24/02/14

Kembali MENGEJAR Pesawat



Tarutung,
18 Juli 2009


Tarutung kota kelahiran saya yang dingin dan sejuk selalu sukses membuat saya tidak merasa berdosa bangun jam
tujuh pagi. Tadi malam sopir mboil sewa yang akan membawa saya ke Medan sudah berjanji akan menjemput saya jam sembilan. Well, masih ada waktu dua jam lagi. Masih bisa memantau perkembangan tragedi bom di Ritz Carlton dan JW. Marriott Jakarta yang terjadi kemarin pagi. Masih sempat terkagum-kagum menonton NHK World dimana saya bisa melihat Anchor News orang Jepang yang kemampuan bahasa Inggrisnya keren banget.

Jam 9.10
pagi, sopir yang saya tunggu-tunggu nggak kunjung tiba. Gila apa? Mau berangkat jam berapa nih ke Medan. Sedikit kesal, saya telepon-lah sopir sialan itu. Mau tau jawabannya apa?

“Kita berangkat jam 11, Pak”.
“Hah, jam 11? Maksud loe?”.
“Iya, Pak. Ternyata hari ini mobil yang berangkat ke Medan cuma ada yang jam 11”.
‘Lho, kemaren kok OK
-OK aja janji berangkat jam 9?”
“Maaf, Pak..saya kilaf”.
Huh, kilaf. Kilaf dari Hongkong? Daripada menghabiskan waktu berantem lewat telepon, saya langsung menutup telepon
.

Tiket
pesawat sudah di tangan sejak seminggu lalu dengan jadwal keberangkatan jam 17.30. Sementara jarak dari Tarutung menuju Medan normalnya 7-8 jam naik bus. Saya sibuk menghitung jam. Kalo misalnya berangkat jam 11.00, nyampe di Medan jam 18.00 dong, dan pada saat itu pesawat yang seharusnya ngangkut saya sudah berada di awang-awang. Mau ngejar pesawat pake apa saya? Permadani atau sapu terbang? Emang saya Aladin atau nenek sihir? Kenapa kemaren nggak ngomong kalo mobilnya berangkat jam 11, saya kan bisa cari angkutan yang lain yang bisa berangkat jam 9.

Dan jam sudah menunjukkan jam 9.40. Saking paniknya saya langsung kabur ke pusat kota buat nyari angkutan yang lain, tanpa pakai alas kaki. Soalnya pas saat dibutuhkan, yang namanya sandal langsung raib secara gaib. Udah dandan rapi dan ganteng, tetapi nyeker, berkeliaran pula di pusat kota. Kejadianlah saya dilihatin orang-orang, dikira ada orang gila pendatang baru di kota ini. Kali ini orang gilanya ganteng dan wangi.

“Sepatunya kemana, Bang”, tanya serombongan anak
-anak SMA yang nongkrong di jembatan.
“Hanyut”, jawab saya sambil lalu.
Ini lagi, anak-anak sekolah malah nongkrong di jembatan pada jam sekolah. Mau jadi apa nanti kalau sudah lulus? Si Manis Jembatan Ancol?

Parah! Ternyata angkutan yang lain
juga sudah penuh, dan jadwal berikutnya adalah jam 11. Begitu juga dengan angkutan kompetitor yang lain. Katanya kompetitor, kok jadwal keberangkatannya seragam semua? Kalo berangkat jam 11 sih mending nggak usah berangkat sekalian. Wong saya lagi ngejar pesawat kok. Kalo pesawatnya udah keburu melayang, apa lagi yang mau saya kejar?

Ketika nyaris putus asa dan berteriak-teriak kesal di sepanjang jalan (jangan
-jangan saya emang benar-benar orang gila pendatang baru di kota ini), seorang pria berusia 40-an menghampiri saya.
“Kalo naik Inova mau nggak, Mas?”, tanya doski.
“Berangkatnya kapan?”
“Sekarang”.
“Oh, mau banget”.
“Tetapi ongkosnya sedikit lebih mahal”
“Berapa?”
“Sekian….”. Dia menyebutkan sebuah angka nominal. Busyet, mahal amat. Ini mah namanya bukan sedikit lebih mahal lagi, tetapi udah ngerampok.


“Kok mahal banget?”
“Mobil pribadi, Mas. Nyaman!”
“Saya enggak butuh yang nyaman. Saya butuh yang bisa nganterin nyampe di Polonia Medan sebelum jam 5”.
“Dijamin deh, Mas”.
Karena enggak punya pilihan dan memang tidak punya waktu untuk tawar-menawar, akhirnya DEAL!!!!

 
“Mas, ke Medan begini aja ya?”, tanya dia lagi. Maksud loe? Saya enggak ngerti apa maksudnya. Dia menatap kedua kaki saya yang bugil. Ahhhh, saya tertawa. Saat itu saya baru sadar kalo saya memang terlihat tolol berpenampilan rapi, tetapi nggak pake alas kaki.
“Ya enggak dong. Tas dan sepatu saya masih di rumah”. Dia menghela nafas lega. Kurang ajar, maksudnya apa coba menarik nafas lega gitu?

Saya kemudian digiring naik sebuah mobil Kijang Inova warna hitam, kemudian diantar ke
rumah untuk ambil tas dan tentu saja SEPATU. Saya mengambil posisi tempat duduk di belakang sopir
“Penumpangnya cuma saya doang, Pak?”, tanya saya agak ragu. Horor banget menempuh perjalanan selama kurang lebih tujuh jam cuma berdua sama sopirnya aja.
“Kenapa, Mas? Takut ya? Jangan takut, saya pria baik
-baik kok”.
“Saya juga pria baik
-baik kok, Pak”. Dia tertawa.
“Jadi beneran cuma saya doang penumpangnya?”. Saya benar-benar ingin tau.
“Ya enggak dong, Mas. Ini kita mau menjemput penumpang yang lain”.
Pffff, saya menghela nafas lega. Saya kan takut diculik. Sebenarnya kalau cuma diculik sih tidak masalah, yang paling saya takutkan adalah diperkosa.

Dalam perjalanan menjemput penumpang
-penumpang itu, dia lumayan talkative.
“Penumpang yang mau kita jemput ini seorang anggota dewan lho, Mas”, katanya.
Perasaan, tadi saya enggak nanya deh. Tetapi demi tata karma, saya jabanin aja.
“Dewan apa, Pak? Dewan sembilan belas?”.
“Apa itu Dewan sembilan belas?”
Beuhhhh, bapak ini nggak nyambung sama plesetan saya. Masa nggak ngeh kalo saya lagi mlesetin band
-nya si Ahmad Dhani. Dapat salam dari Echa, Pak. Nama lengkapnya E Chapek Deh!

Si bapak dewan ini rumahnya benar-benar di lokasi tempat jin buang hajat dan bikin dosa. Jauhhhhhhhh banget. Mobil kita harus melewati pematang sawah yang berliku-liku dengan selokan yang cukup mengintimidasi di kanan kiri. Mengintimidasi maksudnya, sekali terperosok pasti bakal butuh seekor gajah untuk bisa menarik mobil yang terperosok keluar dari got. Kok mau sih tinggal di
pedalaman seperti ini? Katanya anggota dewan. Lah, saya kok jadi judge cover by its book. Eh, kebalik ya?

Belum lagi masuk perkampungan yang halamannya dipenuhi anak-anak yang sedang bermain dolanan yang juga pernah saya mainkan waktu masih kecil dulu. Anak
-anak dibagi dalam dua tim. Tim yang satu berusaha merapikan tumpukan pecahan beling milik tim-nya sambil berusaha menghancurkan tumpukan beling milik pihak lawan. Bah, kecil-kecil ternyata dulu saya sudah diarahkan untuk menjadi pekau anarkis dan perusak properti orang lain.

Kedatangan mobil yang lumayan mentereng
untuk ukuran kampung benar-benar menarik perhatian anak-anak itu. Begitu melihat saya di dalam mobil, anak-anak itu langsung berbisik-bisik.
“Wuihhh, ada artis”, katanya. Saya langsung memmakai kacamata hitam saya,  membuka kaca mobil dan dadah-dadah ke mereka. Mudah-mudahan saya disangka Justin Timberlake, bukan Atiek CB.

Begitu kita sampai di rumah Pak Dewan, ternyata Pak Dewan
-nya belum ngapa-ngapain, bahkan masih asyik memberi makan bebek peliharaannya sambil sesekali ngobrol sama kucing yang nongkrong di atap kandang ayam. Tanpa ada kata maaf, beliau itu ngomong gini :

“Saya belum siap2. Nanti jemput saya 30 menit lagi”.
GUBRAK (lagi)!!!!. Bapak Dewan dari planet manakah gerangan beliau ini? Dan yang bikin saya heran, Pak sopirnya mau-mau aja. Eughhhh, kalo saya sih digitu’in saya akan langsung ngomong gini : “Baik, Pak. 30 menit lagi bapak akan saya jemput, tapi  pake ambulance ya, lengkap dengan sirene-nya yang mendayu-dayu diiringi lagu Gugur Bunga serta puisi Krawang Bekasi karya Chairil Anwar”.

Dalam perjalanan menjemput penumpang berikutnya, saya penasaran sama ulah Pak Sopir.
Kok mau sih Pak menjemput dia lagi? Tinggalin aja, kan masih ada penumpang lain”, usul saya dengan jahatnya. Ajaran sesat mulai ditebarkan, hati-hatilah wahai umat manusia.
“Wah, jangan Mas. Dia kan anggota dewan”.
“Tetapi kan dia yang salah, enggak siap-siap sesuai dengan janji”. 

 “Nggak enak, Mas. Dia itu pelanggan tetap saya. Maklum, anggota dewan”. Wewwwww, anggota dewan melulu dah. Segitu magis-nya kah profesi anggota dewan di kota ini?

Penumpang berikutnya, seorang bapak. Syukurlah beliau udah siap-siap dan tinggal masukin tas ke jok belakang dan bisa langsung berangkat. Penumpang berikutnya seroang ibu. Ibu ini juga belum siap-siap sama seperti bapak dewan yang tadi. Tetapi ibu ini masih mending, semua tasnya udah siap dan bisa langsung berangkat. Dengan pede
-nya ibu ini dandan, pake sepatu dan sisiran dalam mobil, kecuali ganti baju. Katanya nanti aja, pas berhenti di tempat istirahat makan dan minum di tengah perjalanan. Yahhhhhhhh….penonton kecewa. Dua penumpang berikutnya dijemput di dekat terminal, keduanya adalah bapak-bapak

Jam sudah menunjukkan jam 10.15 WIB. Wah, berangkatnya jam berapa ya?

Penumpang terakhir,
tentu saja si Bapak Dewan yang terhormat. Untunglah ketika dijemput, beliau sudah siap. Meski sudah siap, beliau tidak langsung naik, tetapi pake acara berkacak pinggang dulu di halaman rumah entah untuk tujuan apa. Mungkin itu semacam ritual dia sebelum berangkat kemana-mana. Dan apa itu? Dia mulai menggerak-gerakkan tubuhnya seperti sedang senam pagi. Saya bersumpah kalo dalam hitungan tiga menit lagi dia tidak juga naik ke mobil, saya sendiri akan tega menyeretnya masuk ke dalam mobil.

Dan sepertinya beliau mendengar sumpah saya, sehingga tak sampai
tiga menit kemudian dia masuk. Dan setelah duduk di jok sebelah supir dan menutup pintu, lalu dia senam lagi. Ughhhhhh, mau marah nggak sih?

Jam sudah menunjukkan angka 10.50 ketika mobil meninggalkan kota Tarutung menuju Medan.
“Pak, keburu nggak sih nyampe di Medan sebelum pukul 17.00?”. Saya mulai khawatir.
“Saya usahakan, Dik”.
Dik? Kok sekarang jadi 'dik', padahal tadi manggilnya 'mas'. Saya paling malas dipanggil 'dik', soalnya saya langsung terbayang nama bule dengan pengucapan yang sama yaitu "Dick", dan zaman sekarang nama "Dick" itu asosiasinya porno banget.

“Yaaa, kayaknya enggak yakin nih”, jawab saya lesu.
“Bapak ini kan sudah bilang akan mengusahakan. Emang sopir kita ini Tuhan bisa menentukan kapan bisa nyampe di Medan?”. Eh, si Bapak Dewan lang
sung nyap-nyap aja ke saya, padahal kenal juga nggak. Pake menoleh-noleh segala lagi.
“Sorry ya Pak, saya enggak ngomong sama situ”, jawab saya dalam hati.
Dari kaca spion Pak Sopir tersenyum ke saya seperti berusaha menenangkan hati saya. Atau justru memberi kode supaya saya enggak menjawab omelan si Bapak Dewan barusan, karena bisa-bisa terjadi tawuran di dalam mobil.

Seperti biasa, mobil berhenti di kota Parapat (persis didekat Danau Toba), memberi kesempatan kepada sopir dan penumpang untuk makan, minum atau sekedar mengosongkan kandung kemih.
Sudah jam 12.20 WIB dan perjalanan masih sangat jauh. Bagaimana bisa saya makan dengan tenang kalau pikiran saya diganggu oleh kemungkinan ketinggalan pesawat. Bisa-bisa makanan yang saya sendok bukannya masuk mulut, malah nabrak pipi atau jidat seperti adegan slapstick a la Srimulat.

Jam 12.50 mobil kembali berangkat. Daripada senewen memikirkan kemungkinan terburuk, saya mengeluarkan buku Wise Guy dari dalam tas dan mencoba membaca. Sudah menghabiskan
lima belas  halaman pertama, tetapi ceritanya sama sekali tidak nyangkut di otak saya. Istilahnya, cuma mulut saya yang komat-kamit, otak saya nggak mencerna apa yang saya baca dan membayangkan visualisasi ceritanya seperti biasa.

Jam 14.45
, kami sampai di kota Pematang Siantar. Melewati Rumah Sakit Vita Insani, sejenak pikiran saya melayang pada kenangan sebelas tahun yang lalu. Di sini terakhir kalinya saya berpisah dengan bapak saya untuk selamanya. Yup, tahun 1998 bokap sempat dirawat seminggu di Rumah Sakit ini sebelum akhirnya pergi untuk selamanya. Masih teringat malam terakhir sebelum bokap saya dipanggil Tuhan keesokan paginya, saya dan bokap masih sempat mendengarkan lagu Secret Of The Sea bersama-sama : 

I may never know where you did go (or) whatever took you from here. On this current that run deep, I’ll always love you”.Yeahhh, I will always love you, Dad. It's been a long time but I still miss so bad.

Jam 16.50 akhirnya mobil sampai di Medan. Saya menghela nafas lega ketika mobil mulai melewati jalan tol dan memasuki pusat kota Medan.
Kenapa ya perjalanan saya kali ini saya selalu sampai di bandara menjelang detik-detik terakhir dan itu rasanya sangat enggak enak banget.

Jam 17.15 saya nyampe di
bandara Polonia. Di pintu masuk saya dicegat petugas yang memeriksa tiket.
Seharusnya sih urusan ini bisa cepat. Tetapi keberuntungan sedang tidak berpihak pada saya. Petugas yang memeriksa tiket saya serius banget membaca semua tulisan di
tiket saya. Penting gitu ya baca-baca tiket orang disaat yang tidak tepat?
“Harrys Simanungkalit”, dia membaca nama di tiket dengan sangat hati-hati, seolah-olah kalau salah baca maka akan terjadi gempa bumi dahsyat. Saya udah mau ngamuk rasanya.
“Lho, jadwal keberangkatannya jam 17.30 ya?”. Dia membaca jadwal keberangkatan di
tiket saya. Huh, pake nanya segala lagi. Dengan muka yang tidak bisa dibilang manis dan ramah, saya mengambil kembali tiket saya. Kalo saya sampe ketinggalan pesawat, saya akan tuntut dia di pengadilan.

Sekarang urusan dengan petugas Check In. Thanks GOD, antriannya nggak panjang-panjang amat.
Antriannya memang nggak panjang, tetapi petugasnya ya ampun, kerja sambil cekakak-cekikikan. Penumpang yang sok akrab juga diladenin semua. Pertanyaan-pertanyaan nggak penting dijawab semua. Oh Tuhan, mending saya menghadapi antrian yang super panjang daripada cobaan model begini.

Jam 17.25 urusan dengan petugas Che
ck In tukang cecakak-cekikikan itu beres. Sekarang saatnya menuju Waiting Room. Saya pikir saya akan bebas melenggang melewati pintu metal detector seperti biasa. Maklum, saya enggak punya tampang penjahat. Apakah benar begitu? We'll see....

Tiga orang petugas di depan sana berbisik-bisik, salah seorang dari mereka memperhatikan buku 'Wise Guy' yang saya pegang? What? What’s wrong with my book? Dan saya langsung dicegat dan di'senter' pake detector yang mirip alat pemukul lalat itu. Anehnya bagian tubuh yang paling lama disenter adalah bagian selangkangan. O
alahhhh, mungkinkah cover buku 'Wise Guy' saya dianggap cukup provokatif? Maklum, cover-nya bergambar seorang pria berpenampilan mafia sedang mengacungkan pistol. Apalagi merunut pada tragedi bom di Jakarta kemarin. Tetapi masa sih sampe segitunya, sampai-sampai gara-gara buku saya bisa dicurigai. But it’s OK lah, namanya juga antisipasi. Good job, Sir! Saya kebayang selangkangan siapa lagi nanti yang dapat giliran di'senter' setelah giliran saya.

Jam sudah menunjukkan angka 17.30. This is it. Saya berlari-lari diantara penumpang lain yang justru terlihat jalan santai. Tidak ada pemandangan antrian menuju pesawat. Apa yang terjadi? Apakah pesawat saya sudah berangkat, mengingat biasanya
tiga puluh menit sebelum take off, para penumpang sudah disuruh boarding. Saat itu saya kembali berharap ada keajaiban dan beneran terjadi keajaiban. Dari speaker di setiap sudut Waiting Room terdengarlah suara :
Pesawat dengan nomor penerbangan bla, bla..bla..tujuan Jakarta ditunda keberangkatannya. Pesawat akan berangkat jam 18. 45.

Itu dia keajaibannya. Nah lho, bukan keajaiban sejenis ini yang saya harapkan. Ini namanya keajaiban yang telat, apalagi setelah kepanikan yang saya alami sejak tadi pagi. Kalau tau jadwal penerbangan ditunda begini, saya bisa tenang selama perjalanan tadi.
Tetapi saya tetap menyukuri penundaan ini. Saya masih ngos-ngosan. Masih ada waktu kira-kira satu jam lagi. Saya mau berbaring telentang dulu di lantai, sekedar mengatur nafas, lalu cari makan. Perasaan was-was selama perjalanan tadi membuat saya lapar.

Jam 18.30 akhirnya saya benar-benar naik tangga pesawat. Sirik sama penumpang
maskapai lain yang diantar jemput naik bus ke pesawat. Lha, saya dan penumpang pesawat yang 'ini' musti jalan kaki dan harus Siaga 1 lihat kanan kiri kalo enggak mau ditubruk mobil cargo yang seliweran hiruk pikuk mengantar bagasi.

Di
dalam pesawat saya dapat seat paling belakang. Seumur-umur, baru kali ini saya dapet seat paling buntut. Biasanya kalo nggak di bagian depan, ya di tengah. Row seat saya sudah terisi dua orang pria di kiri kanan dengan seat tengah kosong yang notabene seat saya. Kedua pria dikiri kanan seat saya terlibat pembicaraan serius. Oh man, pake acara saling pegang-pegang tangan segala. Satu bertampang Indo (mungkin blasteran atau apalah, saya enggak berminat ingin tau), satu lagi bertampang oriental mirip Lee Homyang. Saya mau duduk jadi enggak enak, takut menganggu. Akhirnya saya lama-lama berdiri sambil pura-pura sibuk memasukkan backpack saya ke dalam compartment. Tentu saja posisi saya menghalangi penumpang lain yang mau lewat. Daripada bikin orang lain susah lewat, akhirnya saya nekad menginterupsi kemesraan kedua mahluk itu.

“Permisi”
. Keduanya serentak menoleh, tanpa ekspresi sama sekali.
“Oh, please’, jawab si Indo.
“So’, you sit here?”, tanya si Indo lagi. Ya iyalah, rutuk saya dalam hati. Pake nanya lagi. Memangnya angkot atau bis yang bisa memilih tempat duduk sesuka hati? Saya mengangguk, berusaha memaklumi pertanyaan nggak penting itu.

Saya
sudah duduk di seat saya. Sekali lagi saya ingatkan, saya duduk persis di tengah-tengah dua pria yang terlibat pembicaraan serius yang sesekali saling menyentuh anggota tubuh lawan bicaranya. Mampus deh saya. Salah gerak, justru saya entar yang kena pegang.

Dan mana bisa saya duduk dengan nyaman jika dua pria dikiri kanan saya kembali ngobrol serius membahas pengalaman liburan mereka selama di Medan. Taman Lawang? Habitat monyet kan? Kalo mendengar lafal bahasa Inggris mereka, sepertinya kedua mahluk ini lama tinggal di
luar negeri atau jangan-jangan memang bukan orang Indonesia. Jadi ketika saya bilang ‘permisi’ tadi, mereka ngerti nggak ya?

Kalimat-kalimat yang mereka ucapkan dan haha-hihi seliweran di
depan muka saya, saya udah kayak moderator atau wasit aja. Berada di tengah-tengah orang yang sedang berbicara dan tidak terlibat sama sekali dalam pembicaraan itu, rasanya sangat menyebalkan. Pasti ada yang salah dengan nomor tempat duduk, harusnya nomor seat mereka berurutan. Kenapa justru saya yang jadi kejepit begini.

“Excuse me. I don’t mind if u want to s
it here, so you guyz could…”
“No, no..it’s OK. We’re fine!”.
Si oriental menjawab tenang sebelum saya menyelesaikan maksud baik saya.
Loe doang yang fine, Setan! Saya mah tersiksa kalau ceritanya kayak gini. Kalo misalnya mereka ngobrolnya sambil muncrat, saya yang jadi ember penampungnya.

“I mean you guyz would be more comfortable to talk to each other if one of you switch seat with me”.
“Nggak apa-apa kok”. Wow, ternyata si Oriental bisa bahasa Indonesia juga.
Ya sudah deh, yang jelas saya udah menunjukkan itikad baik. Awas aja kalo nanti ada hujan lokal, saya lempar dua-duanya keluar dari jendela pesawat. Daripada saya jadi penonton, akhirnya saya pura-pura membaca kembali 'Wise Guy' yang tadi membuat saya dicurigai petugas. Lain kali demi kenyamanan, saya akan bawa buku yang covernya gambar seorang pria yang soleh dan beriman.

Lagak saya sih membaca serius, tetapi sebenarnya saya nguping pembicaraan mereka. Wuihhhhh, pembicaraan yang sedikit mengejutkan dunia persilatan. Dari hasil nguping, saya tau kalo kedua pria ini ternyata gay. Sebelum ke Medan, mereka baru attending Gay Party di Bangkok dan satu lagi kota (masih di Thailand). Nama kotanya enggak terlalu familiar, soalnya rada cang-
cing-cong gitu. Kayaknya mereka bukan 'pasangan', tetapi masing-masing sudah punya pasangan. Pasangan si Indo ada di New Zealand, kayaknya sih orang Indonesia karena namanya Satria. Jangan-jangan dia punya pedang Naga Puspa dan kenal sama Mantili dan Lasmini. atau Ken Arok?

Pasangan si Oriental kayaknya ekspatriat Eropah yang tinggal di Jakarta. Namanya agak-agak aneh khas Prancis, Jerman atau Belgia. Saya aja enggak berhasil mendengar nama persisnya, karena diucapkan aja udah susah. Pokoknya ada benzoate
-benzoat gitu lah. Kok kayak nama senyawa kimia ya?  Wow, kayaknya saya berbakat jadi intel nih, intel spesialisasi nguping pembicaraan orang.

Naga
-naganya sih bukan pasangan, tetapi dari cara mereka saling memandang dan saling pegang tangan, I believe there must be 'something' between them. Hehehe, ternyata di dunia mereka itu ada juga kasus-kasus TTM kayak gini. Agak aneh juga melihat kelakuan dua pria ini. Secara fisik dan gerak tubuh, mereka tuh laki dan maskulin banget, penampilannya modis pula. Pokoknya kesan pertama nggak bakal nyangka kalo mereka 'begitu. Begitu bagaimana maksud loe? Penampilannya trendy dan modis, tetapi tidak terlalu dandy. Bahkan untuk urusan tampang, bisa dibilang diatas rata-rata. I bet no woman would dare to resist them. Hanya pokok pembicaraan mereka sajalah yang bisa menjadi clue tentang siapa mereka sebenarnya. Poor you girls, these two fine hunks are not for you.

“You read this?”, tanya si Indo tiba-tiba, tanpa permisi atau bilang 'spada' langsung membalik buku yang saya baca untuk melihat cover
-nya. Well, pertanyaan nggak penting berikutnya, silahkan masuk!
“I like reading”, katanya lagi. Oh, OK. But who wants to know? Saya cuma senyam-senyum kikuk. Saya mau jawab apa, coba? Saya tidak pernah siap dengan pertanyaan dan pernyataan nggak penting seperti itu.


“Mau kemana?”, kali ini si
oriental yang bertanya. Tuh kan, datang juga pertanyaan nggak penting berikutnya.
“Jakarta”, jawab saya cepat.
“Tinggal di Jakarta?”
“Iya”
“Lagi liburan ke Medan ya?”
“Yup”
“English, please!”, protes si Indo merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan.
“Are u married?”, tanya si Indo. GUBRAK!!!! Akhirnya untuk yang keseribu tiga ratus enam puluh tujuh kalinya saya disodori pertanyaan 'bertuah' ini. Saya mengambil foto Patty & Ralph yang saya selipkan dalam buku Wise Guy saya sebagai senjata pamungkas. I don't tell people about my personal life, Jenderal!

 
“This is my babies, they are twins”.
“Whoaaaaa, so cute!” Si Indo menjerit gemas
“I wish I could have one like this”, kata si oriental.
‘Why couldn’t you?”, tanya saya pura-pura nggak tau dan nggak nguping pembicaraan mereka yang tadi..
Mereka berdua saling berpandangan, merasa nggak enak. Hehehe, saya jadi merasa bersalah.


“Oh, I know. Nevermind, it’s OK”
“You know what?”, si
oriental bertanya.
“I know what I know”, saya memberi jawaban amburadul. Males bahas yang begituan.
“Serius loe udah tau?”, si
oriental keceplosan lagi berbahasa Indonesia, tetapi si Indo nggak protes. Saya menunjuk kedua telinga saya memberi kode rahasia bahwa tadi saya terpaksa menguping pembicaraan mereka. Waduhhh, saya kok jadi mmbuak aib sendiri begini? Si oriental kemudian berbicara dalam bahasa Prancis kepada si Indo, kemudian tertawa terbahak-bahak. Sialan, saya enggak ngerti bahasa Prancis nih.

“Are you guyz making fun on me?”, saya pasang muka ketat, pura
-pura tersinggung.
“No, no. We’re not”, seru si Indo sedikit merasa nggak enak mengira saya salah pengertian.
“Saya tadi cuma bilang ke dia kalo loe tadi over hearing pembicaraan kami. Kami pikir loe nggak ngerti bahasa Inggris. Seharusnya tadi kami berbicara dalam bahasa Prancis saja”.
“I know French”
“Wow, are you serious?”.
“Just a few lines from Anggun’s French song”, saya dengan tidak tau malu akhirnya ngaku, bangga pula!
“Oww, I know Anggun”, seru si Indo.
”Snow On The Sahara. Saya suka lagu itu”, timpal si oriental.
Busyettt, cuma itu lagu Anggun yang dia tau? Kemana aja, Pak?
“It's been a long time. Where’s she now?”, tanya si Indo lagi. GUBRAK!!!! Ternyata mereka berdua sama aja. But I wouldn’t blame them for their lack of acknowledge.

Sampai akhirnya pesawat mendarat di Ba
ndara Soekarno Hatta jam 20.55, saya terlibat pembicaraan penting dan nggak penting dengan kedua pria unik ini. Saking uniknya, saya baru tau nama mereka Timothy/Timmy (si Indo) dan Michael/Mike (si oriental) saat salaman ketika akan berpisah di lobby bandara. Tadinya mereka mengusulkan kita naik taksi bareng-bareng karena rute kami satu jurusan sampai bilangan Pondok Indah, tetapi sayangnya kakak saya udah berjanji akan menjemput saya. Guyz, I’m looking forward to see you again and have another silly chit-chat. Apalagi Timmy yang terobsesi pengen ketemu langsung dengan Ralph, sementara Mike terpesona dengan senyum Patty (yang katanya sangat fotogenik untuk bayi seusianya).

Jam sudah menunjukkan angka 22.05, kakak saya belum juga muncul. Ada SMS masuk. Olala, ternyata kakak saya enggak bisa jemput karena lampu depan mobil tiba-tiba mati di
tengah jalan, jadi akhirnya kakak saya balik ke rumah karena enggak berani nyetir dengan kondisi mobil seperti itu.

Akhirnya naik taksi pulang ke rumah. Ternyata Jakarta pada malam hari terlihat sangat indah. Nikmat banget memandangi lampu-lampu di sepanjang jalanan tanpa macet dan tanpa polusi. Sedapnya menikmati pemandangan indah kota Jakarta sambil memangku atau dipangku bule. Upsssss…..

Jam 23.50, saya nyampe dirumah. Segala macam penat dan capek langsung hilang ketika melihat Patty dan Ralph yang sudah tertidur pulas. Welcome back to Jakarta!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar