“Aku sudah divonis mengidap
kanker payudara stadium empat. Tetapi
kalian tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Secara fisik, psikis dan
spiritual, aku kuat. Aku yakin aku akan sembuh. Tuhan hanya sedang mengujiku
saja sebelum aku diberi tantangan yang lebih berat lagi. Aku akan jadi salah
satu cancer survivor, aku nanti akan
menyemangati penderita kanker lain bahwa tak ada yang mustahil. Bahwa keajaiban
itu ada. Keajaiban dari Tuhan”
Begitulah cara kakak saya: Kak
Jun, menyampaikan kabar itu untuk pertama kalinya. Seperti mengabarkan sesuatu
yang remeh dan sepele. Sama sekali bertolak belakang dengan respon saya yang
seperti mendapat serangan jantung atau disambar petir saat mendengar kabar itu.
Kanker? Stadium empat. Ya Tuhan,
apa-apan’an ini? Apa sih maksud-MU?
Saya sampai beberapa kali
memeriksa kalender di meja kerja saya. Memastikan sambil sedikit berharap ini
adalah bulan April. Jadi kakak saya pasti sedang mengerjai saya sehubungan
dengan April Mop. Sayang sekali,
meskipun saya sudah seperti orang gila
memandangi kalender dan membolak-balik lembar demi lembar kalender,
tetap saja kalender yang tertera adalah kalender bulan Februari.
Gagal menemukan alasan untuk
tidak percaya dan tau banget bahwa kakak saya bukan type orang yang mau bercanda untuk hal-hal yang serius seperti ini,
saya menempuh cara yang lain. Saya menampar pipi saya sendiri. Mencubit kulit
lengan saya sendiri. Berharap saya akan terbangun. Berharap ini hanya mimpi
belaka.
Tidak. Saya tidak sedang
bermimpi. Ini benar-benar nyata. Saya bergegas keluar ruangan, menatap langit hitam
dan gelap dengan amarah luar biasa. Apa-apa’an ini? Apa sih maksud-MU?
Ya, mendadak saya marah sama
Tuhan yang selama ini saya percayai. Bukan tindakan yang bijaksana memang, but well…I couldn’t help it.
Ya, itu adalah reaksi spontan
saya. Reaksi yang salah, walau harus saya akui bahwa itu reaksi yang wajar dan
manusiawi.
Saya terbiasa di’manja’ oleh Tuhan. Dimanja bukan berarti hidup saya serba gampang-gampang saja. Hidup saya dari dulu tidak pernah gampang, penuh perjuangan dan tantangan, namun pada akhirnya berakhir dengan indah. Mulai dari kehidupan pribadi, sosial dan karir yang awalnya bikin hopeless, namun semua menjadi indah pada waktunya.
Saya terbiasa di’manja’ oleh Tuhan. Dimanja bukan berarti hidup saya serba gampang-gampang saja. Hidup saya dari dulu tidak pernah gampang, penuh perjuangan dan tantangan, namun pada akhirnya berakhir dengan indah. Mulai dari kehidupan pribadi, sosial dan karir yang awalnya bikin hopeless, namun semua menjadi indah pada waktunya.
Terbiasa dengan proses kehidupan
yang cuma sebatas kesulitan dalam hidup, membuat saya shock dengan apa yang terjadi pada Kak Jun. Ini bukan sekedar
kesulitan, ini sudah seperti ‘hukuman’.
Saya sampai berpikir telah berbuat apa sehingga saya harus mengalami yang seperti ini?
Beneran. Justru saya yang paling
heboh dan panik, padahal yang mengidap kanker kan bukan saya.
Dari kecil saya penakut. Takut
sama hantu, orang gila, ulat bulu dan preman. Tetapi saya sudah lupa sejak
kapan saya sudah tidak lagi takut sama hal-hal yang saya sebutkan di atas. Yang
jelas ketakutan saya hilang setelah saya ‘dipaksa’ untuk head to head dengan apa yang saya takuti. Saya dipaksa untuk
konfontrasi langsung dengan apa yang menjadi objek ketakutan saya.
Rasa takut saya terhadap hantu
hilang saat saya mulai sering bertemu dengan hantu. Di tempat kost, di tempat
kerja, di jembatan penyeberangan. Karena terbiasa, akhirnya jadi biasa.
Rasa takut saya terhadap orang
gila hilang secara dramatis. Waktu itu saya masih berstatus mas-mas kantoran di
Jakarta. Lagi nunggu bus di halte, ada orang gila mepet-mepet ke saya. Udah
keringat dingin dan menghindar, si orgil makin ngaco. Dia memukul punggung saya
pakai kardus bekas. Plak!!!
Orang-orang di sekitar pada
ketawa. Merasa dipermalukan, saya emosi. Saya dorong dia sampai jatuh
terjerembab. Habis jatuh gitu, dia buru-buru bangkit. Saya langsung pasang
kuda-kuda. Eh, ternyata begitu dia berdiri, dia langsung pergi sambil meneriaki
saya ‘monyet’.
Sejak kejadian itu, saya sudah
tidak takut lagi sama orang gila. Dulu setiap kali berpapasan dengan orang gila
di jalan, saya pasti ngumpet, atau buru-buru nyebrang jalan. Namun sejak
kejadian itu, saya biasa saja. Malah saking biasanya, pernah saya cuek saja berdiri
dekat orang gila untuk nyetop angkot. Si orang gila melirik saya, saya balas. Apa loe? Eh,
dia lalu ngomong gini ke saya : “Ayo kawin”. Sorry ya, memangnya saya cowok
apa’an?
Preman. Wuihhhhh, ini yang seru.
Saya pernah diintimidasi preman di Pasar Senen. Berada di ambang batas ketakutan,
saya memilih untuk baku hantam dengan preman yang badannya jauh lebih besar
dari saya daripada lari terbirit-birit dan menjadi objek bully-nya setiap hari.
Tapi seingat saya, kami tidak jadi bergumul. Ternyata dia hanya gertak sambal, begitu saya tantangin, eh dia malah mundur teratur. Sejak kejadian itu, saya bebas merdeka melenggang di Pasar Senen, bebas dari hardikan dan intimidasi dia. Yang penasaran dengan kisah saya dengan sang preman, silahkan acak-acak blog saya, karena saya pernah menulis tentang ini juga.
Tapi seingat saya, kami tidak jadi bergumul. Ternyata dia hanya gertak sambal, begitu saya tantangin, eh dia malah mundur teratur. Sejak kejadian itu, saya bebas merdeka melenggang di Pasar Senen, bebas dari hardikan dan intimidasi dia. Yang penasaran dengan kisah saya dengan sang preman, silahkan acak-acak blog saya, karena saya pernah menulis tentang ini juga.
Sejak kejadian itu juga, saya
tidak takut lagi sama preman. Kalau ada preman yang macem-macem, saya sudah
berani bilang “Apa loe!”. Dan memang, sejak kejadian itu saya sudah tidak
pernah lagi berurusan sama preman. Mungkin preman yang dulu nyaris saya hajar
(atau dia yang justru menghajar saya?) sudah ngasih tau ke teman-temannya, “Eh,
itu cowok yang berkacamata dan lumayan manis itu ternyata petarung dan galak lho”.
Sementara fobia saya terhadap
ulat bulu hilang sejak….eh, sejak kapan ya? Oh OK, saya ngaku aja deh. Sampai
detik ini saya masih fobia sama ulat bulu.
Jadi begitulah. Selain ulat bulu,
ada satu hal lagi yang paling saya takuti di dunia ini, yaitu kehilangan orang
yang saya sayangi.
Hidup kan bagai misteri. Kita
nggak pernah tau kapan ajal menjemput. Seperti apa yang dibilangin orang-orang
bijak bahwa syarat mati tidak harus sakit atau tua. Kita bisa aja sekarang
sehat seperti kuda, tetapi besok? Siapa yang bisa menjamin kita masih bisa
berlari atau binal seperti kuda? Silahkan survei orang-orang yang sudah mati,
apakah mereka semua mati karena tua atau sakit? Nggak!
Apalagi ajal kan kehendak Tuhan.
Siapa sih yang bisa menahan atau menunda kehendak Tuhan? Sepinter-pinternya
otak manusia, secanggih-canggihnya tegnologi, tak ada yang bisa menghentikan
kematian. Kamu nggak akan pernah bisa membeli nyawa.
Misalnya nih, anda orang kaya sejagad raya. Trus, ketika sudah waktunya anda mati, anda nggak akan bisa bilang ,”Gini aja deh, monggo ambil semua harta saya, asal saya jangan mati dulu”. Oh, nggak bisa. Siap atau nggak siap, ya harus terima kapan saja nafas ini berhenti mendesah dan jantung ini berhenti berdetak.
Misalnya nih, anda orang kaya sejagad raya. Trus, ketika sudah waktunya anda mati, anda nggak akan bisa bilang ,”Gini aja deh, monggo ambil semua harta saya, asal saya jangan mati dulu”. Oh, nggak bisa. Siap atau nggak siap, ya harus terima kapan saja nafas ini berhenti mendesah dan jantung ini berhenti berdetak.
Saya pribadi nggak pernah takut
sama yang namanya kematian saya sendiri. Saya sih siap, tetapi kalau bisa
jangan sekarang dulu deh. Lha, sama saja bohong.
No, saya nggak bercanda. Saya nggak takut sama sama kematian saya
sendiri. Tapi kematian orang-orang tersayang saya yang membuat saya sangat
ketakutan setengah mati. Mungkin justru
itu yang menjadi ketakutan terbesar saya dalam hidup.
Saya nggak pernah yakin apakah
saya mampu menghadapinya. Saya ragu apakah saya akan bisa melaluinya.
Makanya begitu mendengar kabar
mengenai Kak Jun, dunia saya seperti berhenti berputar sejenak. Saya tiba-tiba
dihinggapi rasa takut yang luar biasa mencekam. Saya tiba-tiba merasa sangat
lemah. Saya mendadak tidak mampu berpikir secara rasional. Saya tidak lagi
konsentrasi bekerja dan berinteraksi. Dunia saya serasa berada di ambang
keruntuhan. Ada kepingan puzzle dalam jiwa yang seperti hilang satu keping.
Hingga akhirnya saya berpikir untuk berhenti bekerja. Saya ingin menghabiskan sisa waktu dengan
menemani Kak Jun. Sisi sentimental saya yang mencuat tinggi membuat saya
berpikir bahwa saat-saat seperti ini Kak Jun seharusnya tidak boleh sendiri.
Namun ketika niat itu saya
sampaikan ke Kak Jun, apa jawaban dia?
“Kamu apa-apa’an sih? Kayak aku
udah mau mati saja. Nggak usah sedrama itu-lah. Aku akan sembuh kok, aku yakin
itu. Kamu boleh datang ke sini, tetapi jangan sekarang. Tunggu aku sehat dulu,
baru kamu datang ke sini, biar aku bisa ajak kamu jalan-jalan sambil diskusi
tentang rencana menulis buku mengenai Cancer
Survivor. Nanti kamu bantuin aku ya bikin bukunya”.
Sudah stadium empat lho, dan ini bukan
flu. Dan Kak Jun masih sangat positif dan optimis begitu. Padahal saya tau,
pada fase stadium itu, penderita kanker sudah mengalami sakit yang luar biasa.
Bahkan konon katanya harus pakai morfin untuk bisa mengurangi rasa sakitnya
sedikit. Hanya mengurangi sedikit saja!
Saya flashback ke beberapa tahun yang lalu.
Saat itu saya dan Kak Jun masih
tinggal serumah. Kesibukan Kak Jun yang luar biasa membuat Kak Jun sering
meminta saya untuk membereskan dan merapikan kamarnya, bahkan kadang mencuci
bajunya. Ya, saya nggak keberatan jadi ‘babu keren’ untuk Kak Jun karena hubungan
kami memang sedekat itu.
Dia tau dari kecil saya hobby merapikan barang-barang yang berantakan. Dia tau sejak kecil saya rajin nyuci dan nyetrika baju. Dia tau saya senang mengerjakan itu semua.
Saat beres-beres kamarnya itu saya menemukan banyak obat-obat aneh dan peralatan untuk membalut luka di atas mejanya. Sebenarnya waktu itu saya sudah curiga, ini semua untuk apa. Apalagi saya baca petunjuk dalam bungkus oabat-obat sejenis herbal itu sepertinya untuk keperluan penyakit kelas berat.
Dia tau dari kecil saya hobby merapikan barang-barang yang berantakan. Dia tau sejak kecil saya rajin nyuci dan nyetrika baju. Dia tau saya senang mengerjakan itu semua.
Saat beres-beres kamarnya itu saya menemukan banyak obat-obat aneh dan peralatan untuk membalut luka di atas mejanya. Sebenarnya waktu itu saya sudah curiga, ini semua untuk apa. Apalagi saya baca petunjuk dalam bungkus oabat-obat sejenis herbal itu sepertinya untuk keperluan penyakit kelas berat.
Saya sempat sih tanya ke Kak Jun,
itu obat-obatnya untuk apa dan kenapa ada perban untuk membalut luka? Karena
setau saya, Kak Jun baik-baik saja.
Kak Jun hanya bilang bahwa
obat-obat herbal itu hanya suplemen, dan perban pembalut luka itu hanya untuk
jaga-jaga saja, siapa tau nanti perlu.
Saya tidak percaya begitu saja, tetapi Kak Jun sudah memberi saya tatapan khas. Tatapan khas yang saya tau artinya adalah bahwa saya nggak usah cerewet bertanya. Tatapan khas yang ngasih kode kalau Kak Jun tidak nyaman ditanya-tanya perihal obat itu. Saya mengerti, saya tidak bertanya-tanya lagi.
Saya tidak percaya begitu saja, tetapi Kak Jun sudah memberi saya tatapan khas. Tatapan khas yang saya tau artinya adalah bahwa saya nggak usah cerewet bertanya. Tatapan khas yang ngasih kode kalau Kak Jun tidak nyaman ditanya-tanya perihal obat itu. Saya mengerti, saya tidak bertanya-tanya lagi.
Tak peduli sepenasaran apa saya,
tetapi saya masih bisa menahan diri untuk tidak bertanya jika saya tau
pertanyaan saya akan membuat orang yang saya tanya merasa tidak nyaman.
Bukankah setiap orang berhak untuk punya privasi dan rahasia? Privasi dan
rahasia yang kita tidak wajib tau. Privasi dan rahasia yang hanya dia dan Tuhan
saja yang perlu tau.
Di keluarga kami, Kak Jun adalah
orang yang paling menjaga kesehatan. Cuma mau makan makanan sehat. Camilannya
aja sayuran. Trus, dari kuliah sudah hobby hiking,
tenis dan renang. Gara-gara dia lho makanya saya termotivasi agar bisa
berenang.
Cerewet soal makanan sehat, bukan
berarti Kak Jun menjadi orang menyebalkan. Misalnya nih saya beli gorengan atau
soft drink. Dia akan ngomel, “Ngapain
sih kamu makan beginian?”. Tapi habis ngomong begitu, dia comot satu, lalu
dikunyah. Yeeee, tadi melarang, ternyata mau juga.
Sejak kecil, saya terbiasa
melihat perempuan-perempuan tangguh: mama dan kedua kakak perempuan saya adalah
perempuan-perempuan tangguh. Makanya kalau ada perempuan menye-menye dan
cengeng, rasanya pengen langsung saya ceburin ke laut.
Satu lagi, Kak JUn adalah seorang petarung.
Dulu waktu saya masih kecil, saya sering diajak Kak Jun jalan-jalan. Kak Jun kan lumayan cantik, jadi kadang ada saja cowok yang gimana gitu, nyuitin-lah, godain-lah. Kalau masih dianggap wajar, Kak Jun akan cuek saja. Tetapi kalau sudah keterlaluan, Kak Jun akan melabrak, bahkan tidak segan-segan mukul.
Dulu waktu saya masih kecil, saya sering diajak Kak Jun jalan-jalan. Kak Jun kan lumayan cantik, jadi kadang ada saja cowok yang gimana gitu, nyuitin-lah, godain-lah. Kalau masih dianggap wajar, Kak Jun akan cuek saja. Tetapi kalau sudah keterlaluan, Kak Jun akan melabrak, bahkan tidak segan-segan mukul.
Pernah kejadian, waktu dari
perjalanan dari Tarutung ke Medan naik bis, saya dan Kak Jun berdua saja. saya masih SD, Kak Jun sudah kuliah. Saat
bus lagi berhenti, kita turun untuk makan. Pas lagi makan, di meja sebelah ada
gerombolan cowok-cowok juga makan. Mereka makan sambil ngobrol dan tertawa-tawa
berisik.
Mungkin karena waktu itu saya masih kecil, saya tidak mengerti apa
yang sedang dibicarakan cowok-cowok itu sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba Kak Jun
berdiri, menghampiri meja sebelah, mendekati cowok yang paling besar badannya.
Kerah bajunya ditarik, diseret dari kursinya sampai jatuh.
“Ngomong apa tadi?”, bentak Kak
Jun galak. Saya saja sampai ternganga
menyaksikannya. Kaget sekaligus ketakutan. Takut kalau si cowok marah dan
memukul Kak Jun. Badannya besar banget, gila! Kak Jun cuma setinggi ketiaknya.
Seisi rumah makan terdiam.
Teman-teman si cowok yang tadi tertawa-tawa mendadak mengkeret kayak kucing
basah. Si cowok bangkit berdiri, mengibas bagian belakang celananya
membersihkan debu.
“Ahhh, ito ini nggak bisa diajak
bercanda”, ujarnya kikuk sambil duduk kembali ke kursinya. ‘Ito’ adalah istilah dalam
bahasa Batak sebagai panggilan sopan kepada orang lain (dari jenis kelamin yang
berbeda) yang dianggap seumur atau sebaya.
Nggak mau jadi pusat perhatian,
Kak Jun menarik tangan saya, dan kami langsung masuk ke dalam bus. Tau bahwa
saya masih ketakutan setengah mati, Kak Jun merangkul saya.
“Nggak apa-apa. Kakak tadi cuma
mau memberi pelajaran. Dia nggak sopan”. Saya cuma manggut-manggut.
“Kenapa nggak pukul semuanya saja?”,
tanya saya polos. Lha, tadi katanya ketakutan, kok sekarang malah jadi
provokator?
“Mereka kan banyak, nggak mungkin
mukul semua. Jadi pukul ketuanya saja. Kalau ketuanya sudah kalah, anggotanya
pasti ikut kalah walaupun nggak diapa-apain”.
Wow, strategi berkelahi yang keren nih. Tips yang jitu kalau berkelahi dengan banyak lawan sekaligus.
Wow, strategi berkelahi yang keren nih. Tips yang jitu kalau berkelahi dengan banyak lawan sekaligus.
Sebelum bis kembali melaju dan
saat semua penumpang sudah naik kembali, si cowok yang tadi gubrak, tiba-tiba
naik ke dalam bis. Ngomong sesuatu ke kakak saya dengan sopan, lalu mereka
salaman. Ciyeeee, ciyeeee…
“Nggak harus nunggu selesai kuliah dulu baru nyari kerja”, celutuk Kak Jun suatu ketika waktu kami sedang dalam perjalanan pulang sehabis menjemput saya pulang kuliah dari kawasan Blok M. Kadang tiga hari dalam seminggu jam pulang kuliah saya barengan dengan jam pulang kantor Kak Jun, jadi kadang dia menyempatkan diri menjemput saya ke kampus.
“Aku bisa kerja di kantor kakak?”
“Heh, nggak ada yang
begitu-begitu. Mau kerja ya cari sendiri, usaha sendiri. Biar tau bahwa cari kerja itu susah-susah
gampang. Biar kamu belajar bahwa cari kerja itu susah kalau kamu nggak punya skill, tetapi gampang kalau kamu punya skill".
"Kamu bisa saja aku masukkan kerja di kantorku. Tetapi aku nggak mau seperti itu. Itu terlalu gampang. Aku mau kamu usaha cari kerja sendiri. Biar tau gimana susahnya berjuang”.
"Kamu bisa saja aku masukkan kerja di kantorku. Tetapi aku nggak mau seperti itu. Itu terlalu gampang. Aku mau kamu usaha cari kerja sendiri. Biar tau gimana susahnya berjuang”.
“Kalau bisa gampang, ngapain
nyari yang susah?”, saya masih ngeyel.
“Jangan bodoh. Kalau gampang, kamu
nggak akan pernah belajar. Kalau gampang, kamu nggak akan pernah berjuang. Kamu
akan gampang sombong dan tinggi hati kalau semua serba mudah dan gampang”.
Begitulah. Dengan relasi dan
koneksi segudang, Kak Jun sebenarnya gampang saya menitipkan saya ke banyak
kantor atau perusahaan. Tetapi Kak Jun lebih mendorong saya untuk mencari
sendiri, bertemu orang-orang yang tidak kenal saya dan Kak Jun, membangun
interaksi dan relasi dengan orang-orang baru.
Saat itu saya masih kuliah, dan
mungkin karena saya memang punya skill,
dan setelah melalui beberapa ujian dan perjuangan, saya berhasil mencicipi
karir pertama saya di instansi internasional. Saya melamar ke sana juga atas
anjuran Kak Jun.
“I’m very proud of you”. Begitu kalimat singkat Kak Jun ketika saya
kabari mengenai karir pertama saya.
Kak Jun bukan hanya kakak buat
saya. Kak Jun juga adalah mentor, motivator dan role model. Waktu masih sekolah dulu, dari SD sampai SMA, guru-guru
saya semuanya kenal Kak Jun. Konon katanya dia siswa yang pintar.
Gara-gara dia pintar, itu jadi ‘beban’ buat saya. Karena sedikit-sedikit, guru-guru saya akan ngomong, “Kakakmu dulu pinter, kok kamu enggak?”. Heh, bukan urusanmu ya! Kesal kan kalau dibanding-bandingin?!
Gara-gara dia pintar, itu jadi ‘beban’ buat saya. Karena sedikit-sedikit, guru-guru saya akan ngomong, “Kakakmu dulu pinter, kok kamu enggak?”. Heh, bukan urusanmu ya! Kesal kan kalau dibanding-bandingin?!
Sebagai anak sulung, Kak Jun juga
selalu menjadi contoh yang baik untuk ditiru adik-adiknya. Mulai dari langganan
juara kelas, dapat beasiswa, supel dalam pergaulan, temannya banyak, pemberani,
lulus PTN, lulus kuliah dengan predikat terbaik, begitu lulus langsung dapat
tawaran kerja dari beberapa perusahaan. Pokoknya nyaris sempurna dan buat saya
pribadi agak susah untuk bisa mengikuti jejak langkahnya.
Saya dengan Kak Jun
lumayan akrab, mungkin karena saya anak bungsu, dan dia anak sulung. Meski saya
sudah sebesar kingkong remaja, Kak Jun masih suka menjewer telinga saya atau
menendang saya saat lagi gemas atau kesal, persis yang sering dia lakukan waktu
saya masih kecil.
Saat dia mau kemana-mana, dia
akan terlebih dahulu tanya ke saya apakah warna bajunya matching dengan warna sepatunya. Meneketehe! Emangnya saya Ivan
Gunawan?
Tetapi walaupun saya selalu menjawab asal-asalan, tetap saja lain
waktu dia akan tetap ‘konsultasi’ ke saya. Sekedar member siratan pesan bahwa
opini saya penting buat dia.
Lain waktu giliran saya yang mau
kemana-mana, tanpa saya minta Kak Jun akan mengawasi saya pakai baju apa.
Meskipun saya nggak pernah minta pendapat Kak Jun, tetapi ada saja dia memaksa
punya kontribusi dalam penampilan saya.
Merapikan kerah baju-lah, menepuk-nepuk bagian belakang karena kotor akibat tadi
sempat nyender di tembok.
Tak lupa pertanyaan wajib, “Jam berapa nanti pulang? Jangan malam-malam”.
Idihhhh, suka-suka gue mau jam berapa pulang.
Idihhhh, suka-suka gue mau jam berapa pulang.
Hubungan saya dengan Kak Jun juga
nggak selalu harmonis. Kadang damai, kadang gencatan senjata. Paling sering sih
rusuh karena saya malas makan sayur.
“Kamu nggak sadar badan kamu udah
kayak lidi, masih saja malas makan sayur”, omelnya. Biarin. Biar kurus, yang
penting manis.
Pernah juga saya bertengkar hebat
dengan Kak Jun sampai salah satu dari kami menangis. Jika anda mengira Kak Jun
yang menangis, tebakan anda salah. Saya yang menangis. Catet itu! Padahal waktu
itu saya sudah kuliah. Nggak tau malu ya?
Tetapi Kak Jun memang kakak yang
baik. Setelah berantem, biasanya akan diam-diam’an dulu seharian. Saya sih
tahan diam-diam’an sampai kiamat. Tetapi besok paginya Kak Jun udah cari alasan
untuk baikan. Minta tolong dicuci’in mobilnya-lah, minta tolong dipijitin
kakinya-lah, minta tolong dicari’in sepatunya-lah.
Tetapi buat saya, hubungan yang
fluktuatif begitu yang membuat saya dekat dengan Kak Jun. Hubungan yang kadang
damai kadang perang itu yang membuat hubungan saya dengan Kak Jun sempurna.
Kak Jun itu suka kasih masukan
tanpa diminta. Kita awalnya sebal, tetapi pada akhirnya akan berkata ,”Benar
juga ya”.
Saya paling tidak bisa bilang
‘tidak’ sama Kak Jun. Kalau disuruh begini dan begitu pasti mau. Misalnya
disuruh loncat jurang, saya mungkin bakal mau. Untungnya saya nggak pernah
disuruh melakukan hal-hal yang aneh. Karena sejak kecil sudah terbiasa melihat
Kak Jun sebagai role model, apa yang
dia suruh lakukan pasti baik dan berguna, dan memang terbukti.
Bahkan di usianya yang sudah
mendekati setengah abad, Kak Jun masih mampu punya karir yang bagus dan masih
menjadi rebutan beberapa perusahaan bonafid (baik nasional maupun
internasional) untuk diajak bergabung. Posisi terakhir Kak Jun menjelang akhir
hayatnya adalah Legal Manager
perusahaaan yang berpusat di Singapura.
“Tahun lalu aku sudah divonis
dokter hanya akan hidup enam bulan lagi. Nyatanya, enam bulan sudah berlalu dan
aku masih segar bugar. Aku sudah melewati batas waktunya, tandanya aku akan
sembuh”, ujar Kak Jun bulan Maret lalu.
Di tengah dera sakit kanker stadium
empat dimana efek kanker sudah menimbulkan luka ukuran besar yang sangat terbuka,
Kak Jun masih menyemangati saya dengan suaranya yang mulai terdengar lemah.
Ya,
dia justru sibuk memberi harapan dan semangat kepada orang lain. Memberi pesan
bahwa kalau kanker tidak bisa dilawan dengan obat, maka kanker harus dilawan
dengan semangat hidup dan harapan.
Melihat semangat hidup dan
harapan Kak Jun, akhirnya tumbuh juga harapan dalam hidup saya. Dia aja
semangat dan tidak putus asa, kenapa saya nggak? Sejak itu, setelah beberapa
minggu saya sempat kehilangan fokus dan semangat dalam bekerja, saya kembali
pada ritme hidup saya sebelumnya. Kak Jun mengembalikan irama hidup saya
kembali normal setelah sebelumnya sempat kacau.
Saya percaya keajaiban. Sebuah
bentuk energi dan kekuatan di luar nalar manusia, tetapi bisa saja terjadi.
Tetapi saya tidak ingin sebatas menunggu keajaiban. Saya ingin mengundang
keajaiban apapun caranya. Saya ingat cerita teman saya yang orang Jepang.
Katanya di Jepang, mandi dengan pakaian lengkap saat jam dua belas malam
dipercaya bisa mengabulkan harapan. Entah ini dianggap musryik atau tidak, saya
melakukannya.
Untung malam itu turun hujan.
Jadi ketika saya pulang ke mess,
teman-teman satu mess saya tidak
terlalu keheranan melihat saya basah kuyup. Mereka pikir saya kehujanan,
padahal tidak. Saya baru saja mengguyur badan saya masih memakai pakaian
lengkap di kamar mandi belakang.
Teman saya yang orang Brazil,
mengatakan bahwa di negaranya ada kepercayaan jika kita naik ke atap gedung
paling tinggi pada malam hari dan berdoa dari sana, niscaya doa kita akan
dikabulkan. Asal doanya yang masuk akal, bukan yang mengada-ngada. Misalnya doa
kesembuhan penyakit, bukan doa minta mobil mewah dan tujuh bidadari.
Itu juga saya lakukan. Kebetulan
kantor saya termasuk gedung yang tinggi di kota ini. Malam-malam menjelang jam
duabelas malam, saya mengendap-endap seperti maling karena malu kalau ketahuan
sekuriti kantor saya yang jaga duapuluh empat jam. Bukannya saya takut ketahuan, tetapi
males memberi penjelasan ngapain saya naik ke rooftop kantor tengah malam begitu.
Begitu sampai di rooftop, aduhhhh sial…ternyata gedung
sebelah masih lebih tinggi atapnya. Untung di rooftop masih ada ruangan laundry,
jadi saya memanjat ke atap laundry.
Nah, sekarang posisi saya sudah lebih tinggi dari semua gedung dikota ini. Dan
sayapun berlutut dan berdoa. Horeee….
Selanjutnya, hari-hari saya
berjalan normal. Namun walaupun begitu, setiap dering telepon di ponsel saya
membuat saya selalu terhenyak. Tahan
nafas, deg-degan melihat nomor panggilan di layar. Hari-hari saya terasa sangat mencekam rentang bulan Maret sampai Juli.
Kak Jun adalah kakak yang royal.
Dia tidak pelit memberi uang, tetapi jarang membelikan barang untuk saya. Tahun
lalu tiba-tiba saya dia datang ke Tarutung sambil membawa laptop untuk saya.
“Aku kan punya laptop, Kak”. Saya
pura-pura gak butuh, tetapi laptopnya tetap saya cengkeram dengan erat, takut
diambil lagi.
“Iya, tetapi itu bukan dari aku.
Nah, yang ini dari aku”, jawab Kak Jun waktu itu.
Hari berikutnya, dia menelepon
saya lagi.
“Hei, aku lagi di toko baju. Kamu
mau dibeli’in baju yang gimana?”.
Spontan saya jawab, “Kemeja
lengan panjang warna putih”. Seminggu kemudian, beneran. Saya dikirim kemeja
putih dengan bonus sepatu pantofel warna hitam.
Sekarang semuanya jadi masuk
akal. Dia ingin memberi kenang-kenangan. Dia memang optimis dan semangat
hidupnya tinggi. Tetapi Kak Jun juga mempersiapkan diri untuk kemungkinan di luar
harapan.
Tanggal 6 Agustus 2016, kira-kira
jam sembilan pagi. Saat itu saya sedang sarapan. Ponsel saya berbunyi. Saya
tersentak. Melirik nomor panggilan di layar. Nomor tante saya yang selama
beberapa bulan ini menemani Kak Jun di Batam. Jantung saya berdegup lebih kencang. Tangan saya
mendadak kaku. Sampai akhirnya dering telepon berhenti, saya tidak berani
mengangkat ponsel saya.
Beberapa menit kemudian, ponsel
saya berbunyi. Saya lirik, masih dari nomor panggilan yang tadi: nomor tante
saya. OK, saya harus angkat.
“Hallo…”
“Rys, kamu harus kuat ya. Kamu
pulang sekarang, temani Mama. Kak Jun sudah koma. Dokter bilang hari ini Kak
Jun mungkin akan pergi”.
Saya terdiam. Mata saya panas.
Tak sanggup berkata apa-apa lagi, namun saya masih percaya keajaiban di
saat-saat terakhir. Meskipun saya sudah
menangis, saya menangis bukan karena putus harapan. Saya hanya terkejut. Ini
sangat berat, terlalu berat menurut saya untuk saya hadapi sepagi ini.
Setelah menenangkan diri, saya
balik ke kantor. Dalam perjalanan, saya masih bisa bersandiwara, pura-pura
tidak ada kejadian apa-apa. Saya bahkan masih sempat menyapa dan bercanda
dengan orang-orang yang saya kenal yang kebetulan berpapasan di jalan.
Begitu naik angkot menuju pulang
ke rumah, tangis saya pecah. Abang sopirnya sampai kaget dan panik, dikira saya
baru dirampok atau sakit. Saya bilang nggak ada apa-apa. Saking prihatinnya si
abang angkot, dia sampai nggak ambil penumpang lagi, dia langsung tancap gas
sampai ke Tarutung, diantarin sampai ke depan rumah saya.
Begitu masuk ke rumah, ponsel
saya berbunyi lagi. Dari nomor tante.
“Rys, Kak Jun sudah nggak ada”.
Dan semua tiba-tiba hambar, semua seolah tak lagi berarti. Saya sudah tak
sanggup lagi. Saya kecewa. Saya marah.
Namun tiba-tiba saya teringat
nasehat Kak Jun dulu. Dalam situasi seberat dan sesusah apapun, jangan berbuat
atau bertingkah sesuatu yang membuat situasi tambah susah dan berat. Tetap
positif, supaya orang-orang sekelilingmu juga terpengaruh energi positifmu.
Di hadapan Mama, saya berusaha
terlihat tegar dan tenang seperti pesan Kak Jun dulu.
“Ma, ini yang terbaik. Kak Jun
sudah nggak sakit lagi. Dia sudah tenang. Kak Jun sudah pergi”. Mama menangis,
saya memeluk Mama, ikut menangis, namun tetap bersikap tenang. Karena saya tau Kak
Jun mau saya bersikap seperti itu.
Saya tau Kak Jun sudah berjuang.
Saya tau bahkan di akhir hidupnya Kak Jun tetap menyebarkan semangat hidup dan
harapan. Kak Jun tidak kalah dalam perjuangannya. Tuhan telah mengambil alih
pertempuran itu agar Kak Jun bisa beristirahat setelah sekian lama berjuang.
Selamat jalan, Kak Jun…
PS:
Buat anda yang punya anak, adik
atau keponakan yang masih sekolah, titip pesan kepada mereka agar rajin sekolah
dan belajar yang benar, supaya kelak bisa menemukan obat kanker. Tuhan tidak
menciptakan masalah tanpa solusi. Tuhan juga tidak menciptakan penyakit tanpa
obat. Saya yakin kanker (dan penyakit menyebalkan lainnya) ada obatnya.
Tetapi kita mungkin masih butuh
waktu, butuh belajar dan bekerja keras lagi serta lebih mengandalkan bimbingan
& petunjuk Tuhan sebelum akhirnya kita menemukan obat untuk kanker. Kita
sudah cukup kehilangan orang-orang yang kita sayangi akibat kanker. Enough is enough. Jika penemu obat
kanker bukan dari generasi kita, mungkin dari generasi selanjutnya.
Yang jelas, saya (dan semoga anda
juga) yakin kita akan menemukan obatnya. Harus kita temukan! Mungkin penemunya
adalah salah satu dari anak, adik atau keponakan kita. Who knows?
0 komentar:
Posting Komentar