Tahun 2005
adalah tahun pertama pengalaman saya mengajar. Benar-benar pengalaman pertama
dan langsung menjadi tenaga pengajar untuk sebuah sekolah internasional. Meski bapak saya dulu adalah guru, tetapi menjadi guru adalah sebuah profesi yang tidak pernah ada dalam bayangan saya. Ternyata memang benar, hidup penuh kejutan. Kadang kita haru siap menjalani apa yang tadinya tidak terbayangkan sebelumnya. Dan demi sebuah pengalaman berharga, kita harus menjalaninya.
Malam
sebelum hari pertama mengajar, saya mendadak mengidap penyakit insomnia. Saya
benar-benar tidak bisa tidur membayangkan apa yang akan terjadi besok.
Terus
terang saya memang mudah jatuh cinta dengan senyum polos dan ekspresi tak
berdosa dari wajah anak-anak balita. Tetapi besok yang saya hadapi adalah
anak-anak usia sekolah dasar dengan rentang usia 6 sampai 12 tahun dan dari
berbagai negara. Apalagi saya sebelumnya tidak memiliki pengalaman mengajar.
Padahal besok saya sudah harus mengajar empat kelas yang berbeda, dan
mengajarnya dalam bahasa Inggris pula.
Dan momen yang
mendebarkan itu akhirnya tiba. Dari jarak lima meter sebelum memasuki ruangan
kelas, saya merasa seperti berjalan menuju tempat penjagalan diri saya sendiri. Jantung saya benar-benar berdebar kencang. Saya bahkan sempat terpikir meminta bantuan
guru senior untuk mendampingi saya. Tetapi kemudian saya batalkan karena saya pikir,
saya harus menghadapi ini sendiri.
Untuk
menenangkan perasaan saya, saya hanya mencoba menekankan pada diri saya sendiri
bahwa yang akan saya hadapi adalah anak-anak, bukan binatang buas atau monster.
Seburuk-buruknya respon atau tingkah laku mereka, mereka tidak akan sampai
memangsa saya.
Begitu memasuki
ruangan kelas dan berjalan dengan gaya berjalan yang saya gagah-gagahkan,
tiba-tiba aktifitas di dalam kelas terhenti. Kelas yang tadinya riuh tiba-tiba berubah
sunyi. Beberapa anak yang tadinya berlarian kesana kemari mendadak berhenti
seperti film yang sedang di-pause. Gerombolan siswa yang tadinya asyik ngerumpi dibarisan bangku
belakang menolehkan kepalanya ke depan, tetapi posisi badan tetap menghadap
kebelakang.
“Who are you?”.
Tiba-tiba seorang siswa laki-laki dengan raut wajah blasteran (yang kemudian
saya tau namanya Michael, warga negara Jerman) sudah berdiri di samping saya dengan
tampang ingin tau. Tinggi badannya nyaris menyamai saya. Pertanyaan yang sungguh sopan sekali. Setelah
mengatur nafas dan yakin semua sedang siap mendengarkan saya, saya kemudian
angkat bicara.
“I’m your new
teacher”, ujar saya sambil menebar senyum yang semoga tidak tampak mengerikan
di mata mereka. Semua diam saja, tak ada ekspresi senang atau bahkan
sebal. OK, mereka sudah mulai membenci saya.
“Your new ART
Teacher”, dengan ragu-ragu dan sedikit kikuk saya kembali menambahkan dengen intonasi pengucapan ART yang sengaja berlebihan. Saya tidak tau
apakah spesialisasi saya akan menarik perhatian mereka atau tidak.
Diluar dugaan
saya, kalimat saya yang terakhir membuat seisi ruangan tiba-tiba kembali riuh.
Bukan, bukan karena mereka tidak mengganggap saya tidak penting, karena sebagian
besar mereka berteriak kegirangan Sementara yang lain senyum-senyum penuh
kegembiraan.
Apa yang
terjadi? Saya bahkan sempat berpikir, jangan-jangan saya baru saja salah
ngomong. Apakah saya baru saja mengatakan bahwa kelas ini akan mengadakan pesta
seharian penuh dan hal-hal menyenangkan lainnya? Tetapi kecurigaan saya
langsung menguap ketika Gina – siswa yang berasal dari Korea, dengan antusias
bertanya ,” What are you going to teach us today?”.
“Drawing”, jawab
saya sambil masih tetap menebar senyum simpatik.
“Great!”
“Crafting”, saya menambahkan lagi.
“Great!”
“Painting”, saya makin antusias.
“Great!”
“Anything”
“Great!”
“Including nungging”. Hahaha, tetapi itu saya ucapkan hanya dalam hati
saja.
Apapun yang saya
ucapkan mereka respon dengan kata ‘great!”. Well,
saya merasa diterima oleh anak-anak ini. Saya merasa berhasil memikat hati
anak-anak ini. Kesan pertama berhasil saya atasi. Bagaimana dengan kesan
selanjutnya?
Hari-hari
selanjutnya, pagi hari ketika baru sampai di sekolah, saya sibuk membalas
sapaan ‘good morning’ atau sekedar
senyum dari siswa-siswa saya. Ketika ruangan saya dikunjungi oleh
berbondong-bondong siswa saat jam istirahat, hanya untuk sekedar bertanya saya makan siang pakai apa, minggu
depan saya akan mengajarkan materi apa, saya tinggal dimana, sampai pertanyaan yang agak pribadi :
apakah saya sudah menikah atau tidak.
Yang paling
menggelitik adalah pertanyaan tentang warga negara saya. Aksen bahasa Inggris
saya yang aneh, membuat banyak dari antara mereka yang mengira kalau saya dari
Filipina atau Thailand.
Mereka juga
sangat menyukai nama keluarga atau marga saya yang menurut mereka unik dan
keren. Percaya atau tidak, ketika menulis nama lengkap saya, mereka tidak
pernah salah dalam mengeja nama keluarga saya. Padahal pengalaman saya
sebelumnya, tujuh dari sepuluh orang yang saya temui selalu salah mengeja nama
keluarga saya.
Tidak punya
pengalaman mengajar sebelumnya sedikit banyak membantu saya untuk bisa merebut
perhatian anak-anak tersebut. Karena tidak punya gambaran cara mengajar yang
benar, saya seperti tertantang untuk menciptakan sendiri suasana belajar yang
menyenangkan untuk saya dan siswa-siswa saya. Pada sessi pelajaran saya, saya membebaskan siswa saya untuk duduk bebas
atau selonjoran dilantai. Yang penting mereka merasa nyaman mendengarkan
isntruksi saya dan mengerjakan tugas yang saya berikan. Saya juga selalu
bersedia membahas materi atau membimbing siswa-siswa saya di luar jam
pelajaran saya. Menjawab pertanyaan seputar deadline
pengumpulan tugas atau curhat tentang pengalaman main Play Station tidak haram
saya layani di kantin, di koridor sekolah, di dalam lift atau di depan wastafel toilet
sambil membenahi penampilan.
Tahun berikutnya
saya mendapat tawaran pekerjaan mengajar di sekolah lain. Memang sangat
berat untuk meninggalkan siswa-siswa saya di tempat yang lama yang
sudah terlanjur saya sayangi. Tetapi ada sekolah lain yang lebih membutuhkan
saya. Meski saya tidak lagi mengajar disitu, siswa-siswa saya tetap rajin
menghubungi saya. Pengalaman ini mengajarkan kepada saya bahwa untuk menjadi
pengajar yang baik tidak harus menjadi pengajar yang galak dan ditakuti siswa,
tetapi menjadi pengajar bisa membuat siswa merasa nyaman dan senang ketika
berada di dekat kita.
0 komentar:
Posting Komentar