20/06/17

Kapan MENIKAH?

Hari raya selalu identik dengan mudik. Identik bukan berarti wajib. Tetapi buat yang lagi merantau, entah itu merantau karena bekerja atau kuliah, rasanya kurang afdol kalau tidak berkumpul dengan keluarga di hari yang istimewa.

Mudik. 
Mendengar kata mudik yang terbayang pasti senangnya ketemu keluarga setelah ditinggal selama beberapa waktu lama, berkumpul bersama setelah sekian lama terpisah ruang dan waktu. Hallah…ruang dan waktu!
Tetapi untuk sebagian orang, mudik bisa menjadi semacam dilema: antara senang dan sebal. Khususnya buat perantau yang sudah bekerja tetapi belum menikah.

Membayangkan acara kumpul dengan keluarga di kampung halaman, amboy nikmatnya. Tetapi kebayang dicecar dengan pertanyaan wajib “kapan menikah?”, langsung bikin malas dan bad mood. Yang bertanya bukan hanya dari pihak keluarga, tetapi juga tetangga, Pak Lurah, tukang sayur keliling dan pihak-pihak yang tidak berkepentingan lainnya. Pokoknya kalau tau seseorang itu belum menikah, pasti langsung dicecar dengan pertanyaan “Kenapa belum menikah?”. Wong orang yang baru pacaran dua hari saja sudah langsung ditanya “Kapan rencananya mau menikah?”.

Yes, buat sebagian besar orang-orang di kampung, menikah itu seolah tujuan akhir dari kehidupan. Tidak peduli sesukses apa karirmu atau sehebat apa jabatanmu, jika belum menikah, segalanya seolah sia-sia dan tak bermakna.

Mereka lupa kita bukannya malas atau tidak berminat menikah, sehingga mereka tidak sadar bahwa pertanyaan yang berulang-ulang itu lama-lama membuat kita tidak nyaman. Siapa sih yang tidak ingin menikah? Siapa sih yang tidak kepingin punya pasagan seumur hidup? Siapa sih yang tidak ingin punya keturunan?

Masalahnya, menikah itu keputusan seumur hidup. Apalagi buat orang-orang yang menganggap bahwa pernikahan itu sakral dan hanya sekali seumur hidup (karena dalam janji yang terucap ada kalimat till death do us apart).

OK, mungkin untuk sebagian orang keputusan menikah itu adalah keputusan sederhana: menikah, berkembangbiak, punya anak dan live happily ever after seperti kisah Cinderella. Padahal akhir kisah hidup tidak selalu seindah kisah hidup Cinderella, tetapi bisa juga berakhir seperti kisah hidup Jack dan Rose di film Titanic. Referensinya jadul banget ya, jadi ketahuan umur sudah tak lagi belia.
Buat yang berpikir bahwa menikah adalah keputusan sesederhana itu, well...good for you, but it doesn't mean it's good for everyone.

Banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk menikah. Harus benar-benar yakin bahwa kita tidak salah pilih pasangan. Karena kita akan ketemu dia setiap hari, hidup bersama, tidur bersama, 'tidur' bersama **if you know what I mean**, makan bersama, berkomitmen bersama, semua serba bersama.
Kita juga tidak hanya menikah dengan satu orang, tetapi 'menikah' dengan banyak orang. Maksud loe?
Jadi begini. Menikah seseorang berarti keluarga kita nambah. Keluarga dia akan menjadi keluarga kita. Ya iya dong, kecuali menikah dengan sebatang pohon, berarti keluarga yang bertambah ya cuma sebatang pohon itu tok.
Kalau menikah dengan manusia, dia punya ayah ibu, kakak adik, om tante, pakde bukde, kakek nenek, handai tolan, pokoknya segudang yang nantinya akan menjadi bagian dari diri kita. Kalau bisa sih setelah menikah, ya tetap akur sama mertua dan para ipar. Jangan akurnya sama istri/suami saja, tetapi sama the in laws malah pertempuran melulu.

Kebayang setelah pernikahan, kita baru sadar ternyata dia begini dan begitu. Parahnya, begini dan begitunya dia itu bukan sesuatu yang bisa kita tolerir. Hasilnya? Pernikahan menjadi penjara seumur hidup: kamu terikat pada sesuatu/seseorang yang sudah tidak kamu inginkan lagi.

Finansial mungkin sudah OK. Sudah bisa beli rumah dan kendaraan untuk modal hidup bersama. Tetapi mental bagaimana? Apakah sudah siap dengan komitmen. Segala sesuatu yang tadinya dimiliki dan diputuskan sendiri, setelah menikah wajib dimiliki dan diputuskan berdua. Siapkah dengan perbedaan opini dan keinginan? Siapkah mengalah demi mencegah konflik?

Mental mungkin sudah OK. Bahkan sudah pengen menikah sejak masa puber meraja. Saya saja dulu waktu puber lagi di puncak-puncaknya, pernah kepikiran mau langsung kawin, eh menikah setelah lulus SMA. Soalnya cuma kebayang enaknya, belum kepikiran yang lain-lain.
Nah, balik lagi ke masalah mental. Mental mungkin sudah siap grak, tetapi kemudian melihat kenyataan bahwa cinta saja tidak cukup untuk menjadi modal menikah. Karena setelah menikah, tidak mungkin tidur emperan toko atau berburu dulu ke hutan belantara kalau mau makan.

Finansial dan mental sudah siap, tetapi kok belum juga menikah? Hidup kita mungkin sudah bahagia dan kita sangat menikmatinya. Lalu kita berpikir bahwa pernikahan belum tentu menjamin kebahagiaan, lalu kamu menunda untuk menikah untuk jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Apakah ini sesuatu yang salah? Well, ini kan hidupmu. Hidup yang akan kamu jalani sendiri, bukan orang lain.

Mungkin pasangan yang selingkuh adalah karena tidak bahagia dengan pernikahannya. Mungkin dulu menikah karena dijodohkan atau bukan karena keinginan sendiri. Mungkin ada pernikahan yang dijodohkan yang berhasil. Tetapi apakah akan berhasil juga untukmu? Oh, belum tentu.

Misalnya nih, sudah menikah. Trus merasa kurang pas **entah apalah yang kurang pas, pokoknya kurang pas aja**, ya udah...cerai! Simpel toh?
Untuk sebagian orang memang bisa saja berpikiran seperti itu. Good for you. Tetapi beberapa orang yang menganggap pernikahan itu sebagai sesuatu yang sakral. Sakral maksudnya prosesinya bukan sesederhana dialog "Kawin yuk!", trus dijawab "Yuk ah!". Sakral karena prosesinya melibatkan restu dari masyarakat dan Tuhan. Kalau sudah melibatkan Tuhan, seharus tidak boleh sembarangan atau dianggap main-main dong? Dong!
Situ berani main-main sama Tuhan, kelar hidup loe!

Maka jika memutuskan untuk menikah, yakinkan bahwa ini adalah keputusan yang sudah 1000% **ya, 1000%, bukan 100% lagi**, bukan karena desakan orang lain. Jangan pernah menikah karena desakan keluarga atau orang lain. Juga jangan menikah dengan dalih ingin membahagiakan orangtua. Karena logikanya, mungkinkah orangtua akan benar-benar bisa bahagia jika anaknya sendiri tidak bahagia? Mungkinkah orangtua tega melihat anaknya mengorbankan kebahagiaan hidupnya demi kebahagiaannya?
Kalau nggak percaya, boleh deh tanya sama orangtua masing-masing.

Jadi buat orang-orang yang selama ini bawel mengurusi hidup orang lain dengan pertanyaan “Kapan menikah?”, sadarilah bahwa pertanyaan itu sungguh sangat membuat yang bersangkutan tidak nyaman. Kadang malah pertanyaan ini diikuti pula oleh pertanyaan yang lebih tidak etis dan tidak sopan lagi:
"Lho, umurnya udah berapa? Ya ampun, udah tua. Nunggu apa lagi? Belum ada yang mau? Mau saya jodohin dengan si Sobri atau si Tantula? Tetapi giginya tinggal dua. Mau ya? Mau aja deh, daripada nggak ada yang mau".
Minta dihajar banget kan?
Mereka tentu saja akan menikah, tetapi tidak perlu didesak. Hanya mereka yang tau kapan mereka siap.

Sadarilah bahwa ketika nanti mereka menikah, belum tentu juga anda mau repot mengurus ini dan itu. Dan ketika nanti pernikahan mereka hancur, belum tentu juga anda peduli. Please, berhentilah menjadi orang yang merasa hebat ketika membuat orang lain merasa tidak nyaman dengan pertanyaan “Kapan menikah?”. Mind your own business. Biarkan mereka memutuskan apa yang terbaik untuk hidup mereka.
Share:

1 komentar: