30/08/16

Antara Silangit, Barelang & VIETNAM

/ Photo : Jimmy /  
Sebenarnya Batam tidak pernah menjadi salah satu daftar tujuan wisata saya. Soalnya di benak saya, terbayang kalau Batam itu kota industri, pasti hiruk-pikuk khas kawasan industri. Misalnya: gerombolan buruh seliweran, truk container hilir mudik, peti kemas hiruk-pikuk dan yang sejenisnya.

Tanggal 26 Agustus 2016, saya berangkat ke Batam. Sebenarnya saya berangkat lebih ke alasan melankolis yang sangat pribadi. Dulu kakak saya Junie Simanungkalit (biasa saya panggil Kak Jun) selalu bilang, “Kamu harus datang ke Batam. Di sini banyak prospek lho. Daerahnya sudah modern, tetapi masih nyaman untuk dihuni. Udaranya masih bersih”.

Tapi dulu saya selalu bilang, “Nanti deh. Saya masih betah di Balige. Mau secerah apapun prospek di Batam, belum tentu saya langsung mau kemon”.
Kak Jun lalu akan bersikeras,” Kamu lihat saja dulu”. 
Iya, nanti...

Kini Kak Jun sudah tiada, beliau meninggal tanggal 6 Agustus 2016 di Rumah Sakit Otorita Batam. Dan pesannya itu masih terngiang-ngiang terus di telinga untuk mengunjungi Batam. Jadi seperti sebuah mandat bahwa saya harus memenuhi pesannya dulu.

Dan, Batam…here I come!

Dari bandara Silangit ke Batam, kurang lebih memakan durasi satu jam empat puluh menit. Pesawatnya kecil, saking kecilnya sampai bagasi penumpang hanya dibatasi sepuluh kilogram aja. Jadi yang berencana mau membawa sapi ke dalam pesawat, pikir-pikir dulu deh.

Dalam bayangan saya, naik pesawat ukuran kecil pasti bikin parno, pasti berisik, pasti goyang-goyang seperti lirik lagu anak-anak zaman dulu.
Iya, pesawatnya memang kecil. Kepala saya saja kepentok berkali-kali setiap kali saya berdiri dari seat. Untung nggak sampai bikin benjol. 

Untungnya, saya adalah type manusia penuh pesona yang selalu melihat sisi positif dari semua kejadian. Meskipun di jendela pesawatnya ada laba-laba mati, lengkap dengan jaringnya yang sudah compang-camping, toh itu tidak mengusik kegemaran saya menatap keluar jendela pesawat.

Karena pesawatnya kecil, jadi terbangnya juga rendah. Jadi sampai 30 menit perjalanan setelah take off, kita masih bisa melihat panorama di bawah. Perumahan, perbukitan, hutan, danau…indah banget. Saat-saat mengagumi mahakarya Sang Maha Kuasa  seperti inilah jiwa spiritual saya bertumbuh.

Di lihat dari jendela pesawat, cakrawala ini luas sekali. Kini ini apalah dibanding cakrawala, cuma setitik debu. Setitik debu yang seharusnya tidak perlu sombong atau merasa tinggi. Jadi yang masih sombong dan tinggi hati, sering-seringlah naik pesawat dan memandang dari jendela pesawat.

Satu yang agak mengganggu pemandangan dari jendela pesawat adalah lahan hutan berwarna merah gelap. Seperti baru diguyur dengan darah yang sudah mengering. Ya, begitulah tampaknya perbukitan pohon pinus yang baru dibakar. Beberapa lokasi hutan pinus tampak memerah tandus akibat habis dibakar, terlihat kontras dibanding perbukitan hijau di sekelilingnya.

Dan area yang seperti baru dibakar itu juga terlihat sudah ditanami dengan sesuatu. Dari atas saya tidak bisa melihat jelas tanaman apa yang ditanami itu. Kalau saya tebak-tebak sih, sepertinya sih kelapa sawit. Nah lho…

Selain lahan hutan yang dibakar, pemandangan yang cukup bikin sebal adalah jalur kendaraan proyek. Jadi lahan hijau yang terbentang luas seolah diiris-iris oleh garis-garis tebal warna putih yang merupakan jalan yang dibikin sebagai jalur kendaraan sejenis truk atau tronton. Sepertinya ada proyek besar nun jauh di hutan sana.
Saya tidak bisa melihat poyeknya apa, tetapi truk dan tronton yang lalu lalang menyusuri jalan berwarna putih jelas menunjukkan ada kegiatan di sini. Kegiatan legal atau ilegal, entahlah. Nanti akan saya selidiki bersama rekan saya James Bond.

Setelah disuguhi pemandangan indah di bawah sana, pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara Hang Nadim Batam. Bandaranya bagus, bersih dan modern. Trus, saya flashback ke bandara Silangit tempat saya boarding tadi, aduhhhhh….busuk banget.

Beneran. Buat yang terbiasa ketemu airport yang cantik dan indah permai, bakal kaget setengah mati kalau melihat airport Silangit. Padahal bandara Silangit itu mungil. Cuma bangunan berbentuk ruko satu lantai dengan luas empat atau lima kapling. 
Begitu melewati gapura gerbang bandara, di kiri ada parkiran sepeda motor, di kanan parkiran mobil. Begitu melangkah mendekati  gedung airport, saya saja sempat bingung. Ini beneran airport? Semuanya serba berantakan dan kumuh.

Baliho promosi sampai tampilan galeri penjualan tiket maskapai penerbangan terlihat kumal dan kotor. Asal nempel saja tanpa mempertimbangkan sisi simetris, estetika dan fengsui.
Hallahhh, fengsui!

Saya menjadi sedikit merasa tidak nyaman membayangkan bahwa bandara ini adalah pintu gerbangnya destinasi wisata Danau Toba, Tobasa dan sekitarnya. Ibaratnya, kesan pertama dari sebuah wilayah ada pada bandaranya. Karena sebelum  memasuki wilayah tersebut, mereka terlebih dahulu akan melihat bandaranya dulu.

Apa yang bisa kita harapkan dari daerah wisata yang bandaranya saja semrawut? Saya pasti malu kalau teman saya datang mengunjungi Danau Toba tetapi via bandara Silangit.
Masalah airport Silangit bukan ukuran luasnya, tetapi penataannya. Dengan ukuran yang semini itu seharusnya penataannya bisa lebih gampang, well-organized dan rapi.

Memasuki Waiting Room, saya kayak orang yang habis berbuat cabul. Iya, tadi saat akan melewati metal detector, saya disuruh buka  gesper, jaket dan jam tangan. Sudah semuanya dibuka, pas lewat metal detector, eh detector-nya bunyi. Terpaksa saya disuruh angkat tangan, lalu diraba-raba atas bawah, muka belakang. Sedap!

Lolos dari metal detector dan puas diraba-raba, lalu memasuki Waiting Room sambil masih membetulkan gesper, orang lain pasti mengira saya cowok apa’an.

Di Waiting Room, tempat duduk sih memadai. Tapi seperti biasa, penumpangnya satu orang, tetapi okupansi tempat duduknya untuk  empat orang: satu untuk tas travel, satu untuk tas tangan dan satu lagi untuk kotak kardus.
Di sudut ruangan tampak standing banner promosi hotel yang tergeletak begitu saja, apalagi tampilan promosinya juga nggak ada indah-indahnya. Pokoknya asal berdiri saja. Begitu juga dengan rak display brosur hotel (dan masih hotel yang sama) yang berantakan dan berhamburan.

Kalau pengelola bandara ini mikir dan kreatif, seharusnya penempatan standing banner bisa lebih teratur dan estetis. Misalnya diletakkan di dekat petugas boarding. Jadi saat penumpang antri untuk boarding mereka bisa sekelebat membaca informasi di standing banner. Bukan malah ditempatkan di sudut-sudut gelap yang jauh dari jarak pandang dan pantauan manusia.

