13/01/16

Feed The NEEDY



Dari dulu saya tidak pernah tertarik atau tergoda untuk menyumbang demi tujuan menolong si ini dan si itu yang dikumpulkan secara kolektif oleh individu maupun lembaga tertentu. Bukannya saya tidak percaya, tetapi saya punya prinsip: bantulah terlebih dahulu orang-orang yang ada di sekelilingmu, yang dekat denganmu. 

Buat saya sangat tidak logis jika kita kepikiran membantu orang yang berada di luar kota, provinsi, pulau, negara atau planet, sementara kita justru mengabaikan orang yang berada di lingkungan kita.

Ketika orang lain heboh dengan bantuan ini dan itu kepada orang di seberang sana, saya tidak akan menyalahkan mereka. Walau bagaimanapun, melakukan hal baik (apapun bentuknya) adalah hal yang wajib diapresiasi. Tetapi meskipun begitu, saya tetap fokus membantu orang yang menurut saya butuh bantuan dan posisinya terjangkau oleh saya sehingga apa yang saya lakukan bisa efisien dan tepat sasaran.

Entah sudah beberapa kali saya naik angkot, penumpangnya selama perjalanan adalah saya sendiri. Saya sering menjadi tempat curhat para sopir angkot yang mengeluh susahnya mencari nafkah sebagai supir angkot, penumpang sepi, pungutan ini dan itu, setoran ini dan itu. Mendengar keluh kesah seperti itu saya biasanya akan terenyuh, lalu saat turun akan membayar uang lebih. Ongkos sebenarnya adalah lima ribu rupiah, tetapi kadang saya bayar duapuluh ribu rupiah, lalu buru-buru melarikan diri sebelum dikasih kembalian. Atau ketika saya bilang, “Udah, ambil saja kembaliannya”, maka wajah gembira campur haru (bahkan kadang mata berkaca-kaca) adalah pemandangan terindah yang saya saksikan.

Pernah saya naik taksi. Sopirnya cerita kalau anaknya besok ulang tahun, pengen beli cake ulang tahun yang harganya duaratus lima puluh ribu, lalu berencana narik sampai pagi, berharap bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Saya tanya “Udah terkumpul berapa duitnya?”. Dia bilang belum dapat apa-apa karena sejak sore dia belum dapat penumpang.

Melewati Holland Bakeri menuju Ciputat, buru-buru saya minta berhenti. Meminta si bapak menunggu sebentar, sementara saya berlari memasuki toko. Harga cake ulang tahun dengan bentuk kastil ternyata tigaratus ribu rupiah. Ishhhh, tadi katanya duaratus lima puluh ribu. Tapi sudahlah, toh saya baru gajian, jadi saya bisa sedikit foya-foya.

Sampai di rumah, saya bayar taksi sesuai argo. Saya sengaja bayar dulu, takutnya nanti si bapak nolak dibayar kalau cake-nya saya kasih duluan. Dan yes, kotak berisi cake saya serahkan ke si bapak yang menerima dengan wajah bingung.

“Kue Ulang Tahunnya sudah ada, jadi bapak nggak usah mikirin lagi nyari duit untuk beli kue. Ini tadi saya dapat gratis, kebetulan pemilik toko kuenya tadi adalah saudara saya”, ujar saya berbohong.
Saya lalu masuk ke rumah, dan sampai sepuluh menit si bapak dan taksinya  masih berada di depan pagar rumah saya. Saya intip dari jendela, samar dari balik kaca taksi saya melihat si bapak mengusap-usap matanya, sepertinya menangis. Semoga menangis karena bahagia, bukan karena kakinya kejepit kopling.

Itu sebabnya saya dari dulu nggak pernah ngasih uang ke pengemis, pengemis itu banyak tipu-tipunya. Saya pernah mergokin mereka di bawah jalan tol TB. Simatupang lagi briefing. Bayangkan, ngemis aja pake briefing segala. 
Ngasih ke pengamen aja saya musti pandang bulu dulu. OK, ini hanya istilah. Saya nggak benar-benar memandang bulu siapa yang paling lebat. Jadi saya hanya ngasih kalau si pengamen nyanyinya OK dan menghibur. Kalau asal-asalan sih ya maaf-maaf saja, tak ada cinta di hati untuk dirimu.

Bahkan pelotot-pelototan dengan pengamen anarkis dalam bis yang ngaku-ngaku baru keluar dari penjara adalah profesi utama saya dulu, gara-gara saya menolak ngasih uang. Ya, saya tadi memang bilang bahwa saya lebih memilih membantu orang yang berada di sekeliling saya. Tetapi lihat orangnya dulu. Pantas dan layak nggak untuk di bantu? Karena banyak juga orang lebih layak dibanting daripada dibantu.

Saya dulu hobby naik sepeda sore-sore melewati pasar. Trus, pernah gitu pas lagi kring-kring goes-goes, ngeliat nenek-nenek yang jalan aja udah susah karena udah kadung renta, jualan cabe rawit. Cabe rawitnya tinggal beberapa kilo lagi, padahal hari udah Magrib. Kayaknya sih dia nggak bakalan pulang kalau cabe rawitnya belum ludes.

Apa yang saya lakukan? Saya beli deh tuh cabe rawit, si nenek senyum bahagia penuh syukur. Tinggal saya yang bingung, cabe rawit sebanyak ini mau diapain? Masa saya jual lagi? Entar yang beli malah nenek-nenek itu lagi. Lingkaran setan dong jadinya.

Tetapi pada akhirnya, tuh cabe saya bawa ke rumah dan simpan di kulkas. Sebagian terpakai sih, sebagian lagi akhirnya membusuk. It’s OK, saya tidak merasa mubazir. Toh saya sudah memberi kebahagiaan untuk hidup orang lain, meskipun itu kecil dan sederhana. Toh, uang yang saya pakai untuk membeli cabe rawit yang tak berguna itu nilainya tidak seberapa untuk saya. Bukannya saya sombong ya, tetapi beneran kok. Wong waktu itu kebetulan baru gajian.
Iya, setiap kali baru gajian, saya selalu merasa menjadi orang paling kaya sedunia.

Begitulah. Banyak teman-teman saya yang mungkin menuduh saya pelit atau kurang dermawan. But well, saya tidak perlu ceritalah kepada mereka derma seperti apa yang saya pilih. Bukankah ketika tangan kanan memberi, tangan setan tidak perlu tau?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar