17/01/16

Kami TIDAK TAKUT!

Saat itu kira-kira jam sepuluh pagi, saya sedang inspeksi kamar hotel sambil sesekali curi-curi pandang ke layar ponsel untuk sekedar tau cuitan paling anyar dari Twitter.

“Ada bunyi ledakan dari Pos Polisi depan Sarinah. Ada dua mayat tergeletak”, begitu bunyi cuitan salah satu Netizen yang akunnya saya follow, dan yang saya tau dia berkantor di kawasan Thamrin. 

Saya lihat cuitan itu baru di-post dua menit yang lalu. Jadi kejadian ini baru saja terjadi.

Sontak saya langsung menyalakan TV di dalam kamar, dan di layar kaca tampak pemandangan yang bikin pusing kepala. Sebuah adegan mencekam dengan kamera goyang-goyang akibat direkam pakai kamera ponsel dari jarak jauh.

Seorang pria tampak ngumpet-ngumpet di belakang sebuah mobil, sesekali berjalan mondar-mandir seperti kebingungan. Sesekali mengacungkan pistol entah kepada siapa. Lalu…DUARRRRRR, bom meledak. Bom bunuh diri.

Jakarta kembali diteror. Setelah beberapa waktu yang lalu, teroris meneror dengan ledakan bom di kedutaan negara asing, hotel franchise, bandara dan entah apalagi yang saya tidak terlalu ingat karena saya tidak terlalu terkesan.

Mungkin saya tidak sendirian. Mungkin ada ribuan warga Jakarta lainnya yang sudah kebal seperti saya. Kita sudah kebal dengan segala macam bentuk teror, mulai dari teror debt collector via telepon atau disamperin langsung ke rumah, marketing yang teguh kukuh berlapis aspal menawarkan produk/jasa lewat telepon, preman yang sok kuasa di area perumahan, pengamen bertato dan berkalung rantai anjing di bus, sopir metromini, orang gila dan hal-hal berbahaya lainnya.

Bahkan saya sendiri pernah terjebak di antara tawuran pelajar di kawasan Slipi. Dari depan tampak gerombolan pelajar berseragam putih abu-abu dengan muka perang, memegang batu dan balok kayu. Saya menoleh ke belakang, tampak gerombolan lawan berseragam biru atau apalah, sepertinya STM atau Akademi Kebidanan, juga dengan senjata yang cemen tetapi terlihat mematikan. 
Orang-orang sudah berlarian menghindar, mobil pada berhenti, motor belok arah, orang gila tepuk tangan. Saya cuek aja melenggang seolah sedang syuting video clip lagu ‘Jawara’-nya Anggun C. Sasmi atau lagu ‘Sia-Sia’-nya Denada.

Atau saat saya berangkat kerja naik taksi, tiba-tiba dari sebelah kiri ada motor nyalip sehingga nyaris tersenggol taksi. Si pengendara motor lalu berhenti, merogoh sesuatu dari balik celananya. Kirain mau pamer burung a la eksibisionist, tapi rupanya mengacungkan pistol ke sopir taksi. Saya spontan tiarap, sementara si sopir taksi tenang-tenang saja.
“Sudah biasa saya ketemu yang begitu, Pak. Pengecut biasanya, Cuma berani nodongin, nggak pernah berani nembak. Cuma mau pamer arogansi aja, mentang-mentang aparat”, cerita Sopir Taksi saat kami kembali melanjutkan perjalanan dalam keadaan hidup.

Waktu kejadian FPI bentrok di kawasan Monas, saat itu saya juga pas lagi berada di TKP. Bukan karena saya ikut bentrok, tetapi kebetulan baru pulang kerja, trus pengen jalan-jalan tampan di trotoar Monas. Eh, berpapasan dengan gerombolan FPI yang lagi ngamuk-ngamuk. Saya kaget, tetapi cuek aja.
Saya nggak ada masalah sama mereka. Dan kalau pun mereka saat itu sedang marah, toh marahnya bukan ke saya. Yang jelas, kalau sampai berani sentuh saya, saya hajar deh! 
Beberapa dari mereka memang melirik saya dengan tatapan yang gimana gitu, tetapi tetap membiarkan saya jalan tampan. Dan ketika mereka berlalu, saya tetap baik-baik saja.

Atau ketika saya sedang naik angkot jurusan Kalideres – Serpong, di tengah jalan dipepet lima orang pencopet. Satu duduk di sebelah kanan saya, satu lagi duduk di sebelah kiri saya, sudah seperti mau cerdas cermat saja. Satu duduk di bangku tempel pintu masuk, dua lagi jadi penggembira.
Saya awalnya heran, duduknya ke saya kok nempel banget. Takut juga sih gara-gara saking nempelnya mereka jadi terangsang. Amit-amit!
Saya geser ke kanan, eh yang di kanan juga nempel kayak perangko. Barulah saya sadar saya diapit dua pencopet.

Tidak mau panik, saya tetap tenang. Merogoh saku tas ransel saya, mengeluarkan senjata rahasia saya: pisau lipat, dan langsung menggengamnya dengan posisi siap menusuk.
Ternyata mereka keder juga, saling kasih kode lewat pandangan mata. Yang di kanan saya mendadak ingin tukar tempat dengan yang duduk di bangku tempel pintu masuk. Yang di sebelah kiri saya merangsek menjauh. Selanjutnya, mereka terlihat kikuk, lalu satu persatu turun dari angkot. Horeee…

Oh iya, saya memang dulu punya kebiasaan membawa pisau lipat kemana-mana. Pengalaman buruk di jalanan Jakarta membuat saya lebih waspada dan sedikit mempersenjatai diri. Pisau lipat adalah senjata pilihan saya. Namun dengan pisau lipat saya tidak pernah berniat membunuh orang dalam kondisi sehoror apapun. Paling hanya akan menggertak, dan kalau musuh tak gentar, ya apa boleh buat: colek dikit deh biar tau rasa.

Tetapi sejak razia senjata tajam mulai sering terjadi, saya pun mulai meninggalkan pisau lipat saya di rumah. Takutnya kena razia, malah dituduh berandalan. Akhirnya cuma mengandalkan sedikit jurus Taekwondo yang pernah saya pelajari masa kuliah dulu.

Sesekali saya masih suka bawa pisau lipat, apalagi kalau misalnya berencana pulang malam. Lalu berdoa semoga nanti tidak ada razia senjata tajam.

Jakarta itu kejam dan keras, Bung!. Itu sebabnya warga Jakarta itu rata-rata ‘pemberani’. Saya sendiri adalah hasil gemblengan kerasnya Jakarta. Dulu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, saya adalah pribadi yang penakut. Tetapi setelah mengalami pengalaman dan perlakukan yang kurang menyenangkan di Jakarta, saya berubah menjadi pemberani dan sedikit galak. 

Dulu saya tidak mau berurusan dengan preman. Di Medan saya pernah dipalak preman cilik yang badannya jauh lebih kecil dari saya. Di Jakarta, saya bahkan pernah menantang preman yang badannya jauh lebih besar dari saya berkelahi di terminal Senen.

Makanya ketika saya lihat di layar televisi, saat polisi tembak-tembakan dengan teroris, warga malah nontonin seperti sedang nonton kuda lumping. Tukang sate, tukang buah, tukang kopi dan tukang kacang rebus tetap jualan dan cuek seliweran. Sate, buah dan kopi dan kacang tidak bisa jualan sendiri toh? 

Di Media Sosial, hashtag #PrayForJakarta langsung berubah menjadi #KamiTidakTakut. 
Bravo!!! Jakartan **Jakartan adalah sebutan untuk warga Jakarta** memang keren. Beberapa jam setelah kejadian, setelah teroris berhasil dilumpuhkan, warga kembali berkerumun di sekitar TKP: selfie, jajan, ngegosip, cari jodoh dan lain-lain. Tidak ada sama sekali gambaran ketakutan seperti layaknya area yang baru saja jadi target sasaran teroris.

Beberapa waktu kemudian Presiden, menteri dan Gubernur DKI juga menyambangi TKP. Tanpa pengawalan atau perlindungan berlebihan, tanpa rompi anti peluru, tanpa menunjukkan rasa takut. Pemimpin dan rakyatnya sama-sama pemberani, teroris pasti gigit jari.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan belasungkawa terhadap korban jiwa dari warga sipil dan polisi, kalau dikalkulasikan, korban nyawa dari pihak Jakarta (hanya) tiga orang: dua warga sipil dan satu polisi, sementara dari pihak teroris korban jiwa yang jatuh ada lima orang. Lima orang teroris, lima-limanya modar. Kita menang!
Karena pada umumnya saat terjadinya terror bom bunuh diri, korban jiwa yang paling banyak adalah dari pihak sipil. 

Terima kasih, Pak Polisi dan TNI yang telah langsung sigap mengantisipasi terror ini sehingga korban nyawa bisa sangat dimimalisasi.

Dan buat para teroris, kami tidak pernah takut. Teror yang lebih buruk bahkan sudah kami hadapi hampir setiap hari: intimidasi mertua ke menantu, bunyi petasan dan dangdutan setiap ada kawinan, berita ngawur dari TV One ke pemirsa, dan lain-lain.

Silahkan teror kami lagi, kali ini kami akan lebih siap KARENA KAMI TIDAK TAKUT.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar