18/03/14

Menjemput Boyband THE COLLECTIVE Di Bandara



Ketika ditawari menjadi Liaison Officer (LO) untuk artis-artis luar negeri yang akan tampil diacara X Factor Around The World (RCTI) saya sempat ragu. Saya memang pernah menjadi pendamping untuk beberapa tamu dari luar negeri di tempat saya bekerja dulu, tetapi tentu saja situasinya berbeda karena dulu yang saya dampingi itu bukan artis. Saya juga belum dikonfirmasi akan menjadi LO untuk artis yang mana karena saya belum bertemu dengan penanggung jawab yang mendatangkan artis-artis tersebut. 

Berbekal iklan acara tersebut saya mendapati beberapa nama yang kemungkinan akan menjadi klien saya. Ada Paula Abdul & Melanie Amaroe dari Amerika, Daniel Bedingfield dari New Zealand, Jahmene Douglas dan Louis Walsh dari Inggris, Samantha Jade dan The Collective dari Australia. Kecuali Paula, Louis dan Daniel, nama-nama lainnya belum terlalu familiar di telinga saya.

Kalau Paula Abdul , siapa sih yang tidak kenal beliau yang selain dancer dan penyanyi yang kondang tahun 90an, juga menjadi pioner juri American Idol dan X Factor Amerika. Begitu juga Louis Walsh yang pernah membidani lahirnya boyband-boyband seperti Take That, Boyzone dan Westlife. Kalau Daniel Bedingfield? Saya masih belum lupa dengan lagu hits-nya zaman saya kuliah dulu : If You’re Not The One yang menjadi lagu wajib setiap kali mampir di warung remang-remang.

Sejujurnya saya berharap akan disuruh menjadi LO untuk Louis Walsh. Karena menurut saya, sosoknya yang kebapakan dan kalem tentu tidak akan terlalu banyak tongkah dan polah yang membuat ribet. Beda misalnya jika harus mendampingi Paula Abdul yang menurut saya sudah pasti high maintenance. Tetapi sebagai antisipasi, saya tetap mempelajari profil dan video para artis-artis tersebut sebagai modal tempur, jadi apabila ditugaskan mendampingi salah satu dari mereka saya sudah siap. Samantha Jade & Melanie Amaroe adalah solois perempuan juara X Factor dinegara masing-masing. Apa iya saya ada kemungkinan dikasih kesempatan mendampingi para diva-diva ini?. Jahmene Douglas dan Daniel Bedingfield. Hmmm, sepertinya no problem. Saya yakin bisa get along.  

The Collective ternyata adalah boyband Australia yang terdiri dari lima orang laki-laki berusia antara 17 sampai 22 tahun. Sepertinya akan merepotkan ya? Mudah-mudahan bukan saya yang disuruh mendampingi cowok-cowok ini. Benarkah? Lihat saja nanti.

Ketika bertemu dengan Pak Budiman sang penanggung jawab artis, dengan tegas dan tanpa bimbang beliau menunjuk saya untuk meenjadi LO untuk The Collective. Jedeeeerrrrrrr!!!! Petir langsung memecah angkasa.

“Sudah fix ya Pak kalo saya yang menjadi LO untuk The Collective?”, tanya saya dengan mimik penuh arti yang semoga bisa dibaca Pak Budiman.
“Ya!”, jawab Pak Budiman mantap.
“Mereka lima orang lho, Pak”, saya masih teguh kukus berlapis baja memberi kode.
“Saya tau, makanya saya tugasin kamu”.
Jeddeeerrrrrrr!!!! Lagi-lagi petir membelah sunyi angkasa. 

Saat itu juga saya ingin segera berlari pulang atau ke warnet terdekat untuk menonton videography The Colective di YouTube sebelum memutuskan untuk mundur atau maju tak gentar untuk pekerjaan ini.

Lima orang laki-laki berusia muda, boyband pula! Kalau boleh jujur dari dulu saya sering kesulitan berakrab-akrab ria dengan sesama jenis yang usianya di bawah usia saya. Tentu saja tidak masalah kalau hanya untuk basa-basi sepintas lalu alias kenal-kenal anjing. Tapi ini saya akan mendampingi mereka selama lima hari. Tetapi kemudian saya berpikir kalau ini adalah tantangan. Masa tidak mau mencoba hal-hal yang baru? Masa tidak berani keluar dari comfort zone untuk mencoba sesuatu yang selama saya anggap sebagai hal yang mustahil dan tak mungkin saya lakukan. Akhirnya saya mantap dengan keputusan ini bahwa saya akan menjadi LO untuk The Collective.

Salah satu kekhawatiran saya menjadi LO untuk The Collective adalah karena saya masih sangat buta dengan eksistensi The Collective ini. Saya juga agak-agak sentimen dengan selebiriti dengan status boyband atau girlband, kecuali yang berasal dari Inggris. Kalau menjadi LO untuk The Wanted atau 5ive mungkin saya akan girang gegap gempita karena saya memang ngefans berat dengan mereka. Setidaknya jika mereka adalah artis favorit saya, jelas saya punya wawasan yang bisa menjadi modal kuat untuk membuat mereka nyaman karena saya pasti sudah tau si A karakternya seperti apa, si B makanan kesukaannya apa, si C hobby-nya apa dan lain-lain. Pada saat garing dan mati gaya pasti saya bisa memancing obrolan seputar wawasan yang saya tau tentang mereka.

Besok saya akan bertemu The Collective untuk pertama kalinya, di airport pula yang tentu saja sangat tidak memungkinkan untuk basa-basi mesra. Malam ini juga saya menghabiskan durasi berjam-jam memelototi video-video clip dan video presentasi mereka. Saya bahkan mati-matian mengingat-ingat tampang mereka satu persatu sambil menghafal nama agar besok saya tidak salah panggil.

Awalnya saya sempat mulai stress karena pada saat pertama kali melihat video mereka kok sepertinya tampangnya sama semua. Tetapi setelah konsentrasi penuh, ternyata memang masing-masing tampangnya berbeda. Ya iyalah! Mereka kan boyband, bukan cowok kembar lima. Well, mungkin saya yang terlalu berlebihan. Saya bahkan mau repot-repot membuat notebook dengan sampul gaya collage yang saya tempeli foto-foto The Collective. Maksudnya sebagai modal saya untuk memancing pembicaraan dengan mereka pada saat situasi garing dan mati gaya. Kan saya tinggal mengacungkan notebook tersebut sambil bilang “Look guys, I made this. Keren nggak?”.

Satu lagi hal gila yang saya lakukan demi sebuah totalitas adalah saya bahkan mati-matian menghafal dua lagu hits mereka Surrender dan Another Life, termasuk menirukan salah satu gerakan ‘konyol’ (yang pada akhirnya justru menjadi gerakan favorit saya) dalam salah satu video clip mereka.

Tanggal 21 Agustus 2013, detik-detik pertemuan-pun akhirnya tiba juga. Saya harus menyiapkan mobil penjemputan mereka di lobby airport. Berhubung di lobby penjemputan tidak boleh parkir, maka saya harus berjibaku mengatur waktu agar mobil bisa tiba persis saat The Collective keluar dari airport.

“Pak, nanti lima menit sebelum The Collective keluar dari airport tolong kasih tau saya ya biar saya bisa siapkan mobil”, mohon saya sambil memelas-melas kepada Pak Budiman yang berada di dalam airport untuk mengurus bagian imigrasi.
“OK”, jawab Pak Budiman dengan pendek. Terlalu pendek sehingga saya ragu dan curiga apakah Pak Budiman serius atau hanya menganggap angin lalu permohonan saya.

Dan benar saja. Saat para penggemar dadakan The Collective yang menunggu di lobby sudah berteriak-teriak kesetanan, Pak Budiman tidak juga memberitahu saya. Para penggemar dadakan ini tentu berteriak-teriak mistis karena sudah melihat The Collective keluar dari ruangan claim baggage, bukan karena tiba-tiba kesurupan. Sudah tidak ada waktu untuk menghubungi Pak Budiman, saya langsung menghubungi sopir yang sudah stand by ditempat parkir. Seperti yang kita tau jarak tempuh dari parkir ke lobby membutuhkan waktu sekitar 14 hari, belum lagi kalau masih harus antri memasuki terminal kedatangan.

“Pak, segera datang ke terminal D sekarang juga”, perintah saya sedikit panik dan gila. Suasana di terminal kedatangan ini sudah sangat crowded dengan penggemar dadakan yang sejak tadi belum berhenti menjerit-jerit, pengunjung lain yang mendadak ingin tau apa yang terjadi dan siapa yang datang, wartawan foto & TV yang saling merangsek kearah depan, security dan penumpang lainnya yang baru turun dari pesawat ikut-ikutan heboh dan berbaur menjadi satu.

“Mobilnya mana?”, tanya seorang official.
“Sudah on the way”, jawab saya mencoba tetap tenang menyembunyikan rasa panik
“Telepon dong biar cepat”
“Sudah saya telepon dan sudah on the way”
“Telepon lagi!”
“Sudah”
“Telepon lagi!”
Kalau tidak ingat situasi, saya pasti sudah berlari dan menubruk official ini hingga berguling-gulingan diatas jalan raya. Maksudnya apa coba? Mobilnya saya suruh terbang?

Mobil penjemputan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera tiba sementara dibelakang saya mendengar suara jeritan berangsur-angsur bergerak mendekat ke arah saya. Aduh, jangan sekarang dong.
“Tuhan tolong dong, sekali ini saja…”, doa saya dalam hati dengan sungguh-sungguh. Pada saat terdesak seperti ini memang tidak ada yang bisa mengalahkan kesungguhan doa saya. Sebab saya ingat Pak Budiman yang kemarin sudah berpesan agar artis yang kita jemput jangan sampai menunggu terlalu lama. Begitu hai-hai’an dengan dengan penggemar dadakan dan wartawan mereka harus segera masuk mobil.

Atau barangkali nanti The Collective saya suruh masuk taksi saja kalau mobilnya belum datang? Saya bisa dicincang Pak Budiman kalau begitu kejadiannya. Spontan saya berlari kearah kerumunan wartawan yang masih menghadang langkah The Collective menuju jalan raya. Saya colek salah satu dari mereka.
“Mas, tolong tahan dulu mereka”.
“Tahan bagaimana?”
“Pokoknya bikin sibuk dulu, jangan ke jalan raya dulu”
“Kenapa?”
“Mobilnya belum datang”
“Nggak bisa ditahan lagi, mereka sudah harus segera pergi sekarang”
“Nggak mau tau, pokoknya tahan dulu. Suruh pose-pose atau baca puisi dulu, terserah deh”
“OK, satu menit ya”
“OK!”. Saya kembali berlari ke tepi jalan menunggu mobil jemputan. Saya benar-benar tidak peduli apakah The Collective benar-benar disuruh baca puisi untuk mengulur waktu karena saya punya masalah sendiri disini.

“Mobilnya mana?”. Aduhhhh, lagi-lagi si official cerewet itu nongol. Saya memutuskan untuk tidak mempedulikan dia lagi. Mungkin Tuhan memang menciptakan dia untuk membuat saya panik sehingga mengacaukan hidup saya. Maaf saja, tidak mempan  karena iman saya kuat.
“Mobilnya udah belum?”, tanya wartawan TV yang tadi saya mintai tolong untuk mengulur waktu.
“Belum. Suruh pose-pose lagi”
“Sudah”
“Suruh pose-pose beberapa kali lagi”.

Dan akhirnya mobil jemputan tiba. Langsung saya lambaikan tangan memberi kode agar sopirnya berhenti ditempat saya berdiri.
“Yakin ini mobilnya?”. Ya ampun, si official belum juga menyerah mencoba membuat hidup saya berantakan.
“Tentu saja. Saya hafal nomor plat mobil saya”, jawab saya enteng, sedikit sombong.
“Pinter”, pujinya sambil acung jempol.
“Terima kasih, tetapi tolong sekarang minggir dulu ya”, jawab saya dalam hati. Kembali saya berlari menyeruak kerumunan wartawan foto dan TV. Aduh, kepala saya sempat kepentok kamera sampai kacamata saya hampir jatuh, tetapi bukan waktu yang tepat untuk mengusap-usap kepala.

“Boyz, get into the car right away”, perintah saya kepada anak-anak The Collective seperti mengomando anak buah. Mereka serempak menatap saya dengan ekpresi seolah berkata ‘siape loe nyuruh-nyuruh gue?’.
“Now!!!”, teriak saya sekali lagi, kali ini agak kencang. Eh, mereka langsung menurut saja dan berloncatan kedalam mobil, padahal saya kan memang belum memperkenalkan diri. Bagaimana kalau misalnya saya bermaksud menculik mereka ya?

The Collective terdiri dari lima orang tambah satu lagi manajer, tentu tidak muat dong dijejelin dalam satu mobil. Padahal saya menyediakan dua mobil. Saat empat orang anggota The Collective sudah masuk mobil, saya berteriak kepada salah satu mereka yang bernama Julian.
“Julian, you follow me. We use another car”.

Dia mengikuti saya menuju mobil lain di belakang mobil yang tadi. Tetapi karena di mobil tersebut tidak ada siapa-siapa selain sopir, dia balik lagi ke mobil yang tadi. Tuh kan, dia kira dia mau diculik. Mereka keukeuh mau satu mobil saja, sehingga akhirnya manajer-nya yang mengalah ikut saya naik mobil kedua.

Begitu mobil meluncur bebas menuju hotel tempat mereka menginap, saya menghela nafas lega. Saya melirik jok di samping saya, sang manajer dengan sosok kebapakan sedang sibuk dengan smartphone-nya, mengetik sana-sini dan menelepon haha-hihi. Saya sedikit segan untuk mengajaknya ngobrol. Nanti sajalah kalau dia sudah selesai berurusan dengan smartphone-nya. Sekarang kepala saya baru terasa nyut-nyutan hasil kepentok kamera tadi. Sekarang saya tau bagaimana rasanya jadi Luna Maya yang dulu sempat menjadi kasus gara-gara urusan kepala kepentok kamera wartawan, tetapi kan tidak mungkin saya marah-marah sambil memaki di Twitter. Saya menatap bayangan saya dikaca spion di depan, ternyata sejak tadi kacamata saya masih miring dan saya belum sempat membetulkannya.
Share: