17/03/14

AHOK - The Right Man With The 'Wrong' Attitude

Ahok lahir di Manggar (Belitung Timur) pada tanggal 29 Juni 1966 dengan nama Basuki Tjahaja Purnama. Sementara nama populernya yaitu ‘Ahok’ berasal dari nama Mandarin-nya: Tjung Ban Hok, dimana sejak kecil pria yang dulu pernah menjabat sebagai direktur beberapa perusahaan besar ini terbiasa dipanggil oleh teman-temannya dengan sebutan Ahok, yang sepertinya disadur dari nama belakangnya Hok.

Basuki adalah nama yang biasanya identik diberikan untuk anak laki-laki, dimana nama tersebut berasal dari Jawa dengan pengertian selamat. Sementara Tjahaja yang merupakan ejaan lama dari kata cahaya, memiliki makna terang. Purnama juga dalam masyarakat Jawa berarti terang, dimana bulan purnama adalah saat posisi permukaan bulan sedang dalam keadaan memantulkan cahaya penuh yang otomatis menjadi sumber terang untuk bumi di malam hari. Jadi Basuki Tjahaja Purnama bisa diartikan sebagai anak laki-laki yang lahir dengan selamat di bawah cahaya bulan purnama. 

William Shakespeare lewat lakon Romeo & Juliet yang terkenal sedunia boleh saja berceloteh “apalah arti sebuah nama?”. Memang benar. Di luar negeri seperti Amerika dan negara-negara di Eropa, nama-nama umum seperti Michael, William, Tommy dan lain-lain jelas hanya sekedar nama tanpa makna apa-apa. Tetapi di Indonesia, apalagi pada beberapa suku dan daerah tertentu, nama bukan hanya sekedar nama. Nama bukan sekedar panggilan belaka. Nama adalah sebuah doa, keinginan dan cita-cita. Nama yang sengaja dipilihkan oleh orangtua biasanya selalu teriring doa agar kelak si anak jalan hidupnya sesuai dengan doa yang disematkan orangtua lewat pilihan nama yang diberikan.

Apakah nama Basuki Tjahaja Purnama yang sarat dengan filosofi dan makna ini layak disandang oleh alumnus Universitas Trisakti jurusan Teknik Geologis (1989) yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta? 

Peran sang ayah: Alm. Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam) sepertinya sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan pola pikir Ahok. Sejak kecil Ahok sudah diajarkan oleh ayahnya tentang empati dalam kehidupan. Bukan sekedar nasehat atau wejangan yang sifatnya teori atau wacana sambil lalu, misalnya pembicaraan sekelebat dan basa-basi saat kebetulan sedang makan bersama atau berkumpul di rumah. Ayahanda Ahok  mengajarkan nilai hidup dengan cara mengajaknya terjun langsung menyaksikan kehidupan masyarakat kecil disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Membiarkan Ahok melihat langsung bahwa masyarakat kecil yang sebenarnya sangat membutuhkan perhatian itu jumlahnya sangat banyak. Hal yang paling sederhana yang bisa ditangkap Ahok untuk bisa membantu masyarakat kecil adalah tidak mengambil atau merampas sesuatu yang menjadi hak mereka. Maka ketika memutuskan untuk menjadi pejabat, Ahok bertekad menjadi pejabat yang bersih. Berjanji pada diri sendiri bahwa akses terhadap uang negara harus digunakan untuk kepentingan masyarakat dan membantu rakyat, bukan malah di korupsi atau kepentingan pribadi.

Sang ayah juga menekankan kepada Ahok bahwa jika berniat membantu orang lain, harus segera dilakukan, jangan ditunda-tunda. Jangan menunggu sampai punya harta atau uang berlebih dulu, dan jangan pernah pamrih. Jika memiliki kesempatan, harus segera dilakukan, karena tidak ada orang yang menjadi jatuh miskin hanya gara-gara memberi dan membantu orang lain. Ajaran sang ayah bukan hanya sebatas teori saja, karena Ahok menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sang ayah yang tidak takut ditembak oleh oknum polisi demi membela karyawannya yang dipukuli.

Pengalaman itu juga yang akhirnya membuat pria yang mendapat gelar Magister Manajemen dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya (1994) ini memegang teguh prinsip bahwa kematian itu seharusnya bukan sesuatu yang perlu ditakuti.

“Mati karena membela kebenaran itu adalah sebuah keuntungan,” tukas Ahok pada beberapa kesempatan saat sedang orasi atau memberi kata sambutan di depan warga dari berbagai kalangan. Ahok berpendapat bahwa kematian tidak seharusnya menjadi sesuatu yang menakutkan jika mati atas nama kebenaran. Tidak semua orang beruntung bisa mati karena membela kebenaran, mati secara terhormat. Orang justru banyak yang mati konyol gara-gara narkoba, bunuh diri, tawuran, dan ugal-ugalan di jalan sehingga mengalami kecelakaan. Kematian yang sia-sia tanpa makna.

Karakter Ahok yang galak dan meledak-ledak memang seperti sebuah ‘terobosan’ baru dalam dunia politik dan pemerintahan Indonesia. Sudah berkecimpung dalam dunia politik selama kurang lebih sepuluh tahun membuat Ahok yakin bahwa ada sistem dan budaya yang harus diubah jika ingin menjadikan skema politik dan pemerintahan Indonesia menjadi lebih baik. Berubah menjadi lebih baik itu bukan sesuatu yang tidak mungkin jika saja orang mau berubah.

Sejak masih menjadi anggota DPRD Belitung (dari partai Perhimpunan Indonesia Baru), Bupati Belitung Timur dan DPR (dari partai Golkar), Ahok sudah terlihat khas dan menonjol dengan karakternya yang vokal dan blak-blakan. Karakter yang selama ini diasosiasikan sebagai sesuatu yang buruk dan tak pantas ditunjukkan oleh pejabat pemerintahan. Misalnya kebiasaan bicara ceplas-ceplos seperti tanpa filter justru seperti menjadi senjata pamungkas Ahok yang sanggup membuat ‘lawan’ keder.

Lihatlah bagaimana Ahok tanpa gentar melabrak perwakilan buruh yang mendatangi kantornya dengan jumlah dan perawakan yang cukup mengintimidasi saat menuntut kenaikan upah yang menurut Ahok mengada-ada dan tidak sesuai aturan dan standar yang berlaku. 

“Otaknya terbuat dari apa?” teriak Ahok dengan nada tinggi. Bukan hanya soal tuntutan itu saja yang membuat Ahok naik pitam. Ahok tau bahwa di luar gedung, para rekan buruh yang tidak ikut masuk ke dalam gedung sudah menunggu selama hampir dua jam, kelaparan dan kelelahan. Perwakilan mereka malah dengan santainya menulis notulen pertemuan dengan tulisan tangan yang notabene sangat memakan waktu.
“Mereka datang dengan gadget yang canggih, masa untuk menulis saja masih pakai tulis tangan? Masa nggak punya laptop? Ini notulen lho, mau ditulis sampai berapa jam sementara teman-temannya sudah kelaparan di luar.”
 
Ahok boleh saja tidak bersimpati terhadap perwakilan buruh yang menemuinya di dalam ruangan kantornya, tetapi itu sama sekali tidak menghilangkan perhatian dan simpatinya pada rekan-rekan buruh yang menunggu hasil pertemuan diluar. Sebuah perhatian dan simpati yang mungkin luput bahkan oleh perwakilan buruh itu sendiri.

Atau ketika menghadapi warga sekitar waduk yang menolak dipindahkan ke rumah susun. Ahok mengamuk, jelas bukan tanpa alasan.

“Di rumah susun kita sudah janjikan akan menyediakan TV, kulkas dan segala macam yang mungkin belum mereka miliki saat masih tinggal disekitar waduk. Eh, mereka malah ngotot minta disediakan rumah lantai dua. Apa nggak melunjak tuh namanya? Enak saja!”

Tetapi buat Ahok, marah itu sangat manusiawi. Menurutnya orang justru tidak normal kalau tidak bisa marah. Asalkan kemarahan itu ada dasar alasannya, bukan kemarahan yang tidak jelas juntrungannya.

Adapun tujuan awal Ahok terjun ke dunia politik adalah ingin sekedar ingin mengenal peta politik saja, sama sekali tidak berambisi untuk menjadi seseorang yang bergelimang power. Itu sebabnya saat masih menjabat sebagai DPRD Belitung Timur (2004-2005), Bupati Belitung Timur (2005-2006), DPR (2009-2012), Ahok mengaku tidak pernah menggunakan fasilitas kampanye. Bahkan dalam perolehan suara Ahok selalu mendapat perolehan suara terendah. Tetapi yang namanya jodoh dan rezeki memang tidak akan lari kemana, Ahok selalu menemukan jalan untuk mendapatkan posisinya dalam pemerintahan.

Sosok Ahok sendiri adalah sebuah terobosan baru. Mengingat Ahok berasal dari etnis yang di Indonesia masih kerap dianggap oleh segelintir orang sebagai etnis minoritas. Keluarga Ahok adalah warga keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka (Kejia). Tetapi stigma tersebut sama sekali tidak mempengaruhi Ahok. Ahok tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan tegas, galak dan tidak kenal takut.

Ahok memang sadar sepenuhnya bahwa akan selalu ada segelintir orang yang langsung merasa terintimidasi ketika pemimpin terpilih mereka berasal dari agama, ras , suku dan jender yang berbeda dari mereka. Itu hal yang wajar. Wajar bukan berarti menjadi dibiarkan seperti itu terus menerus. Itu sebabnya Ahok bertekad ingin menjadi pejabat yang dikenal ‘bersih’ dan tegas, demi tujuan mengubah pola pikir masyarakat yang sudah terbentuk menjadi paradigma yang keliru selama ini. Lewat kinerjanya yang tanpa pencitraan atau jaga image, Ahok ingin membuat masyarakat sadar bahwa kepemimpinan sejati itu seharusnya dinilai berdasarkan integritas dan kemampuan memimpin. Karena pada hakekatnya, integritas dan kepemimpinan sama sekali tidak ada hubungannya dengan SARA.

Dikenal sebagai pribadi yang berani tegas kepada siapa saja tanpa pandang bulu, sebenarnya adakah sesuatu yang menjadi ketakutan untuk Ahok? Ahok mengakui bahwa dia hanya takut pada sumpah jabatan, dimana pada saat diambil sumpah jabatannya, Ahok bersumpah dengan menggunakan media kitab suci. Itu berarti Ahok bersumpah tidak hanya pada negara, tetapi juga pada Tuhan. Ini menjadi sebuah pakem yang dipegang teguh oleh Ahok untuk tidak pernah main-main dengan jabatannya.

Satu lagi ketakutan Ahok adalah jika dia merasa dia tidak mampu memenuhi harapan orang yang sudah memilihnya menjadi Wakil Gubernur.

“Orang memilih kita untuk duduk di sebuah posisi pemerintahan karena mereka percaya kepada kita. Mereka percaya kepada kita karena mereka punya harapan. Dan harapan itu mereka percaya akan bisa terwujud jika mereka memilih kita. Ini adalah tanggung jawab moral setelah menjadi pejabat negara,” ujar Ahok pada suatu wawancara.

Jika sebagian orang menganggap bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah orang-orang yang ‘salah’ serta orang-orang yang tidak mempunyai integritas dan tanggung jawab, dikarenakan citra negatif yang selama ini terekspos lewat media seperti kasus korupsi, suap dan asusila, beda halnya dengan pendapat Ahok. Ahok percaya bahwa begitu banyak sumber daya manusia di parlemen dan lembaga pemerintahan yang sebenarnya memiliki integritas dan tanggung jawab yang luar biasa. Masalahnya, mereka tidak memiliki keberanian untuk membuat gebrakan yang memutuskan mata rantai dan menghancurkan lingkaran setan citra negatif yang selama ini sudah begitu kokoh dibangun oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang duduk di lembaga pemerintahan. Mereka belum siap untuk dimusuhi atau disebut ‘orang gila’ oleh oknum-oknum yang tidak satu ideologi dengan mereka.

“Saya tidak peduli ketika saya dibilang orang gila dan senang cari musuh,” tukas Ahok tegas. Ahok mengatakan bahwa ketika anda berani mendobrak sesuatu yang buruk yang sudah menjadi kebiasaan dan budaya, anda akan dianggap sebagai ‘orang gila’. Buat Ahok, itu tidak masalah. Orang boleh saja memberi cap atau julukan yang aneh-aneh pada dirinya, dia tidak akan peduli selama dia masih berada di koridor yang benar.

Jadi, apakah memang benar Ahok senang mencari musuh seperti yang dibicarakan orang-orang? Ahok hanya tertawa dan malah balik bertanya “musuh saya siapa?”. Selama menjabat sebagai Wakil Gubernur, Ahok memang kerap terlibat pertikaian dengan berbagai pihak dari beragam strata sosial warga. Mulai dari anggota DPRD, sesama pejabat, pengusaha, preman sampai masyarakat kelas bawah. Misalnya pada saat pembahasan proyek Pekan Raya Jakarta (PRJ), izin mendirikan mall di Jakarta, penertiban lahan usaha dan pemindahan pemukiman liar.

“Yang menganggap saya musuh itu adalah mereka yang tidak setuju dan merasa tidak diuntungkan oleh keputusan saya” kata pria yang pada tahun 2008 pernah menulis buku berjudul “Merubah Indonesia” ini. Ahok menjelaskan bahwa yang menjadi musuhnya itu hanya sekedar oknum. Ahok tidak pernah merasa dimusuhi atau memusuhi seluruh anggota DPR, pengusaha, preman dan masyarakat kecil.

“Kalau mereka menganggap saya musuh, tidak mungkin dong mereka sering mengunjungi saya ke kantor, makan siang bareng, menyapa dan meminta saya foto bareng saat kebetulan bertemu di jalan atau tempat umum.”

Pernah konflik dengan berbagai kalangan, bukan tidak mungkin Ahok pernah mengalami intimidasi atau teror yang bertujuan untuk melemahkan kegalakan dan ketegasan Ahok. Namun Ahok menanggapinya dengan santai.

“Keluarga saya sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk dan sudah membiasakan diri mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Kami sama-sama punya prinsip untuk tidak pernah takut selama kami yakin apa yang kami lakukan adalah sesuatu yang benar dan sesuai dengan hati nurani.”

Termasuk ancaman pembunuhan atau hal-hal teror lain yang bisa membahayakan nyawa?

“Saya menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Kuasa. Jika belum waktunya saya mati, saya tidak akan mati walau apapun yang terjadi pada diri saya. Saya bukan orang yang takut mati. Saya bahkan sudah bilang kepada istri saya, jika saya nanti mati, tolong bubuhkan tulisan ‘mati adalah keuntungan’ di atas batu nisan saya dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Mandarin. Saya justru bangga jika mati karena membela sesuatu yang saya anggap benar.”

Akhir-akhir ini begitu ramai wacana tentang pencalonan Gubernur DKI: Joko Widodo sebagai calon presiden untuk Pemilu 2014. Lagi-lagi Ahok tidak begitu ampil pusing untuk ikut hanyut dalam euforia ini. Bapak dari tiga anak ini memilih fokus pada pekerjaannya sebagai Wakil Gubernur. Seandainya Jokowi berhasil meraih perolehan suara untuk duduk di bangku kepresidenan, maka otomatis Ahok yang akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

“Saya tidak menutup mata untuk kemungkinan itu. Sejak awal, fokus pekerjaan saya adalah tugas sebagai Gubernur. Saya kan Wakil Gubernur, satu-satunya tugas saya adalah mengusahakan dan membantu agar Pak Jokowi berhasil memenuhi tanggung jawabnya sebagai Gubernur.”

Ahok juga dikenal sebagai pribadi yang arogan, dalam arti saat menyampaikan pendapat tidak segan-segan menyampaikannya dengan bahasa dan nada yang bisa membuat lawan bicara tersinggung. Tidakkah peraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award misalnya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih friendly dan ngemong, agar tidak dicap sebagai pejabat yang arogan dan agar dicintai oleh lebih banyak orang?

“Yang penting kan integritas dan taat aturan. Nggak ada peraturan yang mengatakan bahwa pejabat harus kalem dan tidak boleh blak-blakan. Justru harus berani bicara dan bertindak sesuai peraturan yang ada. Jika kita masih sibuk mengkhawatir dan memikirkan penilaian orang terhadap kita, dimana lebih besar rasa takut mengecewakan orang daripada keberanian untuk bertindak benar, maka kita tidak akan berhasil dalam tugas kita.”

Buat Ahok, tidak masalah jika dia dituduh arogan. Selama arogansinya dilakukan untuk menegakkan aturan dan melawan kelaliman, ya tidak menjadi masalah. Karena memang harus dipahami bahwa ada beberapa orang yang baru bisa berubah dan menyadari kesalahannya kalau sudah ditindak atau diperingati secara tegas. Ahok malah memberi pilihan yang masuk akal dan memang logis untuk mendukung argumentasinya.

“Anda sendiri akan pilih yang mana? Pemimpin yang kalem, baik hati tetapi korupsi ATAU pemimpin yang galak, tegas tapi jujur?”

Visi dan misi Ahok selaku Wakil Gubernur ternyata sederhana saja, yakni membantu Jokowi untuk membuat Jakarta sebagai kota yang modern dan manusiawi. Sesederhana itu, tetapi prosesnya sangat menguras tenaga dan pikiran dimana Ahok harus berjibaku perang urat saraf serta mental menghadapi pihak-pihak yang selama ini sudah terbiasa dimanja oleh pejabat-pejabat sebelumnya yang gampang saja memberi dan memenuhi keinginan mereka, asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mugkin sifatnya lebih kepada kepentingan pribadi.

Namun, di luar segala tanggung jawab dan aktifitas yang kerap menegangkan urat saraf dan lingkungan yang stressful, Ahok tetap selalu menyediakan waktu untuk bersantai bersama keluarga. Salah satu kegiatan rutin Ahok beserta keluarga adalah menonton film di bioskop. Sementara Ahok sendiri punya hobby memelihara ikan dan kura-kura, memasak dan juga merawat tanaman buah-buahan di rumahnya.

Kisruh menjelang Pemilu Presiden tahun 2014 dimana sejumlah nama yang sudah mulai ‘menjual diri’, apakah Ahok pernah kepikiran juga untuk mencalonkan diri? Mengingat visi dan misinya adalah memberi bukti bahwa masih ada pejabat pemerintahan yang memegang teguh integritas dan taat aturan, bukankah Ahok akan lebih memiliki power yang lebih besar dan ruang lingkup yang lebih luas untuk mewujudkannya jika menjadi orang nomor satu di negeri ini? Lagi-lagi Ahok mempunyai pemikiran yang berbeda, yang sesuai dengan prinsip hidupnya. 

“Kesusahan hari ini saya pikirkan hari ini. Saya tidak mau menebak-nebak apa kesusahan besok atau lusa. Sekarang saya adalah Wakil Gubernur, maka saya akan fokus dengan tugas saya dan tidak mau terganggu dengan segala macam aktifitas yang tidak ada urusannya dengan tanggung jawab dan tugas saya sebagai Wakil Gubernur.”

Berbicara soal Pemilu Pilpres, mengingat Ahok adalah Wakil Gubernur pilihan dari kader partai Gerindra, apakah mungkin Ahok berani menolak jika diharuskan ikut kampanye untuk meloloskan capres dari partai Gerindra?

Dengan diplomatis, Ahok menjelaskan bahwa sebenarnya sejak menjabat sebagai Wakil Gubernur, dia sudah ‘berkampanye’. Kampanye yang subtil dalam konteks memberi contoh dan bukti bahwa kader dari Gerindra adalah kader yang baik dan berkwalitas. Dan Ahok mengasosiasikan contoh dan bukti tersebut lewat sosok dirinya sendiri. Setidaknya dengan memberi contoh konkrit secara langsung, Ahok mengharapkan akan timbul citra positif dari kader partai yang dia wakili, sehingga nantinya akan membangun kepercayaan rakyat yang otomatis akan memilih kader dari partai tersebut karena sudah ketahuan bobot, bebet dan bibitnya. Bukan lagi seperti membeli kucing dalam karung, atau memilih berdasarkan sogok-sogokan dan pencitraan palsu lagi.

Begitulah Ahok yang memiliki prinsip dan visi yang sederhana, tetapi aplikasinya tidak sesederhana wacananya. Namun Ahok tetap garang maju dan menggebrak semua yang berani macam-macam, sambil tetap berpegang teguh pada aturan dan hukum yang berlaku. Ahok sangat meneladani sosok nabi Isa, yang mana Ahok meneladani pemikiran bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Itu jugalah sebabnya Ahok rela dibenci dan dimusuhi oleh segelintir orang demi memperjuangkan kepentingan banyak orang.

Karakter negatif seperti arogan, galak, ceplas-ceplos, berbicara dengan nada tinggi, blak-blakan, meledak-ledak, gampang marah dan lain-lain yang biasanya dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif justru menjadi sesuatu yang positif ketika diaplikasikan pada sosok Ahok. Istilah bahasa Inggris menyebutnya ‘wrong becomes good in the hand of the right man’. Sesuatu yang tadinya dianggap salah, ternyata bisa menjadi sesuatu yang benar jika dilakukan untuk alasan yang baik.

Nama bukan sekedar panggilan. Nama adalah sebuah doa. Nama yang sengaja dipilihkan oleh orangtua seiring doa agar kelas si anak jalan hidupnya sesuai dengan doa yang disematkan orangtua lewat pilihan nama yang diberikan. Dan sepertinya Ahok adalah salah satu dari sekian pribadi yang layak menyandang nama yang teriring doa yang diberikan oleh orangtuanya sebagai namanya. Basuki Tjahaja Purnama, lelaki yang menjadi sumber terang dalam kegelapan yang meliputi, terang yang terkadang terlalu ’silau’ namun justru membuat segalanya tampak lebih jelas. Karena untuk mereka yang terbiasa hidup dalam gelap, sebuah pendar cahaya memang pada awalnya akan menyilaukan dan menyakiti mata, tetapi lama-lama pasti akan terbiasa.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar