Dulu waktu belum sekolah, saya bercita-cita ingin menjadi Unyil. Ini terjadi akibat kegemaran saya menonton film boneka si Unyil setiap hari Minggu di TVRI. Saya juga bingung kok bisa dulu saya mengidolakan sosok boneka bertopi peci yang kalau berbicara mulutnya tak bergerak serta hobby garuk-garuk. Lalu saat masuk SD, saya bercita-cita ingin menjadi Bucek Depp. Ini juga terjadi saya saat kebetulan menonton film yang dia bintangi yang di putar di TPI. Di mata saya dia adalah lelaki paling cakep sedunia, pasti akan menyenangkan bisa seperti dia yang menjadi rebutan para gadis-gadis dan janda.
Memasuki masa pendidikan di SMP, lagi-lagi cita-cita saya berubah. Ya
namanya juga masih alay dan labil. Bapak saya pernah iseng bertanya kepada saya
‘apa cita-citamu, Nak?’. Dengan mantap saya menjawab ‘saya ingin
menjadi Bryan Adams’. Tentu saja bapak kaget, tetapi kemudian
menepuk-nepuk pundak saya. Bapak saya tidak kenal siapa Bryan Adams,
tapi beliau percaya pasti Bryan Adams itu seorang tokoh besar.
Setidaknya mungkin bapak saya lega karena saya punya cita-cita. Ingin menjadi
Bryan Adams sebenarnya juga sepele, gara-gara melihat Bryan Adams
bernyanyi sambil bermain gitar di layar televisi. Di mata saya dulu penampilan
seperti itu sudah sangat keren. Tetapi bagaimana ceritanya saya bisa seperti Bryan
Adams, memegang gitar saja masih sering terbalik dimana bagian sisi yang
ada senarnya yang justru nempel ke badan.
Gagal belajar main gitar dan suara tidak begitu menggembirakan untuk
dipakai bernyanyi, akhirnya saya ‘alih profesi’ menjadi Drummer. Tidak
punya drum set, maka dinding rumah menjadi sasaran gebukan stick
drum saya. Bapak saya pernah ditegur tetangga yang kebisingan gara-gara saya
gebuk dinding tak kenal waktu.
Saat SMA, cita-cita saya mulai realistis. Tak ada lagi cita-cita ingin
menjadi presiden atau kesatria pembunuh naga. Saya bercita-cita ingin menjadi
arsitek dan berencana kuliah jurusan Tehnik Sipil di ITB. Sayang, ibarat
peribahasa lebih besar pasak daripada tiang **tapi sebenarnya lebih tepat
disebut lebih besar pasak daripada gedung**, cita-cita tersebut juga gugur
sebelum maju ke medan perang. Nilai Matematika saya memang tidak jelek-jelek
amat, tetapi nilai Fisika saya sungguh astaganaga payahnya. Sebenarnya saya
bukan jenis siswa yang lemot dan lemah berhitung, tetapi Fisika benar-benar
membuat saya frustasi. Deretan rumus kombinasi angka dan huruf yang panjangnya
bisa sampai sepanjang tissue toilet membuat saya menyerah.
Saya bahkan
sampai benci sama guru Fisika saya, padahal beliau tidak salah apa-apa.
Bagaimana mungkin saya bisa membangun gedung bercula satu kalau mencari rumus
kesetimbangan saja saya tidak becus. Bisa runtuh melulu gedung yang baru saya
bangun setiap kali turun hujan rintik-rintik dan angin bertiup sepoi-sepoi.
Selesai kuliah, saya tidak mau lagi muluk-muluk bermimpi. Cita-cita menjadi
pemain film panas dan penari tiang sudah saya kubur jauh-jauh sejak lulus SMA.
Apapun pekerjaannya yang penting saya bisa enjoy melakukannya dan bisa
menghasilkan uang. Pemain film panas lagi? Tentu saja bukan!
Pengalaman pertama saya melamar pekerjaan adalah di radio anak muda untuk
posisi Penyiar. Test tertulis dan wawancara saya lulus semua.
Semakin percaya diri dong kalau saya akan mendapat pekerjaan ini. Saya sudah
membayangkan akan duduk di belakang corong microphone, bicara sendiri
seperti orang gila sambil tangan sibuk memencet dan menggeser tombol-tombol
yang bisa saja sebenarnya adalah tombol untuk meledakkan gedung di belahan
dunia lain. Tetapi apa daya, saya gagal saat dihadapkan dengan produser
program-program radionya.
Meski dia memuji saya seiring nada dan irama. Katanya
wawasan saya OK-lah, kreatif-lah, lucu-lah…tetapi seperti salah satu lirik lagu
Anggun C. Sasmi : mulut lelaki katanya selalu begitu. Lelaki
memang gombal! Dia mengakhiri pujiannya dengan mengatakan bahwa satu-satunya
kekurangan saya adalah kalau berbicara seperti kumur-kumur? Apa? Seperti
disambar petir rasanya. Tetapi ya sudah, kalau mereka tidak mau mempekerjakan
saya toh mereka yang rugi. Lihat saja nanti!
Pengalaman kedua adalah…ehmm jangan diketawain ya, saya melamar menjadi VJ
MTV. Merasa percaya diri untuk sekedar berbicara sambil senam-senam di
depan kamera serta bahasa Inggris yang ala kadarnya saya nekad ikut audisi VJ
Hunt di Cilandak Town Square. Test pertama disuruh ngomong
tentang apa saja di depan anak-anak pengunjung Mall dengan topik yang
kita tentukan sendiri. Saya memilih topik tentang cita-cita. Saat sedang serius
bercerita, anak-anak di depan saya menjulurkan lidah lalu lari terbirit-birit
memanggil papanya.
Walaupun begitu, waktu itu saya dianggap berhasil, berhasil menakut-nakuti
anak kecil mungkin maksudnya. Lalu disuruh masuk ke bilik khusus. Hah, bilik
khusus? Jangan-jangan saya mau ditelanjangi? Oh ternyata untuk test taping
di depan kamera. Saya disuruh masuk ke sebuah bilik tertutup ukuran 3×3 meter
dan disitu hanya ada satu orang cameraman. Praktis kita hanya berdua
saja di dalam ruangan sempit, mau ngapa-ngapain juga bebas dan mendukung
sekali. Lalu saya dikasih bikini kulit dan cambuk. Hahaha, bercanda! Memangnya
mau syuting film porno?
Saya dikasih script yang harus segera saya hafal
luar kepala. Cameraman-nya saja seperti berniat mengajak saya berantem.
Begitu kertas berisi script pindah ke tangan saya, dengan cueknya dia
langsung bertanya “Sudah hafal script-nya kan? Ayo mulai taping”.
Bagaimana ceritanya bisa hafal, baca saja belum. Dan astagadragon, script-nya
ada setengah halaman dan dalam hitungan detik saya harus bisa mencari inti dari
soal cerita tersebut untuk dibicarakan di depan kamera dalam durasi 25 detik.
Saya masih ingat script-nya tentang musisi Inggris Damon Albarn
yang pusing tujuh keliling membagi waktunya untuk dua band besutannya : Blur
& Gorillaz. Saya sudah optimis bahwa saya akan lolos ke test
selanjutnya dan menjadi host acara MTV Land bersama Sarah
Sechan, Nadya Hutagalung dan Jamie Aditya karena saya merasa cameraman-nya
puas dengan hasil kerja saya. Begitu saya selesai cuap-cuap di depan kamera
sambil direkam, dia mengedipkan matanya sambil mengacungkan dua jempol.
Belakangan saya tau bahwa dia melakukan hal yang sama kepada semua orang yang
masuk ke dalam bilik keramat tersebut. Bahkan tukang antar kopi juga dia
kedipin dan acungi jempol.
Dan memang benar, sejak kejadian itu saya tidak lagi
mendapat panggilan dari pihak MTV. Sakit hati rasanya waktu melihat Daniel
Mananta yang terpilih menjadi VJ MTV Indonesia. Ya, saya bertemu dia
waktu sama-sama mengikuti audisi, waktu itu juga ada Tommy Tjokro yang
sekarang bekerja di Metro TV dan Arifin Putra yang entah dimana kini kau
berada, tak tau dimana rimbanya.
Tak mau frustasi karena gagal mendapat karir impian, saya nekad mengirim
lamaran ke sebuah alamat yang saya dapatkan dari iklan baris. Yang jelas waktu
itu syaratnya gampang saja : bisa bahasa Inggris dan BERPENAMPILAN MENARIK.
Ajaibnya, saya dipanggil untuk wawancara. Dan saat wawancara, saya baru tau
kalau saya melamar untuk jadi Guru TK. Oh tidak!!!! Sebenarnya saya
sudah mau mundur, tetapi merasa tidak enak sama Kepala Sekolah-nya yang sudah
menyuguhi Cocacola dan gorengan waktu mewawancarai saya. Saya waktu itu
memang masih murahan dan bisa disogok dengan Cocacola dan gorengan.
Singkat cerita saya ikut pelatihan bersama para fresh graduate yang
semuanya berjenis kelamin perempuan. Otomatis saya langsung jadi rebutan dan
digilir. Direbut dan digilir sebagai partner untuk membantu mereka
mendekorasi ruangan kelas maksudnya. Maklum, sebagai satu-satunya pejantan
hanya saya satu-satunya yang terlihat elok memanjat, merayap dan
ngangkang-ngangkang di dinding untuk memasang lampu dan AC.
Ternyata sekolahnya baru buka saat itu juga dan belum ada muridnya. Sampai
seminggu dibuka sejak open house, muridnya cuma dua biji karena hanya
ada dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki, makanya saya bilang
DUA BIJI karena anak laki-lakinya hanya satu.
Alhasil selama hampir dua
minggu saya merasa tidak bekerja, tetapi saya tetap digaji. Ini namanya makan
gaji buta dan saya tidak mau seperti itu. Saya memang murahan, tetapi saya
punya prinsip lho. Tolong ingat itu! Akhirnya saya mengundurkan diri dan
langsung diamini Ibu Kepala Sekolahnya dengan senyum sumringah. Jadi selama ini
beliau menunggu saya mengenyahkan diri sendiri karena merasa tidak tega memecat
saya karena sudah terlanjur menyogok saya dengan Cocacola dan gorengan.
Saya punya kebiasaan kalau mengirim surat lamaran tidak mau hanya satu atau
dua lamaran, tetapi langsung lima atau tujuh surat lamaran. Semakin banyak
mengirim, semakin banyak peluang kan? Jadi ketika satu atau dua perusahaan
sudah menolak, masih ada harapan lima atau enam perusahaan lagi. Tetapi
sebenarnya tidak murni seperti itu sih maksud dan tujuan saya. Saya mengirim surat
lamaran kolektif karena ogah rugi saja. Soalnya jarak Kantor Pos dari rumah
saya harus naik bus antar provinsi dua hari dua malam. Jadi daripada saya
bolak-balik hanya mengirim satu persatu, mending surat lamarannya saya
kumpulkan sampai banyak lalu sekali mengirimkan. Cerdik ya saya? Tidak?
Kampret-lah!
Pernah juga kejadian saya dipanggil interview dan wawancara oleh dua
atau tiga perusahaan yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Eh, interview
dan wawancara apa bedanya ya? Jadi pernah saat lagi tanda tangan kontrak dengan
perusahaan A, tiba-tiba saya telepon saya berbunyi. Di ujung sana sang HRD
menghubungi saya untuk menjadwalkan waktu wawancara. Lha, bagaimana ini? Saya
sudah mau tanda tangan kontrak ini. Saya kadang sengaja mengencangkan volume
suara saya saat sedang ‘menolak’ tawaran HRD di ujung sana agar kedengaran ke
telinga pimpinan perusahaan yang sedang mengangsurkan surat kontrak di depan
saya supaya beliau tau saya ini rebutan banyak perusahaan.
Dan biasanya saat
saya sengaja lama-lamain tanda tangan kontrak sambil masih terus berbicara dan
negosiasi dengan HRD di ujung sana, pimpinan perusahaan langsung buru-buru
menambahkan satu lagi angka nol di ujung angka nominal kolom gaji yang
ditawarkan kepada saya. Beliau sepertinya tidak mau kehilangan saya. Saya
seperti penjahat di film Hollywood saja ya.
Saya juga pernah dihubungi oleh perusahaan lain saat sudah setahun bekerja.
Bayangkan, saya baru dipanggil satu tahun sejak saya mengirimkan surat lamaran
saya. Kalau sudah begitu biasanya langsung keluar tanduk saya yang di atas
kepala, lalu saya bilang “Mohon maaf ya, Bu. Saat ini saya sudah diterima
bekerja di instansi ini dan itu. Seperti kata pepatah: siapa cepat, dia dapat”.
Mereka pikir saya akan rela menunggu panggilan mereka setelah lebih dari jangka
waktu dua minggu? Maaf ya, saya orangnya gampang move on. Rasakan itu!
Saya punya pengalaman bekerja di dua instansi skala internasional. Tidak
usahlah saya sebut nama instansinya, nanti saya dikira sombong. Apalagi nanti
ada yang iseng nge-check ke dua instansi tersebut, ketahuan dong nanti
kalau ternyata saya bohong. Lho, yang benar yang mana?
Jadi pernah saya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku perwakilan
dari instansi internasional tersebut. Saya ditelepon bukan untuk diundang wawancara,
tetapi ditanya kapan saya punya waktu santai dan bisa berbicara serius. Lho,
emang selama ini saya tidak bicara serius? Ternyata maksudnya agar saya bisa
konsentrasi berbicara dengan beliau lewat telepon sesuai dengan kesediaan saya.
Sepertinya ingin menunjukkan sisi profesional instansi mereka bahwa untuk
menghubungi calon karyawan harus pada waktu khusus yang sudah disediakan dan
ditentukan bersama, tidak boleh misalnya menjawab panggilan wawancara saat
sedang kejepit di jendela bis atau bergelantungan diatas pohon. Mereka ingin
terlihat profesional sekaligus menghargai calon karyawannya.
Pernah juga sebelum diterima bekerja, saya harus melewati serangkaian
wawancara berlapis. Wawancara pertama saya di-interview HRD. Interview
yang cukup mengintimidasi karena saya di-interview empat orang HRD
sekaligus. Satu orang duduk di depan saya, yang tiga orang lagi berjaga-jaga di
belakang saya. Dan mereka akan bergantian duduk didepan saya untuk mewawancara
saya. Lolos dari sergapan empat orang HRD, saya masih harus melewati
wawancara lagi. Kali ini dengan salah satu manager perusahaan. Untung manager
yang mewawancarai saya cuma satu orang, jadi saya tidak perlu was-was segera
pasang kuda-kuda saat merasa ada gerakan mencurigakan dari arah belakang
seperti saat diwawancara empat orang HRD. Jujur, saya memang sedikit
trauma dan butuh pelukan.
Kelar berurusan dengan manager, saya lagi-lagi digiring wawancara
dengan direktur. Lolos dari direktur, saya dijadwalkan lagi untuk
wawancara dengan pemilik instansi yang ternyata orang asing. Saya sampai harus
bolak-balik mengingat apakah saya pernah mengirim lamaran untuk menjadi
presiden? Kok wawancaranya bisa sampai seribet ini?
Dan ternyata wawancara
dengan owner-nya ini bukan wawancara terakhir, saya masih harus melewati
satu wawancara lagi. Saya berani bertaruh pasti kali ini giliran Tuhan yang
akan mewawancara saya. Ternyata wawancara terakhir adalah kembali ke HRD
yang pertama kali mewawancara saya. GUBRAK! Setelah mutar-mutar keliling
dunia dan akherat, ternyata pada akhirnya kembali juga ke laptop. Thank God,
kali ini hanya satu orang HRD saja. Kalau saja masih harus bertemu empat
orang HRD lagi saya akan mengusulkan agar kami sebaiknya membentuk vokal
group atau paduan suara saja daripada hanya buang-buang waktu wawancara.
Tetapi pemeriksaan berlapis seperti itu ada harganya. Setelah kita
dinyatakan lolos, kita akan langsung diantarkan ke…..RUMAH SAKIT! Rumah
Sakit yang juga skala internasional. Untuk bedah, sedot lemak atau operasi
pinggul? Tentu saja bukan, tetapi untuk medical check up paket komplit
yang harganya jutaan itu. Dan tentu saja biayanya ditanggung instansi. Mantap
benar. Belum sah menjadi karyawan saja kita sudah ‘ditraktir’. Ibarat belum
jadi pacar, sudah dikasih cincin kawin. Ibarat ayam kampus, belum dipake sudah
dibayar. OK, cukup!
Setelah tanda tangan kontrak, dijelasin-lah hak dan kewajiban kita. Mulai
dari peraturan yang harus kita taati selama menjadi karyawan, job
description, tanggung jawab dan tugas. Termasuk disediakan seragam kerja,
gaji, tunjangan, asuransi, insentif ini dan itu serta fasilitas dan lain-lain
yang bikin ngiler. BBM saja dibayarin kalau kita punya kendaraan. Kalau tidak
punya kendaraan? Tetap dapat jatah sebagai pengganti BBM. Kita kan pergi dan
pulang kerja naik kendaraan umum, bukan jalan kaki atau naik permadani terbang
yang tidak butuh ongkos.
Tetapi pernah juga saya mendapat panggilan wawancara yang bikin saya
berpikir ‘ini niat nggak sih sebenarnya mau wawancara saya?’. Jadi waktu
itu saya di telepon oleh seseorang yang mengaku HRD. Pembicaraannya juga
sedikit absurd, mulai dari pertanyaan seputar latar belakang pendidikan
saya, pengalaman kerja saya sampai posisi sex favorit saya. Selama
berbicara dengan beliau lewat telepon, bolak-balik saya mendengar suara ayam
berkokok dan suara tukang roti meningkahi pembicaraan kami. Termasuk bonus sound
efect bunyi mulut sang HRD yang sedang mengulum sesuatu yang panjang,
keras, kenyal dan basah. Nah lho, pasti lagi mengulum es krim atau sosis panas
mungkin? Jujur saja, saya sempat membayangkan yang tidak-tidak.
Dan benar saja, saat saya disuruh datang ke gedung kantornya untuk
wawancara…astaga, gedungnya malah lebih buruk dari rumah hantu Pondok Indah. Di
halaman dekat pagar ada tumpukan pasir dan dua sak semen. Jangan-jangan saya mau
disuruh ngaduk semen nih? Belum lagi saat saya masuk ke dalam, saya langsung
ditegur salah satu tukang yang sedang memperbaiki asbes dan dengan cueknya
menyuruh saya beli rokok. Uangnya saya terima, rokoknya tidak saya beli karena
saya langsung pulang. Lumayan dapat uang dua puluh ribu. Rasakan itu!
Pernah juga saya dipanggil untuk sebuah wawancara kerja pada kesempatan
yang lain. Saat saya datang ke kantornya, bukannya diwawancara saya malah
langsung diajak salaman, lalu diberi tau bahwa saya harus membeli beberapa unit
produk tertentu agar saya sah menjadi karyawan. Maksud loe? Sebenernya
loe butuh karyawan atau konsumen? Gue timpe di pojokan langsung pade
miskin loe semue! Lha, sebenernya saya ini orang Batak atau Betawi ya?
Yang lebih ajaib, seorang boss sudah menjdwalkan wawancara kerja untuk
saya. bahkan di akhir pembicaraan si boss bolak-balik mengingatkan agar saya
jangan sampai lupa atau terlambat. Kesannya saya ini sangat dibutuhkan banget
oleh doi. Tetapi apa yang terjadi setelah saya datang ke kantor tersebut.
Security-nya bilang bahwa si boss sedang keluar kota. Saya tanya, “HRD-nya
mana?”. Katanya nggak ada HRD. Lha, ini bagaimana? Karena tidak mau balik kanan
pulang tanpa hasil, saya suruh saja sang security untuk menelepon boss-nya. Mau
tau bagaimana hasilnya? Si boss menyuruh security (dan salah satu office boy
kantor itu) yang mewawancarai saya. Pahit memang, tetapi tetap harus saya
jalani. Dan seperti bisa ditebak, wawancaranya ‘mati gaya’. Mereka berdua
bingung mau bertanya apa. Setelah berpikir keras, keluarlah
pertanyaan-pertanyaan ‘maha penting’ seperti “apakah tadi pagi saya bangun
karena bunyi jam weker atau bunyi kokok ayam?”, “sabun mandi yang saya pakai
merek untuk laki-laki atau perempuan?’, dll.
Dua hari kemudian si boss menghubungi saya. Tanpa minta maaf dan penjelasan
dia menyuruh saya datang lagi ke kantornya untuk wawancara. Saya memang bilang
saya akan datang, tetapi saya sama sekali sudah tak berminat lagi untuk datang.
Score sementara 1-1.
Intinya adalah, mencari pekerjaan itu gampang-gampang susah. Kadang semakin
susah mendapatkannya, kita akan semakin berdedikasi saat sudah berhasil lolos
menjadi karyawan. Easy come, easy go. Sebaliknya kalau terlalu gampang
diterima menjadi karyawan, saya yakin kita akan gampang juga meninggalkan
pekerjaan kita tanpa beban. Bukan berarti tidak boleh mencari pekerjaan yang
lebih menjanjikan, tetapi karyawan jenis kutu loncat itu juga menjadi bahan
pertimbangan perusahaan lain karena akan terkesan kurang berdedikasi dan
loyalitasnya perlu dipertanyakan. Dan yang paling penting adalah mudah-mudahan
bisa menikmati pekerjaan kita.
Saya pernah merasakan digaji relatif besar dan dapat fasilitas ini dan itu,
tetapi saya tidak bahagia karena lingkungan kerja yang stressful dan
sering memberi pengaruh buruk pada perkembangan mental saya. Biasalah, ‘perang’
antar sesama karyawan yang dipicu kecemburuan sosial dan asmara. Tetapi pernah
juga saya digaji sangat kecil, bahkan jauh dari standar gaji saya sebelumnya,
namun saya bahagia dan betah karena saya merasa bukan seperti kerja, tetapi
seperti sedang belajar tetapi mendapat gaji. Satu hal lagi yang penting, kita
juga tidak selalu mendapatkan karir impian kita.
Ya, beberapa orang memang
berhasil mendapatkan karir impian, tetapi jalan hidup orang kan berbeda-beda.
Tetapi yakinlah, Tuhan menempatkan kita disitu karena itulah sebenarnya karir
yang kita butuhkan. Apa yang kita inginkan kan belum tentu sesuai dengan apa
yang kita butuhkan. Itulah instansi yang sebenarnya membutuhkan kita. Itulah
sebenernya instansi yang kita butuhkan agar kita bisa belajar hal-hal baru yang
sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh kita. Everything comes for a reason.
Dengan kata lain, itulah salah satu cara Tuhan untuk membuat hidup kita
bernilai dan bermakna untuk orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar