Ahok lahir di Manggar (Belitung Timur) pada tanggal 29 Juni 1966 dengan
nama Basuki Tjahaja Purnama. Sementara nama populernya yaitu ‘Ahok’
berasal dari nama Mandarin-nya: Tjung Ban Hok, dimana sejak kecil
pria yang dulu pernah menjabat sebagai direktur beberapa perusahaan besar ini
terbiasa dipanggil oleh teman-temannya dengan sebutan Ahok, yang
sepertinya disadur dari nama belakangnya Hok.
Basuki adalah nama yang biasanya identik diberikan untuk anak laki-laki, dimana
nama tersebut berasal dari Jawa dengan pengertian selamat.
Sementara Tjahaja yang merupakan ejaan lama dari kata cahaya,
memiliki makna terang. Purnama juga dalam masyarakat Jawa berarti
terang, dimana bulan purnama adalah saat posisi permukaan bulan sedang dalam
keadaan memantulkan cahaya penuh yang otomatis menjadi sumber terang untuk bumi
di malam hari. Jadi Basuki Tjahaja Purnama bisa diartikan sebagai anak
laki-laki yang lahir dengan selamat di bawah cahaya bulan purnama.
William Shakespeare lewat lakon Romeo & Juliet yang terkenal sedunia boleh
saja berceloteh “apalah arti sebuah nama?”. Memang benar. Di luar negeri
seperti Amerika dan negara-negara di Eropa, nama-nama umum seperti Michael,
William, Tommy dan lain-lain jelas hanya sekedar nama tanpa makna apa-apa.
Tetapi di Indonesia, apalagi pada beberapa suku dan daerah tertentu, nama bukan
hanya sekedar nama. Nama bukan sekedar panggilan belaka. Nama adalah sebuah
doa, keinginan dan cita-cita. Nama yang sengaja dipilihkan oleh orangtua
biasanya selalu teriring doa agar kelak si anak jalan hidupnya sesuai dengan
doa yang disematkan orangtua lewat pilihan nama yang diberikan.
Apakah nama Basuki Tjahaja Purnama yang sarat dengan filosofi dan
makna ini layak disandang oleh alumnus Universitas Trisakti jurusan
Teknik Geologis (1989) yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI
Jakarta?
Peran sang ayah: Alm. Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam)
sepertinya sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan pola pikir Ahok.
Sejak kecil Ahok sudah diajarkan oleh ayahnya tentang empati dalam kehidupan.
Bukan sekedar nasehat atau wejangan yang sifatnya teori atau wacana sambil
lalu, misalnya pembicaraan sekelebat dan basa-basi saat kebetulan sedang makan
bersama atau berkumpul di rumah. Ayahanda Ahok mengajarkan nilai hidup
dengan cara mengajaknya terjun langsung menyaksikan kehidupan masyarakat kecil
disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Membiarkan Ahok melihat langsung bahwa
masyarakat kecil yang sebenarnya sangat membutuhkan perhatian itu jumlahnya
sangat banyak. Hal yang paling sederhana yang bisa ditangkap Ahok untuk bisa
membantu masyarakat kecil adalah tidak mengambil atau merampas sesuatu yang
menjadi hak mereka. Maka ketika memutuskan untuk menjadi pejabat, Ahok bertekad
menjadi pejabat yang bersih. Berjanji pada diri sendiri bahwa akses terhadap
uang negara harus digunakan untuk kepentingan masyarakat dan membantu rakyat,
bukan malah di korupsi atau kepentingan pribadi.
Sang ayah juga menekankan kepada Ahok bahwa jika berniat membantu orang
lain, harus segera dilakukan, jangan ditunda-tunda. Jangan menunggu sampai
punya harta atau uang berlebih dulu, dan jangan pernah pamrih. Jika memiliki
kesempatan, harus segera dilakukan, karena tidak ada orang yang menjadi jatuh
miskin hanya gara-gara memberi dan membantu orang lain. Ajaran sang ayah bukan
hanya sebatas teori saja, karena Ahok menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana sang ayah yang tidak takut ditembak oleh oknum polisi demi membela
karyawannya yang dipukuli.
Pengalaman itu juga yang akhirnya membuat pria yang mendapat gelar Magister
Manajemen dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya (1994) ini
memegang teguh prinsip bahwa kematian itu seharusnya bukan sesuatu yang perlu
ditakuti.
“Mati karena membela kebenaran itu adalah sebuah
keuntungan,” tukas Ahok
pada beberapa kesempatan saat sedang orasi atau memberi kata sambutan di depan
warga dari berbagai kalangan. Ahok berpendapat bahwa kematian tidak seharusnya
menjadi sesuatu yang menakutkan jika mati atas nama kebenaran. Tidak semua
orang beruntung bisa mati karena membela kebenaran, mati secara terhormat.
Orang justru banyak yang mati konyol gara-gara narkoba, bunuh diri, tawuran,
dan ugal-ugalan di jalan sehingga mengalami kecelakaan. Kematian yang sia-sia
tanpa makna.
Karakter Ahok yang galak dan meledak-ledak memang seperti sebuah
‘terobosan’ baru dalam dunia politik dan pemerintahan Indonesia. Sudah
berkecimpung dalam dunia politik selama kurang lebih sepuluh tahun membuat Ahok
yakin bahwa ada sistem dan budaya yang harus diubah jika ingin menjadikan skema
politik dan pemerintahan Indonesia menjadi lebih baik. Berubah menjadi lebih
baik itu bukan sesuatu yang tidak mungkin jika saja orang mau berubah.
Sejak masih menjadi anggota DPRD Belitung (dari partai Perhimpunan
Indonesia Baru), Bupati Belitung Timur dan DPR (dari partai Golkar), Ahok sudah
terlihat khas dan menonjol dengan karakternya yang vokal dan blak-blakan.
Karakter yang selama ini diasosiasikan sebagai sesuatu yang buruk dan tak
pantas ditunjukkan oleh pejabat pemerintahan. Misalnya kebiasaan bicara
ceplas-ceplos seperti tanpa filter justru seperti menjadi senjata
pamungkas Ahok yang sanggup membuat ‘lawan’ keder.
Lihatlah bagaimana Ahok tanpa gentar melabrak perwakilan buruh yang
mendatangi kantornya dengan jumlah dan perawakan yang cukup mengintimidasi saat
menuntut kenaikan upah yang menurut Ahok mengada-ada dan tidak sesuai aturan
dan standar yang berlaku.
“Otaknya terbuat dari apa?” teriak Ahok dengan nada tinggi. Bukan hanya soal
tuntutan itu saja yang membuat Ahok naik pitam. Ahok tau bahwa di luar gedung,
para rekan buruh yang tidak ikut masuk ke dalam gedung sudah menunggu selama
hampir dua jam, kelaparan dan kelelahan. Perwakilan mereka malah dengan
santainya menulis notulen pertemuan dengan tulisan tangan yang notabene sangat
memakan waktu.
“Mereka datang dengan gadget yang canggih, masa untuk
menulis saja masih pakai tulis tangan? Masa nggak punya laptop? Ini notulen
lho, mau ditulis sampai berapa jam sementara teman-temannya sudah kelaparan di
luar.”
Ahok boleh saja tidak bersimpati terhadap perwakilan buruh yang menemuinya
di dalam ruangan kantornya, tetapi itu sama sekali tidak menghilangkan
perhatian dan simpatinya pada rekan-rekan buruh yang menunggu hasil pertemuan
diluar. Sebuah perhatian dan simpati yang mungkin luput bahkan oleh perwakilan
buruh itu sendiri.
Atau ketika menghadapi warga sekitar waduk yang menolak dipindahkan ke
rumah susun. Ahok mengamuk, jelas bukan tanpa alasan.
“Di rumah susun kita sudah janjikan akan menyediakan
TV, kulkas dan segala macam yang mungkin belum mereka miliki saat masih tinggal
disekitar waduk. Eh, mereka malah ngotot minta disediakan rumah lantai dua. Apa
nggak melunjak tuh namanya? Enak saja!”
Tetapi buat Ahok, marah itu sangat manusiawi. Menurutnya orang justru tidak
normal kalau tidak bisa marah. Asalkan kemarahan itu ada dasar alasannya, bukan
kemarahan yang tidak jelas juntrungannya.
Adapun tujuan awal Ahok terjun ke dunia politik adalah ingin sekedar ingin
mengenal peta politik saja, sama sekali tidak berambisi untuk menjadi seseorang
yang bergelimang power. Itu sebabnya saat masih menjabat sebagai DPRD
Belitung Timur (2004-2005), Bupati Belitung Timur (2005-2006), DPR (2009-2012),
Ahok mengaku tidak pernah menggunakan fasilitas kampanye. Bahkan dalam
perolehan suara Ahok selalu mendapat perolehan suara terendah. Tetapi yang
namanya jodoh dan rezeki memang tidak akan lari kemana, Ahok selalu menemukan
jalan untuk mendapatkan posisinya dalam pemerintahan.
Sosok Ahok sendiri adalah sebuah terobosan baru. Mengingat Ahok berasal
dari etnis yang di Indonesia masih kerap dianggap oleh segelintir orang sebagai
etnis minoritas. Keluarga Ahok adalah warga keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka
(Kejia). Tetapi stigma tersebut sama sekali tidak mempengaruhi Ahok.
Ahok tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan tegas, galak dan tidak
kenal takut.
Ahok memang sadar sepenuhnya bahwa akan selalu ada segelintir orang yang
langsung merasa terintimidasi ketika pemimpin terpilih mereka berasal dari
agama, ras , suku dan jender yang berbeda dari mereka. Itu hal yang wajar.
Wajar bukan berarti menjadi dibiarkan seperti itu terus menerus. Itu sebabnya
Ahok bertekad ingin menjadi pejabat yang dikenal ‘bersih’ dan tegas, demi
tujuan mengubah pola pikir masyarakat yang sudah terbentuk menjadi paradigma
yang keliru selama ini. Lewat kinerjanya yang tanpa pencitraan atau jaga image,
Ahok ingin membuat masyarakat sadar bahwa kepemimpinan sejati itu seharusnya
dinilai berdasarkan integritas dan kemampuan memimpin. Karena pada hakekatnya,
integritas dan kepemimpinan sama sekali tidak ada hubungannya dengan SARA.
Dikenal sebagai pribadi yang berani tegas kepada siapa saja tanpa pandang
bulu, sebenarnya adakah sesuatu yang menjadi ketakutan untuk Ahok? Ahok
mengakui bahwa dia hanya takut pada sumpah jabatan, dimana pada saat diambil
sumpah jabatannya, Ahok bersumpah dengan menggunakan media kitab suci. Itu
berarti Ahok bersumpah tidak hanya pada negara, tetapi juga pada Tuhan. Ini
menjadi sebuah pakem yang dipegang teguh oleh Ahok untuk tidak pernah main-main
dengan jabatannya.
Satu lagi ketakutan Ahok adalah jika dia merasa dia tidak mampu memenuhi
harapan orang yang sudah memilihnya menjadi Wakil Gubernur.
“Orang memilih kita untuk duduk di sebuah posisi
pemerintahan karena mereka percaya kepada kita. Mereka percaya kepada kita
karena mereka punya harapan. Dan harapan itu mereka percaya akan bisa terwujud
jika mereka memilih kita. Ini adalah tanggung jawab moral setelah menjadi
pejabat negara,” ujar Ahok pada
suatu wawancara.
Jika sebagian orang menganggap bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan
adalah orang-orang yang ‘salah’ serta orang-orang yang tidak mempunyai
integritas dan tanggung jawab, dikarenakan citra negatif yang selama ini
terekspos lewat media seperti kasus korupsi, suap dan asusila, beda halnya
dengan pendapat Ahok. Ahok percaya bahwa begitu banyak sumber daya manusia di
parlemen dan lembaga pemerintahan yang sebenarnya memiliki integritas dan
tanggung jawab yang luar biasa. Masalahnya, mereka tidak memiliki keberanian
untuk membuat gebrakan yang memutuskan mata rantai dan menghancurkan lingkaran
setan citra negatif yang selama ini sudah begitu kokoh dibangun oleh
oknum-oknum tak bertanggung jawab yang duduk di lembaga pemerintahan. Mereka
belum siap untuk dimusuhi atau disebut ‘orang gila’ oleh oknum-oknum yang tidak
satu ideologi dengan mereka.
“Saya tidak peduli ketika saya dibilang orang gila dan
senang cari musuh,” tukas Ahok
tegas. Ahok mengatakan bahwa ketika anda berani mendobrak sesuatu yang buruk
yang sudah menjadi kebiasaan dan budaya, anda akan dianggap sebagai ‘orang
gila’. Buat Ahok, itu tidak masalah. Orang boleh saja memberi cap atau julukan
yang aneh-aneh pada dirinya, dia tidak akan peduli selama dia masih berada di
koridor yang benar.
Jadi, apakah memang benar Ahok senang mencari musuh seperti yang
dibicarakan orang-orang? Ahok hanya tertawa dan malah balik bertanya “musuh
saya siapa?”. Selama menjabat sebagai Wakil Gubernur, Ahok memang kerap
terlibat pertikaian dengan berbagai pihak dari beragam strata sosial warga.
Mulai dari anggota DPRD, sesama pejabat, pengusaha, preman sampai masyarakat
kelas bawah. Misalnya pada saat pembahasan proyek Pekan Raya Jakarta (PRJ),
izin mendirikan mall di Jakarta, penertiban lahan usaha dan pemindahan
pemukiman liar.
“Yang menganggap saya musuh itu adalah mereka yang
tidak setuju dan merasa tidak diuntungkan oleh keputusan saya” kata pria yang pada tahun 2008 pernah menulis buku
berjudul “Merubah Indonesia” ini. Ahok menjelaskan bahwa yang menjadi
musuhnya itu hanya sekedar oknum. Ahok tidak pernah merasa dimusuhi atau
memusuhi seluruh anggota DPR, pengusaha, preman dan masyarakat kecil.
“Kalau mereka menganggap saya musuh, tidak mungkin
dong mereka sering mengunjungi saya ke kantor, makan siang bareng, menyapa dan
meminta saya foto bareng saat kebetulan bertemu di jalan atau tempat umum.”
Pernah konflik dengan berbagai kalangan, bukan tidak mungkin Ahok pernah
mengalami intimidasi atau teror yang bertujuan untuk melemahkan kegalakan dan
ketegasan Ahok. Namun Ahok menanggapinya dengan santai.
“Keluarga saya sudah siap dengan segala kemungkinan
terburuk dan sudah membiasakan diri mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.
Kami sama-sama punya prinsip untuk tidak pernah takut selama kami yakin apa
yang kami lakukan adalah sesuatu yang benar dan sesuai dengan hati nurani.”
Termasuk ancaman pembunuhan atau hal-hal teror lain yang bisa membahayakan
nyawa?
“Saya menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha
Kuasa. Jika belum waktunya saya mati, saya tidak akan mati walau apapun yang
terjadi pada diri saya. Saya bukan orang yang takut mati. Saya bahkan sudah
bilang kepada istri saya, jika saya nanti mati, tolong bubuhkan tulisan ‘mati
adalah keuntungan’ di atas batu nisan saya dalam tiga bahasa: Indonesia,
Inggris dan Mandarin. Saya justru bangga jika mati karena membela sesuatu yang
saya anggap benar.”
Akhir-akhir ini begitu ramai wacana tentang pencalonan Gubernur DKI: Joko
Widodo sebagai calon presiden untuk Pemilu 2014. Lagi-lagi Ahok tidak
begitu ampil pusing untuk ikut hanyut dalam euforia ini. Bapak dari tiga anak
ini memilih fokus pada pekerjaannya sebagai Wakil Gubernur. Seandainya Jokowi
berhasil meraih perolehan suara untuk duduk di bangku kepresidenan, maka
otomatis Ahok yang akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Saya tidak menutup mata untuk kemungkinan itu. Sejak
awal, fokus pekerjaan saya adalah tugas sebagai Gubernur. Saya kan Wakil
Gubernur, satu-satunya tugas saya adalah mengusahakan dan membantu agar Pak
Jokowi berhasil memenuhi tanggung jawabnya sebagai Gubernur.”
Ahok juga dikenal sebagai pribadi yang arogan, dalam arti saat menyampaikan
pendapat tidak segan-segan menyampaikannya dengan bahasa dan nada yang bisa
membuat lawan bicara tersinggung. Tidakkah peraih penghargaan Bung Hatta
Anti-Corruption Award misalnya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih friendly
dan ngemong, agar tidak dicap sebagai pejabat yang arogan dan agar dicintai
oleh lebih banyak orang?
“Yang penting kan integritas dan taat aturan. Nggak
ada peraturan yang mengatakan bahwa pejabat harus kalem dan tidak boleh
blak-blakan. Justru harus berani bicara dan bertindak sesuai peraturan yang
ada. Jika kita masih sibuk mengkhawatir dan memikirkan penilaian orang terhadap
kita, dimana lebih besar rasa takut mengecewakan orang daripada keberanian
untuk bertindak benar, maka kita tidak akan berhasil dalam tugas kita.”
Buat Ahok, tidak masalah jika dia dituduh arogan. Selama arogansinya
dilakukan untuk menegakkan aturan dan melawan kelaliman, ya tidak menjadi
masalah. Karena memang harus dipahami bahwa ada beberapa orang yang baru bisa
berubah dan menyadari kesalahannya kalau sudah ditindak atau diperingati secara
tegas. Ahok malah memberi pilihan yang masuk akal dan memang logis untuk
mendukung argumentasinya.
“Anda sendiri akan pilih yang mana? Pemimpin yang
kalem, baik hati tetapi korupsi ATAU pemimpin yang galak, tegas tapi jujur?”
Visi dan misi Ahok selaku Wakil Gubernur ternyata sederhana saja, yakni
membantu Jokowi untuk membuat Jakarta sebagai kota yang modern dan manusiawi.
Sesederhana itu, tetapi prosesnya sangat menguras tenaga dan pikiran dimana
Ahok harus berjibaku perang urat saraf serta mental menghadapi pihak-pihak yang
selama ini sudah terbiasa dimanja oleh pejabat-pejabat sebelumnya yang gampang
saja memberi dan memenuhi keinginan mereka, asalkan memenuhi syarat-syarat
tertentu yang mugkin sifatnya lebih kepada kepentingan pribadi.
Namun, di luar segala tanggung jawab dan aktifitas yang kerap menegangkan
urat saraf dan lingkungan yang stressful, Ahok tetap selalu menyediakan
waktu untuk bersantai bersama keluarga. Salah satu kegiatan rutin Ahok beserta
keluarga adalah menonton film di bioskop. Sementara Ahok sendiri punya hobby
memelihara ikan dan kura-kura, memasak dan juga merawat tanaman buah-buahan di
rumahnya.
Kisruh menjelang Pemilu Presiden tahun 2014 dimana sejumlah nama yang sudah
mulai ‘menjual diri’, apakah Ahok pernah kepikiran juga untuk mencalonkan diri?
Mengingat visi dan misinya adalah memberi bukti bahwa masih ada pejabat
pemerintahan yang memegang teguh integritas dan taat aturan, bukankah Ahok akan
lebih memiliki power yang lebih besar dan ruang lingkup yang lebih luas
untuk mewujudkannya jika menjadi orang nomor satu di negeri ini? Lagi-lagi Ahok
mempunyai pemikiran yang berbeda, yang sesuai dengan prinsip hidupnya.
“Kesusahan hari ini saya pikirkan hari ini. Saya tidak
mau menebak-nebak apa kesusahan besok atau lusa. Sekarang saya adalah Wakil
Gubernur, maka saya akan fokus dengan tugas saya dan tidak mau terganggu dengan
segala macam aktifitas yang tidak ada urusannya dengan tanggung jawab dan tugas
saya sebagai Wakil Gubernur.”
Berbicara soal Pemilu Pilpres, mengingat Ahok adalah Wakil Gubernur pilihan
dari kader partai Gerindra, apakah mungkin Ahok berani menolak jika diharuskan
ikut kampanye untuk meloloskan capres dari partai Gerindra?
Dengan diplomatis, Ahok menjelaskan bahwa sebenarnya sejak menjabat sebagai
Wakil Gubernur, dia sudah ‘berkampanye’. Kampanye yang subtil dalam
konteks memberi contoh dan bukti bahwa kader dari Gerindra adalah kader yang
baik dan berkwalitas. Dan Ahok mengasosiasikan contoh dan bukti tersebut lewat
sosok dirinya sendiri. Setidaknya dengan memberi contoh konkrit secara
langsung, Ahok mengharapkan akan timbul citra positif dari kader partai yang
dia wakili, sehingga nantinya akan membangun kepercayaan rakyat yang otomatis
akan memilih kader dari partai tersebut karena sudah ketahuan bobot, bebet dan
bibitnya. Bukan lagi seperti membeli kucing dalam karung, atau memilih
berdasarkan sogok-sogokan dan pencitraan palsu lagi.
Begitulah Ahok yang memiliki prinsip dan visi yang sederhana, tetapi
aplikasinya tidak sesederhana wacananya. Namun Ahok tetap garang maju dan
menggebrak semua yang berani macam-macam, sambil tetap berpegang teguh pada
aturan dan hukum yang berlaku. Ahok sangat meneladani sosok nabi Isa, yang mana
Ahok meneladani pemikiran bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri,
tetapi juga untuk orang lain. Itu jugalah sebabnya Ahok rela dibenci dan
dimusuhi oleh segelintir orang demi memperjuangkan kepentingan banyak orang.
Karakter negatif seperti arogan, galak, ceplas-ceplos, berbicara
dengan nada tinggi, blak-blakan, meledak-ledak, gampang marah dan
lain-lain yang biasanya dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif justru
menjadi sesuatu yang positif ketika diaplikasikan pada sosok Ahok.
Istilah bahasa Inggris menyebutnya ‘wrong becomes good in the hand of the
right man’. Sesuatu yang tadinya dianggap salah, ternyata bisa menjadi
sesuatu yang benar jika dilakukan untuk alasan yang baik.
Nama bukan sekedar panggilan. Nama adalah sebuah doa. Nama yang sengaja
dipilihkan oleh orangtua seiring doa agar kelas si anak jalan hidupnya sesuai
dengan doa yang disematkan orangtua lewat pilihan nama yang diberikan. Dan
sepertinya Ahok adalah salah satu dari sekian pribadi yang layak menyandang
nama yang teriring doa yang diberikan oleh orangtuanya sebagai namanya.
Basuki Tjahaja Purnama, lelaki yang menjadi sumber terang dalam kegelapan
yang meliputi, terang yang terkadang terlalu ’silau’ namun justru membuat
segalanya tampak lebih jelas. Karena untuk mereka yang terbiasa hidup dalam
gelap, sebuah pendar cahaya memang pada awalnya akan menyilaukan dan menyakiti
mata, tetapi lama-lama pasti akan terbiasa.
0 komentar:
Posting Komentar