Hari ini akun sosial media saya seperti Twitter
dan Facebook beserta portal-portal berita online yang saya
baca dibanjiri oleh sebuah berita dengan judul ‘Insiden Rawon Setan’
dengan subjek utama Menteri Pemuda dan Olahraga : Bapak Roy Suryo.
Menurut kronologinya, Roy Suryo sedang mengunjungi
Surabaya. Lalu oleh pejabat setempat diajak makan siang dengan menu Rawon
Setan. Tidak perlu saya jelaskan ya kenapa disebut Rawon Setan, yang
jelas rawon ini tidak terbuat dari setan atau dibuat oleh setan.
Mungkin karena terpengaruh oleh nama menu makanan yang
ada unsur setan-nya, setelah selesai menikmati rawon setan, rombongan
Roy Suryo langsung ‘kesetanan’ alias langsung pergi tanpa membayar tagihan yang
konon katanya senilai 900.000.
Roy Suryo berdalih ada miskomunikasi dengan
protokoler lokal. Beliau dan semua rombongan masing-masing mengira sudah ada
yang bertugas membayar, jadi semuanya santai-santai saja ngeloyor angkat
kaki. Padahal kenyataannya belum ada yang membayar. Ya, mereka mungkin sama
saja mungkin dengan kita para rakyat jelata : makannya rajin, bayarnya malas.
Kecuali saya ya, karena saya justru kebalikannya : makannya yang malas, tetapi
bayarnya rajin.
Roy Suryo juga berkilah bahwa dia sudah memastikan
apakah rawon sudah dibayar atau belum, tetapi dia menanyakannya kepada anggota
rombongannya, bukan kepada pemilik rumah makan Rawon Setan.
Saya menjadi teringat dengan pengalaman saya dua tahun
yang lalu. Saat itu saya mengelola sebuah restoran nasional di kota Balige,
Sumatera Utara. Pada suatu kesempatan, restoran kami juga kedatangan tamu
rombongan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif : Ibu Mari Elka Pangestu.
Rombongan yang begitu banyak anggotanya, sehingga kami terpaksa menutup
restoran untuk umum (untuk sementara) karena rombongan Ibu Mari saja sudah
memenuhi semua meja restoran.
Rombongan Ibu Menteri tidak menghabiskan banyak waktu
di restoran kami. Setelah selesai makan dengan menu ayam goreng, sop ayam, cah
kangkung dan ikan bakar, lalu jeda sebentar selama tiga puluh menit untuk
menonton pertandingan Tim Nasional yang sedang berlaga (saya sudah tidak ingat
saat itu melawan negara mana) melalui layar televisi yang kami sediakan di restoran.
Pada saat, rombongan akan angkat kaki, salah satu dari
rombongan tersebut langsung sigap menghampiri saya. Minta tolong diberi rincian
menu yang tadi telah mereka nikmati beserta harga masing-masing menu serta
total biaya. Setelah saya menghitung pembayaran (sekitar 800.000), si bapak ini
menyuruh saya menghitung lagi, untuk memastikan saya tidak salah hitung. Demi
memuaskan pelanggan eh, kok pelanggan? Kebiasaan di profesi lama masih sering
terbawa-bawa nih. Maksud saya, demi memuaskan tamu, kemudian saya hitung lagi
dan saya memang tidak salah hitung.
Setelah yakin tidak salah hitung, si Bapak sambil
tersenyum berkata, ”Maklum, Mas. Membawa rombongan Menteri memang harus begini.
Semua harus serba jelas dan terperinci”. Saya mengangguk maklum, sambil
berharap semoga suatu saat saya juga bisa menjadi menteri. Amin…
Setelah mengucapkan terima kasih, si Bapak-pun
ngeloyor pergi menghampiri Ibu Menteri yang sedang menyempatkan diri merapikan dandanannya
dibantu asistennya. Saat akan meninggalkan restoran, Ibu Menteri bahkan masih
sempat menghampiri saya dan bertanya apakah makanan mereka tadi sudah dibayar.
Saya jawab “Sudah, Bu”.
“Nggak salah hitung kan? Jangan sampai kalian rugi
lho,” canda sang Ibu
Menteri.
Itulah bedanya Ibu Menteri Pariwisata & Ekonomi
Kreatif dengan Bapak Menpora. Ibu Menteri peduli dan perhatian untuk
hal-hal kecil yang sebenarnya penting. Dia memilih untuk memastikan langsung
kepada pengelola restoran apakah pembayaran sudah beres. Bukan malah memastikan
kepada anggota rombongan yang mungkin penganut paham ABIS (Asal Bapak
Ibu Senang) dan akhirnya malah berakhir kisruh seperti kisah Pak
Roy Suryo.
Pesan moral dari kisah ini adalah : jangan memakan
makanan yang inisial namanya sama dengan inisial nama anda. Siapa tau pamali
dan jadi menimbulkan masalah di kemudian hari. Seperti RS : Roy Suryo
,Rawon Setan.
0 komentar:
Posting Komentar