12/12/15

KEMBALI

Akhir tahun 2010, mama saya sakit. Sakit apa? Entahlah, mama seperti sengaja menyembunyikannya. Mungkin karena tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir. Berhubung kami semua tujuh bersaudara adalah anak rantau semua, maka saya sebagai anak paling bungsu yang dititahkan sebagai duta untuk melihat keadaan mama.

Sebenarnya sempat dilanda dilema tingkat kelurahan, karena pada saat yang sama saya baru lulus test dan wawancara dan akan mulai bekerja minggu depan. Tetapi sepertinya panggilan untuk pulang kampung jauh lebih kuat. Maka berangkatlah saya ke kampung halaman saya di Tarutung.

Sampai di Tarutung, ternyata mama bukan hanya sekedar sakit. Tetapi sudah lebih dari sekedar sakit, tergolek tak berdaya di tempat tidur dengan bantuan selang infus. Bahkan sekedar bangkit dari tempat tidur saja susah. Bagaimana tidak remuk redam hati saya. Katanya sudah diperiksa oleh mantri **ya di kampung saya masih ada mantri, profesi yang sekarang sudah langka**, tetapi tidak ditemukan gejala penyakit apa. 
Beberapa kerabat bahkan menyuruh saya memeriksa bagian atas pintu dan jendela, siapa tau ada apa-apa. Meski sedikit dongkol karena jaim terkesan musryik, tetapi tetap saya lakukan. Dan saya memang menemukan sesuatu di atas pintu masuk rumah saya, yaitu sarang laba-laba.

Namanya juga di kampung, saya harus terbiasa mendengar cerita-cerita ganjil dan aneh bin nyata. Seorang kenalan mama menganjurkan agar mama mencoba pengobatan tradisional. Apa lagi ini? Saya bakal disuruh ngapain lagi? Mencari ayam yang sudah bertelur berkali-kali tetapi masih tetap perawan? 
Untunglah barang yang disuruh saya cari bukan barang yang aneh-aneh. Saya sudah sempat khawatir kalau saya akan disuruh mencari keris Empu Gandring atau kitab Ajian Jaran Goyang dimana dalam perjalanan saya akan bertempur melawan pendekar-pendekar dari padepokan lain yang juga mencari barang yang sama.

Ternyata barang yang disuruh saya cari simpel saja, bahkan saya yakin saya bisa mencarinya sambil tutup mata dan berjalan kayang. Barang yang harus saya cari adalah daun pisang. Tetapi daun pisang yang bukan daun pisang sembarangan. Jadi daun pisang tersebut katanya harus yang masih muda, yang belum mekar. Hah? Belum mekar? Nah, ternyata daun pisang itu awalnya berbentuk gulungan. Semakin dewasa dan tua, gulungannya semakin terbuka dan berwarna hijau tua dan taddaaaaaa...jadilah daun pisang seperti yang kita kenal untuk bungkus lepat dan nagasari.

Maka berangkatlah saya pagi-pagi buta **sebenarnya bukan pagi-pagi buta sih, saya hanya sekedar mendramatisir saja** mencari daun pisang sialan tersebut. Kenapa saya bilang sialan? Karena jauh-jauh saya menimba ilmu ke Jakarta dan sudah punya pengalaman berkarir di Jakarta, balik ke kampung malah berkarir sebagai pencari daun pisang. Sama sekali tidak glamor, tetapi ya sudahlah.

Namanya juga di kampung, pohon pisang banyak. Masalahnya kita harus rela jalan ke pelosok, karena kebetulan rumah saya tepat berada di pusat kota yang jelas tidak mungkin ada pohon pisang di pinggir jalan protokol.

Ternyata mencari daun muda dalam wujud daun pisang tidak segampang mencari daun muda dalam wujud manusia. Pohon pisang memang banyak, tetapi jarang yang masih mempunyai daun muda. Setelah jauh saya masuk pedalaman hingga memasuki kebun orang, akhirnya saya menemukan pohon pisang yang ada daun mudanya. 
Masalah selesai? Tentu tidak! Ternyata daun muda pohon pisang itu letaknya paling pucuk dan terlindungi oleh bilah-bilah daun pisang yang masih tua. Bagaimana cara mengambilnya? Pohon pisang jelas tidak bisa dipanjat. 
Meski saya jago memanjat pohon, bahkan saya berani diadu dengan monyet balapan memanjat pohon, tetapi adalah hal yang mustahil untuk memanjat pohon pisang. Saya yakin monyet pun tidak akan bisa memanjat pohon pisang.

Jadi bagaimana dong cara mengambil daun bertuah itu? Kalau saya jolok-jolok pakai galah, tentu akan merusak daun pisang. Tak ada cara lain selain memilih cara kekerasan. Saya akan merobohkan pohon pisang itu, mudah-mudahan pemiliknya tidak keberatan. Berkali-kali saya pukul dan tendang sang pohon pisang, tetapi tetap saja pohon pisang tak bergeming. Kenapa kalau melihat adegan di film silat sepertinya pohon pisang sekali terjang langsung rubuh ya?

Akhirnya saya nekad mengetuk pintu rumah warga sekitar untuk meminjam golok. Dua di antara pemilik rumah langsung menutup pintu dan jendela, lalu mengeluarkan anjing begitu mengetahui maksud saya. Ya, saya tidak akan menyalahkan mereka. Apa yang akan anda lakukan ketika ada orang asing keringatan, bau asam kandis, memar-memar di bagian buku-buku jari dan lutut (akibat baru adu kekuatan dengan pohon pisang), telanjang dada mengetuk rumah anda dan meminjam golok? 

Tetapi yang namanya jodoh memang tidak akan lari kemana. Akhirnya ada juga warga yang meminjamkan golok, tetapi ditanya dulu untuk apa. Nah, ini baru namanya warga yang baik. Memang harus ditanya dulu untuk keperluan apa, jangan main kasih saja. Apalagi yang diminta kan senjata tajam.

Akhirnya daun pisang idaman hati berhasil didapat, saya pulang ke rumah. Saya sendiri penasaran, mau diapakan daun pisang yang masih perawan tersebut? Eh, ternyata buat dijadikan kompres. Jadi bilah-bilah daun pisang tersebut ditempel ke bagian tubuh yang terasa panas.

Susah payah saya mencarinya hanya untuk dijadikan kompres? Padahal tadi saya sudah membayangkan kalau daun pisangnya akan dibacain mantra, lalu direbus dengan tiga kendi air cendana, ditaburi lada hitam rasa vanila, dibubuhi enam tetes airmata buaya, lalu dibuang ke sungai. Tetapi sebenarnya saya sedikit lega juga karena daun pisang tersebut bukan untuk dijadikan benda musryik. 
Dan memang benar, daun pisang muda sangat ampuh untuk menurunkan panas. Buktinya rasa panas yang dirasakan mama saya disekujur tubuhnya langsung hilang seketika. Wes jewes jewes, bablas panase. Sudah kayak iklan di TV saja.

Berhubung karena penyakit mama tak kunjung membaik (kecuali rasa panasnya yang sudah mendingan), akhirnya dengan sedikit memaksa, saya bawalah mama ke Rumah Sakit untuk diperiksa dengan benar. Mama memang termasuk orang yang tidak begitu bersemangat mengunjungi Rumah Sakit, apalagi almarhum bapak saya dulu dirawat di rumah sakit yang sama dan tidak berhasil sembuh. Lagian siapa sih yang riang gembira pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa kesehatan, kecuali kalau ke bank untuk mencairkan dana.

Saya lahir dan tumbuh di Tarutung, jadi saya sedikit taulah bagaimana ‘iklim’ dan ‘cuaca’ di sana. Maka sebelum berangkat ke Rumah Sakit, saya berdandan habis-habisan agar terlihat seperti pria baik-baik. Pokoknya harus terlihat seperti orang kaya karena namanya juga di kampung, sometimes they judge people by the look. Untungnya mama saya juga termasuk orang yang suka dandan. Nggak ada ceritanya lupa dandan meskipun sedang sakit. Walaupun sakit, minimal bedak dan lipstick poles terus. 

Dan memang benar, kita sedikit lebih diistimewakan dengan penyamaran seperti itu. Bukan perlakuan istimewa yang gimana-gimana sih, misalnya disambut dengan parade marching band atau pidato kepresidenan, tetapi setidaknya dokter atau perawatnya senyum-senyum saat melayani kita. Kadang malah dicariin kursi, padahal yang lain malah dibiarkan berdiri sampai kesemutan dan laleran.

Setelah diperiksa, ternyata mama sakit maag parah, dan harus diopname. Sedikit saja kita terlambat periksa ke dokter, penyakit maag mama akan berpotensi memicu penyakit horor lainnya seperti gangguan saraf dan usus. Saya sebenarnya paling malas menginap di rumah sakit, soalnya konon katanya banyak hantu. Tetapi tidak mungkin saya membiarkan mama saya sendirian di Rumah Sakit. 

Dan sampai seminggu saya menemani mama saya menginap di Rumah Sakit, tak ada tuh yang namanya hantu. Saking geregetannya, saya sampai nekad seliweran di depan kamar mayat siang-siang bolong sambil mendendangkan lagu “Bang, SMS siapa ini bang. Kok isinya pake sayang-sayang”, tetapi tetap saja saya tidak melihat apa-apa, karena saya seliweran sambil tutup mata, siang bolong pula.

Akhirnya mama sehat kembali. Tanda-tanda positif bahwa mama sudah sehat bukan ciri-ciri fisik yang misalnya terlihat wajah segar atau girang. Satu-satunya pertanda bahwa mama saya sehat dan baik-baik saja adalah kalau beliau sudah cerewet. Sejak saya baru sampai di Tarutung sampai nyaris seminggu di Rumah Sakit, tak sekalipun mama mengomentari celana jeans saya yang sobek-sobek metal di bagian dengkul dan selangkangan. 

Nah, pas hari terakhir di Rumah Sakit, mama saya langsung balas dendam. Saya dibilang bikin malu keluarga Cikeas-lah, tidak kelihatan seperti pria bermartabat-lah, kayak orang yang tidak punya celana yang layak pakai-lah. Biasanya pada situasi normal, saya akan melakukan perlawanan. Tetapi saat itu saya begitu gembira karena akhirnya mendapati mama saya sudah kembali ke bentuk aslinya, jadi saya biarkan saja beliau menzolimi saya.

Kegembiraan saya tidak berhenti sampai disitu saja. Meski mama saya sudah sehat, tetapi sampai beberapa bulan ke depan masih harus check up ke Rumah Sakit, jadi saya belum bisa kembali ke Jakarta. Lha, saya dapat uang dari mana dong? Keuangan udah menipis nih.

Tak disangka tak diduga, saya mendapat tawaran kerja selama masih menemani mama saya check up ke Rumah Sakit. Tawaran kerja yang sama sekali bukan bidang saya, tetapi saya bersyukur saya ditawari pekerjaan itu sehingga memberi pengalaman baru buat saya untuk belajar hal-hal baru yang berguna untuk hidup saya. Dan yang paling penting, saya tidak jadi jatuh miskin. Horeeeee!!!

Begitu saja? Apanya yang luar biasa? Ya, memang biasa-biasa saja sih. Kasian deh saya, kirain sampai di sini tadi sudah dianggap luar biasa. Tetapi saya merasa sangat luar biasa ketika mama saya bilang ke saya kalau beliau merasa saya membawa pengaruh luar biasa, karena tadinya mama saya pesimis bisa sembuh. Tetapi setelah kejadian melihat kegigihan saya: meninggalkan pekerjaan, kekasih hati, selingkuhan dan gebetan saya di Jakarta, mengembara mencari daun pisang perawan, penyamaran di Rumah Sakit, sampai petantang-petenteng di depan kamar mayat menyanyikan lagu dangdut, mama saya menjadi tumbuh semangatnya untuk sembuh. Dan saya percaya, semangat itulah yang paling banyak memberi andil atas kesembuhan mama saya.


Begitulah salah satu hal luar biasa dalam hidup saya yang justru terjadi lewat sesuatu yang biasa-biasa saja. Sekarang mama saya sudah sehat seperti sedia kala dan saya sudah kembali ke Jakarta. 
Ah senangnya. Tepuk tangan dong!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar