Ketika ditawari menjadi Liaison Officer (LO) untuk
artis-artis luar negeri yang akan tampil diacara X Factor Around The
World (RCTI) saya sempat ragu. Saya memang pernah menjadi pendamping
untuk beberapa tamu dari luar negeri di tempat saya bekerja dulu, tetapi tentu
saja situasinya berbeda karena dulu yang saya dampingi itu bukan artis. Saya
juga belum dikonfirmasi akan menjadi LO untuk artis yang mana karena
saya belum bertemu dengan penanggung jawab yang mendatangkan artis-artis
tersebut.
Berbekal iklan acara tersebut saya mendapati beberapa nama yang
kemungkinan akan menjadi klien saya. Ada Paula Abdul & Melanie
Amaroe dari Amerika, Daniel Bedingfield dari New Zealand, Jahmene
Douglas dan Louis Walsh dari Inggris, Samantha Jade dan The
Collective dari Australia. Kecuali Paula, Louis dan Daniel, nama-nama
lainnya belum terlalu familiar di telinga saya.
Kalau Paula Abdul , siapa sih yang tidak kenal beliau yang selain
dancer dan penyanyi yang kondang tahun 90an, juga menjadi pioner juri American
Idol dan X Factor Amerika. Begitu juga Louis Walsh yang
pernah membidani lahirnya boyband-boyband seperti Take That, Boyzone
dan Westlife. Kalau Daniel Bedingfield? Saya masih belum lupa
dengan lagu hits-nya zaman saya kuliah dulu : If You’re Not The One
yang menjadi lagu wajib setiap kali mampir di warung remang-remang.
Sejujurnya saya berharap akan disuruh menjadi LO untuk Louis
Walsh. Karena menurut saya, sosoknya yang kebapakan dan kalem tentu tidak
akan terlalu banyak tongkah dan polah yang membuat ribet. Beda misalnya jika
harus mendampingi Paula Abdul yang menurut saya sudah pasti high maintenance.
Tetapi sebagai antisipasi, saya tetap mempelajari profil dan video para
artis-artis tersebut sebagai modal tempur, jadi apabila ditugaskan mendampingi
salah satu dari mereka saya sudah siap. Samantha Jade & Melanie Amaroe
adalah solois perempuan juara X Factor dinegara masing-masing. Apa iya
saya ada kemungkinan dikasih kesempatan mendampingi para diva-diva ini?.
Jahmene Douglas dan Daniel Bedingfield. Hmmm, sepertinya no
problem. Saya yakin bisa get along.
The Collective ternyata
adalah boyband Australia yang terdiri dari lima orang laki-laki berusia
antara 17 sampai 22 tahun. Sepertinya akan merepotkan ya? Mudah-mudahan bukan
saya yang disuruh mendampingi cowok-cowok ini. Benarkah? Lihat saja nanti.
Ketika bertemu dengan Pak Budiman sang penanggung jawab artis, dengan tegas
dan tanpa bimbang beliau menunjuk saya untuk meenjadi LO untuk The
Collective. Jedeeeerrrrrrr!!!! Petir langsung memecah angkasa.
“Sudah fix ya Pak kalo saya yang menjadi LO untuk The
Collective?”, tanya saya dengan mimik penuh arti yang semoga bisa dibaca
Pak Budiman.
“Ya!”, jawab Pak Budiman mantap.
“Mereka lima orang lho, Pak”, saya masih teguh kukus berlapis baja memberi
kode.
“Saya tau, makanya saya tugasin kamu”.
Jeddeeerrrrrrr!!!! Lagi-lagi petir membelah sunyi angkasa.
Saat itu juga saya ingin segera
berlari pulang atau ke warnet terdekat untuk menonton videography The
Colective di YouTube sebelum memutuskan untuk mundur atau maju tak
gentar untuk pekerjaan ini.
Lima orang laki-laki berusia muda, boyband pula! Kalau boleh jujur
dari dulu saya sering kesulitan berakrab-akrab ria dengan sesama jenis yang
usianya di bawah usia saya. Tentu saja tidak masalah kalau hanya untuk
basa-basi sepintas lalu alias kenal-kenal anjing. Tapi ini saya akan
mendampingi mereka selama lima hari. Tetapi kemudian saya berpikir kalau ini
adalah tantangan. Masa tidak mau mencoba hal-hal yang baru? Masa tidak berani
keluar dari comfort zone untuk mencoba sesuatu yang selama saya anggap
sebagai hal yang mustahil dan tak mungkin saya lakukan. Akhirnya saya mantap
dengan keputusan ini bahwa saya akan menjadi LO untuk The Collective.
Salah satu kekhawatiran saya menjadi LO untuk The Collective
adalah karena saya masih sangat buta dengan eksistensi The Collective
ini. Saya juga agak-agak sentimen dengan selebiriti dengan status boyband
atau girlband, kecuali yang berasal dari Inggris. Kalau menjadi LO
untuk The Wanted atau 5ive mungkin saya akan girang
gegap gempita karena saya memang ngefans berat dengan mereka. Setidaknya
jika mereka adalah artis favorit saya, jelas saya punya wawasan yang bisa
menjadi modal kuat untuk membuat mereka nyaman karena saya pasti sudah tau si A
karakternya seperti apa, si B makanan kesukaannya apa, si C hobby-nya apa
dan lain-lain. Pada saat garing dan mati gaya pasti saya bisa memancing obrolan
seputar wawasan yang saya tau tentang mereka.
Besok saya akan bertemu The Collective untuk pertama kalinya, di airport
pula yang tentu saja sangat tidak memungkinkan untuk basa-basi mesra. Malam ini
juga saya menghabiskan durasi berjam-jam memelototi video-video clip dan
video presentasi mereka. Saya bahkan mati-matian mengingat-ingat tampang mereka
satu persatu sambil menghafal nama agar besok saya tidak salah panggil.
Awalnya saya sempat mulai stress karena pada saat pertama kali
melihat video mereka kok sepertinya tampangnya sama semua. Tetapi setelah
konsentrasi penuh, ternyata memang masing-masing tampangnya berbeda. Ya iyalah!
Mereka kan boyband, bukan cowok kembar lima. Well, mungkin saya
yang terlalu berlebihan. Saya bahkan mau repot-repot membuat notebook
dengan sampul gaya collage yang saya tempeli foto-foto The Collective.
Maksudnya sebagai modal saya untuk memancing pembicaraan dengan mereka pada
saat situasi garing dan mati gaya. Kan saya tinggal mengacungkan notebook
tersebut sambil bilang “Look guys, I made this. Keren nggak?”.
Satu
lagi hal gila yang saya lakukan demi sebuah totalitas adalah saya bahkan
mati-matian menghafal dua lagu hits mereka Surrender
dan Another Life, termasuk menirukan salah satu
gerakan ‘konyol’ (yang pada akhirnya justru menjadi gerakan favorit saya) dalam
salah satu video clip mereka.
Tanggal 21
Agustus 2013, detik-detik pertemuan-pun akhirnya tiba juga. Saya harus
menyiapkan mobil penjemputan mereka di lobby airport. Berhubung di lobby
penjemputan tidak boleh parkir, maka saya harus berjibaku mengatur waktu agar
mobil bisa tiba persis saat The Collective keluar dari airport.
“Pak, nanti lima menit sebelum The Collective keluar dari airport tolong kasih tau saya
ya biar saya bisa siapkan mobil”, mohon saya sambil memelas-melas kepada Pak Budiman yang berada di dalam airport
untuk mengurus bagian imigrasi.
“OK”, jawab Pak Budiman dengan pendek. Terlalu pendek sehingga saya ragu dan
curiga apakah Pak Budiman serius atau hanya menganggap angin lalu permohonan
saya.
Dan benar saja. Saat para penggemar dadakan The Collective yang
menunggu di lobby sudah berteriak-teriak kesetanan, Pak Budiman tidak
juga memberitahu saya. Para penggemar dadakan ini tentu berteriak-teriak mistis
karena sudah melihat The Collective keluar dari ruangan claim baggage,
bukan karena tiba-tiba kesurupan. Sudah tidak ada waktu untuk menghubungi Pak
Budiman, saya langsung menghubungi sopir yang sudah stand by ditempat parkir.
Seperti yang kita tau jarak tempuh dari parkir ke lobby membutuhkan
waktu sekitar 14 hari, belum lagi kalau masih harus antri memasuki terminal
kedatangan.
“Pak, segera datang ke terminal D sekarang juga”, perintah saya sedikit panik dan gila. Suasana di
terminal kedatangan ini sudah sangat crowded dengan penggemar dadakan
yang sejak tadi belum berhenti menjerit-jerit, pengunjung lain yang mendadak
ingin tau apa yang terjadi dan siapa yang datang, wartawan foto & TV yang
saling merangsek kearah depan, security dan penumpang lainnya yang baru
turun dari pesawat ikut-ikutan heboh dan berbaur menjadi satu.
“Mobilnya mana?”, tanya seorang official.
“Sudah on the way”, jawab saya mencoba tetap tenang menyembunyikan rasa panik
“Telepon dong biar cepat”
“Sudah saya telepon dan sudah on the way”
“Telepon lagi!”
“Sudah”
“Telepon lagi!”
Kalau tidak ingat situasi, saya pasti sudah berlari dan menubruk official
ini hingga berguling-gulingan diatas jalan raya. Maksudnya apa coba? Mobilnya
saya suruh terbang?
Mobil penjemputan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera tiba
sementara dibelakang saya mendengar suara jeritan berangsur-angsur bergerak
mendekat ke arah saya. Aduh, jangan sekarang dong.
“Tuhan tolong dong, sekali ini saja…”, doa saya dalam hati dengan sungguh-sungguh. Pada
saat terdesak seperti ini memang tidak ada yang bisa mengalahkan kesungguhan
doa saya. Sebab saya ingat Pak Budiman yang kemarin sudah berpesan agar artis
yang kita jemput jangan sampai menunggu terlalu lama. Begitu hai-hai’an
dengan dengan penggemar dadakan dan wartawan mereka harus segera masuk mobil.
Atau barangkali nanti The Collective saya suruh masuk taksi saja
kalau mobilnya belum datang? Saya bisa dicincang Pak Budiman kalau begitu
kejadiannya. Spontan saya berlari kearah kerumunan wartawan yang masih
menghadang langkah The Collective menuju jalan raya. Saya colek salah
satu dari mereka.
“Mas, tolong tahan dulu mereka”.
“Tahan bagaimana?”
“Pokoknya bikin sibuk dulu, jangan ke jalan raya dulu”
“Kenapa?”
“Mobilnya belum datang”
“Nggak bisa ditahan lagi, mereka sudah harus segera pergi sekarang”
“Nggak mau tau, pokoknya tahan dulu. Suruh pose-pose atau baca puisi dulu,
terserah deh”
“OK, satu menit ya”
“OK!”. Saya kembali berlari ke tepi jalan menunggu mobil jemputan. Saya
benar-benar tidak peduli apakah The Collective benar-benar disuruh baca
puisi untuk mengulur waktu karena saya punya masalah sendiri disini.
“Mobilnya mana?”. Aduhhhh, lagi-lagi si official cerewet itu nongol.
Saya memutuskan untuk tidak mempedulikan dia lagi. Mungkin Tuhan memang
menciptakan dia untuk membuat saya panik sehingga mengacaukan hidup saya. Maaf
saja, tidak mempan karena iman saya kuat.
“Mobilnya udah belum?”, tanya wartawan TV yang tadi saya mintai tolong
untuk mengulur waktu.
“Belum. Suruh pose-pose lagi”
“Sudah”
“Suruh pose-pose beberapa kali lagi”.
Dan akhirnya mobil jemputan tiba. Langsung saya lambaikan tangan memberi
kode agar sopirnya berhenti ditempat saya berdiri.
“Yakin ini mobilnya?”. Ya ampun, si official belum juga menyerah
mencoba membuat hidup saya berantakan.
“Tentu saja. Saya hafal nomor plat mobil saya”, jawab saya enteng, sedikit
sombong.
“Pinter”, pujinya sambil acung jempol.
“Terima kasih, tetapi tolong sekarang minggir dulu ya”, jawab saya dalam
hati. Kembali saya berlari menyeruak kerumunan wartawan foto dan TV. Aduh,
kepala saya sempat kepentok kamera sampai kacamata saya hampir jatuh, tetapi
bukan waktu yang tepat untuk mengusap-usap kepala.
“Boyz, get into the car right away”, perintah saya kepada anak-anak The Collective
seperti mengomando anak buah. Mereka serempak menatap saya dengan ekpresi
seolah berkata ‘siape loe nyuruh-nyuruh gue?’.
“Now!!!”, teriak saya sekali lagi, kali ini agak kencang. Eh, mereka langsung
menurut saja dan berloncatan kedalam mobil, padahal saya kan memang belum
memperkenalkan diri. Bagaimana kalau misalnya saya bermaksud menculik mereka
ya?
The Collective terdiri dari lima orang tambah satu lagi manajer, tentu tidak muat dong dijejelin
dalam satu mobil. Padahal saya menyediakan dua mobil. Saat empat orang anggota The
Collective sudah masuk mobil, saya berteriak kepada salah satu mereka yang
bernama Julian.
“Julian, you follow me. We use another car”.
Dia mengikuti saya menuju mobil lain di belakang mobil yang tadi. Tetapi
karena di mobil tersebut tidak ada siapa-siapa selain sopir, dia balik lagi ke
mobil yang tadi. Tuh kan, dia kira dia mau diculik. Mereka keukeuh mau
satu mobil saja, sehingga akhirnya manajer-nya yang mengalah ikut saya
naik mobil kedua.
Begitu mobil meluncur bebas menuju hotel tempat mereka menginap, saya
menghela nafas lega. Saya melirik jok di samping saya, sang manajer dengan
sosok kebapakan sedang sibuk dengan smartphone-nya, mengetik sana-sini
dan menelepon haha-hihi. Saya sedikit segan untuk mengajaknya ngobrol. Nanti
sajalah kalau dia sudah selesai berurusan dengan smartphone-nya.
Sekarang kepala saya baru terasa nyut-nyutan hasil kepentok kamera tadi.
Sekarang saya tau bagaimana rasanya jadi Luna Maya yang dulu sempat
menjadi kasus gara-gara urusan kepala kepentok kamera wartawan, tetapi kan
tidak mungkin saya marah-marah sambil memaki di Twitter. Saya menatap
bayangan saya dikaca spion di depan, ternyata sejak tadi kacamata saya masih
miring dan saya belum sempat membetulkannya.