"Wowww, ada burung!!!", pekik
salah satu karyawan saya yang perempuan. Mendengar kata 'burung', saya dan
karyawan yang lain, serta para tamu hotel, berhamburan menuju TKP. Dan
semuanya laki-laki.
Aneh ya, laki-laki kok masih penasaran
sama burung?
Seekor burung berwarna indah tergeletak menggelepar-gelepar di lantai. Kami pun lalu saling rebutan untuk memegang.
Aneh ya, laki-laki kok masih penasaran
pengen pegang burung.
Untungnya, rebutan burung itu dimenangkan oleh saya, mungkin karena sudah terbiasa dan ahli memperebutkan burung. Kalau dimenangkan orang lain, mungkin tuh burung akan berakhir jadi burung goreng.
Jam segini ngomongin burung kok agak gimana gitu ya?
Lanjut!
Jadi tuh burung mungkin burung tipe
cabe-cabean, yang kalau terbang gak lihat ke depan, tapi sibuk lirik kanan-kiri
cari perhatian. Dan BRAKKKKK...dia
pun nabrak dinding kaca.
Saat saya pegang, si burung tak bergerak, matanya terpejam. Mungkin hatinya menangis seperti lagunya Nia Daniati? Entahlah...
Yang jelas temboloknya masih bergerak naik turun, menandakan dia belum siap menuju cahaya yang sering membuat manusia tak bisa lagi kembali ke dunia.
Dulu sejak kecil, saya memang seperti memiliki sweet relationship dengan burung. Setiap kali melihat burung yang teraniaya, naluri saya langsung terpanggil untuk menyelamatkan.
Bapak saya pernah punya sekandang burung yang saya lupa asalnya dari mana. Apakah dibeli? Hasil berburu? Atau dikasih orang? Setiap pagi, saya diam-diam lepasin burungnya satu demi satu hingga pada akhirnya kandangnya benar-benar kosong.
Saat bapak dapat suvenir senapan angin dari adiknya yang tentara, saban pagi bapak jalan untuk berburu burung. Saya yang malas bangun pagi sampai bela-belain ikut bangun supaya bisa ikut bapak. Tujuannya bukan untuk menemani bapak, tetapi sebagai 'hama penganggu'. Iya, benar-benar hama penganggu.
Saat bapak sedang membidik sasaran, saya akan berisik seperti kucing kawin agar burung-burung yang jadi sasaran tembak segera beterbangan.
Buat saya, semua mahluk yang bernyawa adalah berharga, kecuali ulat bulu, tikus dan kecoa. Ketiga mahluk itu saya percaya asalnya dari neraka.
Kembali lagi ke cerita burung nabrak
kaca, saya taruhlah tuh burung ke dalam kardus, masih dalam keadaan pingsan.
Satu jam kemudian, dia sudah sehat
kembali, sudah bisa berdiri. Gara-gara warna bulunya yang indah permai, sempat
terpikir untuk memeliharanya dalam sangkar atau sarung.
"Pelihara aja, bang Ganteng. Itu burung bagus. Namanya burung Raja Udang. Bahasa Inggrisnya King Cobra", usul salah seorang tamu yang tadi menjadi lawan saya berebut burung. Ini yang ngomong pasti dulu nilai bahasa Inggrisnya dapat nilai merah di raport.
Dan beberapa orang masih mencoba
memprovokasi.
"Jual aja, bang Seksi. Itu burung mahal. Tapi itu bukan burung Raja
Udang, tapi burung Simalakama"
"Bukan. Itu namanya burung Nurani"
Terserrrraaaaahhhh!!!!!
Akhirnya saya memutuskan untuk melepaskannya saja. Siapa tau dia tulang punggung keluarga, supaya bisa kembali membantu perekonomian keluarganya.
Terbanglah oh burung dan nyanyikanlah. Katakan padanya aku rindu...
0 komentar:
Posting Komentar