Prolog :
Saya
merasa beruntung karena sejak berusia empat tahun dimana saya mulai memberi
perhatian kepada musik, kakak-kakak saya menjejali telinga saya dengan
musik-musik berkwalitas seperti Queen,
The Beatles, Rolling Stone, Genesis, Bee Gees, Iwan Fals dan Ebiet G Ade setelah sebelumnya mereka
mengajari saya bernyanyi lewat lagu-lagu Chicha
& Adi Bing Slamet serta Bobby Alatas, dimana pada saat itu
penyanyi-penyanyi cilik tersebut sudah menjadi penyanyi dewasa. Keadaan ini
membuat saya sejak usia dini sudah akrab dan memiliki referensi musik yang
nantinya akan membentuk selera musik saya menjadi tidak kampungan amat. Ebiet G
Ade adalah sebuah nama dari masa kecil saya yang membuat saya mengerti musik
dan lirik yang bagus dan berkwalitas itu seperti apa.
Jika saja ada penghargaan khusus untuk musisi Indonesi
yang esensi karyanya dianggap sangat lintas dekade, suasana dan generasi, maka Ebiet G Ade adalah salah satu nama yang
sangat pantas untuk mendapatkannya. Sosok Ebiet G Ade sering menimbulkan
pertanyaan buat penikmat dan pengagum karyanya : Ebiet G Ade itu penyair yg
jago bernyanyi dan juga musisi atau penyanyi dan musisi yang jago bersyair?
Ebiet G Ade juga bisa dikatakan sebagai story teller
yg baik lewat lagunya. Coba simak lagu berjudul Tragedi 1981 yang menceritakan tentang karamnya sebuah kapal di tengah
laut. Saya tidak atau apakah Ebiet G ade pernah mengalami suasana mencekam
seperti kejadian tersebut, namun lewat lagu ini Ebiet sangat berhasil
menciptakan sebuah visual dalam imajinasi pendengar mengenai apa yang terjadi.
Lirik lagu seperti berubah menjadi skenario, dengan detail Ebiet bercerita
tentang sebuah tangan gaib yang memberi semangat kepada nakhoda untuk
menyelamatkan para penumpangnya. Layaknya sebuah film Hollywood, ceritanya berakhir sedih karena sang nakhoda akhirnya
meninggal.
Lewat tagline
jangan lihat siapa bicara, tapi
dengar apa katanya pada lagu Catatan
Seorang Penyair Jalanan, Ebiet bahkan memberi semacam pencerahan dalam
hidup bahwa kebijaksanaan itu bisa datang dari siapa saja tanpa melihat status
sosial. Bahwa kita harus mendengar apa katanya tanpa harus melihat dulu siapa
yang berbicara. Hal ini cukup menggelitik karena kita cenderung melihat siapa
dulu yang berbicara sebelum mendengar kata-katanya. Misalnya bukankah kita
lebih cenderung mendengarkan ocehan menteri atau anggota DPR daripada keluh
kesah seorang petani. Padahal untuk belajar tentang cara bertahan dalam kehidupan, bisa jadi petanilah yang paling
mumpuni karena mereka berkecimpung langsung dalam kerasnya kehidupan, bukan
sekedar teori seperti menteri atau anggota DPR.
Ebiet juga tidak ketinggalan menyindir tirani dalam
sebuah kepemimpinan lewat lagu Dongeng
Dari Negeri Antah Berantah. Dimana dulu dalam sebuah regim pemerintahan, individu yang dianggap terlalu vokal terhadap
pemerintah akan diciduk dan kemudian hilang tanpa ketahuan rimbanya. Ebiet
menggambarkannya lewat dongeng putra seorang pangeran yang arogan yang
memerintahkan pengawalnya untuk meringkus warga yang dianggap menunjukkan
ketidak sukaannya terhadap tingkah lakunya.
Sebagai lelaki,
Ebiet ternyata bisa nakal juga. Pada lagu Kereta Biru Malam, Ebiet
mengetengahkan sebuah kisah kencan kilat (atau yang pada zaman sekarang populer
dengan sebutan quick sex) lewat
bahasa yang sama sekali jauh dari kesan vulgar tetapi tetap mampu memberikan
gambaran tentang kejadian dan suasananya.
Pada lagu Senandung
Pucuk-Pucuk Pinus, Ebiet menggambarkan bahwa alam begitu bersahabat dengan
manusia. Ini tentu perlu diingatkan kepada kita, ketika bencana terjadi kita
cenderung menilai bahwa alam murka. Alam tak pernah murka karena alam tidak
memiliki emosi. Bencana terjadi karena alam tidak dirawat dengan baik. Tanah
longsor dan banjir karena penebangan liar dan pembakaran hutan untuk lahan. Itu
mungkin sebabnya Tuhan memberikan binatang-binatang hutan insting untuk
menyelamatkan diri sebelum bencana alam terjadi karena mereka tidak layak
menjadi korban karena mereka tidak ikut andil dalam pengrusakan alam.
Meski ahli bercerita lewat lagu, bukan berarti Ebiet
menjadi terjebak dalam cerita roman picisan ala sinetron. Pada lagu Sejoli Kasih Sarman dan Lasmi, Ebiet
bercerita tentang kisah cinta beda status sosial antara Sarman pekerja buruh
kasar dengan Lasmi putri pejabat negeri. Meski awalnya seperti bisa ditebak
bahwa kisah ini akan seperti cerita sinetron dimana hubungan asmara tersebut
akan ditentang habis-habisan penuh drama dan liku, ternyata Ebiet justru
memberi ending yg sangat mengejutkan
: pegawai negeri tidak keberatan dengan lamaran Sarman terhadap putrinya. Saya
berani taruhan, ketika pertama kali mendengar lagu ini banyak pendengar yang
deg-degan dan kemudian menarik nafas lega diakhir lagu.
Tidak seperti Iwan Fals yang cenderung frontal
menunjukkan sikap protes dan kritik sosialnya, Ebiet G Ade sepertinya lebih
memilih menggunakan analogi. Memang lagu Ebiet G Ade menjadi terkesan sangat
berkelas, tetapi kalau pihak yang dikritik adalah pihak yang kemampuan otaknya
mencerna kata-kata ternyata di bawah rata-rata, maka kritik yang dimaksud tidak
akan efektif.
Sebagai saksi betapa tahun era delapan puluhan menuju
era sembilan puluhan adalah puncak dimana musik Indonesia mencapai titik
kejayaan baik dari segi kwantitas maupun kwalitas, saya menjadi sedikit miris
melihat keadaan musik Indonesia zaman sekarang. Betapa musik sudah kehilangan esensinya.
Seorang penyanyi tidak lagi dituntut harus bisa menyanyi dan menghayati lagu
dengan baik, tetapi hanya dengan modal berani konyol ditambah dengan pede yang
berlebihan sudah bisa menjadi penyanyi.
0 komentar:
Posting Komentar