08/11/16

AGAMA Dinista? Senyum Aja!


Saat kisruh kasus penistaan agama, salah seorang sahabat saya yang beragama yang berbeda dengan saya iseng bertanya kepada saya.

“Rys, kalau misalnya kamu ada di posisi saya. Ada umat agama lain menistakan agamamu, apa yang akan kamu lakukan?”.

Saya bersyukur pertanyaan ini diajukan kepada saya saat saya sudah relatif dewasa, usia dimana saya sudah lebih kalem, berpikir dulu sebelum bicara atau bertindak.

Coba kalau pertanyaan ini diajukan ke saya saat saya masih dalam rentang umur delapan belas tahun sampai duapuluh empat tahun, usia dimana saya sedang darah muda, labil dan alay parah, saya pasti tanpa mikir akan langsung jawab, “Saya bakar kepalanya”, “Saya ceburkan ke laut”, “Saya gantung terbalik, kaki di atas, kepala di bawah, di atas periuk berisi air mendidih".

Ya, pertanyaan di atas memang cukup menggelitik. Apa yang akan kamu lakukan jika agamamu dinista?

Saya pribadi sih nggak peduli. Sumpah, saya nggak peduli.

Bukan berarti saya menganggap agama saya tak bernilai ya. Tetapi justru saya memberi nilai yang tak terhingga atas agama saya, begitu tak terhingga sampai jauh di atas batas jangkauan manusia. Jadi saat saya memposisikan agama saya seperti itu, tak ada alasan orang lain untuk menjangkau agama saya untuk dinistakan. Nehi-lah yawwww…

Bukankah agama, iman, Tuhan dan hal-hal ilahi lainnya tidak berwujud atau kasat mata? Tidak berwujud tetapi sangat kita anggap sangat sakral. Tidak bisa disentuh, hanya bisa diimani dan dipercayai eksistensinya. Sesuatu yang bakan berada di luar nalar dan logika manusia.

Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa disentuh, bisa dinistakan? Justru jika saya menganggap agama saya bisa dinistakan, berarti saya memposisikan agama saya begitu rendah sehingga bisa dijangkau manusia jahat yang bermaksud menista.
Berarti saya memposisikan agama saya sebagai benda biasa, yang bisa disentuh oleh manusia dengan tujuan mengurangi nilainya.
Seperti piring atau gelas yang bisa dipukulkan ke kepala menantu yang nyebelin sehingga bocel, sehingga mengurangi nilainya. Maksudnya, nilai piring atau gelasnya lho yang berkurang, bukan nilai menantunya. Eh tetapi tergantung juga sih, mana yang bocel: piring/gelasnya atau kepala menantunya.

Ketika ada gereja dibakar, apakah itu mempengaruhi iman saya? TIDAK! 

Dari kecil saya diberi pemahaman oleh orangtua saya bahwa gereja itu bukan gedungnya.
Dulu saat Mama saya mengajak saya kebaktian setiap malam setelah mengerjakan PR, saya sering berdalih ,"Kebaktian kan harusnya di gereja, bukan di rumah". Mama saya menjelaskan bahwa bahkan tanpa ada gedung gereja, ketika ada sekumpulan orang bersekutu memuji dan memuliakan Tuhan, itu sudah disebut gereja.

Yang membuat gedung tersebut menjadi gereja adalah ketika ada persekutuan orang-orang dengan kepercayaan yang sama yang menggunakannya untuk ritual agama seperti pujian dan persembahan. Gereja tanpa ada aktifitas keagamaan di dalamnya, ya cuma gedung biasa. Yang membuat dia menjadi gereja adalah orang-orangnya.
Jadi ketik gereja dibakar, iman saya ikut terbakar? Nggak-lah! Hanya jiwa saya saja yang terbakar, terbakar api cintamu. Tsahhhhhhh.....

Ketika Alkitab diinjak-injak orang, apakah itu mempengaruhi iman saya? TIDAK!

Alkitab mau diinjak-injak, mau dibakar, toh itu tidak akan mengurangi untaian ayat-ayat suci yang ada di dalamnya. Yang membuat kitab suci itu suci itu bukan kitabnya, tetapi isinya. Esensi dari kitab suci adalah ayat-ayat yang ada di dalamnya yang diaplikasikan ke dalam hidup, bukan bentuk fisiknya: kitab.
Imani saja isinya, kitabnya mau diapa-apain juga nggak bakal ngaruh toh? Kecuali kita mengimani bentuk fisiknya saja, bukan esensinya.

Saya malah berpikir kalau saya sampai memperlakukan Alkitab begitu berlebihan, saya kok jadi seperti kaum animisme: mengkultuskan/mempertuhankan benda mati. Yang saya tau dari 10 Firman Tuhan yang hits itu, hal-hal seperti ini yang justru bikin Tuhan keki. Tuhan kan Maha Esa, masa didua'in? Didua'in dengan benda mati lagi. Saya aja ogah digituin, apalagi Tuhan?!

Saya teringat ketika salah satu teman BBM (zaman Blackberry masih hits) saya menggunakan foto profil dengan gambar bokong kambing yang dengan tehnik photoshop yang canggih rektum kambing dimodifikasi sedemikian rupa sehingga membentuk figur Yesus di kayu salib. Reaksi pertama saya malah, “Astaga, papa mamanya kemana? Kok anaknya nggak dididik sehingga nganggap hal begini sebagai sesuatu yang lucu”.

Saya sampai sekarang dengan teman saya tersebut masih berteman, bahkan saat ketemu seolah tak pernah terjadi apa-apa. Walau saya yakin dia tau bahwa dia pernah "menistakan" Tuhan saya, sehingga awal pertama jumpa dia sempat merasa tidak enak sama saya. Dan dia makin kikuk karena saya masih tetap baik dan perhatian sama dia.

Dalam iman saya kan Yesus itu Tuhan, apa iya seorang manusia yang kekanak-kanakan begitu bisa melecehkan Yesus? Kalau saya menganggap dia berhasil melecehkan Yesus, berarti saya memposisikan Yesus setara dengan dia. Nah, dengan anggapan seperti itu bukankah justru saya sendiri yang telah melecehkan Yesus? Nah lho…

Di kantor saya dulu, saya menjadi agama minoritas. Ada salah seorang rekan kerja yang sepertinya bigot sejak lahir sangat sentiment dengan saya karena agama saya berbeda. Pokoknya kalau ada apa-apa, pasti dia sering nyelutuk, “Loe sih kafir”. Nadanya memang bercanda, tetapi emang nyakitin hati banget.
Kalau menuruti emosi saya pasti sudah tubruk dia, lalu bergelut bergulingan di tepi jalan raya. Emang kenapa sih dengan agama saya? Emang agama saya otomatis langsung membuat saya berlabel manusia payah?

Pada suatu kesempatan, saya akhirnya menjawab celutukannya. “Iya, gue memang kafir. Tetapi kenyataannya, gue yang dapat promosi dari bos yang seagama dengan loe, Supervisor yang seagama sama loe lebih percaya gue daripada loe, teman-teman yang seagama sama loe lebih memilih satu tim dengan gue daripada sama loe”.

Dia diam, karena memang benar kok. Dia boleh menghina agama saya (yang menurut dia bisa dihina). Tetapi kenyataanya saya malah merepresentasikan bahwa agama yang dia anggap rendah itu justru manusianya lebih baik dari dia dalam kehidupan nyata.
Mudah-mudahan sih dia dapat pencerahan bahwa kwalitas seseorang itu tdak ditentukan oleh apa agamanya, tetapi bagaimana hidupnya bernilai dan berguna untuk orang lain & Tuhan.

Balik lagi ke pertanyaan teman saya, “Bagaimana jika agama, kitab suci & Tuhan saya dilecehkan oleh umat lain?”.

Saya sih senyum aja, karena saya punya jawaban dan alasan yang mungkin tidak semua orang bisa paham dan mengerti. Toh, prinsip yang saya pegang dalam hidup saya adalah untuk diri saya sendiri. Tidak mungkin saya memaksakan prinsip hidup saya menjadi prinsip hidup orang lain. Karena pemikiran seperti ini yang membuat saya merasa damai dan bahagia menjalani hidup.

Rugi banget mengisi hidup dengan murka berkepanjangan hanya karena ulah orang yang kekanak-kanakan yang memang bertujuan pengen bikin hidup kita tidak tenang dan bahagia.

Senyumin aja...
Share:

0 komentar:

Posting Komentar