Saya sempat memeriksa rak brosur yang ada di Waiting Room. Brosurnya cuma brosur hotel, satu nama hotel pula, seperti monopoli, seolah tidak ada pilihan hotel yang lain.
Brosurnya berantakan, nyempil bersama sapu dan kardus bekas, sangat menganggu pemandangan. 
Saya bermaksud mencari brosur berisi informasi area wisata Tobasa atau mungkin peta daerah wisata yang bisa dikunjungi selama berada di Tobasa. Hasilnya? TIDAK ADA.
Perasaan, orang datang ke Tobasa bukan untuk cari hotel saja, tetapi untuk berwisata. Sebenarnya yang mau dijual itu hotel atau destinasi wisatanya?

Di dekat pintu toilet ada ditaruh bunga hidup. Bagus sih idenya. Tetapi karena mungkin jarang disiram, sang bunga kini sudah mau pingsan.

OK, cukup mengenai bandara Silangit yang tidak seberapa itu. Mudah-mudahan pengelolanya baca tulisan saya ini ya. Kalau dia butuh bantuan ide dari saya bagaimana mempercantik bandara Silangit, boleh hubungi saya. Tarif saya 500,000/malam. Yaelahhh, per-malam? Emangnya saya cowok apa'an?

Begitulah. Saat keluar dari bandara Hang Nadim, dari music player di ponsel berkumandang lagu Kla Project: "pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu". Ahhh, mendadak jadi pengen nangis. Tisu, mana tisu. Keset kaki juga boleh.

Kesan pertama yang saya dapat dari kota Batam adalah seperti melihat perpaduan Bogor dan kawasan Serpong di Jakarta. Hawanya panas, meskipun udaranya masih terasa bersih karena Batam masih memiliki banyak hutan hijau yang masih dijaga, at least sampai saat ini. Hawanya panas mungkin karena pulau ini dikelilingi laut dan banyak pabrik. Eh, ada hubungannya nggak sih?.

Kalau mau kemana-mana, pasti melewati dua kawasan yang sangat kontras. Kawasan yang pertama adalah kawasan jalan raya dengan gedung-gedung perkantoran, ruko dan pabrik di kanan kiri. Kawasan selanjutnya adalah kawasan jalan raya dengan pepohonan dan perbukitan di kanan kiri. Seimbanglah pemandangannya. Dapat suasana perkotaannya, dapat juga suasana pedesaannya.

Trus, ada kawasan pemakaman umum yang unik. Di sebelah kanan pemakaman khusus pemakaman yang beragama Nasrani, di sebelah kiri pemakaman yang beragama Islam. Nahhh, gitu dong bisa mati berdampingan dengan damai. Ya iyalah, nggak kebayang kalau sesama penghuni kuburan sebelah sini dan sana rusuh dan tawuran, seramnya jadi dua kali lipat. Mudah-mudahan dulu waktu hidup juga damai-damai aja ya.

Buat yang suka makanan khas Batak yang mengandung pork, boleh coba rumah makan Andaliman Bali An. Saya suka sama BPK-nya, sesuai dengan selera saya, padahal saya sejak orok tidak begitu doyan BPK.
Selain harganya yang masuk akal, tempatnya juga asyik, ruko yang semua pintu sorongnya dibuka. Jadi kayak di pendopo beton gitu. Makan terasa lebih nikmat di ruangan yang tak berdinding, bisa lirik-lirikan kalau kebetulan ada mahluk manis di meja sebelah.
Cobalah!

Tempat nongkrong yang  sempat saya kunjungi namanya Kabuci. Jadi lokasinya di atas bukit, sejenis cafe outdoor & indoor tempat makan dan nongkrong beratap langit. Dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Batam di malam hari. Ada musik live-nya pula.
Pas saya nongkrong di situ, homeband-nya yang formasinya duo sedang menyanyikan lagu Imagine-nya John Lennon dengan diiringi petikan gitar dan biola. Syahdu..., bikin pengen pelukan.

Ikon-nya Batam adalah jembatan Barelang. Belum sah ke Batam kalau tidak ke jembatan Barelang. Jembatannya keren sih, jembatan yang menghubungkan pulau-pulau, yaitu Batam, Rembang dan Galang. Jadi Barelang itu singkatan dari Batam, Rembang dan Galang. Eh, sebenarnya saya nggak yakin kalau 're' itu Rembang, tolong dikoreksi ya kalau salah.

Jembatannya bagus dan artistik, tetapi menurut saya safety-nya kurang. Konstruksi utama jembatan ini adalah jalan raya dua arah yang diberi pembatas buat jeda kalau ada yang nyebrang, lalu ada pagar pipa besi setinggi satu meter di kanan kiri.
Nah setelah pagar pipa besi tadi, ada lagi jalur rata selebar satu meter yang menjadi pinggiran final di kedua sisi jembatan yang fungsinya entah untuk apa.
Bayangkan, orang-orang pada demen nongkrong atau duduk-duduk di pinggiran jembatan selebar satu meter tersebut. Kalau jatuh gimana, coba?
Apalagi jarak jembatan ke permukaan laut lumayan tinggi. Lautnya juga dalam.  Saya dengar-dengar, sudah banyak orang yang hilang karena nongkrong sembarangan di sisi jembatan yang tanpa pegangan itu, mulai dari yang kecebur sampai yang bunuh diri.
Akses keceburnya gampang banget sih. Tinggal panjat pagar besinya, trus loncat indah. Saya terbayang anak-anak yang reckless nongkrong di situ, pasti kecebur. Dijamin!

Dari jembatan Barelang, dengar-dengar di pulau Galang ada destinasi wisata bernama Kampung Vietnam (Vietnam Camp).
Jadi dulu saat Perang Dunia, masyarakat Vietnam mengungsi menggunakan perahu menuju negara-negara yang mereka harapkan mau menerima mereka.
Sebagian dari mereka ada yang tenggelam di Laut Cina Selatan, ada juga yang selamat sampai ke daratan, yaitu pulau Galang.
Oleh pemerintah & PBB,  warga Vietnam yang selamat ini ditampung di sebuah perkampungan di pulau Galang ini.
Saya tidak tau bagaimana akhirnya, yang jelas Kampung Vietnam ini sekarang sudah kosong, tetapi perkampungannya masih dirawat dan dijadikan sebagai tujuan wisata. Ada security yang patroli jagain lho.

Perkampungannya di tengah hutan, ada rumah, rumah sakit dan gereja. Sepertinya pengungsi Vietnam cukup lama bermukim di sini, soalnya sampai sempat membangun pagoda dan kuil segala. Ada kandang rusanya pula. Saat saya berkunjung ke sini, saya ketemu puluhan rusa jinak yang sepertinya memiliki prinsip "Lihat boleh, pegang jangan". Saat melihat kita, mereka seolah mendekat ingin kenal. Tapi saat kita gemas pengen pegang, mereka melengos. Sangat bertolak belakang dengan prinsip saya "Lihat boleh, pegang? Wajib atuh!"

Trus, ada area di mana kapal yang dulu digunakan warga Vietnam untuk mencari suaka di-display. Ada dua kapal, tetapi sudah reyot dan usang.

Jangan coba-coba makan kacang atau cemilan di kawasan yang ada kapal berwarna biru ini karena akan diserbu sekawanan monyet. Jenis monyet seukuran anjing remaja  berwarna abu-abu, bergigi runcing,  yang hobby berhubungan seks sembarangan di depan massa.

Kuliner di Batam biasa saja sih menurut saya, nggak terlalu spesial, nggak terlalu estede juga. Tetapi harganya manusiawi banget. Penjualnya nggak terlalu peduli kita pendatang atau warga sekitar. Daerah lain kan suka begitu. Kalau tau kita pendatang, suka langsung  bikin harga yang bikin jantungan. 

Begitulah cerita yang bisa saya himpun sepanjang kunjungan saya dua hari di Batam. Dan ya, saya masih ingin kembali mengunjungi Batam suatu saat nanti. Bareng yuk...

Share:

0 komentar:

Posting Komentar