12/03/14

JOB SEEKER Bites




Dulu waktu belum sekolah, saya bercita-cita ingin menjadi Unyil. Ini terjadi akibat kegemaran saya menonton film boneka si Unyil setiap hari Minggu di TVRI. Saya juga bingung kok bisa dulu saya mengidolakan sosok boneka bertopi peci yang kalau berbicara mulutnya tak bergerak serta hobby garuk-garuk. Lalu saat masuk SD, saya bercita-cita ingin menjadi Bucek Depp. Ini juga terjadi saya saat kebetulan menonton film yang dia bintangi yang di putar di TPI. Di mata saya dia adalah lelaki paling cakep sedunia, pasti akan menyenangkan bisa seperti dia yang menjadi rebutan para gadis-gadis dan janda.

Memasuki masa pendidikan di SMP, lagi-lagi cita-cita saya berubah. Ya namanya juga masih alay dan labil. Bapak saya pernah iseng bertanya kepada saya ‘apa cita-citamu, Nak?’. Dengan mantap saya menjawab ‘saya ingin menjadi Bryan Adams. Tentu saja bapak kaget, tetapi kemudian menepuk-nepuk pundak saya. Bapak saya tidak kenal siapa Bryan Adams, tapi beliau percaya pasti Bryan Adams itu seorang tokoh besar. Setidaknya mungkin bapak saya lega karena saya punya cita-cita. Ingin menjadi Bryan Adams sebenarnya juga sepele, gara-gara melihat Bryan Adams bernyanyi sambil bermain gitar di layar televisi. Di mata saya dulu penampilan seperti itu sudah sangat keren. Tetapi bagaimana ceritanya saya bisa seperti Bryan Adams, memegang gitar saja masih sering terbalik dimana bagian sisi yang ada senarnya yang justru nempel ke badan.

Gagal belajar main gitar dan suara tidak begitu menggembirakan untuk dipakai bernyanyi, akhirnya saya ‘alih profesi’ menjadi Drummer. Tidak punya drum set, maka dinding rumah menjadi sasaran gebukan stick drum saya. Bapak saya pernah ditegur tetangga yang kebisingan gara-gara saya gebuk dinding tak kenal waktu.

Saat SMA, cita-cita saya mulai realistis. Tak ada lagi cita-cita ingin menjadi presiden atau kesatria pembunuh naga. Saya bercita-cita ingin menjadi arsitek dan berencana kuliah jurusan Tehnik Sipil di ITB. Sayang, ibarat peribahasa lebih besar pasak daripada tiang **tapi sebenarnya lebih tepat disebut lebih besar pasak daripada gedung**, cita-cita tersebut juga gugur sebelum maju ke medan perang. Nilai Matematika saya memang tidak jelek-jelek amat, tetapi nilai Fisika saya sungguh astaganaga payahnya. Sebenarnya saya bukan jenis siswa yang lemot dan lemah berhitung, tetapi Fisika benar-benar membuat saya frustasi. Deretan rumus kombinasi angka dan huruf yang panjangnya bisa sampai sepanjang tissue toilet membuat saya menyerah. 

Saya bahkan sampai benci sama guru Fisika saya, padahal beliau tidak salah apa-apa. Bagaimana mungkin saya bisa membangun gedung bercula satu kalau mencari rumus kesetimbangan saja saya tidak becus. Bisa runtuh melulu gedung yang baru saya bangun setiap kali turun hujan rintik-rintik dan angin bertiup sepoi-sepoi.

Selesai kuliah, saya tidak mau lagi muluk-muluk bermimpi. Cita-cita menjadi pemain film panas dan penari tiang sudah saya kubur jauh-jauh sejak lulus SMA. Apapun pekerjaannya yang penting saya bisa enjoy melakukannya dan bisa menghasilkan uang. Pemain film panas lagi? Tentu saja bukan!

Pengalaman pertama saya melamar pekerjaan adalah di radio anak muda untuk posisi Penyiar. Test tertulis dan wawancara saya lulus semua. Semakin percaya diri dong kalau saya akan mendapat pekerjaan ini. Saya sudah membayangkan akan duduk di belakang corong microphone, bicara sendiri seperti orang gila sambil tangan sibuk memencet dan menggeser tombol-tombol yang bisa saja sebenarnya adalah tombol untuk meledakkan gedung di belahan dunia lain. Tetapi apa daya, saya gagal saat dihadapkan dengan produser program-program radionya. 

Meski dia memuji saya seiring nada dan irama. Katanya wawasan saya OK-lah, kreatif-lah, lucu-lah…tetapi seperti salah satu lirik lagu Anggun C. Sasmi : mulut lelaki katanya selalu begitu. Lelaki memang gombal! Dia mengakhiri pujiannya dengan mengatakan bahwa satu-satunya kekurangan saya adalah kalau berbicara seperti kumur-kumur? Apa? Seperti disambar petir rasanya. Tetapi ya sudah, kalau mereka tidak mau mempekerjakan saya toh mereka yang rugi. Lihat saja nanti!

Pengalaman kedua adalah…ehmm jangan diketawain ya, saya melamar menjadi VJ MTV. Merasa percaya diri untuk sekedar berbicara sambil senam-senam di depan kamera serta bahasa Inggris yang ala kadarnya saya nekad ikut audisi VJ Hunt di Cilandak Town Square. Test pertama disuruh ngomong tentang apa saja di depan anak-anak pengunjung Mall dengan topik yang kita tentukan sendiri. Saya memilih topik tentang cita-cita. Saat sedang serius bercerita, anak-anak di depan saya menjulurkan lidah lalu lari terbirit-birit memanggil papanya.

Walaupun begitu, waktu itu saya dianggap berhasil, berhasil menakut-nakuti anak kecil mungkin maksudnya. Lalu disuruh masuk ke bilik khusus. Hah, bilik khusus? Jangan-jangan saya mau ditelanjangi? Oh ternyata untuk test taping di depan kamera. Saya disuruh masuk ke sebuah bilik tertutup ukuran 3×3 meter dan disitu hanya ada satu orang cameraman. Praktis kita hanya berdua saja di dalam ruangan sempit, mau ngapa-ngapain juga bebas dan mendukung sekali. Lalu saya dikasih bikini kulit dan cambuk. Hahaha, bercanda! Memangnya mau syuting film porno? 

Saya dikasih script yang harus segera saya hafal luar kepala. Cameraman-nya saja seperti berniat mengajak saya berantem. Begitu kertas berisi script pindah ke tangan saya, dengan cueknya dia langsung bertanya “Sudah hafal script-nya kan? Ayo mulai taping”. Bagaimana ceritanya bisa hafal, baca saja belum. Dan astagadragon, script-nya ada setengah halaman dan dalam hitungan detik saya harus bisa mencari inti dari soal cerita tersebut untuk dibicarakan di depan kamera dalam durasi 25 detik.

Saya masih ingat script-nya tentang musisi Inggris Damon Albarn yang pusing tujuh keliling membagi waktunya untuk dua band besutannya : Blur & Gorillaz. Saya sudah optimis bahwa saya akan lolos ke test selanjutnya dan menjadi host acara MTV Land bersama Sarah Sechan, Nadya Hutagalung dan Jamie Aditya karena saya merasa cameraman-nya puas dengan hasil kerja saya. Begitu saya selesai cuap-cuap di depan kamera sambil direkam, dia mengedipkan matanya sambil mengacungkan dua jempol. Belakangan saya tau bahwa dia melakukan hal yang sama kepada semua orang yang masuk ke dalam bilik keramat tersebut. Bahkan tukang antar kopi juga dia kedipin dan acungi jempol. 

Dan memang benar, sejak kejadian itu saya tidak lagi mendapat panggilan dari pihak MTV. Sakit hati rasanya waktu melihat Daniel Mananta yang terpilih menjadi VJ MTV Indonesia. Ya, saya bertemu dia waktu sama-sama mengikuti audisi, waktu itu juga ada Tommy Tjokro yang sekarang bekerja di Metro TV dan Arifin Putra yang entah dimana kini kau berada, tak tau dimana rimbanya.

Tak mau frustasi karena gagal mendapat karir impian, saya nekad mengirim lamaran ke sebuah alamat yang saya dapatkan dari iklan baris. Yang jelas waktu itu syaratnya gampang saja : bisa bahasa Inggris dan BERPENAMPILAN MENARIK. Ajaibnya, saya dipanggil untuk wawancara. Dan saat wawancara, saya baru tau kalau saya melamar untuk jadi Guru TK. Oh tidak!!!! Sebenarnya saya sudah mau mundur, tetapi merasa tidak enak sama Kepala Sekolah-nya yang sudah menyuguhi Cocacola dan gorengan waktu mewawancarai saya. Saya waktu itu memang masih murahan dan bisa disogok dengan Cocacola dan gorengan. 

Singkat cerita saya ikut pelatihan bersama para fresh graduate yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Otomatis saya langsung jadi rebutan dan digilir. Direbut dan digilir sebagai partner untuk membantu mereka mendekorasi ruangan kelas maksudnya. Maklum, sebagai satu-satunya pejantan hanya saya satu-satunya yang terlihat elok memanjat, merayap dan ngangkang-ngangkang di dinding untuk memasang lampu dan AC.
Ternyata sekolahnya baru buka saat itu juga dan belum ada muridnya. Sampai seminggu dibuka sejak open house, muridnya cuma dua biji karena hanya ada dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki, makanya saya bilang DUA BIJI karena anak laki-lakinya hanya satu. 

Alhasil selama hampir dua minggu saya merasa tidak bekerja, tetapi saya tetap digaji. Ini namanya makan gaji buta dan saya tidak mau seperti itu. Saya memang murahan, tetapi saya punya prinsip lho. Tolong ingat itu! Akhirnya saya mengundurkan diri dan langsung diamini Ibu Kepala Sekolahnya dengan senyum sumringah. Jadi selama ini beliau menunggu saya mengenyahkan diri sendiri karena merasa tidak tega memecat saya karena sudah terlanjur menyogok saya dengan Cocacola dan gorengan.

Saya punya kebiasaan kalau mengirim surat lamaran tidak mau hanya satu atau dua lamaran, tetapi langsung lima atau tujuh surat lamaran. Semakin banyak mengirim, semakin banyak peluang kan? Jadi ketika satu atau dua perusahaan sudah menolak, masih ada harapan lima atau enam perusahaan lagi. Tetapi sebenarnya tidak murni seperti itu sih maksud dan tujuan saya. Saya mengirim surat lamaran kolektif karena ogah rugi saja. Soalnya jarak Kantor Pos dari rumah saya harus naik bus antar provinsi dua hari dua malam. Jadi daripada saya bolak-balik hanya mengirim satu persatu, mending surat lamarannya saya kumpulkan sampai banyak lalu sekali mengirimkan. Cerdik ya saya? Tidak? Kampret-lah!

Pernah juga kejadian saya dipanggil interview dan wawancara oleh dua atau tiga perusahaan yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Eh, interview dan wawancara apa bedanya ya? Jadi pernah saat lagi tanda tangan kontrak dengan perusahaan A, tiba-tiba saya telepon saya berbunyi. Di ujung sana sang HRD menghubungi saya untuk menjadwalkan waktu wawancara. Lha, bagaimana ini? Saya sudah mau tanda tangan kontrak ini. Saya kadang sengaja mengencangkan volume suara saya saat sedang ‘menolak’ tawaran HRD di ujung sana agar kedengaran ke telinga pimpinan perusahaan yang sedang mengangsurkan surat kontrak di depan saya supaya beliau tau saya ini rebutan banyak perusahaan. 

Dan biasanya saat saya sengaja lama-lamain tanda tangan kontrak sambil masih terus berbicara dan negosiasi dengan HRD di ujung sana, pimpinan perusahaan langsung buru-buru menambahkan satu lagi angka nol di ujung angka nominal kolom gaji yang ditawarkan kepada saya. Beliau sepertinya tidak mau kehilangan saya. Saya seperti penjahat di film Hollywood saja ya.

Saya juga pernah dihubungi oleh perusahaan lain saat sudah setahun bekerja. Bayangkan, saya baru dipanggil satu tahun sejak saya mengirimkan surat lamaran saya. Kalau sudah begitu biasanya langsung keluar tanduk saya yang di atas kepala, lalu saya bilang “Mohon maaf ya, Bu. Saat ini saya sudah diterima bekerja di instansi ini dan itu. Seperti kata pepatah: siapa cepat, dia dapat”. Mereka pikir saya akan rela menunggu panggilan mereka setelah lebih dari jangka waktu dua minggu? Maaf ya, saya orangnya gampang move on. Rasakan itu!

Saya punya pengalaman bekerja di dua instansi skala internasional. Tidak usahlah saya sebut nama instansinya, nanti saya dikira sombong. Apalagi nanti ada yang iseng nge-check ke dua instansi tersebut, ketahuan dong nanti kalau ternyata saya bohong. Lho, yang benar yang mana?

Jadi pernah saya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku perwakilan dari instansi internasional tersebut. Saya ditelepon bukan untuk diundang wawancara, tetapi ditanya kapan saya punya waktu santai dan bisa berbicara serius. Lho, emang selama ini saya tidak bicara serius? Ternyata maksudnya agar saya bisa konsentrasi berbicara dengan beliau lewat telepon sesuai dengan kesediaan saya. Sepertinya ingin menunjukkan sisi profesional instansi mereka bahwa untuk menghubungi calon karyawan harus pada waktu khusus yang sudah disediakan dan ditentukan bersama, tidak boleh misalnya menjawab panggilan wawancara saat sedang kejepit di jendela bis atau bergelantungan diatas pohon. Mereka ingin terlihat profesional sekaligus menghargai calon karyawannya.

Pernah juga sebelum diterima bekerja, saya harus melewati serangkaian wawancara berlapis. Wawancara pertama saya di-interview HRD. Interview yang cukup mengintimidasi karena saya di-interview empat orang HRD sekaligus. Satu orang duduk di depan saya, yang tiga orang lagi berjaga-jaga di belakang saya. Dan mereka akan bergantian duduk didepan saya untuk mewawancara saya. Lolos dari sergapan empat orang HRD, saya masih harus melewati wawancara lagi. Kali ini dengan salah satu manager perusahaan. Untung manager yang mewawancarai saya cuma satu orang, jadi saya tidak perlu was-was segera pasang kuda-kuda saat merasa ada gerakan mencurigakan dari arah belakang seperti saat diwawancara empat orang HRD. Jujur, saya memang sedikit trauma dan butuh pelukan.

Kelar berurusan dengan manager, saya lagi-lagi digiring wawancara dengan direktur. Lolos dari direktur,  saya dijadwalkan lagi untuk wawancara dengan pemilik instansi yang ternyata orang asing. Saya sampai harus bolak-balik mengingat apakah saya pernah mengirim lamaran untuk menjadi presiden? Kok wawancaranya bisa sampai seribet ini? 

Dan ternyata wawancara dengan owner-nya ini bukan wawancara terakhir, saya masih harus melewati satu wawancara lagi. Saya berani bertaruh pasti kali ini giliran Tuhan yang akan mewawancara saya. Ternyata wawancara terakhir adalah kembali ke HRD yang pertama kali mewawancara saya. GUBRAK! Setelah mutar-mutar keliling dunia dan akherat, ternyata pada akhirnya kembali juga ke laptop. Thank God, kali ini hanya satu orang HRD saja. Kalau saja masih harus bertemu empat orang HRD lagi saya akan mengusulkan agar kami sebaiknya membentuk vokal group atau paduan suara saja daripada hanya buang-buang waktu wawancara.

Tetapi pemeriksaan berlapis seperti itu ada harganya. Setelah kita dinyatakan lolos, kita akan langsung diantarkan ke…..RUMAH SAKIT! Rumah Sakit yang juga skala internasional. Untuk bedah, sedot lemak atau operasi pinggul? Tentu saja bukan, tetapi untuk medical check up paket komplit yang harganya jutaan itu. Dan tentu saja biayanya ditanggung instansi. Mantap benar. Belum sah menjadi karyawan saja kita sudah ‘ditraktir’. Ibarat belum jadi pacar, sudah dikasih cincin kawin. Ibarat ayam kampus, belum dipake sudah dibayar. OK, cukup!

Setelah tanda tangan kontrak, dijelasin-lah hak dan kewajiban kita. Mulai dari peraturan yang harus kita taati selama menjadi karyawan, job description, tanggung jawab dan tugas. Termasuk disediakan seragam kerja, gaji, tunjangan, asuransi, insentif ini dan itu serta fasilitas dan lain-lain yang bikin ngiler. BBM saja dibayarin kalau kita punya kendaraan. Kalau tidak punya kendaraan? Tetap dapat jatah sebagai pengganti BBM. Kita kan pergi dan pulang kerja naik kendaraan umum, bukan jalan kaki atau naik permadani terbang yang tidak butuh ongkos.

Tetapi pernah juga saya mendapat panggilan wawancara yang bikin saya berpikir ‘ini niat nggak sih sebenarnya mau wawancara saya?’. Jadi waktu itu saya di telepon oleh seseorang yang mengaku HRD. Pembicaraannya juga sedikit absurd, mulai dari pertanyaan seputar latar belakang pendidikan saya, pengalaman kerja saya sampai posisi sex favorit saya. Selama berbicara dengan beliau lewat telepon, bolak-balik saya mendengar suara ayam berkokok dan suara tukang roti meningkahi pembicaraan kami. Termasuk bonus sound efect bunyi mulut sang HRD yang sedang mengulum sesuatu yang panjang, keras, kenyal dan basah. Nah lho, pasti lagi mengulum es krim atau sosis panas mungkin? Jujur saja, saya sempat membayangkan yang tidak-tidak.

Dan benar saja, saat saya disuruh datang ke gedung kantornya untuk wawancara…astaga, gedungnya malah lebih buruk dari rumah hantu Pondok Indah. Di halaman dekat pagar ada tumpukan pasir dan dua sak semen. Jangan-jangan saya mau disuruh ngaduk semen nih? Belum lagi saat saya masuk ke dalam, saya langsung ditegur salah satu tukang yang sedang memperbaiki asbes dan dengan cueknya menyuruh saya beli rokok. Uangnya saya terima, rokoknya tidak saya beli karena saya langsung pulang. Lumayan dapat uang dua puluh ribu. Rasakan itu!

Pernah juga saya dipanggil untuk sebuah wawancara kerja pada kesempatan yang lain. Saat saya datang ke kantornya, bukannya diwawancara saya malah langsung diajak salaman, lalu diberi tau bahwa saya harus membeli beberapa unit produk tertentu agar saya sah menjadi karyawan. Maksud loe? Sebenernya loe butuh karyawan atau konsumen? Gue timpe di pojokan langsung pade miskin loe semue! Lha, sebenernya saya ini orang Batak atau Betawi ya?

Yang lebih ajaib, seorang boss sudah menjdwalkan wawancara kerja untuk saya. bahkan di akhir pembicaraan si boss bolak-balik mengingatkan agar saya jangan sampai lupa atau terlambat. Kesannya saya ini sangat dibutuhkan banget oleh doi. Tetapi apa yang terjadi setelah saya datang ke kantor tersebut. Security-nya bilang bahwa si boss sedang keluar kota. Saya tanya, “HRD-nya mana?”. Katanya nggak ada HRD. Lha, ini bagaimana? Karena tidak mau balik kanan pulang tanpa hasil, saya suruh saja sang security untuk menelepon boss-nya. Mau tau bagaimana hasilnya? Si boss menyuruh security (dan salah satu office boy kantor itu) yang mewawancarai saya. Pahit memang, tetapi tetap harus saya jalani. Dan seperti bisa ditebak, wawancaranya ‘mati gaya’. Mereka berdua bingung mau bertanya apa. Setelah berpikir keras, keluarlah pertanyaan-pertanyaan ‘maha penting’ seperti “apakah tadi pagi saya bangun karena bunyi jam weker atau bunyi kokok ayam?”, “sabun mandi yang saya pakai merek untuk laki-laki atau perempuan?’, dll.

Dua hari kemudian si boss menghubungi saya. Tanpa minta maaf dan penjelasan dia menyuruh saya datang lagi ke kantornya untuk wawancara. Saya memang bilang saya akan datang, tetapi saya sama sekali sudah tak berminat lagi untuk datang. Score sementara 1-1.

Intinya adalah, mencari pekerjaan itu gampang-gampang susah. Kadang semakin susah mendapatkannya, kita akan semakin berdedikasi saat sudah berhasil lolos menjadi karyawan. Easy come, easy go. Sebaliknya kalau terlalu gampang diterima menjadi karyawan, saya yakin kita akan gampang juga meninggalkan pekerjaan kita tanpa beban. Bukan berarti tidak boleh mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan, tetapi karyawan jenis kutu loncat itu juga menjadi bahan pertimbangan perusahaan lain karena akan terkesan kurang berdedikasi dan loyalitasnya perlu dipertanyakan. Dan yang paling penting adalah mudah-mudahan bisa menikmati pekerjaan kita.

Saya pernah merasakan digaji relatif besar dan dapat fasilitas ini dan itu, tetapi saya tidak bahagia karena lingkungan kerja yang stressful dan sering memberi pengaruh buruk pada perkembangan mental saya. Biasalah, ‘perang’ antar sesama karyawan yang dipicu kecemburuan sosial dan asmara. Tetapi pernah juga saya digaji sangat kecil, bahkan jauh dari standar gaji saya sebelumnya, namun saya bahagia dan betah karena saya merasa bukan seperti kerja, tetapi seperti sedang belajar tetapi mendapat gaji. Satu hal lagi yang penting, kita juga tidak selalu mendapatkan karir impian kita. 

Ya, beberapa orang memang berhasil mendapatkan karir impian, tetapi jalan hidup orang kan berbeda-beda. Tetapi yakinlah, Tuhan menempatkan kita disitu karena itulah sebenarnya karir yang kita butuhkan. Apa yang kita inginkan kan belum tentu sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Itulah instansi yang sebenarnya membutuhkan kita. Itulah sebenernya instansi yang kita butuhkan agar kita bisa belajar hal-hal baru yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh kita. Everything comes for a reason. Dengan kata lain, itulah salah satu cara Tuhan untuk membuat hidup kita bernilai dan bermakna untuk orang lain.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar