Masa-masa di kelas
satu SMA adalah masa dimana untuk pertama kalinya dalam hidup, saya
ditaksir kakak kelas. Mungkin sejak
SMP sudah ada yang naksir, tetapi saya tidak menyadarinya. Who knows? Only GOD knows!
Saya kelas satu, dan dia kelas dua. Ini adalah kejadian yang lumayan langka, karena sejak mulai puber waktu masih SMP, keseringan saya melulu yang naksir. Makanya saya juga enggak habis pikir kok bisa ada yang naksir sama saya. Bukannya mau merendahkan diri sendiri, tetapi jujur saja ya, saya waktu SMA sangat jauh dari yang namanya cowok kece yang lumayan untuk dikecengin cewek-cewek. Pokoknya saya tidak mungkin banget bisa menjadi cowok popular di sekolah. Ibarat kata pepatah, jauh panggang dari api.
Saya kelas satu, dan dia kelas dua. Ini adalah kejadian yang lumayan langka, karena sejak mulai puber waktu masih SMP, keseringan saya melulu yang naksir. Makanya saya juga enggak habis pikir kok bisa ada yang naksir sama saya. Bukannya mau merendahkan diri sendiri, tetapi jujur saja ya, saya waktu SMA sangat jauh dari yang namanya cowok kece yang lumayan untuk dikecengin cewek-cewek. Pokoknya saya tidak mungkin banget bisa menjadi cowok popular di sekolah. Ibarat kata pepatah, jauh panggang dari api.
Seperti pada umumnya, cowok atau cewek populer di sekolah harus punya salah satu syarat ini : pintar atau keren. Dan seperti
yang saya ceritakan di atas, saya sangat jauh dari yang namanya
keren. Meski wajah saya lumayan imut, tetapi bodi saya
terlalu mungil untuk ukuran anak SMA. Saya sudah biasa dalam perjalanan dari rumah ke sekolah, orang-orang memperhatikan saya dengan tatapan aneh. Mungkin mereka
bingung, anak SD kok pake seragam SMA? Saking kecilnya, saya bahkan sering ditantang anak-anak SD untuk berkelahi
tetapi tidak pernah saya ladenin. Gila aja berantem sama anak kecil. Kalau
kalah, muka saya mau ditaruh dimana?
Sementara kalau saya mau populer lewat kategori pintar, oh nanti dulu.
Bukannya mau nyombong ya, di kelas saya sebenarnya saya tergolong siswa yang lumayan pintar. Masalahnya saya kalah pamor dari yang
lain gara-gara ternyata banyak yang jauh lebih pintar dari saya.
Kembali lagi ke kasus ditaksir kakak kelas, sebagai cowok saya seharusnya
girang berbunga-bunga karena ternyata ada juga cewek yang nekad naksir saya. Yang jadi persoalan, saya enggak naksir dia sama sekali. Bagaimana saya
bisa naksir? Dia ngakunya cewek, tetapi kok tongkrongan dan kelakuan kayak
cowok. Bodi-nya
algojo banget, trus gaya jalannya juga lebih gagah dari serdadu yang mau
berangkat perang. Pulang sekolah aja, bukannya kursus menjahit atau menari, dia
dan teman-temannya yang sejenis justru keluyuran kemana-mana cari cowok. Cari cowok bukan
untuk dipacarin,
tetapi untuk dijadikan sparring partner
gebuk-gebukan. Serius, dia dan teman-temannya hobby banget berkelahi melawan cowok-cowok.
Sebenernya saya udah tau dan kenal dia sejak masih SD. Dia dulu adalah teman sekelas kakak saya. Saya juga heran, sebagai
cewek seharusnya dia tumbuh menjadi gadis remaja yang ibarat kembang lagi
mekar-mekarnya seperti cewek lain pada umumnya. Tetapi cewek yang satu ini beda, dia tumbuh
menjadi monster. Yang bikin saya makin parno dan makin gegap gempita menolak
cintanya, setiap kali berpapasan disekolah, ada saja tingkah atau celutukan dia
yang ditujukan untuk saya. Sebagai cewek ’baik-baik’, seharusnya kalau dia
naksir cowok khan gayanya harus malu-malu atau sebatas curi-curi pandang.
Kalo dia sih
enggak. Agresif banget. Kalau bertemu, dia suka nyelutuk kayak gini. “Hallo say, kirim dong bunga di pipi kita”.
Entah dari planet mana dia mempelajari kalimat aneh yang dia pikir romantis
itu. Yang jelas buat saya, kata-kata itu seperti mantra
berbahaya. Karena sejak dia mulai rajin mengucapkan kata-kata itu,
jerawat-jerawat mulai tumbuh subur dan sentosa di pipi saya.
Dan melihat pipi
saya yang jerawatan, dia bisa seperti mendapat inspirasi untuk semakin menyiksa
saya dengan kata-kata rayuan yang lain. Misalnya, “Kok jerawatan, Say? Mikiran saya ya?’. Najis bener deh!
Atau kalau lagi tidak mood
ngomong, dia akan hanya ‘sekedar’ mengedipkan matanya sambil menjilat bibir.
Benar-benar mengerikan.
Pernah juga
kejadian pulang sekolah saya lagi jalan bareng dengan teman-teman sekelas saya.
Tiba-tiba ada anjing gede yang berlari-lari dengan tampang panik luar biasa di belakang kami.
Tentu saja kami langsung berhamburan lari pontang-panting untuk menyelamatkan
diri karena mengira anjing itu bermaksud mengejar kami. Siapa coba yang mau
mati muda, gara-gara anjing pula.
Tetapi ternyata di belakang anjing itu, dia juga sedang
berlari-lari dengan wajah sumringah. Rupanya anjing itu bukan mau mengejar
kami, tetapi justru anjing itu yang diuber-uber sama dia entah untuk tujuan
apa. Bayangkan, anjing galak aja keder sama dia.
Sampai akhirnya dia lulus dan mungkin memutuskan bekerja sebagai petinju
atau tukang pukul, saya tetap tidak pernah merespon perasaannya. Gila apa? Pacaran sama dia mungkin sama aja kayak pacaran sama
cowok. Jadi maafkan aku,
Kasih. Cinta di antara kita tidak mungkin terjadi .
Tahun berikutnya, lagi-lagi
saya naksir cewek kece. Ya iyalah, mana mungkin saya
naksir cewek memble. Selera saya masih baik-baik saja kok. Dia cewek kelas
sebelah yang penampilannya metal banget. Kuku dicat warna hitam, ujung rambut
dipotong tidak rata, dan satu-satu cewek di sekolah saya yang pakai sepatu Docmart. Penampilannya selalu keren
plus didukung tampangnya yang manis. Pokoknya selain pelajaran Bahasa Inggris
dan Seni Rupa, dia adalah alasan saya
berangkat sekolah dengan
semangat empat lima.
Namanya juga
kelas sebelah, jadi setiap jam istirahat atau pulang sekolah pasti ketemu. Saking naksirnya, setiap kali akan berpapasan
saya akan terlebih dahulu pasang aksi. Rambut dibenahin dan siap-siap tebar
senyum yang semoga tidak tampak mengerikan. Tetapi dua tahun saya membenahi
rambut dan penampilan setiap berpapasan dengan dia seperti orang sinting, dua tahun juga dia tetap
cuek sama saya. Bahkan saya curiga, jangan-jangan dia juga tidak pernah sadar
kalau saya eksis di dunia ini. Maklum di sekolah dia termasuk cewek populer, jadi dari siswa kelas satu sampai kelas
tiga semua kenal sama dia dan tentu
saja banyak pula yang naksir.
Sementara saya? Siapa yang peduli dengan anak SD yang memakai seragam SMA?
Tetapi akhirnya dia pacaran sama cowok dari kelas lain. Meski hati agak
berdarah-darah, tetapi saya harus akui kalau mereka pasangan yang cocok. Yang
satu cewek paling populer di sekolah, yang satu lagi cowok paling
ganteng di angkatan saya. Akhirnya sepanjang masa SMA itu saya habiskan menjadi secret admirer dia. Ya iyalah, masa saya
harus ngotot merebut dia dari cowok itu. Bisa-bisa saya dituduh Mayangsari
versi cowok.
Oh ya, saya dulu punya guru-guru yang cukup ajaib
dan mengejutkan. Ada yang suka menghukum dengan cara mengrepe-grepe, sampai yang doyan memukul betis
pake penggaris kayu yang ukurannya saingan sama ukuran palang pintu benteng
kerajaan Romawi Kuno. Zaman saya dulu, yang namanya siswa menerima hukuman secara fisik
masih lestari dan dibudidayakan.
