17/03/14

Story Teller Bernama EBIET G. ADE

Prolog :
Saya merasa beruntung karena sejak berusia empat tahun dimana saya mulai memberi perhatian kepada musik, kakak-kakak saya menjejali telinga saya dengan musik-musik berkwalitas seperti Queen, The Beatles, Rolling Stone, Genesis, Bee Gees, Iwan Fals dan Ebiet G Ade setelah sebelumnya mereka mengajari saya bernyanyi lewat lagu-lagu Chicha & Adi Bing Slamet  serta Bobby Alatas, dimana pada saat itu penyanyi-penyanyi cilik tersebut sudah menjadi penyanyi dewasa. Keadaan ini membuat saya sejak usia dini sudah akrab dan memiliki referensi musik yang nantinya akan membentuk selera musik saya menjadi tidak kampungan amat. Ebiet G Ade adalah sebuah nama dari masa kecil saya yang membuat saya mengerti musik dan lirik yang bagus dan berkwalitas itu seperti apa.

Jika saja ada penghargaan khusus untuk musisi Indonesi yang esensi karyanya dianggap sangat lintas dekade, suasana dan generasi, maka Ebiet G Ade adalah salah satu nama yang sangat pantas untuk mendapatkannya. Sosok Ebiet G Ade sering menimbulkan pertanyaan buat penikmat dan pengagum karyanya : Ebiet G Ade itu penyair yg jago bernyanyi dan juga musisi atau penyanyi dan musisi yang jago bersyair?  
Ebiet G Ade juga bisa dikatakan sebagai story teller yg baik lewat lagunya. Coba simak lagu berjudul Tragedi 1981 yang menceritakan tentang karamnya sebuah kapal di tengah laut. Saya tidak atau apakah Ebiet G ade pernah mengalami suasana mencekam seperti kejadian tersebut, namun lewat lagu ini Ebiet sangat berhasil menciptakan sebuah visual dalam imajinasi pendengar mengenai apa yang terjadi. Lirik lagu seperti berubah menjadi skenario, dengan detail Ebiet bercerita tentang sebuah tangan gaib yang memberi semangat kepada nakhoda untuk menyelamatkan para penumpangnya. Layaknya sebuah film Hollywood, ceritanya berakhir sedih karena sang nakhoda akhirnya meninggal.
Lewat tagline jangan lihat siapa bicara, tapi dengar apa katanya pada lagu Catatan Seorang Penyair Jalanan, Ebiet bahkan memberi semacam pencerahan dalam hidup bahwa kebijaksanaan itu bisa datang dari siapa saja tanpa melihat status sosial. Bahwa kita harus mendengar apa katanya tanpa harus melihat dulu siapa yang berbicara. Hal ini cukup menggelitik karena kita cenderung melihat siapa dulu yang berbicara sebelum mendengar kata-katanya. Misalnya bukankah kita lebih cenderung mendengarkan ocehan menteri atau anggota DPR daripada keluh kesah seorang petani. Padahal untuk belajar tentang cara bertahan dalam  kehidupan, bisa jadi petanilah yang paling mumpuni karena mereka berkecimpung langsung dalam kerasnya kehidupan, bukan sekedar teori seperti menteri atau anggota DPR.
Ebiet juga tidak ketinggalan menyindir tirani dalam sebuah kepemimpinan lewat lagu Dongeng Dari Negeri Antah Berantah. Dimana dulu dalam sebuah regim pemerintahan, individu yang dianggap terlalu vokal terhadap pemerintah akan diciduk dan kemudian hilang tanpa ketahuan rimbanya. Ebiet menggambarkannya lewat dongeng putra seorang pangeran yang arogan yang memerintahkan pengawalnya untuk meringkus warga yang dianggap menunjukkan ketidak sukaannya terhadap tingkah lakunya.
Sebagai lelaki, Ebiet ternyata bisa nakal juga. Pada lagu Kereta Biru Malam, Ebiet mengetengahkan sebuah kisah kencan kilat (atau yang pada zaman sekarang populer dengan sebutan quick sex) lewat bahasa yang sama sekali jauh dari kesan vulgar tetapi tetap mampu memberikan gambaran tentang kejadian dan suasananya.
Pada lagu Senandung Pucuk-Pucuk Pinus, Ebiet menggambarkan bahwa alam begitu bersahabat dengan manusia. Ini tentu perlu diingatkan kepada kita, ketika bencana terjadi kita cenderung menilai bahwa alam murka. Alam tak pernah murka karena alam tidak memiliki emosi. Bencana terjadi karena alam tidak dirawat dengan baik. Tanah longsor dan banjir karena penebangan liar dan pembakaran hutan untuk lahan. Itu mungkin sebabnya Tuhan memberikan binatang-binatang hutan insting untuk menyelamatkan diri sebelum bencana alam terjadi karena mereka tidak layak menjadi korban karena mereka tidak ikut andil dalam pengrusakan alam.
Meski ahli bercerita lewat lagu, bukan berarti Ebiet menjadi terjebak dalam cerita roman picisan ala sinetron. Pada lagu Sejoli Kasih Sarman dan Lasmi, Ebiet bercerita tentang kisah cinta beda status sosial antara Sarman pekerja buruh kasar dengan Lasmi putri pejabat negeri. Meski awalnya seperti bisa ditebak bahwa kisah ini akan seperti cerita sinetron dimana hubungan asmara tersebut akan ditentang habis-habisan penuh drama dan liku, ternyata Ebiet justru memberi ending yg sangat mengejutkan : pegawai negeri tidak keberatan dengan lamaran Sarman terhadap putrinya. Saya berani taruhan, ketika pertama kali mendengar lagu ini banyak pendengar yang deg-degan dan kemudian menarik nafas lega diakhir lagu.
Tidak seperti Iwan Fals yang cenderung frontal menunjukkan sikap protes dan kritik sosialnya, Ebiet G Ade sepertinya lebih memilih menggunakan analogi. Memang lagu Ebiet G Ade menjadi terkesan sangat berkelas, tetapi kalau pihak yang dikritik adalah pihak yang kemampuan otaknya mencerna kata-kata ternyata di bawah rata-rata, maka kritik yang dimaksud tidak akan efektif.
Sebagai saksi betapa tahun era delapan puluhan menuju era sembilan puluhan adalah puncak dimana musik Indonesia mencapai titik kejayaan baik dari segi kwantitas maupun kwalitas, saya menjadi sedikit miris melihat keadaan musik Indonesia zaman sekarang. Betapa musik sudah kehilangan esensinya. Seorang penyanyi tidak lagi dituntut harus bisa menyanyi dan menghayati lagu dengan baik, tetapi hanya dengan modal berani konyol ditambah dengan pede yang berlebihan sudah bisa menjadi penyanyi. 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar