding, dan DUARRRRRR…udah jam dua belas siang. Padahal pesawat saya ke Medan jadwalnya jam 3.15 WIB. Gimana nggak panik? Saya belum mandi, belum makan, belum mandiin anjing dan belum dandan. Akhirnya kejadian-lah hari itu saya mandi a la bebek, cuma cebar-cebur dan tidak pake acara nyanyi seperti biasa. Siapa coba yang bisa berdendang ketika sedang terburu-buru?
Jam 1 TENG, saya udah ganteng dan wangi. Tetapi itu tidak cukup membuat saya tenang. Apakah bisa saya menempuh jarak dari Ciputat ke bandara Soekarno Hatta hanya dalam waktu dua jam? Impossible!!! Mengingat beberapa kawasan yang doyan macet yang harus saya lalui menuju bandara : Jalan Ciputat Raya, Pasar Jumat, Radio Dalam atau Fatmawati (pilih salah satu), Sudirman, Slipi, dkk. Nggak kebayang kalo misalnya saya juga masih harus melewati kawasan puncak Bogor, bisa-bisa saya baru nyampe di bandara minggu depannya.
Seorang teman menawarkan nganterin naik mobil karena kebetulan hari itu dia mau ke Universitas Trisakti. Tetapi seperti dugaan saya, terjebak macet di Ciputat Raya. Macet bukan karena padatnya kendaraan, tetapi gara-gara banyak mobil yang mutar seenak perutnya. Mereka pikir itu jalan nenek moyangnya sendiri, padahal kan itu jalan nenek moyang saya juga.
Nyambung naik angkot yang sepertinya bisa nyalip-nyalip. Bergerak sekitar seratus meter, terjebak macet juga. Mau naik becak, ya ampun mau nyampe besok? Seandainya gerobak sampah pemulung bisa terbang dan membawa saya ke bandara, maka saya akan naik gerobak sampah. See? I was so frustrated.
Begitu nyampe di Pasar Jumat sudah jam 1.45. Ya Tuhan, saya enggak mau ketinggalan pesawat dan semoga juga pesawat tidak mau meninggalkan saya. Tetapi siapa saya?. Sayang banget tiketnya yang seharga 990.000 itu kalo saya enggak jadi 'terbang' hari ini. Duit 990.000 bisa dipake beli kerupuk satu truk, tau! Kecuali kalo tiketnya bisa di refund, saya sih nggak keberatan. Tetapi mana ada di dunia ini tiket di refund gara-gara penumpangnya ketinggalan pesawat.
Begitu turun dari angkot yang jalannya seperti pengantin sunat, saya langsung loncat ke atas sebuah motor dan memegang pinggang sang pengedara dengan mantap sambil teriak “Ke bandara, Pak’.
Tetapi jawaban yang saya terima adalah,” Maaf, Mas…saya bukan ojek”. Duh malunya. Sambil berusaha membenahi martabat yang barusan hancur berkeping-keping, saya turun dari motor dan dengan jeli mencari motor yang benar-benar ojek. Malu dong kalo salah lagi.
Dan beberapa menit kemudian saya sudah naik ojek membelah macetnya Pasar Jumat, nyalip-nyalip dan belok-belok lewat jalan tikus sampai ke Radio Dalam. Baru sadar kalo motor kan enggak boleh masuk bandara. Akhirnya cuma sampai Blok M aja. Kemudian nyambung naik bus Damri jurusan Bandara.
Jam sudah menunjukkan jam 2.10. Oh Tuhan, bisa nggak ya dari Blok M ke Bandara ditempuh dengan Satu Jam Saja seperti lagu Audy? Eh ini lagunya Audy atau Asty Asmodiati ya? Yo ollohh, pake dibahas segala!
Sayang beribu sayang, bus tertahan selama hampir 30 menit dijalan Sudirman gara-gara massa dari kubu salah satu capres & cawapres memonopoli jalan menuju Senayan. Ya ampun, Indonesia banget! Selalu saja bikin susah orang lain, padahal belum juga terpilih. Dan apa itu? Kok bus kampanye-nya banyak dijubelin anak-anak dibawah umur? Emang anak-anak udah ngerti jadi simpatisan gitu? Whateverlah, Jenderal. Terserah deh mau simpatisannya anak-anak atau nenek-nenek, bukan urusan saya. Tetapi tolonglah menyingkir dulu dari jalan. Saya lagi ngejar pesawat nih!
Akhirnya jam 3.10 WIB saya nyampe di Bandara. Tinggal lima menit lagi (seperti judul lagu Ine Chintya). Apa iya saya bisa check in dalam lima menit? Dan saya nyaris pingsan melihat antrian di depan petugas Check In. Udah antriannya panjang, kopor-kopornya juga segede truk, sementara proses nimbangnya juga makan waktu banget. Juru timbangnya kayaknya belum makan sejak dua hari yang lalu.
Sabtu, 4 Juli 2009
Entah apa yang saya kerjakan sepanjang pagi hingga pas melirik ke arah jam dinding, dan DUARRRRRR…udah jam dua belas siang. Padahal pesawat saya ke Medan jadwalnya jam 3.15 WIB. Gimana nggak panik? Saya belum mandi, belum makan, belum mandiin anjing dan belum dandan. Akhirnya kejadian-lah hari itu saya mandi a la bebek, cuma cebar-cebur dan tidak pake acara nyanyi seperti biasa. Siapa coba yang bisa berdendang ketika sedang terburu-buru?
Jam 1 TENG, saya udah ganteng dan wangi. Tetapi itu tidak cukup membuat saya tenang. Apakah bisa saya menempuh jarak dari Ciputat ke bandara Soekarno Hatta hanya dalam waktu dua jam? Impossible!!! Mengingat beberapa kawasan yang doyan macet yang harus saya lalui menuju bandara : Jalan Ciputat Raya, Pasar Jumat, Radio Dalam atau Fatmawati (pilih salah satu), Sudirman, Slipi, dkk. Nggak kebayang kalo misalnya saya juga masih harus melewati kawasan puncak Bogor, bisa-bisa saya baru nyampe di bandara minggu depannya.
Seorang teman menawarkan nganterin naik mobil karena kebetulan hari itu dia mau ke Universitas Trisakti. Tetapi seperti dugaan saya, terjebak macet di Ciputat Raya. Macet bukan karena padatnya kendaraan, tetapi gara-gara banyak mobil yang mutar seenak perutnya. Mereka pikir itu jalan nenek moyangnya sendiri, padahal kan itu jalan nenek moyang saya juga.
Nyambung naik angkot yang sepertinya bisa nyalip-nyalip. Bergerak sekitar seratus meter, terjebak macet juga. Mau naik becak, ya ampun mau nyampe besok? Seandainya gerobak sampah pemulung bisa terbang dan membawa saya ke bandara, maka saya akan naik gerobak sampah. See? I was so frustrated.
Begitu nyampe di Pasar Jumat sudah jam 1.45. Ya Tuhan, saya enggak mau ketinggalan pesawat dan semoga juga pesawat tidak mau meninggalkan saya. Tetapi siapa saya?. Sayang banget tiketnya yang seharga 990.000 itu kalo saya enggak jadi 'terbang' hari ini. Duit 990.000 bisa dipake beli kerupuk satu truk, tau! Kecuali kalo tiketnya bisa di refund, saya sih nggak keberatan. Tetapi mana ada di dunia ini tiket di refund gara-gara penumpangnya ketinggalan pesawat.
Begitu turun dari angkot yang jalannya seperti pengantin sunat, saya langsung loncat ke atas sebuah motor dan memegang pinggang sang pengedara dengan mantap sambil teriak “Ke bandara, Pak’.
Tetapi jawaban yang saya terima adalah,” Maaf, Mas…saya bukan ojek”. Duh malunya. Sambil berusaha membenahi martabat yang barusan hancur berkeping-keping, saya turun dari motor dan dengan jeli mencari motor yang benar-benar ojek. Malu dong kalo salah lagi.
Dan beberapa menit kemudian saya sudah naik ojek membelah macetnya Pasar Jumat, nyalip-nyalip dan belok-belok lewat jalan tikus sampai ke Radio Dalam. Baru sadar kalo motor kan enggak boleh masuk bandara. Akhirnya cuma sampai Blok M aja. Kemudian nyambung naik bus Damri jurusan Bandara.
Jam sudah menunjukkan jam 2.10. Oh Tuhan, bisa nggak ya dari Blok M ke Bandara ditempuh dengan Satu Jam Saja seperti lagu Audy? Eh ini lagunya Audy atau Asty Asmodiati ya? Yo ollohh, pake dibahas segala!
Sayang beribu sayang, bus tertahan selama hampir 30 menit dijalan Sudirman gara-gara massa dari kubu salah satu capres & cawapres memonopoli jalan menuju Senayan. Ya ampun, Indonesia banget! Selalu saja bikin susah orang lain, padahal belum juga terpilih. Dan apa itu? Kok bus kampanye-nya banyak dijubelin anak-anak dibawah umur? Emang anak-anak udah ngerti jadi simpatisan gitu? Whateverlah, Jenderal. Terserah deh mau simpatisannya anak-anak atau nenek-nenek, bukan urusan saya. Tetapi tolonglah menyingkir dulu dari jalan. Saya lagi ngejar pesawat nih!
Akhirnya jam 3.10 WIB saya nyampe di Bandara. Tinggal lima menit lagi (seperti judul lagu Ine Chintya). Apa iya saya bisa check in dalam lima menit? Dan saya nyaris pingsan melihat antrian di depan petugas Check In. Udah antriannya panjang, kopor-kopornya juga segede truk, sementara proses nimbangnya juga makan waktu banget. Juru timbangnya kayaknya belum makan sejak dua hari yang lalu.
Saya udah hampir menyerah. Duit harga tiket senilai 990.000 hilang sudah. Tetapi dasar nggak mau rugi, saya sempat terpikir untuk nakal. Saya ngasih kode ke seorang satpam di depan meja petugas Check In. Maksudnya supaya dia mau mendekati saya. No, no, no…saya bukan lagi akting sebagai binan dan mau flirting satpam. Saya hanya mau memberi tau dia masalah saya, siapa tau dia bisa membantu. Lagi emergency nih, mudah-mudahan bisa 'tau sama tau'. Kalo saya yang nyamperin dia, antrian saya diserobot orang dong, dan itu artinya saya harus ngulang antri dari belakang.
Eh, bukannya ngerti kode yang saya berikan, si satpam malam salah tingkah saya pandangin dengan ekspresi yang gimana gitu (maksudnya memberi sign supaya dia nyamperin saya). Dasar sableng!
Atau jangan-jangan, saya yang salah kasih sign? Sumpah, saya enggak mengedipkan mata sambil menjilat bibir lho. Saya cuma memasang tampang memelas sambil tangan bergerak kayak lagi pencak silat.
Sasaran saya alihkan kepada salah seorang petugas Check In berjenis kelamin perempuan. Lagi-lagi saya beri dia tatapan dengan ekspresi yang sama dengan yang saya berikan kepada satpam tadi. Eh, dia melengos buang muka, tetapi sesekali curi pandang. Cukup sudah, I will not make it!
Dan pada saat itu seperti terjadilah sebuah KEAJAIBAN. Sejak jarum jam menunjukkan pukul 15.13 WIB, waktu seperti tiba-tiba berjalan sangat lambat. Begitu lambatnya sampai-sampai saya tiba-tiba sudah berada di depan petugas Check In. Beruntunglah saya cuma bawa backpack dan membayar uang sebesar 40.000 yang entah untuk apa. Saya udah enggak sempat nanya-nanya lagi tuh duit buat apa, jangan-jangan disuruh bayar sejuta plus potong leher saya juga mau saking sedang buru-burunya.
Bagai adegan di film romantis, saya berlari-lari diantara orang-orang yang berjalan santai menyeret kopor masing-masing. Saya berharap ada kamera yang merekam adegan ini, sehingga apabila nanti diputar dalam gerak slow motion, akan terlihat sangat dramatis. Ah, indahnya...
Waiting Room sudah sepi, hanya tinggal satu orang petugas yang beres-beres. Saya tertegun lesu, backpack saya jatuh kelantai. Sinetron banget nggak sih? Sia-sia tadi saya jadi cowok nakal didepan satpam dan petugas Check In. Sia-sia saya salah naik motor orang karena saya sangka ojek. Sia-sia saya (terpaksa) menyaksikan massa capres dan cawapres yang pipis massal dipinggir jalan karena terjebak macet. Sia-sia saya tadi bayar 40.000 tadi yang entah untuk apa, mungkin untuk biaya pelestarian kawanan badak di Taman Safari. Sia-sia kukorban selama ini. Rupanya gerimis, rupanya gerimis...mengundang. Hou ho ho... Eh, ini mah lagunya band Malaysia itu ya?
Begitu melihat saya, petugas itu langsung berlari menghampiri saya. Saya sudah siap-siap untuk dipeluk sambil ditenangkan dengan kata-kata “Yang tabah ya, Mas. Pesawatnya sudah terbang”.
Satu, dua, tiga…tak ada pelukan. Lengkap sudah penderitaan saya hari ini. Bahkan petugasnya juga sudah tidak peduli.
“Mau ke Medan ya, Mas?”, tanya dia. Saya mengangguk ragu-ragu. Saya tebak sebentar lagi dia pasti ngomong "Kasian deh loe!" sambil menggoyang-goyang jari telunjuknya di depan muka saya. Sret!!!! Eh, saya kaget. Saya pikir dia merobek baju saya. Apa coba? Ternyata srat-sret tadi adalah bunyi Boarding Pass saya yang disobek.
“Langsung ke pintu nomor 6A ya, Mas”, katanya lagi dengan ramah atau lebih tepatnya memerintah. What? Pesawatnya masih nunggu saya? Jangan-jangan saya emang orang penting nih sampai-sampai pesawat aja mau nunggu saya. Semangat saya langsung berkobar kembali. Saya langsung berlari sekencang-kencang menuju pintu noimor 6A.
“Mas, mas…”, si petugas memanggil lagi. Apa lagi sih?
“Backpack-nya ketinggalan”. Ya ampun!!!!!!
Begitu masuk pesawat, semua penumpang sudah duduk rapi. Saya melihat jam tangan. Jam 15.15 WIB. AJAIB! Tidak mungkin saya menempuh jarak dari meja petugas Check In sampai ke dalam pesawat hanya dalam waktu dua menit. But it happens. Miracle does happen for those who believe in. Pret!!!!!! Tetapi beneran lho!
Jadilah saya hari itu jadi tontonan ala 'safe the best for the last' diantara penumpang pesawat. Ada hikmahnya juga sih. Dengan keadaan semua penumpang sudah duduk rapi, saya bebas melenggang di sepanjang koridor pesawat. Bahkan kalo saya mau, saya bisa aja dadah-dadahin semua penumpang ala Miss Univerese. Tetapi maaf, saya tidak berani melakukannya...saya tidak mau ada sandal melayang ke arah saya.
Begitu menemukan nomor tempat duduk didekat jendela, saya melihat seorang bapak yang duduk satu row dengan seat saya. Dia dapat seat paling pinggir ke arah koridor. Sampai saat pesawat sudah bergerak menuju runway, ternyata seat di barisan kami hanya terisi dua : saya dan bapak itu. Dengan posisi saya dekat jendela, bapak itu paling pinggir yang satu lagi, sementara seat yang ditengah kosong.
“Mas, saya boleh tukar tempat duduk nggak?”, tanya bapak itu tiba-tiba.
“Oh, silahkan Pak", jawab saya cepat karena saya pikir bapak itu hendak duduk di seat yang ditengah.
"Maksud saya, saya mau duduk ditempat duduk Mas itu lho", katanya kemudian, memasang tampang malu-malu tetapi sepertinya tetap siap berkelahi kalo misalnya saya menolak. Mulut saya udah nyaris nyelutuk 'maksud loe?’, tetapi yang keluar justru pertanyaan sopan.
“Kenapa Pak?”
“Saya senang duduk dekat jendela. Saya suka melihat keluar ketika pesawat baru terbang”.
Well, saya juga sangat menyukai duduk dekat jendela. Kalian boleh bilang saya norak atau kampungan, tetapi jujur saja, saya sangat menikmati memandang keluar saat pesawat meninggalkan landasan, miring-miring sebentar, kemudian melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi. Bahkan efek jantung loncat didetik-detik roda pesawat tak lagi menyentuh aspal runway sangat saya nikmati. Nikmatnya lebih dari sekedar orgasme tingkat tinggi. Yeahhh, right...this is my another fetish! But well, saya tidak tega menolak permintaan bapak itu.
“Silahkan, Pak”, akhirnya saya mengiyakan. Kejadian-lah kita ganti posisi, eh tukar tempat duduk maksudnya.
Sayangnya, pas pesawat take off, si bapak malah sudah molor. Ya ampun Pak, molor kayaknya dimana aja pun bisa deh, nggak musti di dekat jendela, didekat baling-baling pesawat juga bisa kali. Sia-sia dong saya mengorbankan kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya efek jantung copot sambil melihat keluar jendela saat pesawat take off.
“Saya senang duduk dekat jendela. Saya suka melihat keluar ketika pesawat baru terbang”.
Well, saya juga sangat menyukai duduk dekat jendela. Kalian boleh bilang saya norak atau kampungan, tetapi jujur saja, saya sangat menikmati memandang keluar saat pesawat meninggalkan landasan, miring-miring sebentar, kemudian melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi. Bahkan efek jantung loncat didetik-detik roda pesawat tak lagi menyentuh aspal runway sangat saya nikmati. Nikmatnya lebih dari sekedar orgasme tingkat tinggi. Yeahhh, right...this is my another fetish! But well, saya tidak tega menolak permintaan bapak itu.
“Silahkan, Pak”, akhirnya saya mengiyakan. Kejadian-lah kita ganti posisi, eh tukar tempat duduk maksudnya.
Sayangnya, pas pesawat take off, si bapak malah sudah molor. Ya ampun Pak, molor kayaknya dimana aja pun bisa deh, nggak musti di dekat jendela, didekat baling-baling pesawat juga bisa kali. Sia-sia dong saya mengorbankan kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya efek jantung copot sambil melihat keluar jendela saat pesawat take off.
0 komentar:
Posting Komentar