Dari
dulu saya tidak pernah tertarik atau tergoda untuk menyumbang demi tujuan
menolong si ini dan si itu yang dikumpulkan secara kolektif oleh individu
maupun lembaga tertentu. Bukannya saya tidak percaya, tetapi saya punya
prinsip: bantulah terlebih dahulu orang-orang yang ada di sekelilingmu, yang
dekat denganmu.
Buat saya sangat tidak logis jika kita kepikiran membantu orang
yang berada di luar kota, provinsi, pulau, negara atau planet, sementara kita
justru mengabaikan orang yang berada di lingkungan kita.
Ketika
orang lain heboh dengan bantuan ini dan itu kepada orang di seberang sana, saya
tidak akan menyalahkan mereka. Walau bagaimanapun, melakukan hal baik (apapun
bentuknya) adalah hal yang wajib diapresiasi. Tetapi meskipun begitu, saya
tetap fokus membantu orang yang menurut saya butuh bantuan dan posisinya
terjangkau oleh saya sehingga apa yang saya lakukan bisa efisien dan tepat
sasaran.
Entah
sudah beberapa kali saya naik angkot, penumpangnya selama perjalanan adalah
saya sendiri. Saya sering menjadi tempat curhat para sopir angkot yang mengeluh
susahnya mencari nafkah sebagai supir angkot, penumpang sepi, pungutan ini dan
itu, setoran ini dan itu. Mendengar keluh kesah seperti itu saya biasanya akan
terenyuh, lalu saat turun akan membayar uang lebih. Ongkos sebenarnya adalah
lima ribu rupiah, tetapi kadang saya bayar duapuluh ribu rupiah, lalu buru-buru
melarikan diri sebelum dikasih kembalian. Atau ketika saya bilang, “Udah, ambil
saja kembaliannya”, maka wajah gembira campur haru (bahkan kadang mata
berkaca-kaca) adalah pemandangan terindah yang saya saksikan.
Pernah
saya naik taksi. Sopirnya cerita kalau anaknya besok ulang tahun, pengen beli
cake ulang tahun yang harganya duaratus lima puluh ribu, lalu berencana narik
sampai pagi, berharap bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Saya
tanya “Udah terkumpul berapa duitnya?”. Dia bilang belum dapat apa-apa karena
sejak sore dia belum dapat penumpang.
Melewati
Holland Bakeri menuju Ciputat, buru-buru saya minta berhenti. Meminta si bapak
menunggu sebentar, sementara saya berlari memasuki toko. Harga cake ulang tahun
dengan bentuk kastil ternyata tigaratus ribu rupiah. Ishhhh, tadi katanya duaratus lima puluh ribu. Tapi sudahlah, toh saya baru
gajian, jadi saya bisa sedikit foya-foya.
Sampai
di rumah, saya bayar taksi sesuai argo. Saya sengaja bayar dulu, takutnya nanti si bapak nolak dibayar kalau cake-nya saya kasih duluan. Dan yes, kotak berisi cake saya serahkan ke si
bapak yang menerima dengan wajah bingung.
“Kue
Ulang Tahunnya sudah ada, jadi bapak nggak usah mikirin lagi nyari duit untuk
beli kue. Ini tadi saya dapat gratis, kebetulan pemilik toko kuenya tadi adalah
saudara saya”, ujar saya berbohong.
Saya
lalu masuk ke rumah, dan sampai sepuluh menit si bapak dan taksinya masih berada di depan pagar rumah saya. Saya intip dari jendela, samar
dari balik kaca taksi saya melihat si bapak mengusap-usap matanya, sepertinya
menangis. Semoga menangis karena bahagia, bukan karena kakinya kejepit kopling.
Itu sebabnya saya dari dulu nggak pernah ngasih
uang ke pengemis, pengemis itu banyak tipu-tipunya. Saya pernah mergokin mereka di bawah jalan tol TB. Simatupang lagi briefing. Bayangkan, ngemis aja pake briefing segala.
Ngasih ke pengamen aja saya musti pandang bulu dulu. OK, ini hanya istilah. Saya nggak benar-benar memandang bulu siapa yang paling lebat. Jadi saya hanya ngasih kalau si pengamen nyanyinya OK dan menghibur. Kalau asal-asalan sih ya maaf-maaf saja, tak ada cinta di hati untuk dirimu.
Ngasih ke pengamen aja saya musti pandang bulu dulu. OK, ini hanya istilah. Saya nggak benar-benar memandang bulu siapa yang paling lebat. Jadi saya hanya ngasih kalau si pengamen nyanyinya OK dan menghibur. Kalau asal-asalan sih ya maaf-maaf saja, tak ada cinta di hati untuk dirimu.
Bahkan pelotot-pelototan dengan pengamen anarkis
dalam bis yang ngaku-ngaku baru keluar dari penjara adalah profesi
utama saya dulu, gara-gara saya menolak ngasih uang. Ya, saya tadi memang bilang
bahwa saya lebih memilih membantu orang yang berada di sekeliling saya. Tetapi
lihat orangnya dulu. Pantas dan layak nggak untuk di bantu? Karena banyak juga
orang lebih layak dibanting daripada dibantu.
Saya dulu hobby naik sepeda sore-sore melewati
pasar. Trus, pernah gitu pas lagi kring-kring goes-goes, ngeliat nenek-nenek
yang jalan aja udah susah karena udah kadung renta, jualan cabe rawit. Cabe
rawitnya tinggal beberapa kilo lagi, padahal hari udah Magrib. Kayaknya sih dia
nggak bakalan pulang kalau cabe rawitnya belum ludes.
Apa yang saya lakukan? Saya beli deh tuh cabe
rawit, si nenek senyum bahagia penuh syukur. Tinggal saya yang bingung, cabe
rawit sebanyak ini mau diapain? Masa saya jual lagi? Entar yang beli malah
nenek-nenek itu lagi. Lingkaran setan dong jadinya.
Tetapi pada akhirnya, tuh cabe saya bawa ke
rumah dan simpan di kulkas. Sebagian terpakai sih, sebagian lagi akhirnya membusuk.
It’s OK, saya tidak merasa mubazir. Toh saya sudah memberi kebahagiaan untuk
hidup orang lain, meskipun itu kecil dan sederhana. Toh, uang yang saya pakai
untuk membeli cabe rawit yang tak berguna itu nilainya tidak seberapa untuk
saya. Bukannya saya sombong ya, tetapi beneran kok. Wong waktu itu kebetulan baru gajian.
Iya, setiap kali baru gajian, saya selalu merasa menjadi orang paling kaya sedunia.
Begitulah. Banyak teman-teman saya yang mungkin
menuduh saya pelit atau kurang dermawan. But well, saya tidak perlu ceritalah
kepada mereka derma seperti apa yang saya pilih. Bukankah ketika tangan kanan
memberi, tangan setan tidak perlu tau?
0 komentar:
Posting Komentar