Yang masih saya
ingat, dulu ada guru yang yang pernah menjewer saya sampai saya nyaris mati hanya karena saya tidak pakai
dasi waktu upacara bendera. Sekolah saya dulu emang rada-rada kecentilan. Mau
upacara saja, siswa-siwanya harus pakai aksesori dasi dan topi. Saya pikir
pakai seragam rapi dengan topi udah cukup, ngapain ribet pakai dasi. Lebih
penting mana sih dasi atau seragam yang rapi? Buat apa pakai dasi tetapi lupa
pakai celana, misalnya? Saya masih ingat
sama guru yang menjewer saya itu sampai sekarang. Dulu saya sempat merencanakan
balas dendam, beliau harus merasakan bagaimana rasanya kena jewer seperti yang
beliau lakukan terhadap saya. Tetapi seiring waktu, saya
udah tidak berminat lagi balas dendam sama beliau. Selain saya yakin Tuhan Maha
Adil dan tidak buta, saya juga sudah mengampuni dosa-dosa beliau sejak lima tahun yang lalu.
Saya juga punya teman-teman sekelas yang asyik dan seru. Kita dulu dikenal
sebagai kelas IPA paling bandel sejagad raya. Pokoknya kalo lagi mampir ke
kantor guru, pastu guru-guru kepergok lagi ngegosipin kelas saya
Dulu kita punya ketua kelas yang asyik, bisa diajak kongkalikong. Kalau
malas sama mata pelajaran tertentu, kita bisa aja kabur dari kelas. Trus titip
pesan ke doski supaya kita dicatet izin sakit. Bahkan pernah sekelas rame-rame
kabur saat jam pelajaran. Kaburnya nggak bonafid banget, misalnya ke mall atau
ke cafe. Kita mah kaburnya ke hutan, terus nyolong salak dari kebun orang.
Kebayang dong guru yang datang ke kelas kita kagetnya gimana. Udah semangat
mau ngajar, eh kelas malah kosong.
Besoknya, kita sekelas di jemur kayak ikan asin sebagai hukuman. Bayangkan,
disuruh berdiri berjam-jam di halaman, ditonton gebetan. Kita sih nggak malu,
malah senang. Trus, kelas-kelas lain jadi salut dan iri sama kelas kita,
soalnya memang nggak ada yang seunik kelas saya. Pinter iya, bandel juga iya.
Kronologis perjalanan saya dari rumah menuju ke sekolah pulang
pergi juga menyimpan cerita. Jarak rumah saya ke sekolah ada sekitar tiga kilometer dan saya tempuh dengan jalan kaki. Jarak sepanjang itu saya harus melewati tantangan yang lumayan horor
juga. Biarpun terkenal bengal, tetapi
siswa paling pinter dari semua kelas IPA yang ada tiga kelas dipegang oleh
siswa dari kelas saya. Bukan saya sih. Dan Tuhan memang maha adil, karena
predikat siswa paling berandalan juga lagi-lagi siswa dari kelas saya, yang
jels bukan saya lho.
Tantangan
pertama adalah kuburan kuno berusia ratusan tahun yang bersemi disepanjang
jalan dari rumah saya menuju jalan besar. Ketika melewati kuburan kuno tersebut
rame-rame dengan teman sekolah, saya yang penakut kadang memaksa berjalan di tengah-tengah
barisan dengan padangan lurus ke depan alias enggak berani lirik kanan kiri. Bahkan
kalau bisa, saya akan menutup mata. At
least, kalo dari antara batu-batu nisan itu tiba-tiba muncul dedemit galak
yang berlari sambil tertawa terpingkal-pingkal, saya bukan orang pertama yang
akan melihatnya. Dan kalau doski sedang in the mood mencolek
salah satu dari kami, posisi saya yang di tengah memungkinkan saya
bukan korban yang akan dipilihnya.
Kalau mengingat
keempat kisah itu sekarang, maka memori itu akan selalu berhasil membuat saya
tersenyum geli. Terima kasih
Tuhan atas konyol dan gokilnya masa-masa SMA saya yang menambah warna-warni
perjalanan hidup saya.
0 komentar:
Posting Komentar