Saat itu kira-kira jam sepuluh pagi,
saya sedang inspeksi kamar hotel sambil sesekali curi-curi pandang ke layar
ponsel untuk sekedar tau cuitan paling anyar dari Twitter.
“Ada bunyi ledakan dari Pos
Polisi depan Sarinah. Ada dua mayat tergeletak”, begitu bunyi cuitan salah satu
Netizen yang akunnya saya follow, dan yang saya tau dia berkantor di kawasan
Thamrin.
Saya lihat cuitan itu baru di-post dua menit yang lalu. Jadi kejadian
ini baru saja terjadi.
Sontak saya langsung menyalakan
TV di dalam kamar, dan di layar kaca tampak pemandangan yang bikin pusing kepala.
Sebuah adegan mencekam dengan kamera goyang-goyang akibat direkam pakai kamera
ponsel dari jarak jauh.
Seorang pria tampak
ngumpet-ngumpet di belakang sebuah mobil, sesekali berjalan mondar-mandir
seperti kebingungan. Sesekali mengacungkan pistol entah kepada siapa. Lalu…DUARRRRRR,
bom meledak. Bom bunuh diri.
Jakarta kembali diteror.
Setelah beberapa waktu yang lalu, teroris meneror dengan ledakan bom di kedutaan
negara asing, hotel franchise, bandara dan entah apalagi yang saya tidak terlalu
ingat karena saya tidak terlalu terkesan.
Mungkin saya tidak sendirian.
Mungkin ada ribuan warga Jakarta lainnya yang sudah kebal seperti saya. Kita
sudah kebal dengan segala macam bentuk teror, mulai dari teror debt collector
via telepon atau disamperin langsung ke rumah, marketing yang teguh kukuh berlapis aspal menawarkan
produk/jasa lewat telepon, preman yang sok kuasa di area perumahan, pengamen
bertato dan berkalung rantai anjing di bus, sopir metromini, orang gila dan
hal-hal berbahaya lainnya.
Bahkan saya sendiri pernah
terjebak di antara tawuran pelajar di kawasan Slipi. Dari depan tampak
gerombolan pelajar berseragam putih abu-abu dengan muka perang, memegang batu
dan balok kayu. Saya menoleh ke belakang, tampak gerombolan lawan berseragam
biru atau apalah, sepertinya STM atau Akademi Kebidanan, juga dengan senjata yang
cemen tetapi terlihat mematikan.
Orang-orang sudah berlarian menghindar, mobil
pada berhenti, motor belok arah, orang gila tepuk tangan. Saya cuek aja
melenggang seolah sedang syuting video clip lagu ‘Jawara’-nya Anggun C. Sasmi
atau lagu ‘Sia-Sia’-nya Denada.
Atau saat saya berangkat kerja
naik taksi, tiba-tiba dari sebelah kiri ada motor nyalip sehingga nyaris
tersenggol taksi. Si pengendara motor lalu berhenti, merogoh sesuatu dari
balik celananya. Kirain mau pamer burung a la eksibisionist, tapi rupanya mengacungkan pistol ke sopir taksi. Saya spontan tiarap,
sementara si sopir taksi tenang-tenang saja.
“Sudah biasa saya ketemu yang
begitu, Pak. Pengecut biasanya, Cuma berani nodongin, nggak pernah berani
nembak. Cuma mau pamer arogansi aja, mentang-mentang aparat”, cerita Sopir
Taksi saat kami kembali melanjutkan perjalanan dalam keadaan hidup.
Waktu kejadian FPI bentrok di
kawasan Monas, saat itu saya juga pas lagi berada di TKP. Bukan karena saya
ikut bentrok, tetapi kebetulan baru pulang kerja, trus pengen jalan-jalan
tampan di trotoar Monas. Eh, berpapasan dengan gerombolan FPI yang lagi
ngamuk-ngamuk. Saya kaget, tetapi cuek aja.
Saya nggak ada masalah sama mereka. Dan kalau pun mereka saat itu sedang marah, toh marahnya bukan ke saya. Yang jelas, kalau sampai berani sentuh saya, saya hajar deh!
Saya nggak ada masalah sama mereka. Dan kalau pun mereka saat itu sedang marah, toh marahnya bukan ke saya. Yang jelas, kalau sampai berani sentuh saya, saya hajar deh!
Beberapa dari mereka memang melirik saya dengan
tatapan yang gimana gitu, tetapi tetap membiarkan saya jalan tampan. Dan ketika
mereka berlalu, saya tetap baik-baik saja.
Atau ketika saya sedang naik
angkot jurusan Kalideres – Serpong, di tengah jalan dipepet lima orang pencopet.
Satu duduk di sebelah kanan saya, satu lagi duduk di sebelah kiri saya, sudah seperti mau cerdas cermat saja. Satu
duduk di bangku tempel pintu masuk, dua lagi jadi penggembira.
Saya awalnya heran, duduknya ke saya kok nempel banget. Takut juga sih gara-gara saking nempelnya mereka jadi terangsang. Amit-amit!
Saya geser ke kanan, eh yang di kanan juga nempel kayak perangko. Barulah saya sadar saya diapit dua pencopet.
Saya awalnya heran, duduknya ke saya kok nempel banget. Takut juga sih gara-gara saking nempelnya mereka jadi terangsang. Amit-amit!
Saya geser ke kanan, eh yang di kanan juga nempel kayak perangko. Barulah saya sadar saya diapit dua pencopet.
Tidak mau panik, saya tetap
tenang. Merogoh saku tas ransel saya, mengeluarkan senjata rahasia saya: pisau
lipat, dan langsung menggengamnya dengan posisi siap menusuk.
Ternyata mereka keder juga, saling kasih kode lewat pandangan mata. Yang di kanan saya mendadak ingin tukar tempat dengan yang duduk di bangku tempel pintu masuk. Yang di sebelah kiri saya merangsek menjauh. Selanjutnya, mereka terlihat kikuk, lalu satu persatu turun dari angkot. Horeee…
Ternyata mereka keder juga, saling kasih kode lewat pandangan mata. Yang di kanan saya mendadak ingin tukar tempat dengan yang duduk di bangku tempel pintu masuk. Yang di sebelah kiri saya merangsek menjauh. Selanjutnya, mereka terlihat kikuk, lalu satu persatu turun dari angkot. Horeee…
Oh iya, saya memang dulu punya
kebiasaan membawa pisau lipat kemana-mana. Pengalaman buruk di jalanan Jakarta
membuat saya lebih waspada dan sedikit mempersenjatai diri. Pisau lipat adalah
senjata pilihan saya. Namun dengan pisau lipat saya tidak pernah berniat
membunuh orang dalam kondisi sehoror apapun. Paling hanya akan menggertak, dan
kalau musuh tak gentar, ya apa boleh buat: colek dikit deh biar tau rasa.
Tetapi sejak razia senjata tajam
mulai sering terjadi, saya pun mulai meninggalkan pisau lipat saya di rumah.
Takutnya kena razia, malah dituduh berandalan. Akhirnya cuma mengandalkan
sedikit jurus Taekwondo yang pernah saya pelajari masa kuliah dulu.
Sesekali saya masih suka bawa
pisau lipat, apalagi kalau misalnya berencana pulang malam. Lalu berdoa semoga
nanti tidak ada razia senjata tajam.
Jakarta itu kejam dan keras, Bung!. Itu
sebabnya warga Jakarta itu rata-rata ‘pemberani’. Saya sendiri adalah hasil
gemblengan kerasnya Jakarta. Dulu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta,
saya adalah pribadi yang penakut. Tetapi setelah mengalami pengalaman dan
perlakukan yang kurang menyenangkan di Jakarta, saya berubah menjadi pemberani
dan sedikit galak.
Dulu saya tidak mau berurusan dengan preman. Di Medan saya
pernah dipalak preman cilik yang badannya jauh lebih kecil dari saya. Di
Jakarta, saya bahkan pernah menantang preman yang badannya jauh lebih besar dari
saya berkelahi di terminal Senen.
Makanya ketika saya lihat di
layar televisi, saat polisi tembak-tembakan dengan teroris, warga malah
nontonin seperti sedang nonton kuda lumping. Tukang sate, tukang buah, tukang
kopi dan tukang kacang rebus tetap jualan dan cuek seliweran. Sate, buah dan
kopi dan kacang tidak bisa jualan sendiri toh?
Di Media Sosial, hashtag
#PrayForJakarta langsung berubah menjadi #KamiTidakTakut.
Bravo!!! Jakartan **Jakartan adalah sebutan untuk warga Jakarta** memang keren. Beberapa jam setelah kejadian, setelah teroris berhasil dilumpuhkan, warga kembali berkerumun di sekitar TKP: selfie, jajan, ngegosip, cari jodoh dan lain-lain. Tidak ada sama sekali gambaran ketakutan seperti layaknya area yang baru saja jadi target sasaran teroris.
Bravo!!! Jakartan **Jakartan adalah sebutan untuk warga Jakarta** memang keren. Beberapa jam setelah kejadian, setelah teroris berhasil dilumpuhkan, warga kembali berkerumun di sekitar TKP: selfie, jajan, ngegosip, cari jodoh dan lain-lain. Tidak ada sama sekali gambaran ketakutan seperti layaknya area yang baru saja jadi target sasaran teroris.
Beberapa waktu kemudian Presiden,
menteri dan Gubernur DKI juga menyambangi TKP. Tanpa pengawalan atau
perlindungan berlebihan, tanpa rompi anti peluru, tanpa menunjukkan rasa takut.
Pemimpin dan rakyatnya sama-sama pemberani, teroris pasti gigit jari.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan
belasungkawa terhadap korban jiwa dari warga sipil dan polisi, kalau
dikalkulasikan, korban nyawa dari pihak Jakarta (hanya) tiga orang: dua warga
sipil dan satu polisi, sementara dari pihak teroris korban jiwa yang jatuh ada
lima orang. Lima orang teroris, lima-limanya modar. Kita menang!
Karena pada umumnya saat terjadinya terror bom bunuh diri, korban jiwa yang paling banyak adalah dari pihak sipil.
Karena pada umumnya saat terjadinya terror bom bunuh diri, korban jiwa yang paling banyak adalah dari pihak sipil.
Terima kasih, Pak
Polisi dan TNI yang telah langsung sigap mengantisipasi terror ini sehingga
korban nyawa bisa sangat dimimalisasi.
Dan buat para teroris, kami tidak
pernah takut. Teror yang lebih buruk bahkan sudah kami hadapi hampir setiap
hari: intimidasi mertua ke menantu, bunyi petasan dan dangdutan setiap ada
kawinan, berita ngawur dari TV One ke pemirsa, dan lain-lain.
Silahkan teror kami lagi, kali
ini kami akan lebih siap KARENA KAMI TIDAK TAKUT.
0 komentar:
Posting Komentar