Saya adalah pengguna
aktif Twitter. Sebenar dulu nggak aktif, paling cuma nge-tweet sebulan sekali.
Tetapi sejak saya pakai Blackberry, saya jadi keranjingan nge-tweet. Soalnya di
Blackberry-nya emang ada aplikasi Twitter-nya, gratis lagi. Masa saya anggurin?
Dalam Twitter
ada yang namanya istilah folbek alias follow back. Sepertinya kalo kita di-follow
orang, kita wajib mem-follow orang itu juga. Buat saya sih nggak wajib. Males
saya nge-follow alay dengan tweet random yang gak jelas juntrungan. Saya
biasanya follow orang-orang (bisa artis, bisa tema-teman saya) yang meskipun
tweet-nya kadang random, tetapi masih ada value-nya. Value-nya kayak gimana?
Biarlah itu menjadi standar pribadi saya saja. Tidak jarang juga ada orang atau teman yang tadinya
saya follow, trus saya unfollow karena tweet-nya lebih sering membuat saya
emosi daripada terhibur.
Nge-follow
artis sih sudah biasa. Tapi di-follow artis? Hmmm, ini baru luar biasa. Dan ternyata
ada juga artis yang diminta’in folbek, langsung mau. Entah karena basa-basi
atau kasihan. Mau bukti?
Ceritanya, nanti sore
anak-anak The Collective akan kembali
ke Australia, jadi pagi ini saya akan membawa mereka shopping ke Mall Ambassador.
Sebenarnya mereka minta ke Mangga Dua seperti
keinginan mereka kemarin, tetapi gila aja bawa mereka ke lokasi yang super crowded begitu. Apalagi hari Minggu
begini. Nggak deh, ma kasih.
Berhubung saya
tidak mungkin sanggup mengawasi mereka sendirian, maka saya ditemani oleh
Pondra (dari Sony Music) dan Pak Heri,
sang security RCTI yang setia mendampingi
saya sejak hari pertama. Ternyata yang mau ikut shopping cuma tiga orang: Will, Trent dan Julian. Jayden memilih
untuk berenang di kolam renang hotel, sementara Zach sudah berhasil kabur lagi sebelum
saya sampai di hotel tadi pagi. Nih anak memang tukang kabur dari
kemarin-kemarin, tetapi ya sudahlah. Yang jelas saya minta tolong sang manager agar terus mengingatkan Zach,
bahwa dia harus sudah kembali ke hotel sebelum jam empat, karena jam lima harus
check out dan meluncur ke bandara.
Mungkin karena penampilan mereka di TV tadi malam di acara X Factor Around The World, beberapa pengunjung dan pemilik toko di Mall Ambassador mengenali mereka dan langsung minta foto bareng. Anak-anak The Collective tampaknya senang-senang saja dan sangat menikmati menjadi pusat perhatian. Ya, tongkrongan mereka memang agak mencolok. Bukan sengaja mencolok, tetapi secara natural. Maklum, body mereka gede-gede, trus cuma pake singlet dan celana pendek. Maka kulit bule mereka yang putih cemerlang itu jelas aja terlihat kontras, apalagi kalau jalan sama saya yang kulitnya kuning langsat busuk.
Mungkin karena penampilan mereka di TV tadi malam di acara X Factor Around The World, beberapa pengunjung dan pemilik toko di Mall Ambassador mengenali mereka dan langsung minta foto bareng. Anak-anak The Collective tampaknya senang-senang saja dan sangat menikmati menjadi pusat perhatian. Ya, tongkrongan mereka memang agak mencolok. Bukan sengaja mencolok, tetapi secara natural. Maklum, body mereka gede-gede, trus cuma pake singlet dan celana pendek. Maka kulit bule mereka yang putih cemerlang itu jelas aja terlihat kontras, apalagi kalau jalan sama saya yang kulitnya kuning langsat busuk.
Ternyata remaja-remaja
bule ini juga bukan type yang gila
belanja dan nggak lapar mata. Meskipun mereka terlihat sangat berminat pada
satu barang, tetapi kalau menurut mereka harganya nggak manusiawi, ya mereka
nggak akan beli.
Dan ternyata
(lagi), menemani bule belanja itu sangat dilematis sekali. Antara menjadi
penghianat bangsa atau tour guide yang baik. Penjualnya kan orang Indonesia,
sementara saya kalau nawar pasti bisa bikin penjual mencabut pedangnya seketika dan
menantang saya duel. Pada satu sisi, saya rasanya kurang rela kalau 'adik-adik
bule' saya ini harus bayar mahal untuk sesuatu yang nggak worth it. Di sisi lain, darah Indonesia saya juga berdesir pengen
ngasih jalan ke penjualnya untuk dapat keuntungan ekstra dari pembeli yang tidak bisa
nawar ini. Toh, tidak setiap hari mereka mendapat pembeli dari kalangan
bule-bule royal. Maka jalan tengahnya adalah saya tetap membantu nawar, tetapi
nggak sampai jatuh-jatuh banget harganya. Pokoknya bisa turun sedikitlah, biar kedua belah pihak sama-sama nikmat.
Singkat cerita,
Will beli puluhan keping DVD film. Nggak tau DVD apa'an, dia nggak mau ngasih lihat ke saya. Julian beli dompet, ikat pinggang dan
sepatu. Sementara Trent beli jam tangan dan baju. Yang menarik, Trent tidak
terlihat canggung untuk memilih-milih tas perempuan merek terkenal. Setelah
merasa cocok dengan model dan harganya dia langsung membayar. Saya tanya
itu tas buat siapa, dia bilang buat mama dan ceweknya. So sweet! Kirain buat saya. Lho!?
Dalam
perjalanan pulang, tiba-tiba tiga orang ABG cewek menjerit-jerit histeris di samping
saya. Saya kira saya tanpa sengaja telah menginjak leher mereka. Ternyata bukan.
“The Collective ya, mas?” tanya cewek yang rambutnya di kuncir tinggi seperti air mancur.
“Bukan saya,
tapi mereka” jawab saya meralat dan menjelaskan sambil menunjuk Will, Trent dan
Julian.
“Ya iyalah mas,
maksud saya mereka. Nggak mungkin banget kalo mas anggota The Collective”. Sialan. Terus, tadi ngapain nanya-nanya?
“Minta foto
bareng dong, mas”
“Sama saya?”
“Bukan, ih
amit-amit. Mau foto sama The Collective dong”. Sialan! Anak-anak zaman sekarang ya,
tidak ada sopan santunnya sama sekali. Tidak mau menjaga perasaan orang lain.
“Mas, yang cakep
itu siapa namanya?”
“Saya?”
“Ihhhhh....”, semua langsung menggigil kesemutan. Lha, saya kan juga cakep.
“Yang mana?
Semuanya cakep itu,” tanya saya.
“Yang punya
tato gede-gede.”
“Itu namanya
Will”
“Bilangin
folbek dong, Mas”
“Heh, enak aja!
Saya aja belum di-folbek”
“What is it?” tanya Will tiba-tiba menengahi keributan kecil barusan.
“Folbek me,” cerocos cewek yang berkaca mata warna pink dengan nekadnya.
“What?”
“She wants you
to follow her on Twitter,” dengan setengah hati, saya menjelaskan ke Will.
“No problem, what’s your name?” jawab Will dengan ramahnya. Ketiganya
langsung menjerit histeris seperti kesurupan. Apa? Beneran Will mau folbek? Saya
tidak terima ini!
Dan memang benar.
Mereka bertiga memberi tahu nama akun Twitter
mereka masing-masing, dan langsung saat itu juga di-search oleh Will melalui smartphone-nya.
Aduh, ini tidak adil. Saya juga mau di-folbek,
tapi gengsi minta duluan.
Setelah selesai
foto bareng, mereka bertiga mengucapkan terima kasih dengan begitu riang
gembira. Saya sebenarnya masih dongkol karena mereka berhasil mendapat folbek
dari Will, sementara saya tidak. Padahal kan saya lebih layak. Tetapi melihat raut bahagia di wajah mereka,
saya akhirnya jadi ikut gembira juga. Memang benar kata Mama saya, kebahagiaan
itu cepat menular. Apalagi jika kita juga punya andil dalam menciptakan kebahagiaan orang tersebut.
“Kita udah di
folbek lho, mas” salah satu cewek yang berambut kepang kelabang mencolek pinggang sebelah kanan saya
sambil pasang mimik meledek. Saya pura-pura nggak dengar. Sakit hati ceritanya.
"Diem loe!", rutuk saya dalam hati.
"Mas, kita udah di-folbek", ulangnya lagi. Kali ini dia mencolek perut saya. Aduhhhh, kurang ke bawah. Hahahaha!
“Kalian follow
dia nggak?”, tanya saya curiga.
“Nggak”, jawab ketiganya tanpa merasa berdosa. Gubrak!
Berarti bukan folbek dong, tetapi minta di-follow. Ini anak-anak ngerti nggak
sih apa arti folbek?
“Ya udah, nanti
saya suruh di-unfol lagi,” saya pura-pura mengancam.
“Idihhhh,
sirik!!!”. Biarin, wew!
0 komentar:
Posting Komentar