/ Photo : Jimmy / |
Tanggal 26 Agustus 2016, saya
berangkat ke Batam. Sebenarnya saya berangkat lebih ke alasan melankolis yang
sangat pribadi. Dulu kakak saya Junie Simanungkalit (biasa saya panggil Kak
Jun) selalu bilang, “Kamu harus datang ke Batam. Di sini banyak prospek lho.
Daerahnya sudah modern, tetapi masih nyaman untuk dihuni. Udaranya masih bersih”.
Tapi dulu saya selalu bilang, “Nanti deh. Saya masih betah di Balige. Mau
secerah apapun prospek di Batam, belum tentu saya langsung mau kemon”.
Kak Jun lalu akan bersikeras,” Kamu
lihat saja dulu”.
Iya, nanti...
Kini Kak Jun sudah tiada, beliau
meninggal tanggal 6 Agustus 2016 di Rumah Sakit Otorita Batam. Dan pesannya itu
masih terngiang-ngiang terus di telinga untuk mengunjungi Batam. Jadi seperti sebuah mandat bahwa saya
harus memenuhi pesannya dulu.
Dan, Batam…here I come!
Dari bandara Silangit ke Batam,
kurang lebih memakan durasi satu jam empat puluh menit. Pesawatnya kecil, saking kecilnya
sampai bagasi penumpang hanya dibatasi sepuluh kilogram aja. Jadi yang berencana mau membawa sapi ke dalam pesawat, pikir-pikir dulu deh.
Dalam bayangan saya,
naik pesawat ukuran kecil pasti bikin parno, pasti berisik, pasti goyang-goyang
seperti lirik lagu anak-anak zaman dulu.
Iya, pesawatnya memang kecil.
Kepala saya saja kepentok berkali-kali setiap kali saya berdiri dari seat.
Untung nggak sampai bikin benjol.
Untungnya, saya adalah type
manusia penuh pesona yang selalu melihat sisi positif dari semua kejadian.
Meskipun di jendela pesawatnya ada laba-laba mati, lengkap dengan jaringnya yang sudah compang-camping, toh
itu tidak mengusik kegemaran saya menatap keluar jendela pesawat.
Karena pesawatnya kecil, jadi
terbangnya juga rendah. Jadi sampai 30 menit perjalanan setelah take off, kita
masih bisa melihat panorama di bawah. Perumahan, perbukitan, hutan, danau…indah
banget. Saat-saat mengagumi mahakarya Sang Maha Kuasa seperti inilah jiwa spiritual saya bertumbuh.
Di lihat dari jendela pesawat, cakrawala ini luas sekali. Kini ini apalah dibanding cakrawala, cuma setitik debu. Setitik debu yang seharusnya tidak perlu sombong atau merasa tinggi. Jadi yang masih sombong dan tinggi hati, sering-seringlah naik pesawat dan memandang dari jendela pesawat.
Di lihat dari jendela pesawat, cakrawala ini luas sekali. Kini ini apalah dibanding cakrawala, cuma setitik debu. Setitik debu yang seharusnya tidak perlu sombong atau merasa tinggi. Jadi yang masih sombong dan tinggi hati, sering-seringlah naik pesawat dan memandang dari jendela pesawat.
Satu yang agak mengganggu
pemandangan dari jendela pesawat adalah lahan hutan berwarna merah gelap.
Seperti baru diguyur dengan darah yang sudah mengering. Ya, begitulah tampaknya
perbukitan pohon pinus yang baru dibakar. Beberapa lokasi hutan pinus tampak
memerah tandus akibat habis dibakar, terlihat kontras dibanding perbukitan
hijau di sekelilingnya.
Dan area yang seperti baru dibakar itu juga terlihat
sudah ditanami dengan sesuatu. Dari atas saya tidak bisa melihat jelas tanaman
apa yang ditanami itu. Kalau saya tebak-tebak sih, sepertinya sih kelapa sawit. Nah
lho…
Selain lahan hutan yang dibakar,
pemandangan yang cukup bikin sebal adalah jalur kendaraan proyek. Jadi lahan
hijau yang terbentang luas seolah diiris-iris oleh garis-garis tebal warna putih yang merupakan
jalan yang dibikin sebagai jalur kendaraan sejenis truk atau tronton.
Sepertinya ada proyek besar nun jauh di hutan sana.
Saya tidak bisa melihat poyeknya apa, tetapi truk dan tronton yang lalu lalang menyusuri jalan berwarna putih jelas menunjukkan ada kegiatan di sini. Kegiatan legal atau ilegal, entahlah. Nanti akan saya selidiki bersama rekan saya James Bond.
Saya tidak bisa melihat poyeknya apa, tetapi truk dan tronton yang lalu lalang menyusuri jalan berwarna putih jelas menunjukkan ada kegiatan di sini. Kegiatan legal atau ilegal, entahlah. Nanti akan saya selidiki bersama rekan saya James Bond.
Setelah disuguhi pemandangan
indah di bawah sana, pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara Hang Nadim
Batam. Bandaranya bagus, bersih dan modern. Trus, saya flashback ke bandara
Silangit tempat saya boarding tadi, aduhhhhh….busuk banget.
Beneran. Buat yang terbiasa ketemu airport yang cantik dan indah permai, bakal kaget setengah mati kalau melihat airport Silangit. Padahal bandara Silangit itu
mungil. Cuma bangunan berbentuk ruko satu lantai dengan luas empat atau lima
kapling.
Begitu melewati gapura gerbang bandara, di kiri ada parkiran sepeda
motor, di kanan parkiran mobil. Begitu melangkah mendekati gedung airport, saya saja sempat bingung. Ini
beneran airport? Semuanya serba berantakan dan kumuh.
Baliho promosi sampai tampilan
galeri penjualan tiket maskapai penerbangan terlihat kumal dan kotor. Asal nempel saja tanpa mempertimbangkan sisi simetris, estetika dan fengsui.
Hallahhh, fengsui!
Hallahhh, fengsui!
Saya
menjadi sedikit merasa tidak nyaman membayangkan bahwa bandara ini adalah pintu
gerbangnya destinasi wisata Danau Toba, Tobasa dan sekitarnya. Ibaratnya, kesan
pertama dari sebuah wilayah ada pada bandaranya. Karena sebelum memasuki wilayah tersebut, mereka terlebih
dahulu akan melihat bandaranya dulu.
Apa yang bisa kita harapkan dari
daerah wisata yang bandaranya saja semrawut? Saya pasti malu kalau teman saya datang mengunjungi Danau Toba tetapi via bandara Silangit.
Masalah airport Silangit bukan
ukuran luasnya, tetapi penataannya. Dengan ukuran yang semini itu seharusnya
penataannya bisa lebih gampang, well-organized dan rapi.
Memasuki Waiting Room, saya kayak
orang yang habis berbuat cabul. Iya, tadi saat akan melewati metal detector,
saya disuruh buka gesper, jaket dan jam
tangan. Sudah semuanya dibuka, pas lewat metal detector, eh detector-nya bunyi.
Terpaksa saya disuruh angkat tangan, lalu diraba-raba atas bawah, muka
belakang. Sedap!
Lolos dari metal detector dan puas diraba-raba, lalu
memasuki Waiting Room sambil masih membetulkan gesper, orang lain pasti mengira
saya cowok apa’an.
Di Waiting Room, tempat duduk sih
memadai. Tapi seperti biasa, penumpangnya satu orang, tetapi okupansi tempat
duduknya untuk empat orang: satu untuk tas
travel, satu untuk tas tangan dan satu lagi untuk kotak kardus.
Di sudut ruangan tampak standing
banner promosi hotel yang tergeletak begitu saja, apalagi tampilan promosinya juga nggak ada indah-indahnya. Pokoknya asal berdiri saja.
Begitu juga dengan rak display brosur hotel (dan masih hotel yang sama) yang
berantakan dan berhamburan.
Kalau pengelola bandara ini mikir
dan kreatif, seharusnya penempatan standing banner bisa lebih teratur dan
estetis. Misalnya diletakkan di dekat petugas boarding. Jadi saat penumpang
antri untuk boarding mereka bisa sekelebat membaca informasi di standing
banner. Bukan malah ditempatkan di sudut-sudut gelap yang jauh dari jarak
pandang dan pantauan manusia.
Saya sempat memeriksa rak brosur
yang ada di Waiting Room. Brosurnya cuma brosur hotel, satu nama hotel pula, seperti monopoli, seolah tidak ada
pilihan hotel yang lain.
Brosurnya berantakan, nyempil bersama sapu dan kardus bekas, sangat menganggu pemandangan.
Brosurnya berantakan, nyempil bersama sapu dan kardus bekas, sangat menganggu pemandangan.
Saya bermaksud mencari brosur berisi informasi
area wisata Tobasa atau mungkin peta daerah wisata yang bisa dikunjungi selama
berada di Tobasa. Hasilnya? TIDAK ADA.
Perasaan, orang datang ke Tobasa
bukan untuk cari hotel saja, tetapi untuk berwisata. Sebenarnya yang mau dijual itu
hotel atau destinasi wisatanya?
Di dekat pintu toilet ada ditaruh
bunga hidup. Bagus sih idenya. Tetapi karena mungkin jarang disiram, sang bunga
kini sudah mau pingsan.
OK, cukup mengenai bandara Silangit yang tidak seberapa itu. Mudah-mudahan pengelolanya baca tulisan saya ini ya. Kalau dia butuh bantuan ide dari saya bagaimana mempercantik bandara Silangit, boleh hubungi saya. Tarif saya 500,000/malam. Yaelahhh, per-malam? Emangnya saya cowok apa'an?
Begitulah. Saat keluar dari
bandara Hang Nadim, dari music player di ponsel berkumandang lagu Kla Project: "pulang ke
kotamu, ada setangkup haru dalam rindu". Ahhh, mendadak jadi pengen
nangis. Tisu, mana tisu. Keset kaki juga boleh.
Kesan pertama yang saya dapat dari kota Batam adalah
seperti melihat perpaduan Bogor dan kawasan Serpong di Jakarta. Hawanya panas,
meskipun udaranya masih terasa bersih karena Batam masih memiliki banyak hutan
hijau yang masih dijaga, at least sampai saat ini. Hawanya panas mungkin karena
pulau ini dikelilingi laut dan banyak pabrik. Eh, ada hubungannya nggak sih?.
Kalau mau kemana-mana, pasti
melewati dua kawasan yang sangat kontras. Kawasan yang pertama adalah kawasan
jalan raya dengan gedung-gedung perkantoran, ruko dan pabrik di kanan kiri. Kawasan
selanjutnya adalah kawasan jalan raya dengan pepohonan dan perbukitan di kanan
kiri. Seimbanglah pemandangannya. Dapat suasana perkotaannya, dapat juga suasana pedesaannya.
Trus, ada kawasan pemakaman umum yang unik. Di sebelah kanan pemakaman khusus pemakaman yang beragama Nasrani, di sebelah kiri pemakaman yang beragama Islam. Nahhh, gitu dong bisa mati berdampingan dengan damai. Ya iyalah, nggak kebayang kalau sesama penghuni kuburan sebelah sini dan sana rusuh dan tawuran, seramnya jadi dua kali lipat. Mudah-mudahan dulu waktu hidup juga damai-damai aja ya.
Buat yang suka makanan khas Batak
yang mengandung pork, boleh coba rumah makan Andaliman Bali An. Saya suka sama
BPK-nya, sesuai dengan selera saya, padahal saya sejak orok tidak begitu doyan
BPK.
Selain harganya yang masuk akal,
tempatnya juga asyik, ruko yang semua pintu sorongnya dibuka. Jadi kayak di
pendopo beton gitu. Makan terasa lebih nikmat di ruangan yang tak berdinding, bisa lirik-lirikan kalau kebetulan ada mahluk manis di meja sebelah.
Cobalah!
Cobalah!
Tempat nongkrong yang sempat saya kunjungi namanya Kabuci. Jadi
lokasinya di atas bukit, sejenis cafe outdoor & indoor tempat makan dan nongkrong beratap langit. Dari sini
kita bisa melihat pemandangan kota Batam di malam hari. Ada musik live-nya
pula.
Pas saya nongkrong di situ, homeband-nya yang formasinya duo sedang menyanyikan lagu Imagine-nya John Lennon dengan diiringi petikan gitar dan biola. Syahdu..., bikin pengen pelukan.
Pas saya nongkrong di situ, homeband-nya yang formasinya duo sedang menyanyikan lagu Imagine-nya John Lennon dengan diiringi petikan gitar dan biola. Syahdu..., bikin pengen pelukan.
Ikon-nya Batam adalah jembatan
Barelang. Belum sah ke Batam kalau tidak ke jembatan Barelang. Jembatannya
keren sih, jembatan yang menghubungkan pulau-pulau, yaitu Batam, Rembang dan Galang.
Jadi Barelang itu singkatan dari Batam, Rembang dan Galang. Eh, sebenarnya saya nggak yakin kalau 're' itu Rembang, tolong dikoreksi ya kalau salah.
Jembatannya bagus dan artistik,
tetapi menurut saya safety-nya kurang. Konstruksi utama jembatan ini adalah
jalan raya dua arah yang diberi pembatas buat jeda kalau ada yang nyebrang, lalu ada pagar pipa besi setinggi satu meter di kanan
kiri.
Nah setelah pagar pipa besi tadi, ada lagi jalur rata selebar satu meter yang menjadi pinggiran final di kedua sisi jembatan yang fungsinya entah untuk apa.
Bayangkan, orang-orang pada demen nongkrong atau duduk-duduk di pinggiran jembatan selebar satu meter tersebut. Kalau jatuh gimana, coba?
Apalagi jarak jembatan ke permukaan laut lumayan tinggi. Lautnya juga dalam. Saya dengar-dengar, sudah banyak orang yang hilang karena nongkrong sembarangan di sisi jembatan yang tanpa pegangan itu, mulai dari yang kecebur sampai yang bunuh diri.
Nah setelah pagar pipa besi tadi, ada lagi jalur rata selebar satu meter yang menjadi pinggiran final di kedua sisi jembatan yang fungsinya entah untuk apa.
Bayangkan, orang-orang pada demen nongkrong atau duduk-duduk di pinggiran jembatan selebar satu meter tersebut. Kalau jatuh gimana, coba?
Apalagi jarak jembatan ke permukaan laut lumayan tinggi. Lautnya juga dalam. Saya dengar-dengar, sudah banyak orang yang hilang karena nongkrong sembarangan di sisi jembatan yang tanpa pegangan itu, mulai dari yang kecebur sampai yang bunuh diri.
Akses keceburnya gampang banget sih.
Tinggal panjat pagar besinya, trus loncat indah. Saya terbayang anak-anak yang
reckless nongkrong di situ, pasti kecebur. Dijamin!
Dari jembatan Barelang,
dengar-dengar di pulau Galang ada destinasi wisata bernama Kampung Vietnam
(Vietnam Camp).
Jadi dulu saat Perang Dunia, masyarakat Vietnam mengungsi menggunakan perahu menuju negara-negara yang mereka harapkan mau menerima mereka.
Sebagian dari mereka ada yang tenggelam di Laut Cina Selatan, ada juga yang selamat sampai ke daratan, yaitu pulau Galang.
Oleh pemerintah & PBB, warga Vietnam yang selamat ini ditampung di sebuah perkampungan di pulau Galang ini.
Jadi dulu saat Perang Dunia, masyarakat Vietnam mengungsi menggunakan perahu menuju negara-negara yang mereka harapkan mau menerima mereka.
Sebagian dari mereka ada yang tenggelam di Laut Cina Selatan, ada juga yang selamat sampai ke daratan, yaitu pulau Galang.
Oleh pemerintah & PBB, warga Vietnam yang selamat ini ditampung di sebuah perkampungan di pulau Galang ini.
Saya tidak tau bagaimana
akhirnya, yang jelas Kampung Vietnam ini sekarang sudah kosong, tetapi
perkampungannya masih dirawat dan dijadikan sebagai tujuan wisata. Ada security yang patroli jagain lho.
Perkampungannya di tengah hutan,
ada rumah, rumah sakit dan gereja. Sepertinya pengungsi Vietnam cukup lama
bermukim di sini, soalnya sampai sempat membangun pagoda dan kuil segala. Ada
kandang rusanya pula. Saat saya berkunjung ke sini, saya ketemu puluhan rusa
jinak yang sepertinya memiliki prinsip "Lihat boleh, pegang jangan". Saat melihat kita, mereka seolah mendekat ingin kenal. Tapi saat kita gemas pengen pegang, mereka melengos. Sangat bertolak belakang dengan prinsip saya "Lihat boleh, pegang? Wajib atuh!"
Trus, ada area di mana kapal yang
dulu digunakan warga Vietnam untuk mencari suaka di-display. Ada dua kapal,
tetapi sudah reyot dan usang.
Jangan coba-coba makan kacang atau cemilan di kawasan yang ada kapal berwarna biru ini karena akan diserbu sekawanan monyet. Jenis monyet seukuran anjing remaja berwarna abu-abu, bergigi runcing, yang hobby berhubungan seks sembarangan di depan massa.
Jangan coba-coba makan kacang atau cemilan di kawasan yang ada kapal berwarna biru ini karena akan diserbu sekawanan monyet. Jenis monyet seukuran anjing remaja berwarna abu-abu, bergigi runcing, yang hobby berhubungan seks sembarangan di depan massa.
Kuliner di Batam biasa saja sih
menurut saya, nggak terlalu spesial, nggak terlalu estede juga. Tetapi harganya
manusiawi banget. Penjualnya nggak terlalu peduli kita pendatang atau warga
sekitar. Daerah lain kan suka begitu. Kalau tau kita pendatang, suka
langsung bikin harga yang bikin
jantungan.
Begitulah cerita yang bisa saya himpun sepanjang kunjungan saya dua hari di Batam. Dan ya, saya masih ingin kembali mengunjungi Batam suatu saat nanti. Bareng yuk...
0 komentar:
Posting Komentar