Hari raya selalu
identik dengan mudik. Identik bukan berarti wajib. Tetapi buat yang lagi
merantau, entah itu merantau karena bekerja atau kuliah, rasanya kurang afdol
kalau tidak berkumpul dengan keluarga di hari yang istimewa.
Mudik.
Mendengar
kata mudik yang terbayang pasti senangnya ketemu keluarga setelah ditinggal
selama beberapa waktu lama, berkumpul bersama setelah sekian lama terpisah
ruang dan waktu. Hallah…ruang dan waktu!
Tetapi untuk
sebagian orang, mudik bisa menjadi semacam dilema: antara senang dan sebal.
Khususnya buat perantau yang sudah bekerja tetapi belum menikah.
Membayangkan
acara kumpul dengan keluarga di kampung halaman, amboy nikmatnya. Tetapi kebayang
dicecar dengan pertanyaan wajib “kapan menikah?”, langsung bikin malas dan bad
mood. Yang bertanya bukan hanya dari pihak keluarga, tetapi juga tetangga, Pak
Lurah, tukang sayur keliling dan pihak-pihak yang tidak berkepentingan lainnya.
Pokoknya kalau tau seseorang itu belum menikah, pasti langsung dicecar dengan
pertanyaan “Kenapa belum menikah?”. Wong orang yang baru pacaran dua hari saja sudah
langsung ditanya “Kapan rencananya mau menikah?”.
Yes, buat
sebagian besar orang-orang di kampung, menikah itu seolah tujuan akhir dari
kehidupan. Tidak peduli sesukses apa karirmu atau sehebat apa jabatanmu, jika belum
menikah, segalanya seolah sia-sia dan tak bermakna.
Mereka lupa kita
bukannya malas atau tidak berminat menikah, sehingga mereka tidak sadar bahwa
pertanyaan yang berulang-ulang itu lama-lama membuat kita tidak nyaman. Siapa
sih yang tidak ingin menikah? Siapa sih yang tidak kepingin punya pasagan
seumur hidup? Siapa sih yang tidak ingin punya keturunan?
OK, mungkin untuk sebagian orang keputusan menikah itu adalah keputusan sederhana: menikah, berkembangbiak, punya anak dan live happily ever after seperti kisah Cinderella. Padahal akhir kisah hidup tidak selalu seindah kisah hidup Cinderella, tetapi bisa juga berakhir seperti kisah hidup Jack dan Rose di film Titanic. Referensinya jadul banget ya, jadi ketahuan umur sudah tak lagi belia.
Buat yang berpikir bahwa menikah adalah keputusan sesederhana itu, well...good for you, but it doesn't mean it's good for everyone.
Banyak
pertimbangan sebelum memutuskan untuk menikah. Harus benar-benar yakin bahwa
kita tidak salah pilih pasangan. Karena kita akan ketemu dia setiap hari, hidup
bersama, tidur bersama, 'tidur' bersama **if you know what I mean**, makan bersama, berkomitmen bersama, semua serba
bersama.
Kita juga tidak hanya menikah dengan satu orang, tetapi 'menikah' dengan banyak orang. Maksud loe?
Jadi begini. Menikah seseorang berarti keluarga kita nambah. Keluarga dia akan menjadi keluarga kita. Ya iya dong, kecuali menikah dengan sebatang pohon, berarti keluarga yang bertambah ya cuma sebatang pohon itu tok.
Kalau menikah dengan manusia, dia punya ayah ibu, kakak adik, om tante, pakde bukde, kakek nenek, handai tolan, pokoknya segudang yang nantinya akan menjadi bagian dari diri kita. Kalau bisa sih setelah menikah, ya tetap akur sama mertua dan para ipar. Jangan akurnya sama istri/suami saja, tetapi sama the in laws malah pertempuran melulu.
Kebayang setelah pernikahan, kita baru sadar ternyata dia begini dan begitu. Parahnya, begini dan begitunya dia itu bukan sesuatu yang bisa kita tolerir. Hasilnya? Pernikahan menjadi penjara seumur hidup: kamu terikat pada sesuatu/seseorang yang sudah tidak kamu inginkan lagi.
Kita juga tidak hanya menikah dengan satu orang, tetapi 'menikah' dengan banyak orang. Maksud loe?
Jadi begini. Menikah seseorang berarti keluarga kita nambah. Keluarga dia akan menjadi keluarga kita. Ya iya dong, kecuali menikah dengan sebatang pohon, berarti keluarga yang bertambah ya cuma sebatang pohon itu tok.
Kalau menikah dengan manusia, dia punya ayah ibu, kakak adik, om tante, pakde bukde, kakek nenek, handai tolan, pokoknya segudang yang nantinya akan menjadi bagian dari diri kita. Kalau bisa sih setelah menikah, ya tetap akur sama mertua dan para ipar. Jangan akurnya sama istri/suami saja, tetapi sama the in laws malah pertempuran melulu.
Kebayang setelah pernikahan, kita baru sadar ternyata dia begini dan begitu. Parahnya, begini dan begitunya dia itu bukan sesuatu yang bisa kita tolerir. Hasilnya? Pernikahan menjadi penjara seumur hidup: kamu terikat pada sesuatu/seseorang yang sudah tidak kamu inginkan lagi.
Finansial
mungkin sudah OK. Sudah bisa beli rumah dan kendaraan untuk modal hidup
bersama. Tetapi mental bagaimana? Apakah sudah siap dengan komitmen. Segala
sesuatu yang tadinya dimiliki dan diputuskan sendiri, setelah menikah wajib
dimiliki dan diputuskan berdua. Siapkah dengan perbedaan opini dan keinginan?
Siapkah mengalah demi mencegah konflik?
Mental mungkin
sudah OK. Bahkan sudah pengen menikah sejak masa puber meraja. Saya saja dulu waktu puber lagi di puncak-puncaknya, pernah kepikiran mau langsung kawin, eh menikah setelah lulus SMA. Soalnya cuma kebayang enaknya, belum kepikiran yang lain-lain.
Nah, balik lagi ke masalah mental. Mental mungkin sudah siap grak, tetapi kemudian melihat kenyataan bahwa cinta saja tidak cukup untuk menjadi modal menikah. Karena setelah menikah, tidak mungkin tidur emperan toko atau berburu dulu ke hutan belantara kalau mau makan.
Nah, balik lagi ke masalah mental. Mental mungkin sudah siap grak, tetapi kemudian melihat kenyataan bahwa cinta saja tidak cukup untuk menjadi modal menikah. Karena setelah menikah, tidak mungkin tidur emperan toko atau berburu dulu ke hutan belantara kalau mau makan.
Finansial dan
mental sudah siap, tetapi kok belum juga menikah? Hidup kita mungkin sudah bahagia
dan kita sangat menikmatinya. Lalu kita berpikir bahwa pernikahan belum tentu
menjamin kebahagiaan, lalu kamu menunda untuk menikah untuk jangka waktu yang
belum bisa ditentukan. Apakah ini sesuatu yang salah? Well, ini kan
hidupmu. Hidup yang akan kamu jalani sendiri, bukan orang lain.
Mungkin pasangan
yang selingkuh adalah karena tidak bahagia dengan pernikahannya. Mungkin dulu
menikah karena dijodohkan atau bukan karena keinginan sendiri. Mungkin ada
pernikahan yang dijodohkan yang berhasil. Tetapi apakah akan berhasil juga untukmu?
Oh, belum tentu.
Misalnya nih, sudah menikah. Trus merasa kurang pas **entah apalah yang kurang pas, pokoknya kurang pas aja**, ya udah...cerai! Simpel toh?
Untuk sebagian orang memang bisa saja berpikiran seperti itu. Good for you. Tetapi beberapa orang yang menganggap pernikahan itu sebagai sesuatu yang sakral. Sakral maksudnya prosesinya bukan sesederhana dialog "Kawin yuk!", trus dijawab "Yuk ah!". Sakral karena prosesinya melibatkan restu dari masyarakat dan Tuhan. Kalau sudah melibatkan Tuhan, seharus tidak boleh sembarangan atau dianggap main-main dong? Dong!
Situ berani main-main sama Tuhan, kelar hidup loe!
Misalnya nih, sudah menikah. Trus merasa kurang pas **entah apalah yang kurang pas, pokoknya kurang pas aja**, ya udah...cerai! Simpel toh?
Untuk sebagian orang memang bisa saja berpikiran seperti itu. Good for you. Tetapi beberapa orang yang menganggap pernikahan itu sebagai sesuatu yang sakral. Sakral maksudnya prosesinya bukan sesederhana dialog "Kawin yuk!", trus dijawab "Yuk ah!". Sakral karena prosesinya melibatkan restu dari masyarakat dan Tuhan. Kalau sudah melibatkan Tuhan, seharus tidak boleh sembarangan atau dianggap main-main dong? Dong!
Situ berani main-main sama Tuhan, kelar hidup loe!
Maka jika memutuskan untuk menikah, yakinkan bahwa ini adalah keputusan yang sudah 1000% **ya, 1000%, bukan 100% lagi**, bukan
karena desakan orang lain. Jangan pernah menikah karena desakan keluarga atau
orang lain. Juga jangan menikah dengan dalih ingin membahagiakan orangtua. Karena
logikanya, mungkinkah orangtua akan benar-benar bisa bahagia jika anaknya
sendiri tidak bahagia? Mungkinkah orangtua tega melihat anaknya mengorbankan
kebahagiaan hidupnya demi kebahagiaannya?
Kalau nggak percaya, boleh deh tanya sama orangtua masing-masing.
Kalau nggak percaya, boleh deh tanya sama orangtua masing-masing.
Jadi buat
orang-orang yang selama ini bawel mengurusi hidup orang lain dengan pertanyaan “Kapan
menikah?”, sadarilah bahwa pertanyaan itu sungguh sangat membuat yang bersangkutan tidak
nyaman. Kadang malah pertanyaan ini diikuti pula oleh pertanyaan yang lebih tidak etis dan tidak sopan lagi:
"Lho, umurnya udah berapa? Ya ampun, udah tua. Nunggu apa lagi? Belum ada yang mau? Mau saya jodohin dengan si Sobri atau si Tantula? Tetapi giginya tinggal dua. Mau ya? Mau aja deh, daripada nggak ada yang mau".
Minta dihajar banget kan?
Mereka tentu saja akan menikah, tetapi tidak perlu didesak. Hanya mereka yang tau kapan mereka siap.
"Lho, umurnya udah berapa? Ya ampun, udah tua. Nunggu apa lagi? Belum ada yang mau? Mau saya jodohin dengan si Sobri atau si Tantula? Tetapi giginya tinggal dua. Mau ya? Mau aja deh, daripada nggak ada yang mau".
Minta dihajar banget kan?
Mereka tentu saja akan menikah, tetapi tidak perlu didesak. Hanya mereka yang tau kapan mereka siap.
Good point!
BalasHapus