17/03/14

JESSE HUTAGALUNG Di Jajaran Elit Tennis Dunia

Tidak ada alasan untuk tidak bangga melihat saudara sendiri bersaing di sebuah kompetisi tingkat dunia. Sama bangganya ketika melihat penyanyi Anggun menembus chart Billboard di Amerika, Rio Haryanto menjuarai Grand Prix di Eropa, Joe Taslim yang mendapat peran di industri film Hollywood, Susi Susanti yang mempersembahkan medali emas pertama di Olimpiade atau yang baru-baru ini menjadi topik pembicaraan hangat yaitu trio anak muda Gamal, Audrey dan Cantika (GAC) yang video cover version mereka tayang di podium utama Grammy Award 2014 saat mempresentasikan lagu Mirror milik Justin Timberlake

Dan lebih membanggakan lagi ketika mereka tetap membawa akar ke-Indonesiaan-nya ke level dunia. Salah satunya adalah, rata-rata mereka ini memiliki nama yang sangat khas Indonesia yang pasti terdengar aneh di telinga orang asing dan juga susah dilafalkan lidah asing, tetapi mereka tetap mempertahankan nama tersebut tanpa pernah ingin mengubahnya menjadi berbau Amerika. Berada di kancah dunia tidak membuat mereka meninggalkan identitas aslinya, tetapi justru bangga dengan eksotisme negara asalnya yang melekat pada diri mereka.

Ada satu lagi nama yang berbau Indonesia (khususnya dari daerah Batak) berhasil menembus level dunia sebuah bidang kompetisi kelas dunia. Namanya Jesse Hutagalung, petenis berdarah campuran Batak dan Belanda yang saat ini berhasil menembus jajaran 100 Top Ranks tennis dunia. Ketika negara-negara Asia lain seperti China, Jepang, Taiwan dan Thailand memiliki wakil di kedua kubu jajaran elit tenis di sektor putra dengan nama instansi Association of Tennis Professionals (ATP) dan sektor putri dengan nama instansi Women’s Tennis Association (WTA), dalam arti berhasil masuk Top 100, petenis Indonesia masih berkutat di luar peringkat yang selalu menjadi headline website resmi kedua organisasi tenis dunia tersebut.

Kita pernah memiliki Yayuk Basuki (mantan rangking 19 dunia, pernah melaju sampai ke babak Quarter Final turnamen Grand Slam Wimbledon 1997), Angelique Wijaya (mantan rangking 55 dunia, juara Wimbledon Junior 2001), Wynne Prakusa (mantan rangking 74 dunia), Romana Tedjakusuma (mantan rangking 84 dunia) yang mampu berbicara di podium internasional. Tetapi sekarang sejak era mereka berlalu, tak ada lagi petenis Indonesia, baik putra maupun putri, yang mampu menembus Top 100 rangking dunia. Petenis andalan Indonesia saat ini seperti Christopher Rungkat dan Elbert Sie peringkatnya masih berada di luar Top 200 rangking dunia.

Jesse Hutagalung kelahiran Harleem (Belanda) 28 tahun yang lalu adalah warga negara Belanda yang sudah terjun ke dunia olahraga tennis profesional sejak tahun 2004 dengan peringkat pertamanya di rangking 742 dunia. Pelan namun pasti dia berhasil merangkaki satu demi satu anak tangga dengan grafik kenaikan rangking yang meningkat sampai ke peringkat 502 masih pada tahun yang sama. Tahun lalu, tepatnya 19 Agustus 2013, Jesse untuk pertama kali menembus Top 100 dengan rangking 99 dunia. Prestasinya memang tidak buruk, bahkan cenderung stabil. Namun karena prestasi petenis lain juga berkembang, sehingga pada tanggal 14 Oktober 2013, Jesse kembali tergusur dan terlempar dari jajaran Top 100 digantikan oleh petenis lain. Namun di tahun 2014, Jesse kembali melambung menembus Top 100 dan minggu ini dia berhasil mencapai posisi terbaiknya dalam Top 100, yaitu menempati urutan 91 dunia.

Tidak banyak petenis putra yang memiliki senjata andalan untuk menggempur daerah pertahanan lawan. Salah satunya adalah pukulan backhand dengan satu tangan. Pada umumnya pukulan ini dilakukan dengan menggunakan dua tangan untuk menghasilkan pukulan yang keras dan tajam. Di jajaran petenis ATP, Richard Gasquet (Prancis) yang memiliki pukulan ini. Dia mampu menyerang lapangan pertahanan lawan dengan single-handed backhand dengan kekuatan dan akurasi yang sama baiknya dengan jika menggunakan dua tangan. Jesse Hutagalung juga termasuk yang memiliki jenis pukulan ini, namun hasil pukulan dan pengembalian bolanya belum sekeras dan setajam Richard Gasquet. Meskipun akurasi penempatan bolanya sudah terarah dengan baik, namun belum cukup keras untuk bisa menghasilkan winner atau memaksa lawan melakukan error.

Dari segi penampilan, Jesse hampir sama dengan rata-rata petenis putra lainnya yang mayoritas berpostur tinggi besar dan berwajah rupawan. Yang menarik, petenis putra yang sering dinilai memiliki ketampanan bagai model justru mereka yang berada diluar Top 10. Sebut saja Grigor Dimitrov (19), Daniel Brands (69), Feliciano Lopez (26), Fabio Fognini (14) dan lain-lain. Dengan tinggi badan 188 sentimeter, Jesse kerap terlihat perlente di lapangan tenis. Walau bersimbah keringat akibat mengejar bola kesana kemari, tatanan rambutnya tetap terjaga dan rapi sampai pertandingan berakhir.

Dari ribuan petenis profesional dari seluruh dunia, bisa menembus Top 100 ATP jelas merupakan sebuah kebanggaan. Penggemar tenis di seluruh dunia mungkin tidak begitu mengenal seluruh petenis profesional, tetapi pasti mengenal semua petenis yang berada di jajaran Top 100. Mereka-mereka inilah yang sebenarnya lebih sering merepotkan para petenis terbaik dunia seperti Rafael Nadal, Novak Djokovic, Roger Federer, Andy Murray dan lain-lain di babak-babak awal turnamen. Mereka yang punya kemampuan yang cukup baik dan tanpa dibebani harus meraih atau mempertahankan gelar juara membuat mereka bermain lepas dan nothing to lose. Hal ini membuat mereka mampu bermain apik dan membuat pemain unggulan harus bekerja keras agar bisa melewati hadangan mereka. Masih segar dalam ingatan bagaimana Steve Darcis (Belgia) menaklukkan Rafael Nadal (Spanyol) di putaran pertama Wimbledon tahun lalu. Juga Sergy Stackhovsky (Ukrania) yang masih pada turnamen yang sama mengalahkan Roger Federer (Swiss) di babak kedua.

Jesse sampai sejauh ini belum meraih satu gelar baik saat bermain tunggal maupun ganda. Prestasi terbaiknya adalah menjadi runner up di Dutch Open 2008 (berpasangan dengan Igor Sijsling) dan runner up ABN Amro World Tennis Tournament 2013 (berpasangan dengan Thiemo de Bakker).

Meskipun Jesse Hutagalung tidak membela nama Indonesia, namun darah Indonesia dalam tubuhnya jelas membuat penggemar tennis dari Indonesia bangga padanya. Apalagi dia mempertahankan marga Hutagalung, yang menjadi nama official-nya di lapangan tennis, sehingga para komentator dan umpire internasional mau tidak mau harus belajar dan setengah mati menekuk lidah untuk melafalkan nama khas Indonesia ini dengan baik. Memang seperti itulah seharusnya, jangan hanya kita saja yang mati-matian melafalkan istilah atau nama dalam bahasa asing, tetapi sesekali boleh dong gantian orang asing yang mati-matian melafalkan istilah atau nama dalam bahasa Indonesia
Share:

0 komentar:

Posting Komentar