28/02/14

MY MOTHER, My Teacher



Sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, saya cukup dekat dengan ibu saya. Ya iyalah, masa dekat sama ibu tetangga?

Sampai usia enam belas tahun saya masih tinggal bersama Mama **ya iyalah, masa tinggal sama kawanan singa?** sebelum akhirnya saya meneruskan sekolah ke kota lain pada usia tujuh belas tahun.  

Selama rentang waktu enam belas tahun itu, banyak hal-hal inspiratif yang saya alami bersama Mama.

Lahir sebagai anak bungsu tidak membuat saya menjadi anak yang manja atau cengeng, karena saya benar-benar tidak punya kesempatan untuk itu. Lagian, siapa juga yang mau manja dan cengeng. Memangnya kita cowok apa'an?!

Orang-orang terbiasa ngomong, " Ya, anak bungsu. Pasti dimanja". No, saya sama sekali tidak seperti itu. Tak ada sesuatu yang bisa saya dapatkan dengan gampang dengan cara tinggal tunjuk dan minta seperti anak-anak lain. Maklum, Bapak yang berprofesi sebagai  guru SMP dan Mama yang hanya ibu rumah tangga biasa tidak memungkinkan kami anak-anaknya untuk hidup sedikit ’mewah’. 
Makanan dan pakaian yang layak serta kasih sayang benar-benar kami dapatkan dari Bapak dan Mama, tetapi jangan berharap kami bisa mendapatkan mainan atau sesuatu yang sifatnya tersier seperti rekreasi, jalan-jalan, makan di restoran, nonton sirkus dan lain-lain. Sejak saya kecil, Mama sudah mulai menanamkan nilai hidup tentang prioritas : mendahulukan yang paling penting daripada yang hanya sekedar penting.


Mama juga menginginkan anaknya menjadi pribadi yang religius, itu sebabnya sejak masih berumur satu bulan, Mama sudah membawa anak-anaknya untuk kebaktian di gereja setiap hari Minggu. Namanya juga masih bayi, kami akan menangis seenak perutnya tanpa peduli situasi dan tempat. Dan supaya tangis kami tidak menganggu kekusyukan kebaktian jemaat lain, Mama tidak keberatan mengikuti kebaktian atau mendengarkan kotbah dari luar gedung gereja. Ketika tangisan kami sudah berhenti, Mama akan kembali masuk ke gereja.

Kalau Mama berperan sebagai pembentukan mental atau istilah bahasa sekarang: character building, maka Bapak mengambil peran untuk hal-hal yang sifatnya akademis. Misalnya, Bapak sering bawa banyak buku dari perpustakaan, trus kita disuruh baca. Atau nyuruh nongkrong di depan TV setiap ada acara Cerdas Cermat tayang. Harus ikutan jawab semua pertanyaan. Kalau nggak bisa jawab, dijitak. Menjawab tapi salah, dijitak juga.

Meski sebenarnya bayi berumur satu bulan tentu saja belum mengenal makna atau tujuan dari mengikuti kebaktian, tetapi menurut Mama sangat penting untuk anak-anaknya dekat dengan atmosfir  religius dan mengenal Tuhan sejak masih sangat dini.

Ketika sudah terbiasa berada dalam suasana religius dalam gedung gereja sejak masih bayi berkat Mama, maka ketika memasuki kanak-kanak, kegiatan mengikuti Sekolah Minggu setiap hari Minggu pagi adalah hal yang sangat menyenangkan buat saya. Tidak seperti anak-anak lain yang sepulang dari gereja hanya disambut oleh mamanya dengan senyuman hangat, Mama tidak hanya tersenyum menyambut saya. Setiap pulang dari gereja setelah mengikuti sekolah Minggu, Mama punya ritual untuk menyidang saya di meja makan. 

Untuk memastikan bahwa di Sekolah Minggu saya tidak hanya sekedar bernyanyi dan berdoa tanpa pemahaman yang benar, maka Mama akan memberi satu dua pertanyaan tentang apa isi, makna dan pesan moral kotbah yang saya dengar. Sidang itu membuat saya 'terpaksa' selalu konsentrasi menyimak kotbah Sekolah Minggu setiap hari Minggu pagi daripada sibuk sikut-sikutan dengan anak lelaki di samping kanan kiri saya atau menarik kuncir rambut anak-anak perempuan yang duduk di depan saya.

Memasuki usia menjelang remaja (kira-kira kelas satu SMP), Mama mengajarkan saya hal lain, yaitu : memasak. Meski saya mempunyai dua orang kakak perempuan, tetapi bukan berarti Mama tidak membekali anak lelakinya dengan kemampuan yang mungkin pada saat itu identik dengan pekerjaan anak perempuan. Tentu saja memasak bukan pekerjaan favorit saya, namun karena saya tidak bisa menolak maka saya akan mengikuti perintah Mama, meskipun sambil bersungut-sungut atau cemberut. Menurut Mama, anak lelaki bisa memasak itu penting, karena kelak kalau saya sudah punya istri, saya tidak selalu sepenuhnya bergantung kepada istri. Ceilehhhh, masih SMP kok udah ngebahas istri! Hahahaha!

Hal pertama yang diajarkan Mama adalah yang resiko paling minim, yaitu memasak air. Pelajaran pertama adalah jangan sampai luapan air mendidih menyiram api tungku. 

Pengalaman pertama memang tidak sukses, karena setelah meletakkan periuk berisi air di atas api, saya masih sering tergoda untuk bergabung dengan anak-anak lain untuk sekedar main tebak-tebakan di halaman. Begitu sadar bahwa sedang memasak air, saya langsung berlari ke dapur dan mendapati api di tungku sudah padam, sementara air di dalam periuk tinggal setengah. 

Saya dulu belajar memasak pakai bahan bakar kayu bakar lho. Jadi memang apinya harus dijaga supaya tidak 'tewas' atau terlalu besar. Ditiup-tiup, kayunya diatur-atur kayak ngatur masalah dalam hidup yang datang silih berganti. Ribet! 

Lewat kesalahan ini, Mama mengajarkan saya bahwa kalau melakukan sesuatu itu harus fokus. Kalau memasak, ya harus memasak. Kalau bermain, ya bermain. Jangan memasak sambil bermain karena itu bisa berbahaya. Selain boros kayu bakar dan air, juga kalau api tidak dijaga hingga menjalar bisa menyebabkan kebakaran. Sejak itu saya lebih memilih menyelesaikan tugas memasak air dulu sampai tuntas, baru kemudian bermain dengan teman-teman sekompleks.

Setelah lulus dalam 'mata kuliah' memasak air, Mama kemudian meng–upgrade pelajaran selanjutnya yaitu : memasak nasi. Sama seperti memasak air, pengalaman pertama memasak nasi juga tidak sukses. Kalau tidak gosong dan berkerak, nasi yang saya masak kadang malah mentah dan itu membuat saya menyerah dan tidak berminat ’lulus’ dalam pelajaran ini. Tetapi Mama malah mengomeli saya.

”Memangnya setiap hari kamu hanya minum air? Kamu makan nasi juga toh? Makanya selain bisa masak air, harus bisa masak nasi juga”, begitu nasehat Mama untuk memberi semangat. Melalui kesalahan di pengalaman pertama itu, Mama mengajarkan saya Matematika sederhana mengenai perbandingan. Kalau berasnya sekian, maka takaran airnya adalah sekian, supaya nasinya masak dengan benar, tidak menjadi bubur atau malah nasinya terlalu keras. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya saya memang berhasil memasak nasi yang layak makan, bahkan dengan kondisi yang layak dihidangkan untuk perjamuan penting.

Pelajaran berikutnya adalah mengenai pergaulan sosial. Mama saya termasuk perempuan yang mengagungkan sopan santun di atas segalanya. Terhadap orang yang lebih tua tidak boleh panggil nama, harus ada embel-embel Bang, Kak, Pak, Bu dan lain-lain. Kebiasaan itu terbawa-bawa hingga sekarang. Setiap kali bertemu orang lain, tanpa peduli apakah usianya lebih tua atau lebih muda, saya selalu menyapa dengan embel-embel 'Mas', 'Mbak', 'Pak' atau 'Bu' di depan namanya. Bahkan kadang kebiasaan ini terbawa-bawa ketika saya sedang berinteraksi dengan orang asing dengan memanggil bule dengan sebutan Mbak Samantha atau Mas Philip. Mereka kadang bingung dan bertanya ,"what did you just call me?"

Satu hal lagi yang paling ditekankan oleh Mama adalah tidak boleh ada sifat sombong. Menurut Mama tidak ada yang perlu disombongkan karena segala sesuatu bisa hilang dalam sekejap jika Tuhan menghendaki. Saya sendiri juga bingung, apa coba yang mau disombongkan? Apa yang kita punya, orang lain juga bisa punya.

Ketika remaja, saya pernah mati-matian minta dibelikan sepeda. Alasannya, letak SMA tempat saya sekolah saya letak cukup jauh. Ternyata sampai menangis darah atau berguling-guling di tanah, Mama tetap tidak berkenan membelikan saya sepeda, tetapi justru membeli seragam baru untuk menggantikan seragam sekolah saya yang sudah sobek di bagian kerah. Ketika saya mengeluh mengenai jarak yang harus saya tempuh dari rumah ke sekolah sambil berjalan kaki (dengan harapan akan dibelikan sepeda), Mama justru memberi pelajaran tentang kesehatan.

”Jalan kaki itu baik untuk kesehatan. Jalan kaki itu sama dengan olahraga, bagus untuk stamina dan daya tahan tubuh. Bisa juga membantu badan kamu agar tambah tinggi”, kata Mama. Saya tentu saja menganggap Mama hanya mengada-ada agar saya melupakan mimpi untuk memiliki sepeda. 

Tetapi sepertinya apa yang dikatakan Mama ada benarnya. Terbukti sampai sekarang saya merasa memiliki daya tahan tubuh yang baik, saya tidak pernah sakit serius. Bahkan kalau sedang flu, flu hanya sanggup bertahan selama satu hari ditubuh saya. Postur tubuh saya yang waktu SMP tergolong mini dan saya khawatirkan tidak akan pernah bertambah tinggi lagi, tetapi setelah menjalani ’terapi jalan kaki’ selama 3 tahun waktu SMA justru membuat tubuh saya tumbuh melampaui teman-teman saya yang dulunya tingginya di atas saya.

Saya sebenarnya pernah kesal dengan Mama saya ketika Mama mulai ikut cerewet mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa puber saya. 

Ketika kelas dua SMA, saya pernah ditaksir oleh kakak kelas saya. Cewek, pastinya! Menurut loe?
Sebagai anak lelaki bertampang biasa-biasa saja, tentu saja saya sangat bangga ada siswi kakak kelas yang naksir saya. Pernah suatu hari kakak kelas yang naksir saya itu bertamu ke rumah saya. Pedekate gitulah sambil ngapelin. Hahaha, saya yang diapelin. Biarin! Wong dia yang nafsu sama saya kok.

Ketika kami sedang asyik ngobrol di ruang tengah, Mama langsung seliweran sambil memasang tampang galak. Melihat gelagat yang kurang menyenangkan itu, kakak kelas saya ini langsung kabur terbirit-birit. Tentu saja saya protes dengan ulah Mama.

”Apakah dia pacarmu?”, Mama justru balik bertanya. Saya diam saja.
”Mama tidak melarang kamu pacaran, tetapi sebaiknya kamu mencari pacar yang lain”.
Lho? Saya heran dengan perkataan Mama. Seperti bisa menangkap kebingunganku, Mama memulai kuliahnya.
”Apa yang bisa kamu harapkan dari perempuan yang tidak sopan seperti itu”. 
 Hah? Tidak sopan? Saya semakin bingung.

”Tadi sebelum masuk dia berpapasan dengan Mama di halaman, dan dia sama sekali tidak mengucapkan salam, malah melengos dan langsung nyelonong saja”. 
 Wah, sumpah! Saya tidak tau kalau tadi ada kejadian seperti itu.

”Dan tadi kamu lihat sendiri kan ketika dia pulang, tidak permisi sama sekali kepada yang punya rumah”.  
Saya diam saja dan membenarkan penilaian Mama. Wajah cantik dan 'besar semua', tetapi kalau tidak tau sopan santun dan etika, ya ke laut saja.

Setelah beranjak dewasa, sekarang saya sangat mensyukuri pangalaman masa kecil dan masa remaja saya bersama Mama. Banyak hal yang saya pelajari dari Mama sehingga membuat saya menjadi seperti sekarang. Yah, saya memang bukan manusia yang sempurna secara duniawi atau surgawi, tetapi banyak nilai-nilai kehidupan yang saya miliki berkat bimbingan Mama sejak dulu. Dan saya bangga sekali dengan itu. 

Bahkan sampai sekarang sepertinya perhatian dan kasih Mama belum luntur meski saya sudah dewasa. Masih sering diingatkan soal makan dan istirahat, bahkan memukul punggung saya ketika saya ’bandel’ seperti yang dulu sering dilakukan waktu saya masih anak-anak. 
Kalau dulu saya akan ngambek kalau dipukul seperti itu, tetapi sekarang saya malah tertawa terbahak-bahak bersama Mama. 
Kasih seorang ibu memang tidak akan pernah luntur. Usia kita memang terus bertambah dan kadang membuat susah orang tua kita, tetapi tidak ada yang bisa mengingkari bahwa kita dulu dulu adalah bayi kecil yang merupakan sebuah keajaiban dan anugerah untuk ibu kita.

Terima kasih Mama!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar