Menonton acara Mancing Mania di Trans 7 selalu membuat saya
gerah meskipun cuaca di luar sedang turun hujan. Gerah karena saya tidak
mengerti nilai positif apa yang bisa saya (dan mungkin penonton lain) petik
dari tayangan yang dikemas dalam bentuk adventure ini.
Jadi dalam tayangan yang khusus memamerkan hobby memancing kalangan
tertentu yang saya percaya adalah kalangan ‘the have’, dipamerkan
bagaimana mereka mengembara ke tengah lautan menggunakan kapal bertenaga mesin
dan alat pancing canggih. Jelas mereka ini bukan nelayan yang mencari ikan
sebagai sumber nafkah. Mereka ini adalah orang-orang kaya yang mungkin sudah
kebingungan kemana lagi hendak membuang-buang uang.
Sebenarnya bukan urusan saya mereka mau membuang uang kemana, tetapi esensi
kegiatan dan tayangan ini yang sedikit menganggu saya. Pada beberapa tayangan
sebelumnya, saya melihat mereka berhasil menangkap ikan yang berukuran besar.
Menangkap bukan dengan cara dijala, tetapi dipancing dengan mata kail berukuran
jangkar kecil. Seperti yang saya sampaikan tadi, mereka ini bukan nelayan.
Jadi setelah berhasil menaikkan ikan yang terluka ke atas kapal, mereka tertawa-tawa dengan bangga sambil disorot kamera, lalu berpose sok kece layaknya generasi alay, selanjutnya sang ikan yang sudah terluka di bagian dalam (akibat kaitan mata kail) dilepaskan kembali ke laut. Entah dimana pikiran mereka saat melepaskan ikan yang sudah terluka.
Setelah melukai sang ikan, mereka lepas tanggung jawab. Bukankah sebaiknya mereka memotong , memasak dan mengkonsumsi ikan tersebut daripada membiarkannya tersiksa seperti itu? Atau kalau mau esktrim, membawa ikan tersebut ke dokter hewan, obati lukanya. Setelah sembuh, baru lepaskan ke laut.
Jadi setelah berhasil menaikkan ikan yang terluka ke atas kapal, mereka tertawa-tawa dengan bangga sambil disorot kamera, lalu berpose sok kece layaknya generasi alay, selanjutnya sang ikan yang sudah terluka di bagian dalam (akibat kaitan mata kail) dilepaskan kembali ke laut. Entah dimana pikiran mereka saat melepaskan ikan yang sudah terluka.
Setelah melukai sang ikan, mereka lepas tanggung jawab. Bukankah sebaiknya mereka memotong , memasak dan mengkonsumsi ikan tersebut daripada membiarkannya tersiksa seperti itu? Atau kalau mau esktrim, membawa ikan tersebut ke dokter hewan, obati lukanya. Setelah sembuh, baru lepaskan ke laut.
Hari ini tanggal (tanggal 27 Februari 2014) saya kembali menyaksikan
kesadisan yang sama. Para ‘pembunuh berdarah dingin’ ini menangkap ikan (yang
saya tebak adalah jenis kakap) berukuran sebesar anak sapi. Ukuran ikan yang
cukup besar membuat mereka kesulitan menarik ikan hanya dengan mengandalkan
mata kail. Maka untuk mempermudah, mereka menancapkan sebuah senjata yang mirip
obeng raksasa ke kepala ikan tersebut. Dengan cucuran darah segar dan tubuh
ikan yang bergetar-getar seperti sedang menghadapi sakratul maut, ikan berhasil
ditarik ke atas kapal.
Seperti biasa, setelah cengar-cengir seperti seolah
menganggap aktifitas membunuh untuk kesenangan adalah sebuah prestasi, tidak
jelas bagaimana nasib ikan tersebut pada akhir cerita. Mengingat mereka bukan
nelayan, ada kemungkinan nasib sang ikan sama dengan nasib ikan-ikan
sebelumnya, yaitu dilempar kembali ke laut dalam keadaan sekarat.
Adegan sadisme belum berhenti sampai disitu. Pada satu kesempatan, mereka
berhasil menangkap ikan pedang (saya tidak tau apakah benar namanya seperti
itu, yang pasti bentuk moncong ikannya menyerupai gergaji). Mungkin keder dan
kehilangan nyali melihat bentuk fisik ikan yang cukup mengintimidasi seperti
itu, mereka tidak berani menarik ikan ke atas kapal.
Salah satu pria kemudian berbicara begini : “mata kailnya masuk terlalu dalam, sehingga susah untuk mengambilnya, jadi akan saya potong saja talinya”. Dan crap!, sang pria memotong benang kail dan membiarkan mata kail yang besar dan tajam itu tetap menancap di bagian dalam tubuh ikan. Selanjutnya, seperti yang sudah saya tebak, sang ikan dikembalikan ke laut.
Salah satu pria kemudian berbicara begini : “mata kailnya masuk terlalu dalam, sehingga susah untuk mengambilnya, jadi akan saya potong saja talinya”. Dan crap!, sang pria memotong benang kail dan membiarkan mata kail yang besar dan tajam itu tetap menancap di bagian dalam tubuh ikan. Selanjutnya, seperti yang sudah saya tebak, sang ikan dikembalikan ke laut.
Saya bingung dengan nilai dari materi tayangan seperti ini. Konsep acaranya
tidak lebih dari sekedar mempertontonkan realita beberapa kalangan yang
memiliki hobby membunuh dan menyiksa mahluk hidup lain untuk kesenangan.
Sama sekali tidak ada nilai edukasinya, malah lebih cenderung mengusung nilai
sadisme. Tayangan seperti ini menurut saya tidak lebih baik dari tayangan
acara-acara yang mempertontonkan goyangan bodoh atau talkshow kosong,
hanya saja beda konsep dan kemasan, tetapi masih dalam level yang sama :
tidak mendidik.
Saya kadang bingung, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kerjanya ngapain aja?
Hanya duduk ongkang-ongkang kaki menunggu komlain dan laporan? Selama ini
mereka hanya pasif menunggu laporan dari pemirsa. Tidak pernah sekalipun
memiliki inisyatif sendiri untuk melakukan tindakan, padahal mereka juga punya
mata dan pikiran sama seperti pemirsa.
Memang benar saran teman saya, bahwa tidak menonton tayangan TV lokal
membuat hidup lebih bermakna karena kita tidak harus melihat tayangan-tayangan
kosong yang kadang membuat anda naik pitam.
Mungkin juga akan selalu ada yang bilang “kalau tidak suka atau merasa
terganggu, ya jangan tonton”. Well, sebuah komentar dari kalangan
asosial, yang hanya memikirkan diri sendiri tanpa peduli dengan efek tayangan
tersebut terhadap orang lain (khususnya anak-anak dan remaja) yang belum bisa
memilah mana tontonan yang baik dan mana tontonan yang buruk.