Saya mendapat panggilan interview kerja ketika saya masih kuliah.
Awalnya sih iseng melamar kesana-kemari karena banyak teman-teman kuliah yang
juga nyambil sambil kuliah. Kayaknya kok ya keren banget kuliah sambil kerja.
Puji Tuhan, satu dari sembilan puluh tujuh lamaran yang saya kirim akhirnya
merespon impian saya. Saya dipanggil untuk wawancara di sebuah sekolah
internasional di Jakarta.
Setelah menyelesaikan ujian Typography,
saya langsung terbang dari kampus di kawasan Jakarta Selatan menuju kawasan
Jakarta Pusat. Gila, ternyata letak sekolah ini sangat elit, saking elitnya
sampai letaknya sangat jauh dari peradaban. Turun dari metromini, saya berganti baju di balik pohon di pinggir jalan. Serius, saya
benar-benar melakukannya – berganti baju di balik pohon - sekaligus merutuki diri sendiri
kenapa lupa mengganti baju waktu masih di kampus tadi, sehingga kuli-kuli
bangunan yang sedang sibuk bergelantungan di sebuah bangunan yang baru berupa
kerangka di seberang jalan tak perlu bersuit-suit dan berteriak-teriak meledek.
T Shirt sudah berganti dengan kemeja lengan panjang,
celana jeans sudah berganti dengan celana bahan, sepatu sneaker sudah berganti dengan sepatu pantofel. Sejenak saya berkaca ke comberan di sisi jalan. Hmmmm, ternyata saya lumayan ganteng juga kalau pakai baju beginian dan ngaca di comberan. Seperti saya harus
sering-sering ngaca di comberan untuk meyakinkan diri bahwa saya tidak
jelek-jelek amat.
Dari ‘dressing
room’ dadakan itu, saya masih harus berjalan kira-kira dua ratus meter lagi
karena kawasan ini bukan kawasan pusat kota, jadi sama sekali tidak ada
angkutan umum yang lewat. Sempat ditawari naik ojek oleh dua tiga orang tukang
ojek yang mangkal di trotoar, tetapi karena saya lihat gedungnya sudah
kelihatan maka saya memutuskan jalan kaki.
Begitu sampai di depan gedung super gede dan terlihat mentereng, saya sudah
dihadang oleh pintu gerbang dan tembok setinggi tembok penjara yang cukup
mengintimidasi. Gila, ini sekolah atau mall?
”Bisa saya bantu, pak?” Tiba-tiba suara ramah seorang Satpam dari balik jeruji pagar
mengagetkan saya. Syukurlah dia berbahasa Indonesia, dan aduh...saya dipanggil ‘bapak’.
”Saya mendapat panggilan interview
disini, pak,” jawabku.
"Namanya siapa, Pak?"
”Harrys.”
Sejenak dia memeriksa sebuah buku di tangannya. ”Harrys Simanungkalit?”
Saya mengangguk.
”Bapak sudah ditunggu untuk test
dan interview. Silahkan masuk,” ujar Pak Satpam itu dengan manisnya sambil membuka pintu gerbang.
Fiuhhhhh, ternyata seperti ini ya sistem keamanan di
sekolah level internasional. Tidak sembarangan orang bisa melewati pintu
gerbangnya, harus benar-benar orang yang berkepentingan.
Begitu menjejakkan kaki di halaman sekolah itu, saya langsung mengagumi
konstruksi bangunan besar didepanku. Sepertinya ada delapan lantai dengan
arsitektur bangunan mewah berbentuk lingkaran tak utuh, mirip sepotong cake
raksana. Pokoknya istana presiden kalah mewah deh.
”Silahkan bapak Harrys langsung ke resepsionis. Nanti akan diantar menuju ruang Supervisor” Pak Satpam itu hanya mengantar saya sampai ke depan pintu masuk gedung. Sebenarnya saya agak jengah dipanggil ’bapak’, wong
saya masih muda begini. Mending panggil saya Hugh Jackman saja. Hahahaha!
Dengan langkah sedikit canggung, saya berjalan melewati pintu masuk. Begitu sampai
di dalam gedung saya langsung disambut suara anak-anak usia SD dan TK yang
sedang riuh berkejar-kejaran di lapangan dalam ruangan. Kebayang kan segimana
besarnya gedung ini, lapangan bermainnya saja ada di dalam gedung.
Dan oh God....wajah-wajah itu bukan wajah
Indonesia. Sebagian memang bertampang Asia (bukan Melayu) dan beberapa wajah
Eropa. Bahkan seorang anak laki-laki berambut warna emas yang menabrak saya berteriak kepada temannya dengan aksen Inggris yang sangat kental.
Beberapa orang dewasa juga seliweran di kiri kanan saya - sambil sesekali mengawasi anak-anak yang berlarian kesana kemari
dilapangan - tampak memandang saya sekilas sebelum kemudian cuek bebek.
Oleh Resepsionis (yang lagi-lagi Thank GOD – dia orang Indonesia) saya diantar menuju ruang Supervisor. Di ruang supervisor saya bertemu dengan sang supervisor yang ternyata orang Filipina. Di sana ternyata ada tiga orang pelamar lainnya yang juga mendapat jadwal wawancara hari itu. Aduh,
saya berharap wawancaranya dalam bahasa Indonesia saja. Saya belum cukup pede
dengan kemampuan bahasa Inggris saya.
”Hello there. Welcome. Please, come in” sapa sang Supervisor saat melihat
saya berdiri kikuk di ambang pintu ruangannya. Selain menjadi pelamar yang paling mini ukuran tubuhnya, saya juga menjadi
pelamar yang masih berstatus mahasiswa. Yang tiga orang lagi satu perempuan dan
dua laki-laki ada yang sudah berpengalaman mengajar dan ada yang fresh graduate.
Doa saya tidak
terkabul karena kami berempat di-interview bareng dalam Bahasa Inggris dan saya benar-benar mau bunuh diri saja. Satu persatu kami ditanya
mengenai apa yang membuat kami tertarik ingin menjadi guru disekolah itu dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan visi dan misi pribadi. Saya sendiri
bingung mau menjawab apa, karena jujur saja saya tidak tertarik. Saya waktu itu
pasti sedang sinting, makanya saya melamar kesini.
Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saya saya bisa menjelaskan tujuan, visi
dan misi serta ketertarikan saya menjadi guru di sekolah itu dengan bahasa Inggris yang (sedikit) lancar. Ternyata saya bisa! Mungkin
dipengaruhi oleh mental kompetitif saya, karena tiga orang disebelah bahasa
Inggrisnya sangat fasih dan saya tidak mau terlihat seperti orang paling bodoh di antara kami berempat.
Sejujurnya saya sedikit berbohong karena waktu itu memberi jawaban seperti
ini : I feel so blessed because God trust this talents on me. So’ I want to thank
God by sharing this talents with others especially with children. (Saya merasa
sangat bersyukur karena Tuhan mempercayakan bakat menggambar ini kepada saya,
oleh sebab itu saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada Tuhan
dengan cara berbagi bakat ini dengan orang lain, khususnya anak-anak). Dan sepertinya sang Supervisor menyukai jawabanku karena dia langsung
tersenyum sambil mengangguk senang. Hahaha, beliau tidak tau kalau saya sebenarnya sedang berusaha menjilat.
Satu persatu kami kemudian digiring ke ruangan Principal (Kelapa Sekolah). Kelapa sekolahnya adalah orang India, badannya tinggi besar segede pintu. Ketika disuruh menghadap beliau, saya
merasa seperti Daud yang menghadap Goliat. Berbeda dengan wawancara dengan Supervisor,
kami menghadap Principal satu persatu. Ketika tiba giliranku, saya deg-degan
setengah mati. Dengan bodinya yang seperti tukang pukul itu, dia akan dengan gampang meremukkan
saya. Tetapi begitu melangkah masuk keruangannya, kesan seram itu langsung menghilang karena beliau ternyata sangat ramah. Wawancara
dengan beliau lebih mirip sebuah percakapan santai.
”If we hire you, you’ll be a Visual Teacher. Can you draw, Mr Harrys?” tanya beliau.
“Yes sir,” jawabku.
“Can you draw me?” Menurut loe? Tentu saja sebuah pertanyaan retorika yang mau tidak mau harus
saya jawab juga.
Dasar nekad, saya
langsung menjawab, ”Yes sir.”
”OK, I want you to draw me while we’re talking. Can you do that?”
“Of course, sir” Jawaban yang optimis itu sepertinya berhasil mencuri hati sang Principal
karena dia tertawa sambil menepuk pundak saya. Sok akrab deh.
Dan wawancara yang
dia sebut sebagai talking itu benar-benar menguji konsentrasi saya. Saya
benar-benar dituntut untuk multitasking:
menggambar sambil konsentrasi menangkap kalimat-kalimat bahasa Inggris dengan
aksen British sang principal.
Untungnya si bapak ini mengerti posisi saya, jadi beliau berbicara dengan tempo
yang lambat dan artikulasi yang diusahakan terdengar jelas, karena tau
konsentrasi saya saat itu sedang terpecah dua. Lima belas menit kemudian,
wawancara selesai berbarengan dengan gambar saya. Begitu hasil gambarnya saya
serahkan, dia terlihat serius mengamatinya kemudian menatap saya.
“Do you think this drawing really look like me?”
“Yes sir. Well, not exactly similar because you look younger in that
picture.”
“Younger? So’ I look old in real?”
“No sir. I mean you are young, but in that picture I drew you look much
younger.” Beliau tertawa senang. Semoga saya tidak terlihat
seperti penjilat. Padahal sih iya. Pokoknya, khusus untuk hari ini nama lengkap
saya adalah Harrys Penjilat Simanungkalit.
Siang itu saya meninggalkan gedung sekolah itu dengan kepala tegak dan
senyum lega seperti layaknya pejuang. Saya berhasil melewati tantangan yang
tadi malam sangat saya takutkan ini, meski saya tidak tau hasilnya bagaimana. Supervisor mengatakan bahwa kalau saya diterima bekerja disini maka
saya akan dihubungi dalam jangka waktu atau tiga hari lagi. Saya tidak peduli
diterima atau tidak karena sepertinya sainganku yang tiga orang tadi lebih
berpeluang mendapatkan pekerjaan ini.
Selain itu, menjadi guru bukan cita-cita saya. At least, pengalaman hari
ini memberikan saya sebuah pencerahan bahwa sebenarnya kemampuan bahasa Inggris saya nggak
jelek-jelek amat dan itu sudah lebih dari cukup sebagai pencapaian saya hari
ini. Kita memang tidak akan pernah tau kemampuan kita kalau kita tidak berani
mencoba. Selama ini saya terjebak dalam pesimisme yang berlebihan bahwa saya tidak
bisa, padahal ternyata saya bisa. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak
Satpam yang membukakan pintu gerbang untuk saya sambil menunduk hormat (saya rasanya seperti tamu penting saja), saya melangkah keluar. Selamat datang kembali ke dunia nyata.
0 komentar:
Posting Komentar