Tidak ada alasan untuk tidak bangga melihat saudara sendiri bersaing di
sebuah kompetisi tingkat dunia. Sama bangganya ketika melihat penyanyi Anggun
menembus chart Billboard di Amerika, Rio Haryanto menjuarai Grand
Prix di Eropa, Joe Taslim yang mendapat peran di industri film Hollywood,
Susi Susanti yang mempersembahkan medali emas pertama di Olimpiade atau
yang baru-baru ini menjadi topik pembicaraan hangat yaitu trio anak muda
Gamal, Audrey dan Cantika (GAC) yang video cover
version mereka tayang di podium utama Grammy Award 2014 saat
mempresentasikan lagu Mirror milik Justin Timberlake.
Dan lebih
membanggakan lagi ketika mereka tetap membawa akar ke-Indonesiaan-nya ke level
dunia. Salah satunya adalah, rata-rata mereka ini memiliki nama yang sangat
khas Indonesia yang pasti terdengar aneh di telinga orang asing dan juga susah
dilafalkan lidah asing, tetapi mereka tetap mempertahankan nama tersebut tanpa
pernah ingin mengubahnya menjadi berbau Amerika. Berada di kancah dunia tidak
membuat mereka meninggalkan identitas aslinya, tetapi justru bangga dengan
eksotisme negara asalnya yang melekat pada diri mereka.
Ada satu lagi nama yang berbau Indonesia (khususnya dari daerah Batak) berhasil
menembus level dunia sebuah bidang kompetisi kelas dunia. Namanya Jesse
Hutagalung, petenis berdarah campuran Batak dan Belanda yang saat ini
berhasil menembus jajaran 100 Top Ranks tennis dunia. Ketika
negara-negara Asia lain seperti China, Jepang, Taiwan dan Thailand memiliki
wakil di kedua kubu jajaran elit tenis di sektor putra dengan nama instansi Association
of Tennis Professionals (ATP) dan sektor putri dengan nama instansi Women’s
Tennis Association (WTA), dalam arti berhasil masuk Top 100, petenis
Indonesia masih berkutat di luar peringkat yang selalu menjadi headline
website resmi kedua organisasi tenis dunia tersebut.
Kita pernah memiliki Yayuk Basuki (mantan rangking 19 dunia, pernah
melaju sampai ke babak Quarter Final turnamen Grand Slam Wimbledon
1997), Angelique Wijaya (mantan rangking 55 dunia, juara Wimbledon
Junior 2001), Wynne Prakusa (mantan rangking 74 dunia), Romana
Tedjakusuma (mantan rangking 84 dunia) yang mampu berbicara di podium
internasional. Tetapi sekarang sejak era mereka berlalu, tak ada lagi petenis
Indonesia, baik putra maupun putri, yang mampu menembus Top 100 rangking
dunia. Petenis andalan Indonesia saat ini seperti Christopher Rungkat
dan Elbert Sie peringkatnya masih berada di luar Top 200 rangking
dunia.
Jesse Hutagalung kelahiran Harleem (Belanda) 28 tahun yang lalu
adalah warga negara Belanda yang sudah terjun ke dunia olahraga tennis
profesional sejak tahun 2004 dengan peringkat pertamanya di rangking 742
dunia. Pelan namun pasti dia berhasil merangkaki satu demi satu anak tangga
dengan grafik kenaikan rangking yang meningkat sampai ke peringkat 502 masih
pada tahun yang sama. Tahun lalu, tepatnya 19 Agustus 2013, Jesse untuk pertama
kali menembus Top 100 dengan rangking 99 dunia. Prestasinya memang tidak
buruk, bahkan cenderung stabil. Namun karena prestasi petenis lain juga
berkembang, sehingga pada tanggal 14 Oktober 2013, Jesse kembali tergusur dan
terlempar dari jajaran Top 100 digantikan oleh petenis lain. Namun di
tahun 2014, Jesse kembali melambung menembus Top 100 dan minggu ini dia
berhasil mencapai posisi terbaiknya dalam Top 100, yaitu menempati
urutan 91 dunia.
Tidak banyak petenis putra yang memiliki senjata andalan untuk menggempur
daerah pertahanan lawan. Salah satunya adalah pukulan backhand dengan
satu tangan. Pada umumnya pukulan ini dilakukan dengan menggunakan dua tangan
untuk menghasilkan pukulan yang keras dan tajam. Di jajaran petenis ATP, Richard
Gasquet (Prancis) yang memiliki pukulan ini. Dia mampu menyerang lapangan
pertahanan lawan dengan single-handed backhand dengan kekuatan dan
akurasi yang sama baiknya dengan jika menggunakan dua tangan. Jesse Hutagalung
juga termasuk yang memiliki jenis pukulan ini, namun hasil pukulan dan
pengembalian bolanya belum sekeras dan setajam Richard Gasquet. Meskipun
akurasi penempatan bolanya sudah terarah dengan baik, namun belum cukup keras
untuk bisa menghasilkan winner atau memaksa lawan melakukan error.
Dari segi penampilan, Jesse hampir sama dengan rata-rata petenis putra
lainnya yang mayoritas berpostur tinggi besar dan berwajah rupawan. Yang
menarik, petenis putra yang sering dinilai memiliki ketampanan bagai model
justru mereka yang berada diluar Top 10. Sebut saja Grigor Dimitrov
(19), Daniel Brands (69), Feliciano Lopez (26), Fabio Fognini
(14) dan lain-lain. Dengan tinggi badan 188 sentimeter, Jesse kerap terlihat
perlente di lapangan tenis. Walau bersimbah keringat akibat mengejar bola
kesana kemari, tatanan rambutnya tetap terjaga dan rapi sampai pertandingan
berakhir.
Dari ribuan petenis profesional dari seluruh dunia, bisa menembus Top
100 ATP jelas merupakan sebuah kebanggaan. Penggemar tenis di seluruh dunia
mungkin tidak begitu mengenal seluruh petenis profesional, tetapi pasti
mengenal semua petenis yang berada di jajaran Top 100. Mereka-mereka
inilah yang sebenarnya lebih sering merepotkan para petenis terbaik dunia
seperti Rafael Nadal, Novak Djokovic, Roger Federer, Andy Murray dan
lain-lain di babak-babak awal turnamen. Mereka yang punya kemampuan yang cukup
baik dan tanpa dibebani harus meraih atau mempertahankan gelar juara membuat
mereka bermain lepas dan nothing to lose. Hal ini membuat mereka mampu
bermain apik dan membuat pemain unggulan harus bekerja keras agar bisa melewati
hadangan mereka. Masih segar dalam ingatan bagaimana Steve Darcis
(Belgia) menaklukkan Rafael Nadal (Spanyol) di putaran pertama Wimbledon
tahun lalu. Juga Sergy Stackhovsky (Ukrania) yang masih pada turnamen
yang sama mengalahkan Roger Federer (Swiss) di babak kedua.
Jesse sampai sejauh ini belum meraih satu gelar baik saat bermain tunggal
maupun ganda. Prestasi terbaiknya adalah menjadi runner up di Dutch Open
2008 (berpasangan dengan Igor Sijsling) dan runner up ABN Amro World Tennis Tournament 2013
(berpasangan dengan Thiemo de Bakker).
Meskipun Jesse Hutagalung tidak membela nama Indonesia, namun darah
Indonesia dalam tubuhnya jelas membuat penggemar tennis dari Indonesia bangga
padanya. Apalagi dia mempertahankan marga Hutagalung, yang menjadi nama official-nya
di lapangan tennis, sehingga para komentator dan umpire internasional
mau tidak mau harus belajar dan setengah mati menekuk lidah untuk melafalkan
nama khas Indonesia ini dengan baik. Memang seperti itulah seharusnya, jangan
hanya kita saja yang mati-matian melafalkan istilah atau nama dalam bahasa
asing, tetapi sesekali boleh dong gantian orang asing yang mati-matian
melafalkan istilah atau nama dalam bahasa Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar