Akhir tahun
2010, mama saya sakit. Sakit apa? Entahlah, mama seperti sengaja
menyembunyikannya. Mungkin karena tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir.
Berhubung kami semua tujuh bersaudara adalah anak rantau semua, maka saya
sebagai anak paling bungsu yang dititahkan sebagai duta untuk melihat keadaan
mama.
Sebenarnya
sempat dilanda dilema tingkat kelurahan, karena pada saat yang sama saya baru
lulus test dan wawancara dan akan mulai bekerja minggu depan.
Tetapi sepertinya panggilan untuk pulang kampung jauh lebih kuat. Maka
berangkatlah saya ke kampung halaman saya di Tarutung.
Sampai di
Tarutung, ternyata mama bukan hanya sekedar sakit. Tetapi sudah lebih dari
sekedar sakit, tergolek tak berdaya di tempat tidur dengan bantuan selang
infus. Bahkan sekedar bangkit dari tempat tidur saja susah. Bagaimana tidak
remuk redam hati saya. Katanya sudah diperiksa oleh mantri **ya di kampung saya
masih ada mantri, profesi yang sekarang sudah langka**, tetapi tidak ditemukan
gejala penyakit apa.
Beberapa kerabat bahkan menyuruh saya memeriksa bagian
atas pintu dan jendela, siapa tau ada apa-apa. Meski sedikit dongkol
karena jaim terkesan musryik, tetapi tetap saya lakukan. Dan
saya memang menemukan sesuatu di atas pintu masuk rumah saya, yaitu sarang
laba-laba.
Namanya juga di
kampung, saya harus terbiasa mendengar cerita-cerita ganjil dan aneh bin nyata.
Seorang kenalan mama menganjurkan agar mama mencoba pengobatan tradisional. Apa
lagi ini? Saya bakal disuruh ngapain lagi? Mencari ayam yang sudah bertelur
berkali-kali tetapi masih tetap perawan?
Untunglah barang yang disuruh saya
cari bukan barang yang aneh-aneh. Saya sudah sempat khawatir kalau saya akan
disuruh mencari keris Empu Gandring atau kitab Ajian
Jaran Goyang dimana dalam perjalanan saya akan bertempur melawan
pendekar-pendekar dari padepokan lain yang juga mencari barang yang sama.
Ternyata barang
yang disuruh saya cari simpel saja, bahkan saya yakin saya bisa mencarinya
sambil tutup mata dan berjalan kayang. Barang yang harus saya cari adalah daun
pisang. Tetapi daun pisang yang bukan daun pisang sembarangan. Jadi daun pisang
tersebut katanya harus yang masih muda, yang belum mekar. Hah? Belum mekar?
Nah, ternyata daun pisang itu awalnya berbentuk gulungan. Semakin dewasa dan
tua, gulungannya semakin terbuka dan berwarna hijau tua dan taddaaaaaa...jadilah
daun pisang seperti yang kita kenal untuk bungkus lepat dan nagasari.
Maka
berangkatlah saya pagi-pagi buta **sebenarnya bukan pagi-pagi buta sih, saya
hanya sekedar mendramatisir saja** mencari daun pisang sialan tersebut. Kenapa
saya bilang sialan? Karena jauh-jauh saya menimba ilmu ke Jakarta dan sudah
punya pengalaman berkarir di Jakarta, balik ke kampung malah berkarir sebagai
pencari daun pisang. Sama sekali tidak glamor, tetapi ya sudahlah.
Namanya juga di
kampung, pohon pisang banyak. Masalahnya kita harus rela jalan ke pelosok,
karena kebetulan rumah saya tepat berada di pusat kota yang jelas tidak mungkin
ada pohon pisang di pinggir jalan protokol.
Ternyata mencari
daun muda dalam wujud daun pisang tidak segampang mencari daun muda dalam wujud
manusia. Pohon pisang memang banyak, tetapi jarang yang masih mempunyai daun
muda. Setelah jauh saya masuk pedalaman hingga memasuki kebun orang, akhirnya
saya menemukan pohon pisang yang ada daun mudanya.
Masalah selesai? Tentu
tidak! Ternyata daun muda pohon pisang itu letaknya paling pucuk dan
terlindungi oleh bilah-bilah daun pisang yang masih tua. Bagaimana cara
mengambilnya? Pohon pisang jelas tidak bisa dipanjat.
Meski saya jago memanjat
pohon, bahkan saya berani diadu dengan monyet balapan memanjat pohon, tetapi
adalah hal yang mustahil untuk memanjat pohon pisang. Saya yakin monyet pun
tidak akan bisa memanjat pohon pisang.
Jadi bagaimana
dong cara mengambil daun bertuah itu? Kalau saya jolok-jolok pakai galah, tentu
akan merusak daun pisang. Tak ada cara lain selain memilih cara kekerasan. Saya
akan merobohkan pohon pisang itu, mudah-mudahan pemiliknya tidak keberatan.
Berkali-kali saya pukul dan tendang sang pohon pisang, tetapi tetap saja pohon
pisang tak bergeming. Kenapa kalau melihat adegan di film silat sepertinya
pohon pisang sekali terjang langsung rubuh ya?
Akhirnya saya
nekad mengetuk pintu rumah warga sekitar untuk meminjam golok. Dua di antara
pemilik rumah langsung menutup pintu dan jendela, lalu mengeluarkan anjing
begitu mengetahui maksud saya. Ya, saya tidak akan menyalahkan mereka. Apa yang
akan anda lakukan ketika ada orang asing keringatan, bau asam kandis,
memar-memar di bagian buku-buku jari dan lutut (akibat baru adu kekuatan dengan
pohon pisang), telanjang dada mengetuk rumah anda dan meminjam golok?
Tetapi yang
namanya jodoh memang tidak akan lari kemana. Akhirnya ada juga warga yang
meminjamkan golok, tetapi ditanya dulu untuk apa. Nah, ini baru namanya warga
yang baik. Memang harus ditanya dulu untuk keperluan apa, jangan main kasih
saja. Apalagi yang diminta kan senjata tajam.
Akhirnya daun
pisang idaman hati berhasil didapat, saya pulang ke rumah. Saya sendiri
penasaran, mau diapakan daun pisang yang masih perawan tersebut? Eh, ternyata
buat dijadikan kompres. Jadi bilah-bilah daun pisang tersebut ditempel ke
bagian tubuh yang terasa panas.
Susah payah saya
mencarinya hanya untuk dijadikan kompres? Padahal tadi saya sudah membayangkan
kalau daun pisangnya akan dibacain mantra, lalu direbus dengan tiga kendi air
cendana, ditaburi lada hitam rasa vanila, dibubuhi enam tetes airmata buaya, lalu
dibuang ke sungai. Tetapi sebenarnya saya sedikit lega juga karena daun pisang
tersebut bukan untuk dijadikan benda musryik.
Dan memang benar, daun pisang
muda sangat ampuh untuk menurunkan panas. Buktinya rasa panas yang dirasakan
mama saya disekujur tubuhnya langsung hilang seketika. Wes jewes jewes,
bablas panase. Sudah kayak iklan di TV saja.
Berhubung karena
penyakit mama tak kunjung membaik (kecuali rasa panasnya yang sudah mendingan),
akhirnya dengan sedikit memaksa, saya bawalah mama ke Rumah Sakit untuk
diperiksa dengan benar. Mama memang termasuk orang yang tidak begitu
bersemangat mengunjungi Rumah Sakit, apalagi almarhum bapak saya dulu dirawat
di rumah sakit yang sama dan tidak berhasil sembuh. Lagian siapa sih yang
riang gembira pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa kesehatan, kecuali kalau ke bank untuk
mencairkan dana.
Saya lahir dan
tumbuh di Tarutung, jadi saya sedikit taulah bagaimana ‘iklim’ dan ‘cuaca’ di
sana. Maka sebelum berangkat ke Rumah Sakit, saya berdandan habis-habisan agar
terlihat seperti pria baik-baik. Pokoknya harus terlihat seperti orang kaya
karena namanya juga di kampung, sometimes they judge people by the look.
Untungnya mama saya juga termasuk orang yang suka dandan. Nggak ada ceritanya
lupa dandan meskipun sedang sakit. Walaupun sakit, minimal bedak dan lipstick poles
terus.
Dan memang
benar, kita sedikit lebih diistimewakan dengan penyamaran seperti itu. Bukan
perlakuan istimewa yang gimana-gimana sih, misalnya disambut dengan
parade marching band atau pidato kepresidenan, tetapi
setidaknya dokter atau perawatnya senyum-senyum saat melayani kita. Kadang
malah dicariin kursi, padahal yang lain malah dibiarkan berdiri sampai
kesemutan dan laleran.
Setelah
diperiksa, ternyata mama sakit maag parah, dan harus diopname.
Sedikit saja kita terlambat periksa ke dokter, penyakit maag mama
akan berpotensi memicu penyakit horor lainnya seperti gangguan saraf dan usus.
Saya sebenarnya paling malas menginap di rumah sakit, soalnya konon katanya
banyak hantu. Tetapi tidak mungkin saya membiarkan mama saya sendirian di Rumah
Sakit.
Dan sampai
seminggu saya menemani mama saya menginap di Rumah Sakit, tak ada tuh yang
namanya hantu. Saking geregetannya, saya sampai nekad seliweran di depan kamar
mayat siang-siang bolong sambil mendendangkan lagu “Bang, SMS siapa ini
bang. Kok isinya pake sayang-sayang”, tetapi tetap saja saya tidak melihat
apa-apa, karena saya seliweran sambil tutup mata, siang bolong pula.
Akhirnya mama
sehat kembali. Tanda-tanda positif bahwa mama sudah sehat bukan ciri-ciri fisik
yang misalnya terlihat wajah segar atau girang. Satu-satunya pertanda bahwa
mama saya sehat dan baik-baik saja adalah kalau beliau sudah cerewet. Sejak
saya baru sampai di Tarutung sampai nyaris seminggu di Rumah Sakit, tak
sekalipun mama mengomentari celana jeans saya yang sobek-sobek metal di bagian
dengkul dan selangkangan.
Nah, pas hari terakhir di Rumah Sakit, mama saya
langsung balas dendam. Saya dibilang bikin malu keluarga Cikeas-lah, tidak
kelihatan seperti pria bermartabat-lah, kayak orang yang tidak punya celana
yang layak pakai-lah. Biasanya pada situasi normal, saya akan melakukan
perlawanan. Tetapi saat itu saya begitu gembira karena akhirnya mendapati mama
saya sudah kembali ke bentuk aslinya, jadi saya biarkan saja beliau menzolimi
saya.
Kegembiraan saya
tidak berhenti sampai disitu saja. Meski mama saya sudah sehat, tetapi sampai
beberapa bulan ke depan masih harus check up ke Rumah Sakit,
jadi saya belum bisa kembali ke Jakarta. Lha, saya dapat uang dari
mana dong? Keuangan udah menipis nih.
Tak disangka tak
diduga, saya mendapat tawaran kerja selama masih menemani mama saya check
up ke Rumah Sakit. Tawaran kerja yang sama sekali bukan bidang saya,
tetapi saya bersyukur saya ditawari pekerjaan itu sehingga memberi pengalaman
baru buat saya untuk belajar hal-hal baru yang berguna untuk hidup saya. Dan
yang paling penting, saya tidak jadi jatuh miskin. Horeeeee!!!
Begitu saja?
Apanya yang luar biasa? Ya, memang biasa-biasa saja sih. Kasian deh saya, kirain
sampai di sini tadi sudah dianggap luar biasa. Tetapi saya merasa sangat luar
biasa ketika mama saya bilang ke saya kalau beliau merasa saya membawa pengaruh
luar biasa, karena tadinya mama saya pesimis bisa sembuh. Tetapi setelah
kejadian melihat kegigihan saya: meninggalkan pekerjaan, kekasih hati,
selingkuhan dan gebetan saya di Jakarta, mengembara mencari daun pisang
perawan, penyamaran di Rumah Sakit, sampai petantang-petenteng di depan kamar
mayat menyanyikan lagu dangdut, mama saya menjadi tumbuh semangatnya untuk
sembuh. Dan saya percaya, semangat itulah yang paling banyak memberi andil atas
kesembuhan mama saya.
Begitulah salah
satu hal luar biasa dalam hidup saya yang justru terjadi lewat sesuatu yang
biasa-biasa saja. Sekarang mama saya sudah sehat seperti sedia kala dan saya
sudah kembali ke Jakarta.
Ah senangnya. Tepuk tangan dong!
0 komentar:
Posting Komentar