28/02/14

Pengalaman Menjadi GURU



Tahun 2005 adalah tahun pertama pengalaman saya mengajar. Benar-benar pengalaman pertama dan langsung menjadi tenaga pengajar untuk sebuah sekolah internasional. Meski bapak saya dulu adalah guru, tetapi menjadi guru adalah sebuah profesi yang tidak pernah ada dalam bayangan saya. Ternyata memang benar, hidup penuh kejutan. Kadang kita haru siap menjalani apa yang tadinya tidak terbayangkan sebelumnya. Dan demi sebuah pengalaman berharga, kita harus menjalaninya.

Malam sebelum hari pertama mengajar, saya mendadak mengidap penyakit insomnia. Saya benar-benar tidak bisa tidur membayangkan apa yang akan terjadi besok. 

Terus terang saya memang mudah jatuh cinta dengan senyum polos dan ekspresi tak berdosa dari wajah anak-anak balita. Tetapi besok yang saya hadapi adalah anak-anak usia sekolah dasar dengan rentang usia 6 sampai 12 tahun dan dari berbagai negara. Apalagi saya sebelumnya tidak memiliki pengalaman mengajar. Padahal besok saya sudah harus mengajar empat kelas yang berbeda, dan mengajarnya dalam bahasa Inggris pula.

Dan momen yang mendebarkan itu akhirnya tiba. Dari jarak lima meter sebelum memasuki ruangan kelas, saya merasa seperti berjalan menuju tempat penjagalan diri saya sendiri.  Jantung saya benar-benar berdebar kencang.  Saya bahkan sempat terpikir meminta bantuan guru senior untuk mendampingi saya. Tetapi kemudian saya batalkan karena saya pikir, saya harus menghadapi ini sendiri.

Untuk menenangkan perasaan saya, saya hanya mencoba menekankan pada diri saya sendiri bahwa yang akan saya hadapi adalah anak-anak, bukan binatang buas atau monster. Seburuk-buruknya respon atau tingkah laku mereka, mereka tidak akan sampai memangsa saya.

Begitu memasuki ruangan kelas dan berjalan dengan gaya berjalan yang saya gagah-gagahkan, tiba-tiba aktifitas di dalam kelas terhenti. Kelas yang tadinya riuh tiba-tiba berubah sunyi. Beberapa anak yang tadinya berlarian kesana kemari mendadak berhenti seperti film yang sedang di-pause. Gerombolan siswa yang tadinya asyik ngerumpi dibarisan bangku belakang menolehkan kepalanya ke depan, tetapi posisi badan tetap menghadap kebelakang.

“Who are you?”. Tiba-tiba seorang siswa laki-laki dengan raut wajah blasteran (yang kemudian saya tau namanya Michael, warga negara Jerman) sudah berdiri di samping saya dengan tampang ingin tau. Tinggi badannya nyaris menyamai saya. Pertanyaan yang sungguh sopan sekali. Setelah mengatur nafas dan yakin semua sedang siap mendengarkan saya, saya kemudian angkat bicara.

“I’m your new teacher”, ujar saya sambil menebar senyum yang semoga tidak tampak mengerikan di mata mereka. Semua diam saja, tak ada ekspresi senang atau bahkan sebal. OK, mereka sudah mulai membenci saya.

“Your new ART Teacher”, dengan ragu-ragu dan sedikit kikuk saya kembali menambahkan dengen intonasi pengucapan ART yang sengaja berlebihan. Saya tidak tau apakah spesialisasi saya akan menarik perhatian mereka atau tidak.

Diluar dugaan saya, kalimat saya yang terakhir membuat seisi ruangan tiba-tiba kembali riuh. Bukan, bukan karena mereka tidak mengganggap saya tidak penting, karena sebagian besar mereka berteriak kegirangan Sementara yang lain senyum-senyum penuh kegembiraan.
Apa yang terjadi? Saya bahkan sempat berpikir, jangan-jangan saya baru saja salah ngomong. Apakah saya baru saja mengatakan bahwa kelas ini akan mengadakan pesta seharian penuh dan hal-hal menyenangkan lainnya? Tetapi kecurigaan saya langsung menguap ketika Gina – siswa yang berasal dari Korea, dengan antusias bertanya ,” What are you going to teach us today?”.
“Drawing”, jawab saya sambil masih tetap menebar senyum simpatik.
“Great!”
“Crafting”, saya menambahkan lagi.
“Great!”
“Painting”, saya makin antusias.
“Great!”
“Anything”
“Great!”
“Including nungging”. Hahaha, tetapi itu saya ucapkan hanya dalam hati saja.

Apapun yang saya ucapkan mereka respon dengan kata ‘great!”. Well, saya merasa diterima oleh anak-anak ini. Saya merasa berhasil memikat hati anak-anak ini. Kesan pertama berhasil saya atasi. Bagaimana dengan kesan selanjutnya?

Hari-hari selanjutnya, pagi hari ketika baru sampai di sekolah, saya sibuk membalas sapaan ‘good morning’ atau sekedar senyum dari siswa-siswa saya. Ketika ruangan saya dikunjungi oleh berbondong-bondong siswa saat jam istirahat, hanya untuk sekedar bertanya saya makan siang pakai apa, minggu depan saya akan mengajarkan materi apa, saya tinggal dimana, sampai pertanyaan yang agak pribadi : apakah saya sudah menikah atau tidak.

Yang paling menggelitik adalah pertanyaan tentang warga negara saya. Aksen bahasa Inggris saya yang aneh, membuat banyak dari antara mereka yang mengira kalau saya dari Filipina atau Thailand.

Mereka juga sangat menyukai nama keluarga atau marga saya yang menurut mereka unik dan keren. Percaya atau tidak, ketika menulis nama lengkap saya, mereka tidak pernah salah dalam mengeja nama keluarga saya. Padahal pengalaman saya sebelumnya, tujuh dari sepuluh orang yang saya temui selalu salah mengeja nama keluarga saya.

Tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya sedikit banyak membantu saya untuk bisa merebut perhatian anak-anak tersebut. Karena tidak punya gambaran cara mengajar yang benar, saya seperti tertantang untuk menciptakan sendiri suasana belajar yang menyenangkan untuk saya dan siswa-siswa saya. Pada sessi pelajaran saya, saya membebaskan siswa saya untuk duduk bebas atau selonjoran dilantai. Yang penting mereka merasa nyaman mendengarkan isntruksi saya dan mengerjakan tugas yang saya berikan. Saya juga selalu bersedia membahas materi atau membimbing siswa-siswa saya di luar jam pelajaran saya. Menjawab pertanyaan seputar deadline pengumpulan tugas atau curhat tentang pengalaman main Play Station tidak haram saya layani di kantin, di koridor sekolah, di dalam lift atau di depan wastafel toilet sambil membenahi penampilan.

                                                                                  
Tahun berikutnya saya mendapat tawaran pekerjaan mengajar di sekolah lain. Memang sangat berat untuk meninggalkan siswa-siswa saya di tempat yang lama yang sudah terlanjur saya sayangi. Tetapi ada sekolah lain yang lebih membutuhkan saya. Meski saya tidak lagi mengajar disitu, siswa-siswa saya tetap rajin menghubungi saya. Pengalaman ini mengajarkan kepada saya bahwa untuk menjadi pengajar yang baik tidak harus menjadi pengajar yang galak dan ditakuti siswa, tetapi menjadi pengajar bisa membuat siswa merasa nyaman dan senang ketika berada di dekat kita.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar