11/03/14

INTERVIEW Prikitiw


Saya mendapat panggilan interview kerja ketika saya masih kuliah. Awalnya sih iseng melamar kesana-kemari karena banyak teman-teman kuliah yang juga nyambil sambil kuliah. Kayaknya kok ya keren banget kuliah sambil kerja.

Puji Tuhan, satu dari sembilan puluh tujuh lamaran yang saya kirim akhirnya merespon impian saya. Saya dipanggil untuk wawancara di sebuah sekolah internasional di Jakarta.

Setelah menyelesaikan ujian Typography, saya langsung terbang dari kampus di kawasan Jakarta Selatan menuju kawasan Jakarta Pusat. Gila, ternyata letak sekolah ini sangat elit, saking elitnya sampai letaknya sangat jauh dari peradaban. Turun dari metromini, saya berganti baju di balik pohon di pinggir jalan. Serius, saya benar-benar melakukannya – berganti baju di balik pohon - sekaligus merutuki diri sendiri kenapa lupa mengganti baju waktu masih di kampus tadi, sehingga kuli-kuli bangunan yang sedang sibuk bergelantungan di sebuah bangunan yang baru berupa kerangka di seberang jalan tak perlu bersuit-suit dan berteriak-teriak meledek.

T Shirt sudah berganti dengan kemeja lengan panjang, celana jeans sudah berganti dengan celana bahan, sepatu sneaker sudah berganti dengan sepatu pantofel. Sejenak saya berkaca ke comberan di sisi jalan. Hmmmm, ternyata saya lumayan ganteng juga kalau pakai baju beginian dan ngaca di comberan. Seperti saya harus sering-sering ngaca di comberan untuk meyakinkan diri bahwa saya tidak jelek-jelek amat. 

Dari ‘dressing room’ dadakan itu, saya masih harus berjalan kira-kira dua ratus meter lagi karena kawasan ini bukan kawasan pusat kota, jadi sama sekali tidak ada angkutan umum yang lewat. Sempat ditawari naik ojek oleh dua tiga orang tukang ojek yang mangkal di trotoar, tetapi karena saya lihat gedungnya sudah kelihatan maka saya memutuskan jalan kaki.

Begitu sampai di depan gedung super gede dan terlihat mentereng, saya sudah dihadang oleh pintu gerbang dan tembok setinggi tembok penjara yang cukup mengintimidasi. Gila, ini sekolah atau mall?

”Bisa saya bantu, pak?” Tiba-tiba suara ramah seorang Satpam dari balik jeruji pagar mengagetkan saya. Syukurlah dia berbahasa Indonesia, dan aduh...saya dipanggil ‘bapak’.
”Saya mendapat panggilan interview disini, pak,” jawabku.
"Namanya siapa, Pak?"
”Harrys.
Sejenak dia memeriksa sebuah buku di tangannya. ”Harrys Simanungkalit?” Saya mengangguk.
”Bapak sudah ditunggu untuk test dan interview. Silahkan masuk,” ujar Pak Satpam itu dengan manisnya sambil membuka pintu gerbang.

Fiuhhhhh, ternyata seperti ini ya sistem keamanan di sekolah level internasional. Tidak sembarangan orang bisa melewati pintu gerbangnya, harus benar-benar orang yang berkepentingan.  

Begitu menjejakkan kaki di halaman sekolah itu, saya langsung mengagumi konstruksi bangunan besar didepanku. Sepertinya ada delapan lantai dengan arsitektur bangunan mewah berbentuk lingkaran tak utuh, mirip sepotong cake raksana. Pokoknya istana presiden kalah mewah deh.

”Silahkan bapak Harrys langsung ke resepsionis. Nanti akan diantar menuju ruang Supervisor” Pak Satpam itu hanya mengantar saya sampai ke depan pintu masuk gedung. Sebenarnya saya agak jengah dipanggil ’bapak’, wong saya masih muda begini. Mending panggil saya Hugh Jackman saja. Hahahaha!

Dengan langkah sedikit canggung, saya berjalan melewati pintu masuk. Begitu sampai di dalam gedung saya langsung disambut suara anak-anak usia SD dan TK yang sedang riuh berkejar-kejaran di lapangan dalam ruangan. Kebayang kan segimana besarnya gedung ini, lapangan bermainnya saja ada di dalam gedung.

Dan oh God....wajah-wajah itu bukan wajah Indonesia. Sebagian memang bertampang Asia (bukan Melayu) dan beberapa wajah Eropa. Bahkan seorang anak laki-laki berambut warna emas yang menabrak saya berteriak kepada temannya dengan aksen Inggris yang sangat kental.

Beberapa orang dewasa juga seliweran di kiri kanan saya - sambil sesekali mengawasi anak-anak yang berlarian kesana kemari dilapangan - tampak memandang saya sekilas sebelum kemudian cuek bebek.

Oleh Resepsionis (yang lagi-lagi Thank GOD – dia orang Indonesia) saya diantar menuju ruang Supervisor. Di ruang supervisor saya bertemu dengan sang supervisor yang ternyata orang Filipina. Di sana ternyata ada tiga orang pelamar lainnya yang juga mendapat jadwal wawancara hari itu. Aduh, saya berharap wawancaranya dalam bahasa Indonesia saja. Saya belum cukup pede dengan kemampuan bahasa Inggris saya.

”Hello there. Welcome. Please, come in” sapa sang Supervisor saat melihat saya berdiri kikuk di ambang pintu ruangannya. Selain menjadi pelamar yang paling mini ukuran tubuhnya, saya juga menjadi pelamar yang masih berstatus mahasiswa. Yang tiga orang lagi satu perempuan dan dua laki-laki ada yang sudah berpengalaman mengajar dan ada yang fresh graduate.

Doa saya tidak terkabul karena kami berempat di-interview bareng  dalam Bahasa Inggris dan saya benar-benar mau bunuh diri saja. Satu persatu kami ditanya mengenai apa yang membuat kami tertarik ingin menjadi guru disekolah itu dan hal-hal lain yang berhubungan dengan visi dan misi pribadi. Saya sendiri bingung mau menjawab apa, karena jujur saja saya tidak tertarik. Saya waktu itu pasti sedang sinting, makanya saya melamar kesini.

Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saya saya bisa menjelaskan tujuan, visi dan misi serta ketertarikan saya menjadi guru di sekolah itu dengan bahasa Inggris yang (sedikit) lancar. Ternyata saya bisa! Mungkin dipengaruhi oleh mental kompetitif saya, karena tiga orang disebelah bahasa Inggrisnya sangat fasih dan saya tidak mau terlihat seperti orang paling bodoh di antara kami berempat.

Sejujurnya saya sedikit berbohong karena waktu itu memberi jawaban seperti ini : I feel so blessed because God trust this talents on me. So’ I want to thank God by sharing this talents with others especially with children. (Saya merasa sangat bersyukur karena Tuhan mempercayakan bakat menggambar ini kepada saya, oleh sebab itu saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada Tuhan dengan cara berbagi bakat ini dengan orang lain, khususnya anak-anak). Dan sepertinya sang Supervisor menyukai jawabanku karena dia langsung tersenyum sambil mengangguk senang. Hahaha, beliau tidak tau kalau saya sebenarnya sedang berusaha menjilat.

Satu persatu kami kemudian digiring ke ruangan Principal (Kelapa Sekolah). Kelapa sekolahnya adalah orang India, badannya tinggi besar segede pintu. Ketika disuruh menghadap beliau, saya merasa seperti Daud yang menghadap Goliat. Berbeda dengan wawancara dengan Supervisor, kami menghadap Principal satu persatu. Ketika tiba giliranku, saya deg-degan setengah mati. Dengan bodinya yang seperti tukang pukul itu, dia akan dengan gampang meremukkan saya. Tetapi begitu melangkah masuk keruangannya, kesan seram itu langsung menghilang karena beliau ternyata sangat ramah. Wawancara dengan beliau lebih mirip sebuah percakapan santai.

”If we hire you, you’ll be a Visual Teacher. Can you draw, Mr Harrys?” tanya beliau.
“Yes sir,” jawabku.
“Can you draw me?” Menurut loe? Tentu saja sebuah pertanyaan retorika yang mau tidak mau harus saya jawab juga. 
Dasar nekad, saya langsung menjawab, ”Yes sir.”
”OK, I want you to draw me while we’re talking. Can you do that?”
“Of course, sir” Jawaban yang optimis itu sepertinya berhasil mencuri hati sang Principal karena dia tertawa sambil menepuk pundak saya. Sok akrab deh. 

Dan wawancara yang dia sebut sebagai talking itu benar-benar menguji konsentrasi saya. Saya benar-benar dituntut untuk multitasking: menggambar sambil konsentrasi menangkap kalimat-kalimat bahasa Inggris dengan aksen British sang principal. Untungnya si bapak ini mengerti posisi saya, jadi beliau berbicara dengan tempo yang lambat dan artikulasi yang diusahakan terdengar jelas, karena tau konsentrasi saya saat itu sedang terpecah dua. Lima belas menit kemudian, wawancara selesai berbarengan dengan gambar saya. Begitu hasil gambarnya saya serahkan, dia terlihat serius mengamatinya kemudian menatap saya.

“Do you think this drawing really look like me?”
“Yes sir. Well, not exactly similar because you look younger in that picture.”
“Younger? So’ I look old in real?”
“No sir. I mean you are young, but in that picture I drew you look much younger.” Beliau tertawa senang. Semoga saya tidak terlihat seperti penjilat. Padahal sih iya. Pokoknya, khusus untuk hari ini nama lengkap saya adalah Harrys Penjilat Simanungkalit.

Siang itu saya meninggalkan gedung sekolah itu dengan kepala tegak dan senyum lega seperti layaknya pejuang. Saya berhasil melewati tantangan yang tadi malam sangat saya takutkan ini, meski saya tidak tau hasilnya bagaimana. Supervisor mengatakan bahwa kalau saya diterima bekerja disini maka saya akan dihubungi dalam jangka waktu atau tiga hari lagi. Saya tidak peduli diterima atau tidak karena sepertinya sainganku yang tiga orang tadi lebih berpeluang mendapatkan pekerjaan ini. 

Selain itu, menjadi guru bukan cita-cita saya. At least, pengalaman hari ini memberikan saya sebuah pencerahan bahwa sebenarnya kemampuan bahasa Inggris saya nggak jelek-jelek amat dan itu sudah lebih dari cukup sebagai pencapaian saya hari ini. Kita memang tidak akan pernah tau kemampuan kita kalau kita tidak berani mencoba. Selama ini saya terjebak dalam pesimisme yang berlebihan bahwa saya tidak bisa, padahal ternyata saya bisa. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Satpam yang membukakan pintu gerbang untuk saya sambil menunduk hormat (saya rasanya seperti tamu penting saja), saya melangkah keluar. Selamat datang kembali ke dunia nyata.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar