Mendarat di Bandara Ngurah Rai
di Bali, ada suasana yang langsung berubah. Udaranya bersih dan iklim-nya
sangat sejuk. Perjalanan menuju rumah kakak saya melewati penjara Krobokan yang
cukup mengintimidasi. Dari luar saja sudah kelihatan seram, apalagi di dalam ya?
Apalagi saya teringat bahwa teroris bernama Amrozi dan kawan-kawan di’gembleng’ disini. Berhubung rumah kakak tidak muat untuk menampung semua orang, saya menginap disebuah penginapan beraksitektur kuno, perpaduan tradisional Bali dan Jepang dengan warna netral.
Apalagi saya teringat bahwa teroris bernama Amrozi dan kawan-kawan di’gembleng’ disini. Berhubung rumah kakak tidak muat untuk menampung semua orang, saya menginap disebuah penginapan beraksitektur kuno, perpaduan tradisional Bali dan Jepang dengan warna netral.
Setiap pagi, dari jendela
kamar saya melihat bapak penjaga penginapan mengenakan kostum tradisional Bali
memberi sesembahan di pura mini di halaman
penginapan. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, bukan kepada
bapak itu…tetapi kepada ikat kepala yang dipakainya (yang dalam bahasa Bali
disebut udeng). Siang itu saya langsung
keluyuran ke tempat menjual cinderamata
dan langsung membeli sebuah udeng. Begitu saya pakai, aduhhhhh…ternyata saya ganteng sekali.
Destinasi pertama adalah ke Garuda
Wisnu Kencana (GWK) yang kesohor itu. Jalan menuju kesana wuihhhhh….sudah jauh, jalannya menanjak
pula. Kesannya kita bukan mau ke GWK, tetapi ke kawasan Puncak. Saya baru tau
kalau Universitas Udayana itu luasnya minta ampun dan sangat jauh dari
‘peradaban’. Saat menuju GWK, kami memang melewati Universitas Udayana yang adem banget. Udah lokasinya didataran
tinggi, banyak pohon pula. Pokoknya kawasan UI di Depok kalah deh.
Di sebuah persimpangan, kami bingung belok kanan atau kiri. Akhirnya bertanya kepada seorang bapak-bapak yang sedang ‘parkir’ bersama motornya. Berhubung si bapak ada diseberang jalan, saya terpaksa berteriak dari dalam mobil minta tolong petunjuk arah menuju GWK : belok kiri atau kanan. Eh, si bapak nggak langsung menjawa, tetapi memastikan dulu motornya ‘berdiri’ dengan benar, kemudian datang menghampiri dan dengan ramahnya (dan senyum terkembang) menjelaskan arah menuju GWK.
Pake gambar peta di tanah segala lho. Ya ampun…si bapak niat banget menolongnya. Nggak kayak di Jakarta, orang dimintain tolong aja udah melengos, nggak ngasih tau pula. Kadang malah ada yang meludah dan ngajak berantem.
Di sebuah persimpangan, kami bingung belok kanan atau kiri. Akhirnya bertanya kepada seorang bapak-bapak yang sedang ‘parkir’ bersama motornya. Berhubung si bapak ada diseberang jalan, saya terpaksa berteriak dari dalam mobil minta tolong petunjuk arah menuju GWK : belok kiri atau kanan. Eh, si bapak nggak langsung menjawa, tetapi memastikan dulu motornya ‘berdiri’ dengan benar, kemudian datang menghampiri dan dengan ramahnya (dan senyum terkembang) menjelaskan arah menuju GWK.
Pake gambar peta di tanah segala lho. Ya ampun…si bapak niat banget menolongnya. Nggak kayak di Jakarta, orang dimintain tolong aja udah melengos, nggak ngasih tau pula. Kadang malah ada yang meludah dan ngajak berantem.
Di GWK akhirnya bisa melihat
sang Garuda yang belum jadi itu. Belum jadi karena baru kepalanya saja yang
dipajang, sementara badan sang dewa Wisnu dan tangan dewa Wisnu masih belum
jadi dan masih berpencar-pencar disana-sini. Hahaha, seperti mutilasi saja. Kebayang kalau sudah jadi, segimana
besarnya nanti patung Garuda Wisnu Kencana ini. Wong baru kepalanya aja sudah
segede meteor gitu. Alun-alun di GWK sangat keren…lapangannya dikelilingi
bukit. Kabarnya disini sering digelar konser musik kelas dunia. No wonder-lah, wong lokasi dan pemandangannya emang keren abis.
Di GWK sempat nyobain Flying
Fox, cuma bayar 40.000 dan swingggggggggg……..silahkan meluncur
sepanjang beberapa puluh meter di antara celah bukit kapur. Tadinya saya pikir Flying Fox itu gimana
gitu, ternyata biasa saja. Lain kali saya akan coba Bunge Jumping saja. *saya langsung sombong*
Berhubung GWK satu arah dengan
Uluwatu, kami memutuskan untuk ‘medley’ ke Uluwatu. Pemandangan
di Uluwatu itu astajim….sangat indah
permai. Lembahnya yang curam dibatasi tembok sepinggang…trus dibawah ada
deburan ombak membelai-belai ngarai dengan mesra-nya. Indah sekali, apalagi
kalau pas sunset, tambah romantis. Pantas aja dulu Glenn Fredly
dan Dewi Sandra menikah disini. Suasana memang mendukung banget untuk acara
pernikahan dan malam pertama. Jodoh, mana
jodoh?
Tetapi suasana romantis di
Uluwatu agak dinodai oleh sepasukan monyet perampok. Ya, saya tidak bercanda, monyetnya memang perampok. Makanya sebelum
memasuki kawasan Uluwatu, penjaga pintu memperingatkan agar pengunjung tidak
memakai kacamata, anting, gelang dan segala macam pernak-pernik yang mungkin
bisa menarik minat para monyet. Di Uluwatu, bukan pemandangan langka lagi
ketika pengunjung pulang dengan tampang frustasi dalam keadaan sandal yang
dipakai sudah tinggal sebelah.
Yang sebelah lagi kemana? Ya dirampok monyet. Dirampok bukan karena kita lengah, tetapi sang monyet dengan gagah perkasa berani menyamperin pengunjung dan merampok sandal, sepatu dan apa saja yang bisa dirampas dari kita. Wuihhhh, monyet disini pokoknya berani ngajak duel deh.
Yang sebelah lagi kemana? Ya dirampok monyet. Dirampok bukan karena kita lengah, tetapi sang monyet dengan gagah perkasa berani menyamperin pengunjung dan merampok sandal, sepatu dan apa saja yang bisa dirampas dari kita. Wuihhhh, monyet disini pokoknya berani ngajak duel deh.
Berhubung saya tidak suka
berurusan dengan monyet (dan monyet sama sekali bukan hewan favorit saya), saya
nekad saja menggenggam sebilah kayu sepanjang satu meter. Melihat tampang
monyet-monyet yang jahil dan menyebalkan itu, saya tidak akan segan-segan
menggibang monyet yang berani macam-macam sama saya.
Apalagi selama di Uluwatu saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri seekor monyet nekad menarik-narik sepatu seorang anak kecil, melarikan sandal (yang katanya harganya mahal) seorang nenek-nenek.
Bahkan ada monyet yang dengan liciknya mencaplok kacamata seorang pria bule dari atas pohon. Konon katanya barang-barang yang dirampok monyet bisa di’tebus’ atau ditukar dengan sebungkus kacang atau manisan buah. Istilahnya si monyet harus disogok atau diajak tukar menukar barang. Sudah seperti kasus penculikan dan sandera saja!
Apalagi selama di Uluwatu saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri seekor monyet nekad menarik-narik sepatu seorang anak kecil, melarikan sandal (yang katanya harganya mahal) seorang nenek-nenek.
Bahkan ada monyet yang dengan liciknya mencaplok kacamata seorang pria bule dari atas pohon. Konon katanya barang-barang yang dirampok monyet bisa di’tebus’ atau ditukar dengan sebungkus kacang atau manisan buah. Istilahnya si monyet harus disogok atau diajak tukar menukar barang. Sudah seperti kasus penculikan dan sandera saja!
Destinasi hari kedua adalah Pantai
Kuta. Enaknya di Bali tuh, kita bebas mau berpenampilan kayak gimana
sepanjang tidak merugikan orang lain. Makanya saya cuek saja pakai celana basket
yang rada-rada menerawang dan ringan **jadi serasa
nggak pake celana** itu (yang sangat jarang saya pakai kalau di
Jakarta karena bisa membatalkan puasa) plus topi baseball yang sengaja
dibikin melenceng meniru gaya idola saya : Vanilla
Ice atau anak-anak New Kids On The
Block.
Macetnya jalan menuju pantai Kuta sedikit terhibur dengan pemandangan beberapa bule-bule yang seliweran di depan pertokoan hanya memakai bikini saja. Sementara yang pria cuek saja bertelanjang dada sambil basah-basahan menenteng papan surf.
Macetnya jalan menuju pantai Kuta sedikit terhibur dengan pemandangan beberapa bule-bule yang seliweran di depan pertokoan hanya memakai bikini saja. Sementara yang pria cuek saja bertelanjang dada sambil basah-basahan menenteng papan surf.
Setelah melewati Hard Rock Café dan Hard Rock Hotel yang kesohor itu, akhirnya nyebrang jalan menuju
pantai Kuta. Nah, masalah baru muncul…susah banget cari parkir. Tetapi bukan
Bali namanya kalau semuanya tidak serba ‘fine service’. Tukang parkirnya
dengan baik hati menawarkan diri membantu parkirin mobil kita disebuah celah
yang sepertinya hanya sepeda motor saja yang bisa muat. Ajaibnya, dia bisa
parkirin mobil lho disitu.
Pokoknya tukang parkir di Kuta top banget deh. Mana tarif parkirnya juga nggak mahal-mahal amat, kita justru disuruh bayar sukarela. Dengan keramahan dan kebaik-hati’an yang seperti itu, kayaknya cuma orang gila yang tega memberi tarif parkir dibawah atau pas standar.
Pokoknya tukang parkir di Kuta top banget deh. Mana tarif parkirnya juga nggak mahal-mahal amat, kita justru disuruh bayar sukarela. Dengan keramahan dan kebaik-hati’an yang seperti itu, kayaknya cuma orang gila yang tega memberi tarif parkir dibawah atau pas standar.
Beruntung banget karena pada
saat kita sampai, sunset lagi indah-indahnya. Begitu melihat pantai, saya
langsung buka sepatu dan berlari mengejar pantai serta menceburkan badan sampai
sebatas paha. Gila aja kalo saya ceburin seluruh tubuh, saya nggak bawa baju
ganti. Saya bisa mati kedinginan memakai baju basah atau telanjang dada dalam
perjalanan pulang.
Ya, saya akui kalau saya memang pantai fetish (obsesi yg berlebihan terhadap pantai). Merasakan deburan ombak yang bekejar-kejaran menampar paha (kadang sampai punggung kalo ombaknya tiba-tiba tinggi), rasanya nikmat sekali. Saya bahkan nyaris ejakulasi.
Ya, saya akui kalau saya memang pantai fetish (obsesi yg berlebihan terhadap pantai). Merasakan deburan ombak yang bekejar-kejaran menampar paha (kadang sampai punggung kalo ombaknya tiba-tiba tinggi), rasanya nikmat sekali. Saya bahkan nyaris ejakulasi.
Di pantai Kuta, yang berani
berjemur dengan hanya memakai kolor saja didominasi oleh bule. Yang lokal sih
tetap dengan pakaian lengkap sambil foto-foto atau sekedar mengais-ngais pasir.
Sementara anak-anak pantai yang bertelanjang dada dan berkulit gelap eksotis
berdiri atau duduk berkerumun sambil sesekali mencoba ‘berkomunikasi’ lewat
pandangan mata kepada para pengunjung yang baru datang. Saya sempat pengen ikut
kursus surfing kilat, tetapi sayang sudah tutup. Next time ya….
Destinasi hari berikutnya
adalah Tanah Lot. Kali ini saya ingin tampil tambah cuek. Maka saya
memakai udeng (ikat kepala khas Bali impian saya) dan kaos singlet bertuliskan
‘I Love Bali’ *hahaha, norak banget ya!* plus sun-glasses. Sumpah, penampilan saya yang
aneh itu sempat membuat beberapa orang menyangka saya bule. Beberapa
photographer keliling dan pengunjung lain sempat menyapa dan mengajak saya
ngobrol dalam bahasa Inggris. Entah di planet mana mereka pernah melihat bule
dengan rambut hitam dan kulit coklat busuk begini.
Pemadangan yang paling keren
di Tanah Lot adalah pura ditengah laut dan batu bolong. Sayang sekali, pas saya
sampai disana laut sedang pasang sehingga saya tidak bisa mendekati pura itu.
Bisa sih kalau saya memaksakan diri, tetapi saya harus berenang melawan ombak
dengan resiko hanyut…soalnya jalan menuju ke pura itu sedang ditutupi air laut
yang pasang dengan lapisan ombak yang galak sekali.
Destinasi hari berikutnya
adalah Ubud. Ini adalah
destinasi paling basi buat saya. Eh, ini personal taste lho ya. Jadi ke
Ubud saya hanya jalan-jalan dihutan yang katanya disebut Monkey Forest. Ya,
disini memang banyak money, tetapi
monyetnya sopan santun, tidak se-preman monyet yang di Uluwatu. Monyet di sini sih cuek bebek, boro-boro
bisa bersenda gurau, monyet
disini bahkan nggak sudi kontak mata. Kita dianggap benda-benda nggak penting gitu.
Trus, jalan-jalan di pusat pasar penjualan
oleh-oleh khas Bali yang disebut pasar Sukowati. Buat orang lain destinasi ini
mungkin asyik banget, tetapi buat saya basi banget. Maklum, saya suka sesuatu yang menantang kejantanan eh…adrenalin, bukan nyari
tempat shopping.
Destinasi hari berikutnya Pantai
Petitenget. Bukan mau sekedar melihat pantai saja, tetapi kali ini berenang
di pantai. Di pantai ini-lah saya harus mengakui kalau saya memang pemberani.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berenang dipantai yang ombaknya
setinggi tiga meter lebih. Anehnya saya tidak gentar sama sekali, malah
nantangin. Saya bolak-balik berenang sampai sejauh tiga puluh meter dari bibir
pantai menuju laut lepas, kemudian berenang melawan arus balik ombak.
Sumpah, buat orang lain ini adalah pemandangan yang menakutkan, tetapi buat saya ini sangat memacu adrenalin. Kakak saya sampai mengomeli saya karena terlalu jauh berenang menuju laut lepas. Apalagi belakangan saya diberi tau kalau pernah ada beberapa perenang yang hilang disitu. Oh my God!!! Setelah mengetahui bahwa saya bisa menaklukkan pantai yang berombak, sekarang berenang di kolam renang sedalam dua meter jadi terasa basi. Hehehehe….jadi tambah sombong deh.
Sumpah, buat orang lain ini adalah pemandangan yang menakutkan, tetapi buat saya ini sangat memacu adrenalin. Kakak saya sampai mengomeli saya karena terlalu jauh berenang menuju laut lepas. Apalagi belakangan saya diberi tau kalau pernah ada beberapa perenang yang hilang disitu. Oh my God!!! Setelah mengetahui bahwa saya bisa menaklukkan pantai yang berombak, sekarang berenang di kolam renang sedalam dua meter jadi terasa basi. Hehehehe….jadi tambah sombong deh.
Enaknya tinggal di Bali, saya
bahkan dipercaya meminjam sepeda, padahal baru hari itu saya bertemu dan berkenalan dengan keluarga yang
punya sepeda itu. Saya cuek saja naik sepeda ke Jimbaran, nitip sepeda
disebuah warung. Pantai di Jimbaran sedikit berbeda, agak bau amis. Mungkin karena dekat dengan pasar
ikan.
Pantai-nya sih standar, nggak ada ombak, cuma riak-riak kecil, tetapi suara deburan ombaknya berisiknya minta ampun. Memang benar kata pepatah : tong kosong nyaring bunyinya. *Lha, hubungannya dimana?*. Berjalan menyusuri pantai yang pasirnya agak-agak enggak enak diinjak, soalnya banyak sampah-nya dan perahu kayu ditambatkan disana-sini, seliweran di antara nelayan-nelayan setengah telanjang. Mereka cuek aja jalan-jalan nenteng ikan hanya koloran saja.
Pantai-nya sih standar, nggak ada ombak, cuma riak-riak kecil, tetapi suara deburan ombaknya berisiknya minta ampun. Memang benar kata pepatah : tong kosong nyaring bunyinya. *Lha, hubungannya dimana?*. Berjalan menyusuri pantai yang pasirnya agak-agak enggak enak diinjak, soalnya banyak sampah-nya dan perahu kayu ditambatkan disana-sini, seliweran di antara nelayan-nelayan setengah telanjang. Mereka cuek aja jalan-jalan nenteng ikan hanya koloran saja.
Hari berikutnya saya naik
sepeda menuju pantai Petitenget (lagi), ternyata malah nyasar. Mungkin pas
dipersimpangan saya salah belok, sehingga saya sampai di negeri antah berantah.
Kawasannya seperti pusat gudang penyimpanan barang dan banyak sapi warna coklat
berkeliaran. Ada hal yang memalukan disini, terjadi-nya dua kali pula.
Pertama, saya menemukan sebuah
sungai kecil. Saya langsung teringat sinetron TVRI zaman dulu, dan saya
langsung turun dari sepeda dan berencana berkecipak-kecipak sebentar. Pokoknya
beningnya aliran sungai dan bunyi gemerciknya benar-benar menggoda iman. Pas
saya turun, saya baru tau kalau saya tidak sendirian disitu. Kira-kira empat
meter jauhnya dari saya, segerombolan pria sedang mandi, dan serempak menoleh kearah saya. Hiiii…saya langsung sok belagak santai,
tersenyum kikuk, balik kanan dan langsung tancap gas naik sepeda. Sepertinya
para penjaga gudang itu mandinya di sungai. Wahhh, jadi sirik banget, pengen juga ngerasain kembali nikmatnya mandi di sungai.
Yang kedua, dalam perjalanan
pulang dari jalan sesat, berhubung
hari sudah sore, saya mencoba mengambil jalan pintas lewat bangunan-bangunan
setengah jadi. Di balik sebuah
tembok saya kembali bertemu pemandian para buruh bangunan yang sedang mandi
massal. Aduhhh…lagi-lagi puluhan
pasang mata itu serempak memandang saya. Saya jadi seperti kayak rusa masuk kampung, salah masuk kamar melulu.
Untungnya mereka cuek saja dan mungkin karena melihat penampilan saya yang bukan seperti warga setempat, mereka maklum saja kalau saya mungkin sedang tersesat. Jadi saya juga tidak merasa bersalah lewat gitu aja.
Saya jadi teringat masa-masa kuliah dulu, enaknya jadi pria adalah kita bisa mandi rame-rame tanpa merasa risih. Kalau perempuan yang mandi rame-rame pasti merasa nggak nyaman karena pasti saling mengunjingkan siapa yang paling gembrot atau siapa yang kulitnya paling bulukan. Kalau laki-laki paling saling melirik sebentar sekedar untuk memastikan siapa yang lebih ‘besar’, kemudian cuek dan nggak pake dibahas segala.
Untungnya mereka cuek saja dan mungkin karena melihat penampilan saya yang bukan seperti warga setempat, mereka maklum saja kalau saya mungkin sedang tersesat. Jadi saya juga tidak merasa bersalah lewat gitu aja.
Saya jadi teringat masa-masa kuliah dulu, enaknya jadi pria adalah kita bisa mandi rame-rame tanpa merasa risih. Kalau perempuan yang mandi rame-rame pasti merasa nggak nyaman karena pasti saling mengunjingkan siapa yang paling gembrot atau siapa yang kulitnya paling bulukan. Kalau laki-laki paling saling melirik sebentar sekedar untuk memastikan siapa yang lebih ‘besar’, kemudian cuek dan nggak pake dibahas segala.
Besoknya, saya
kembali ke Jakarta. Saya berjanji suatu saat saya akan kembali lagi ke Bali. I
love Bali, alright!