17/03/14

Kesasar Di BALI



Mendarat di Bandara Ngurah Rai di Bali, ada suasana yang langsung berubah. Udaranya bersih dan iklim-nya sangat sejuk. Perjalanan menuju rumah kakak saya melewati penjara Krobokan yang cukup mengintimidasi. Dari luar saja sudah kelihatan seram, apalagi di dalam ya? 

Apalagi saya teringat bahwa teroris bernama Amrozi dan kawan-kawan di’gembleng’ disini. Berhubung rumah kakak tidak muat untuk menampung semua orang, saya menginap disebuah penginapan beraksitektur kuno, perpaduan tradisional Bali dan Jepang dengan warna netral. 

Setiap pagi, dari jendela kamar saya melihat bapak penjaga penginapan mengenakan kostum tradisional Bali memberi sesembahan di pura mini di halaman penginapan. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, bukan kepada bapak itu…tetapi kepada ikat kepala yang dipakainya (yang dalam bahasa Bali disebut udeng). Siang itu saya langsung keluyuran ke tempat menjual cinderamata dan langsung membeli sebuah udeng. Begitu saya pakai, aduhhhhh…ternyata saya ganteng sekali.

Destinasi pertama adalah ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang kesohor itu. Jalan menuju kesana wuihhhhh….sudah jauh, jalannya menanjak pula. Kesannya kita bukan mau ke GWK, tetapi ke kawasan Puncak. Saya baru tau kalau Universitas Udayana itu luasnya minta ampun dan sangat jauh dari ‘peradaban’. Saat menuju GWK, kami memang melewati Universitas Udayana yang adem banget. Udah lokasinya didataran tinggi, banyak pohon pula. Pokoknya kawasan UI di Depok kalah deh.  

Di sebuah persimpangan, kami bingung belok kanan atau kiri. Akhirnya bertanya kepada seorang bapak-bapak yang sedang ‘parkir’ bersama motornya. Berhubung si bapak ada diseberang jalan, saya terpaksa berteriak dari dalam mobil minta tolong petunjuk arah menuju GWK : belok kiri atau kanan. Eh, si bapak nggak langsung menjawa, tetapi memastikan dulu motornya ‘berdiri’ dengan benar, kemudian datang menghampiri dan dengan ramahnya (dan senyum terkembang) menjelaskan arah menuju GWK. 
Pake gambar peta di tanah segala lho. Ya ampun…si bapak niat banget menolongnya. Nggak kayak di Jakarta, orang dimintain tolong aja udah melengos, nggak ngasih tau pula. Kadang malah ada yang meludah dan ngajak berantem.

Di GWK akhirnya bisa melihat sang Garuda yang belum jadi itu. Belum jadi karena baru kepalanya saja yang dipajang, sementara badan sang dewa Wisnu dan tangan dewa Wisnu masih belum jadi dan masih berpencar-pencar disana-sini. Hahaha, seperti mutilasi saja. Kebayang kalau sudah jadi, segimana besarnya nanti patung Garuda Wisnu Kencana ini. Wong baru kepalanya aja sudah segede meteor gitu. Alun-alun di GWK sangat keren…lapangannya dikelilingi bukit. Kabarnya disini sering digelar konser musik kelas dunia. No wonder-lah, wong lokasi dan pemandangannya emang keren abis. 

Di GWK sempat nyobain Flying Fox, cuma bayar 40.000 dan swingggggggggg……..silahkan meluncur sepanjang beberapa puluh meter di antara celah bukit kapur. Tadinya saya pikir Flying Fox itu gimana gitu, ternyata biasa saja. Lain kali saya akan coba Bunge Jumping saja. *saya langsung sombong*

Berhubung GWK satu arah dengan Uluwatu, kami memutuskan untuk ‘medley’ ke Uluwatu. Pemandangan di Uluwatu itu astajim….sangat indah permai. Lembahnya yang curam dibatasi tembok sepinggang…trus dibawah ada deburan ombak membelai-belai ngarai dengan mesra-nya. Indah sekali, apalagi kalau pas sunset, tambah romantis. Pantas aja dulu Glenn Fredly dan Dewi Sandra menikah disini. Suasana memang mendukung banget untuk acara pernikahan dan malam pertama. Jodoh, mana jodoh?

Tetapi suasana romantis di Uluwatu agak dinodai oleh sepasukan monyet perampok. Ya, saya tidak bercanda, monyetnya memang perampok. Makanya sebelum memasuki kawasan Uluwatu, penjaga pintu memperingatkan agar pengunjung tidak memakai kacamata, anting, gelang dan segala macam pernak-pernik yang mungkin bisa menarik minat para monyet. Di Uluwatu, bukan pemandangan langka lagi ketika pengunjung pulang dengan tampang frustasi dalam keadaan sandal yang dipakai sudah tinggal sebelah. 

Yang sebelah lagi kemana? Ya dirampok monyet. Dirampok bukan karena kita lengah, tetapi sang monyet dengan gagah perkasa berani menyamperin pengunjung dan merampok sandal, sepatu dan apa saja yang bisa dirampas dari kita. Wuihhhh, monyet disini pokoknya berani ngajak duel deh. 

Berhubung saya tidak suka berurusan dengan monyet (dan monyet sama sekali bukan hewan favorit saya), saya nekad  saja menggenggam sebilah kayu sepanjang satu meter. Melihat tampang monyet-monyet yang jahil dan menyebalkan itu, saya tidak akan segan-segan menggibang monyet yang berani macam-macam sama saya. 
Apalagi selama di Uluwatu saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri seekor monyet nekad menarik-narik sepatu seorang anak kecil, melarikan sandal (yang katanya harganya mahal) seorang nenek-nenek. 

Bahkan ada monyet yang dengan liciknya mencaplok kacamata seorang pria bule dari atas pohon.   Konon katanya barang-barang yang dirampok monyet bisa di’tebus’ atau ditukar dengan sebungkus kacang atau manisan buah. Istilahnya si monyet harus disogok atau diajak tukar menukar barang. Sudah seperti kasus penculikan dan sandera saja!
 
Destinasi hari kedua adalah Pantai Kuta. Enaknya di Bali tuh, kita bebas mau berpenampilan kayak gimana sepanjang tidak merugikan orang lain. Makanya saya cuek saja pakai celana basket yang rada-rada menerawang dan ringan **jadi serasa nggak pake celana** itu (yang sangat jarang saya pakai kalau di Jakarta karena bisa membatalkan puasa) plus topi baseball yang sengaja dibikin melenceng meniru gaya idola saya : Vanilla Ice atau anak-anak New Kids On The Block

Macetnya jalan menuju pantai Kuta sedikit terhibur dengan pemandangan beberapa bule-bule yang seliweran di depan pertokoan hanya memakai bikini saja. Sementara yang pria cuek saja bertelanjang dada sambil basah-basahan menenteng papan surf.

Setelah melewati Hard Rock Café dan Hard Rock Hotel yang kesohor itu, akhirnya nyebrang jalan menuju pantai Kuta. Nah, masalah baru muncul…susah banget cari parkir. Tetapi bukan Bali namanya kalau semuanya tidak serba ‘fine service’. Tukang parkirnya dengan baik hati menawarkan diri membantu parkirin mobil kita disebuah celah yang sepertinya hanya sepeda motor saja yang bisa muat. Ajaibnya, dia bisa parkirin mobil lho disitu. 

Pokoknya tukang parkir di Kuta top banget deh. Mana tarif parkirnya juga nggak mahal-mahal amat, kita justru disuruh bayar sukarela. Dengan keramahan dan kebaik-hati’an yang seperti itu, kayaknya cuma orang gila  yang tega memberi tarif parkir dibawah atau pas standar.

Beruntung banget karena pada saat kita sampai, sunset lagi indah-indahnya. Begitu melihat pantai, saya langsung buka sepatu dan berlari mengejar pantai serta menceburkan badan sampai sebatas paha. Gila aja kalo saya ceburin seluruh tubuh, saya nggak bawa baju ganti. Saya bisa mati kedinginan memakai baju basah atau telanjang dada dalam perjalanan pulang. 

Ya, saya akui kalau saya memang pantai fetish (obsesi yg berlebihan terhadap pantai). Merasakan deburan ombak yang bekejar-kejaran menampar paha (kadang sampai punggung kalo ombaknya tiba-tiba tinggi), rasanya nikmat sekali. Saya bahkan nyaris ejakulasi.

Di pantai Kuta, yang berani berjemur dengan hanya memakai kolor saja didominasi oleh bule. Yang lokal sih tetap dengan pakaian lengkap sambil foto-foto atau sekedar mengais-ngais pasir. Sementara anak-anak pantai yang bertelanjang dada dan berkulit gelap eksotis berdiri atau duduk berkerumun sambil sesekali mencoba ‘berkomunikasi’ lewat pandangan mata kepada para pengunjung yang baru datang. Saya sempat pengen ikut kursus surfing kilat, tetapi sayang sudah tutup. Next time ya….

Destinasi hari berikutnya adalah Tanah Lot. Kali ini saya ingin tampil tambah cuek. Maka saya memakai udeng (ikat kepala khas Bali impian saya) dan kaos singlet bertuliskan ‘I Love Bali’ *hahaha, norak banget ya!* plus sun-glasses. Sumpah, penampilan saya yang aneh itu sempat membuat beberapa orang menyangka saya bule. Beberapa photographer keliling dan pengunjung lain sempat menyapa dan mengajak saya ngobrol dalam bahasa Inggris. Entah di planet mana mereka pernah melihat bule dengan rambut hitam dan kulit coklat busuk begini. 

Pemadangan yang paling keren di Tanah Lot adalah pura ditengah laut dan batu bolong. Sayang sekali, pas saya sampai disana laut sedang pasang sehingga saya tidak bisa mendekati pura itu. Bisa sih kalau saya memaksakan diri, tetapi saya harus berenang melawan ombak dengan resiko hanyut…soalnya jalan menuju ke pura itu sedang ditutupi air laut yang pasang dengan lapisan ombak yang galak sekali.

Destinasi hari berikutnya adalah Ubud. Ini adalah destinasi paling basi buat saya. Eh, ini personal taste lho ya. Jadi ke Ubud saya hanya jalan-jalan dihutan yang katanya disebut Monkey Forest. Ya, disini memang banyak money, tetapi monyetnya sopan santun, tidak se-preman monyet yang di Uluwatu. Monyet di sini sih cuek bebek, boro-boro bisa bersenda gurau, monyet disini bahkan nggak sudi kontak mata. Kita dianggap benda-benda nggak penting gitu. 

Trus, jalan-jalan di pusat pasar penjualan oleh-oleh khas Bali yang disebut pasar Sukowati. Buat orang lain destinasi ini mungkin asyik banget, tetapi buat saya basi banget. Maklum, saya suka sesuatu yang menantang kejantanan eh…adrenalin, bukan nyari tempat shopping.

Destinasi hari berikutnya Pantai Petitenget. Bukan mau sekedar melihat pantai saja, tetapi kali ini berenang di pantai. Di pantai ini-lah saya harus mengakui kalau saya memang pemberani. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berenang dipantai yang ombaknya setinggi tiga meter lebih. Anehnya saya tidak gentar sama sekali, malah nantangin. Saya bolak-balik berenang sampai sejauh tiga puluh meter dari bibir pantai menuju laut lepas, kemudian berenang melawan arus balik ombak. 

Sumpah, buat orang lain ini adalah pemandangan yang menakutkan, tetapi buat saya ini sangat memacu adrenalin. Kakak saya sampai mengomeli saya karena terlalu jauh berenang menuju laut lepas. Apalagi belakangan saya diberi tau kalau pernah ada beberapa perenang yang hilang disitu. Oh my God!!! Setelah mengetahui bahwa saya bisa menaklukkan pantai yang berombak, sekarang berenang di kolam renang sedalam dua meter jadi terasa basi. Hehehehe….jadi tambah sombong deh.

Enaknya tinggal di Bali, saya bahkan dipercaya meminjam sepeda, padahal baru hari itu saya bertemu dan berkenalan dengan keluarga yang punya sepeda itu. Saya cuek saja naik sepeda ke Jimbaran, nitip sepeda disebuah warung. Pantai di Jimbaran sedikit berbeda, agak bau amis. Mungkin karena dekat dengan pasar ikan. 

Pantai-nya sih standar, nggak ada ombak, cuma riak-riak kecil, tetapi suara deburan ombaknya berisiknya minta ampun. Memang benar kata pepatah : tong kosong nyaring bunyinya.  *Lha, hubungannya dimana?*. Berjalan menyusuri pantai yang pasirnya agak-agak enggak enak diinjak, soalnya banyak sampah-nya dan perahu kayu ditambatkan disana-sini, seliweran di antara nelayan-nelayan setengah telanjang. Mereka cuek aja jalan-jalan nenteng ikan hanya koloran saja.

Hari berikutnya saya naik sepeda menuju pantai Petitenget (lagi), ternyata malah nyasar. Mungkin pas dipersimpangan saya salah belok, sehingga saya sampai di negeri antah berantah. Kawasannya seperti pusat gudang penyimpanan barang dan banyak sapi warna coklat berkeliaran. Ada hal yang memalukan disini, terjadi-nya dua kali pula.

Pertama, saya menemukan sebuah sungai kecil. Saya langsung teringat sinetron TVRI zaman dulu, dan saya langsung turun dari sepeda dan berencana berkecipak-kecipak sebentar. Pokoknya beningnya aliran sungai dan bunyi gemerciknya benar-benar menggoda iman. Pas saya turun, saya baru tau kalau saya tidak sendirian disitu. Kira-kira empat meter jauhnya dari saya, segerombolan pria sedang mandi, dan serempak menoleh kearah saya. Hiiii…saya langsung sok belagak santai, tersenyum kikuk, balik kanan dan langsung tancap gas naik sepeda. Sepertinya para penjaga gudang itu mandinya di sungai. Wahhh, jadi sirik banget, pengen juga ngerasain kembali nikmatnya mandi di sungai.

Yang kedua, dalam perjalanan pulang dari jalan sesat, berhubung hari sudah sore, saya mencoba mengambil jalan pintas lewat bangunan-bangunan setengah jadi. Di balik sebuah tembok saya kembali bertemu pemandian para buruh bangunan yang sedang mandi massal. Aduhhh…lagi-lagi puluhan pasang mata itu serempak memandang saya. Saya jadi seperti kayak rusa masuk kampung, salah masuk kamar melulu. 
Untungnya mereka cuek saja dan mungkin karena melihat penampilan saya yang bukan seperti warga setempat, mereka maklum saja kalau saya mungkin sedang tersesat. Jadi saya juga tidak merasa bersalah lewat gitu aja. 

Saya jadi teringat masa-masa kuliah dulu, enaknya jadi pria adalah kita bisa mandi rame-rame tanpa merasa risih. Kalau perempuan yang mandi rame-rame pasti merasa nggak nyaman karena pasti saling mengunjingkan siapa yang paling gembrot atau siapa yang kulitnya paling bulukan. Kalau laki-laki paling saling melirik sebentar sekedar untuk memastikan siapa yang lebih ‘besar’, kemudian cuek dan nggak pake dibahas segala.

Besoknya, saya kembali ke Jakarta. Saya berjanji suatu saat saya akan kembali lagi ke Bali. I love Bali, alright!
Share: