17/03/14

KREATIF Melawan Pembajakan

 Industri  musik Indonesia sedang dalam masa kritis. Produksi dan Sumber Daya Manusia-nya memang sangat melimpah, saking melimpahnya bahkan pelawak dan bintang sinetron yang tidak bisa menyanyi saja bisa rekaman dan membuat album. 

Namun beberapa tahun terakhir ini penjualan album fisik dalam bentuk CD dan kaset memang mengalami penurunan yang signifikan. Beberapa toko musik yang dulu punya nama besar satu persatu mulai gulung tikar.

Fenomena ini terjadi tentu saja bukan karena daya beli masyarakat yang menurun tetapi karena ada pilihan lain yang lebih praktis dan murah : mengunduh lagu-lagu kesukaan lewat internet. Tinggal main ke warung internet, kalau jaringannya tokcer dalam satu jam yang tarifnya cuma 3000 rupiah, sudah bisa mengunduh puluhan lagu secara gratis.

Pelaku musik (artis dan manajer) dan produsen (label rekaman)-pun meradang, penjualan album menurun drastis. Strategi lain mulai diterapkan sehubungan dengan fenomena download yang sedang menjadi trend ini. Para label rekaman dan artis-pun ramai-ramai bekerjasama dengan operator telepon seluler untuk menjual lagu dalam bentuk nada panggil (ringtone). 

Awalnya strategi ini cukup efektif, tetapi lama-lama konsumen mulai sadar, kenapa mau membayar sebuah lagu yang tidak utuh? Karena untuk menjadi sebuah format nada panggil, lagu yang dimaksud memang diedit sedemikian rupa sehingga hanya tinggal bagian chorus-nya saja dan dengan kwalitas audio yang ala kadarnya.

Lagi-lagi masyarakat beralih kepada download ilegal lewat internet. Namun tidak sedikit juga masyarakat yang puas dengan lagu kesukaan yang tidak ada wujudnya dalam bentuk CD atau kaset, maka CD/kaset bajakan menjadi pilihan. Karena dibanding dengan harga CD/kaset original, harga yang bajakan jauh lebih bersahabat. Istilahnya harga untuk satu CD asli sebanding dengan delapan atau tujuh CD bajakan.

 Lagi-lagi pelaku dan produsen musik Indonesia meradang, memprotes pemerintah yang dianggap tidak becus menuntaskan masalah pembajakan  dan hak cipta. Padahal boro-boro mengurusi soal pembajakan dan hak cipta, karena untuk mengurusi hal-hal yang jauh lebih penting (seperti HAM, toleransi beragama, pendidikan, kesejahteraan, korupsi dan lain-lain) saja pemerintah masih kalang kabut.

 Kemudian strategi berikutnya diterapkan, menitipkan CD ke gerai ayam goreng. Pada konsep penjualan ini, CD didalihkan sebagai bonus paket makanan tertentu. Tapi menurut pengalaman saya dan beberapa teman, kita tidak diperkenankan membeli paket tersebut jika tidak disertai dengan ‘bonus’ CD tersebut meskipun sebenarnya kita tidak menginginkan  CD tersebut. 

Logikanya kita ke gerai ayam goreng pasti dengan niat mau beli ayam goreng, bukan CD. Kondisi seperti ini jelas membuat konsumen tidak nyaman karena seperti ‘dipaksa’ untuk membeli barang yang tidak diinginkan karena pada kenyataannya CD tersebut bukan bonus melainkan masuk struk pembelian dengan harga tersendiri.

Beberapa label rekaman dan artis yang menerapkan konsep penjualan ini bahkan berani sesumbar dengan bangga mengklaim telah mampu menjual sekian juta keping album lewat gerai ayam goreng tersebut. Mereka lupa bahwa sebagian besar yang dianggap laku terjual itu adalah sebuah ‘pembohongan’, laku terjual bukan karena memang diinginkan oleh yang konsumen, tetapi karena terpaksa atau mungkin kecele.

 Pada sisi prestise, jelas kondisi ini juga sangat memprihatinkan. Betapa telah terjadi degradasi pada seni musik yang seharusnya menjunjung tinggi estetika dan nilai jual. Bayangkan berapa CD yang teronggok sia-sia dirumah para konsumen yang telah dicatat sebagai ‘laku terjual’ oleh pihak label rekaman.

Musik telah kehilangan esensinya, hanya sebagai barang jualan yang bukan untuk dinikmati. Musik yang tadinya dikerjakan pakai pikiran dan hati melalui bakat-bakat luar biasa pada akhirnya menjadi benda mati  yang tak lagi menjadi karya seni, tetapi menjadi ‘sampah’. Dirumah saya sendiri banyak CD-CD hasil ‘bonus’ ayam goreng tersebut tergeletak begitu saja tanpa pernah saya sentuh. Karena beberapa anggota keluarga saya adalah penggemar ayam goreng, maka pada beberapa kesempatan mereka tak kuasa menolak ‘bonus’ CD yang tidak diinginkan tersebut demi ayam goreng kesukaan.

 Sudah saatnya pelaku dan produsen musik Indonesia memutar otak dan sedikit lebih kreatif untuk melawan ilegal download dan pembajakan. Ada baiknya produksi rekaman yang hendak didistribusikan dan dijual dikemas dengan cara yang tidak mungkin bisa didapatkan dari CD bajakan. Kwalitas suara yang bening tentu saja tidak bisa diandalkan karena kwalitas audio CD bajakan juga tidak kalah dengan yang original. Kalau tidak percaya silahkan buktikan sendiri.

Mungkin kelebihan CD orginal ini bisa diterapkan pada bagian kemasan, misalnya dengan menawarkan kemasan yang esklusif dengan bonus kalender meja, notes, gantungan kunci, booklet berisi foto-foto, mouse pad dan barang-barang lain berupa merchandise dari artis dan musisi yang bersangkutan.
 
Atau kalau mau lebih nyeleneh, sisipkan tiket undangan konser didalam kemasan CD yang nantinya akan diundi untuk menjadi undangan terhormat saat si artis menggelar konser.  Atau mungkin si artis lebih sering menggelar acara jumpa fans yang sifatnya esklusif. Esklusif berarti bukan hanya sekedar bertemu, foto bersama, tanda tangan jalan bubar jalan. Tetapi pertemuan yang lebih intim, misalnya makan atau nonton atau berburu celeng bersama-sama yang ‘tiket masuknya’ adalah CD orginal artis atau musisi yang bersangkutan.

Dan acara ini harus digelar secara intens dan bertahap sehingga semua pembeli CD original kebagian jatah dan tentu saja merasa sangat dihargai oleh artis dan musisi yang disukainya. Mungkin cara-cara ini akan lebih banyak menghabiskan dana dan tenaga, tetapi untuk kembali mendapatkan prestise industri musik negeri ini ya kenapa tidak? Karena jelas para pembajak tentu tidak sudi repot-repot melakukan hal-hal kreatif seperti ini, karena kalau mereka kreatif tentu mereka tidak akan menjalankan praktek pembajakan. Iya toh?

Terlalu cengeng kalau hanya bisa komplain mengenai masalah kemudian merengek-rengek menyalahkan pemerintah, tetapi malas berpikir sendiri untuk mendapatkan solusi kreatif.  Selama ini pelaku dan produsen musik Indonesia sudah terlalu lama terlena dengan konsep dan strategi industri yang monoton sementara respon dan selera masyarakat sudah semakin berkembang dan kritis. Melawan pembajakan dan ilegal download bukan dengan cara protes dan merengek-rengek seperti anak macan kepanasan, tetapi dengan cara pemikiran kreatif yang membuktikan bahwa kita lebih pintar daripada para pembajak dan pemilik ilegal download tersebut.

Industri musik Indonesia sedang dalam masa kritis. Produksi dan Sumber Daya Manusia-nya memang sangat melimpah, saking melimpahnya bahkan pelawak dan bintang sinetron yang tidak bisa menyanyi saja bisa rekaman dan membuat album. Namun beberapa tahun terakhir ini penjualan album fisik dalam bentuk CD dan kaset memang mengalami penurunan yang signifikan. Beberapa toko musik yang dulu punya nama besar satu persatu mulai gulung tikar. 

Fenomena ini terjadi tentu saja bukan karena daya beli masyarakat yang menurun tetapi karena ada pilihan lain yang lebih praktis dan murah : mengunduh lagu-lagu kesukaan lewat internet. Tinggal main ke warung internet, kalau jaringannya tokcer dalam satu jam yang tarifnya cuma 3000 rupiah, sudah bisa mengunduh puluhan lagu secara gratis. Pelaku musik (artis dan manajer) dan produsen (label rekaman)-pun meradang, penjualan album menurun drastis. Strategi lain mulai diterapkan sehubungan dengan fenomena download yang sedang menjadi trend ini. 

Para label rekaman dan artis-pun ramai-ramai bekerjasama dengan operator telepon seluler untuk menjual lagu dalam bentuk nada panggil (ringtone). Awalnya strategi ini cukup efektif, tetapi lama-lama konsumen mulai sadar, kenapa mau membayar sebuah lagu yang tidak utuh? Karena untuk menjadi sebuah format nada panggil, lagu yang dimaksud memang diedit sedemikian rupa sehingga hanya tinggal bagian chorus-nya saja dan dengan kwalitas audio yang ala kadarnya. Lagi-lagi masyarakat beralih kepada download ilegal lewat internet.

Namun tidak sedikit juga masyarakat yang puas dengan lagu kesukaan yang tidak ada wujudnya dalam bentuk CD atau kaset, maka CD/kaset bajakan menjadi pilihan. Karena dibanding dengan harga CD/kaset original, harga yang bajakan jauh lebih bersahabat. Istilahnya harga untuk satu CD asli sebanding dengan delapan atau tujuh CD bajakan.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar