16/03/14

Bete Di Konser NICKY ASTRIA

Bandung - Maret 2013

Pertunjukan molor kira-kira satu setengah jam dari jam yang tertulis pada tiket konser. Jadi selama satu jam lebih itu saya disuguhin iklan sponsor di layar besar yang menjadi backdrop panggung diiringi musik dari Within Temptation, band simphonic orchestra dari Belanda. 
Lagu-lagu Within Temptation-nya ini enak didengar, tetapi kalau diputar berulang-ulang kan bisa bikin teler juga.

Saya bukan type orang yang mau menunggu lama-lama, makanya seandainya rumah saya di Bandung maka pada saat itu juga saya pasti sudah pulang. 
Dan saya makin senewen karena tadi dari Jakarta nyaris ketinggalan bus travel menuju Bandung, sehingga rela bayar mahal tukang ojek agar bersedia balapan sama Metromini dan keluar masuk jalan tikus agar saya bisa sampai tepat waktu di pool travel bus yang akan membawa saya ke Bandung.

Dan sekarang saya ada di aula Hotel Panghegar (Bandung) tempat konser Nicky Astria akan diadakan, duduk di lajur barisan kedua penonton Festival sambil manyun. Bagaimana saya tidak manyun? Sejak memasuki gedung ini, jaringan GPRS saya langsung beku. Saya tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Eh, tapi sebenarnya bisa telepon dan SMS, tapi saya tidak bisa nge-tweet di Twitter atau curhat di Facebook. Jadi boleh dibilang selama satu jam lebih itu saya mati gaya.

Tiba-tiba musik berhenti, lalu terdengar suara pria dari arah panggung. Iya, suara pria, bukan Nicky Astria. Saya makin senewen. Saya pikir dia akan berkata “Hadirin yang terhormat, sambutlah Nicky Astria!!!!!”, tetapi ternyata dia malah menjelaskan prosedur keselamatan kalau misalnya terjadi kebakaran atau gempa bumi. Hah? Kebakaran dan gempa bumi? Maksud loe?  Ternyata dia benar-benar serius menjelaskan soal kemana kita lari terbirit-birit jika seandainya terjadi kebakaran, gempa bumi atau ada narapidana lepas. Astaga, sudah kayak di pesawat aja. 

Bedanya kalau di pesawat prosedur safety-nya diperagakan oleh pramugari, tapi yang ini boro-boro diperagakan, wong yang ngomong saja tidak kelihatan orangnya. Sepertinya orangnya pemalu sehingga ngomong sambil ngumpet di balik layar hitam disisi kanan-kiri panggung.

Setelah cuap-cuap selamat sentosanya selesai, eh diputar lagi musik yang tadi. Ngajak berantem nih kayaknya. Sepertinya belum ada gejala bahwa konser akan mulai. Kalau saat itu sedang good mood, mungkin saya sudah hafal luar kepala lagu-lagu yang diputar karena kalau saya hitung, masing-masing lagu sudah berkumandang lebih dari delapan kali. OK, saya mulai emosi. Nanti saya akan menulis yang jelek-jelek tentang konser ini. Tunggu saja. Jangan main-main ya dengan saya!

Tiba-tiba musik yang maha penting itu berhenti. Saya mengangkat kepala (soalnya sejak tadi kepala saya ada di bawah, menunduk maksudnya). Di panggung sudah berdiri….BUKAN NICKY ASTRIA, tapi tiga orang perempuan . Trio Macan? Ah tentu saja bukan, karena mereka pakai baju hitam-hitam, terlihat beradab dan bermartabat. Jadi tidak mungkin Trio Macan. 

Pintu keluar di sebelah kanan saya terbuka, beberapa pria bertubuh besar berjalan mengendap-ngendap dan diikuti sesosok tubuh tinggi berbaju merah panjang dengan rambut dikuncir buntut kuda. Nicky Astria, saudara-saudara!!! Beliau lewat di depan mata sambil tersenyum-senyum, lalu berdiri di panggung bulat di sebelah kiri saya. Penonton VIP di barisan depan terpaksa ramai-ramai memutar kepala karena penampakan awal Nicky Astria justru di area penonton Festival. Hahaha, eat that VIP people!

Setelah sejenak dadah-dadah a la Miss Universe dan pose kanan-kiri untuk memberi kesempatan pada penonton Festival mengambil gambar lewat kamera dan handphone, lengkingan gitar listrik dari arah panggung langsung digeber. Nicky resmi membuka konser dengan lagu Misteri Cinta yang sangat legendaris itu. Saya bahkan sampai tak tahan untuk berdiri dan ikut bernyanyi karena kebetulan saya hafal bagian chorus lagu ini (bagian chorus doang, bagian verse-nya sih enggak). Sontak saja semua penonton ikut bernyanyi “pedihnya kemesraan yang dalam….”

Suaranya masih melengking tinggi dan nyaman ditelinga. Kwalitas yang sama dengan suara yang pertama kali saya dengar sewaktu saya masih kelas 5 SD saat terkagum-kagum melihat Nicky Astria  di TVRI.

Setelah menyelesaikan lagu pertama, Nicky Astria dibimbing menuju panggung utama di bagian depan ruangan. Memang harus dibimbing, karena Nicky berjalan melalui bangku penonton VIP dengan gaun yang buntutnya panjang sekali seperti Lasmini di cerita Saur Sepuh, dan harus dipegangin satu orang supaya tidak nyangkut di pohon atau nyambar kepala penonton. 

Setelah sukses berdiri diatas panggung utama yang kira-kira jaraknya lima belas meter dari tempat duduk saya (kasian deh saya nonton konser dari kejauhan), Nicky menyapa penonton sambil sesekali melempar joke lucu dalam bahasa Sunda yang saya tidak mengerti. Lho, kok saya tau joke-nya lucu? Ya karena penonton (kecuali saya) tertawa. Masa yang begitu-begitu masih harus dipertanyakan sih?

Setelah berbasa-basi sebentar, sambil tak lupa menyapa Gubernur Bandung yang katanya juga nonton, Nicky kemudian membawakan lagu Cinta Di Kota Tua. Otomatis pikiran saya langsung teringat masa kecil saya : Nicky Astria memakai T Shirt dan celana jean ketat disorot kamera dari ujung kaki ke ujung kepala dengan  rambut ombak-ombak Pantai Selatan yang panjangnya sedikit melewati bahu di layar TV. ‘Hari itu aku bahagia, saat itu hati berdebar’. Lagu ini juga termasuk lagu yang saya hafal, meski bagian verse-nya masih sering terbalik-balik, verse 1 menjadi verse 2 dan sebaliknya. Ya maklumlah, dulu Nicky Astria pasti begitu juga.

Selanjutnya Nicky menyanyikan lagu barunya Carry On dengan backdrop panggung menampilkan visualisasi kerusuhan. Saya juga bingung kenapa kerusuhan? Mungkin lagunya memang tentang kerusuhan, entahlah karena saya memang belum familiar dengan lagu ini.

Saat akan mendendangkan (aduh bahasa saya dangdut sekali ya!) Bias Sinar, Nicky mengundang Kevin Aprilio (dedengkot band Vierra yang vokalisnya seorang perempuan bersuara payah itu, Kevin ini juga anak dari musisi Addie MS) dan Achie (mantan personil band She) untuk menjadi musisi tamu. Kevin bermain piano, Achie memainkan bola-bola api. Oh salah, Achie memainkan biola. 

Acung jempol untuk Nicky Astria yang berani menggeber suara tingginya di lagu ini, terutama pada bagian chorus. Soalnya saya pernah menonton Nicky Astria menyikan lagu ini di sebuah stasiun TV dan Nicky tidak berani menjangkau nada tinggi pada bagian chorus-nya. 
Mungkin sadar usia sudah tidak semuda dulu lagi, sehingga paranoid tidak bisa lagi menjangkau nada tersebut, tetapi ternyata malam itu terbukti bahwa Nicky masih edan suaranya. Saya sampai berkali-kali ber-wow-wow-ria setiap kali Nicky sukses menghajar nada-nada tinggi dengan lengkingan rocker-nya.

Sejenak Nicky menghilang ke bagian kanan panggung, mungkin kebelet pipis atau mau beli permen. Panggung sempat lowong beberapa waktu, lalu layar dibelakang panggung terbuka dan keluarlah Once vokalis Dewa (masih vokalis atau udah mantan ya?) membawakan lagu Panggung Sandiwara. Agak sedikit mengecewakan sebenarnya. Bukan karena Once nyanyinya jelek, tetapi lagu hits seperti ini seharusnya dinyanyikan duet dengan penyanyi yang punya hajat. Tadinya saya pikir Nicky akan muncul di tengah lagu. Ternyata sampai lagunya ludes dan Once mohon pamit, Nicky tidak muncul-muncul. 

Dan memang kemudian Nicky muncul lagi (ya iyalah muncul lagi, masa pulang?), sudah berganti pakaian. Sepertinya masih model yang sama dengan kostum yang tadi, tetapi beda warna. Kalau yang tadi warna merah merona, sekarang warna abu rokok menyala. Dan berkumandanglah lagu Jangan Ada Angkara yang dulu video klip-nya ala-ala film silat Brama Kumbara itu.

Kemudian Nicky mengundang Ian Antono yang menurut Nicky sangat berjasa dalam karir musiknya. Bersama Ian Antono, Nicky mempersembahkan sesi akutik untuk lagu Pudar, Mengapa dan Kau

Lagi-lagi Nicky menghilang ke arah kiri panggung, dan lagi-lagi panggung kembali lowong untuk sementara. Lalu muncul-lah Ipang yang berambut gimbal dengan gaya cueknya menyapa penonton dan langsung menyanyikan lagu Cap Lang dan Mata Lelaki
Serius, Ipang yang lelaki itu menyanyikan Mata Lelaki. Memang sepertinya salah kaprah dan salah lagu, tetapi ya sudahlah. 

Untung di tengah lagu, Nicky menghambur keluar dari sisi kiri panggung dan meningkahi Ipang menyanyikan lagu ini agar tidak semakin ngawur. Tidak kebayang kalau Nicky tidak muncul, Ipang akan menyanyikan bagian “Aku, aku gadis remaja yang belum kenal dunia”. 
Ipang? Gadis remaja? Huahahaha!  
Tetapi yang lucu dari kolaborasi antara Nicky Astria dan Ipang ini adalah saat mereka nyanyi dan mencoba berinteraksi lewat gerakan tubuh, mereka kok lebih terlihat seperti sedang saling menakuti-nakuti ya?

Satu hal yang sangat patut saya acungi jempol dari konser ini adalah bagian encore-nya. Rere (yang dulu adalah drummer band kondang tahun 90’an : Grass Rock) mempersembahkan percussion fusion dengan seorang penabuh gendang (yang saya lupa namanya, pokoknya ada embel-embel ‘robot’-nya, yang jelas bukan Robot Gedek) dan seorang pemain perkusi (yang saya lupa juga namanya, Disto atau Eugene atau siapalah). 

Mengkombinasikan drum, gendang dan perkusi, kemudian saling sahut-sahutan, saling tantang hingga akhirnya battle. Benar-benar sangat menghibur, apalagi mereka sempat memainkan ritim lagu Suka dan Zakia (lagu dangdut milik Ahmad Albar). Saking serunya duel, saya sampai khawatir kalau nantinya mereka jadi berantem beneran di atas panggung.

Dan tentu saja ketiga musisi ini bukan hanya sebagai sebatas musisi pendukung, tetapi cukup memberi warna pada lagu-lagu Nicky Astria. Lagu-lagu Nicky yang mayoritas sangat kental era 90’an-nya menjadi terdengar modern dengan gebukan drum yang sangat dinamis dan powerful, sementara akustik dan gendang memberi nuansa etnik yang lembut sehingga mampu menetralisir raungan distorsi gitar Ovy (gitaris band /Rif) yang sangat nge-Rock, petikan gitar Adnil (mantan gitaris Base Jam), permainan keyboard Gats dan tak ketinggalan Beben pada bass

Satu hal juga yang membuat saya sangat ingin menonton konser ini adalah ikut serta Rere dalam band Nicky Astria yang diberi nama The Bangor
Rere adalah idola saya. Saya waktu kecil pernah bercita-cita ingin menjadi drummer gara-gara sering menyaksikan Rere di setiap penampilan Grass Rock. Jadi dulu saya sering mukul-mukul dinding rumah yang dilapisi kardus seolah-olah saya dengan menggebuk drum, sehingga (mungkin karena kasihan), bapak saya membuatkan satu set drum yang terbuat dari kaleng bentuk bundar yang bagian atasnya dilapisi kardus. Dan itulah mainan saya setiap pulang dari sekolah. 
Sayang, seusai konser saya tidak sempat menemui Rere.

Selanjutnya saya hampir saja melonjak-lonjak kegirangan karena lagu favorit saya Negeri Khayalan yang tadinya saya pesimis akan dinyanyikan, ternyata dinyanyikan. 
Sambil melakukan gerakan tari tradisional, Nicky membawakan lagu yang semakin terdengar rancak karena kental sentuhan perkusinya. Apalagi visualisasi pada layar backdrop panggung yang menampilkan beberapa objek ikonik Indonesia seperti penari Bali dan komodo cukup pas dengan tema lagunya. 
Entah kebetulan atau disengaja, bahkan gerakan penari bali dan lenggak-lenggok komodo pada layar terlihat sesuai dengan irama lagu. Indah sekali. 
Lalu disusul lagu Pesta yang diiringi seorang DJ bernama DJ Innerlight

Pada lagu Pesta beberapa penari berjoged-joged dibarisan penonton, salah satunya eksis persis di depan saya. Lebih mirip kesurupan daripada menari, sehingga saya sedikit takut jika tiba-tiba mereka menyerang saya. 
Lalu disusul lagu Gersang yang untunglah tidak lagi menggunakan penari-penari kesurupan di dekat saya. Sebagai lagu terakhir Nicky mengundang semua bintang tamu musisi dan penyanyi untuk tampil bersama menyanyikan lagu Uang.

Oh ya, tadi saya bilang saya mau menulis yang jelek-jelek tentang konser ini. Sepertinya nggak jadi. Yang mau saya kritik adalah venue konsernya. Mungkin ruangan ini tidak pernah dirancang untuk sebuah pagelaran konser, sehingga bangku penonton disusun sejajar dari depan sampai belakang? Hasilnya? 
Penonton belakang hanya bisa melihat Nicky dari bagian pinggang ke atas karena terhalang kepala penonton di depan. 

Untuk konser sebagus ini, alangkah baiknya jika digelar di gedung yang benar-benar dirancang untuk tempat pertunjukan seperti Sasana Budaya Ganesha misalnya. Apalagi ini kan konser musik Rock, rasanya kurang elok menonton sambil duduk. 
Saya bisa saja berdiri dan berjingkrak-jingkrak, tetapi tentu saja dengan resiko dilempar pake senter atau bangku oleh penonton di barisan belakang karena menghalangi pemandangan. Bonyok dong saya.

Yang kedua, kurangnya kordinasi Nicky dengan musisi, mungkin karena kurang latihan. Saya perhatikan pada beberapa lagu Nicky sering terlihat bingung kapan mau masuk setelah intro lagu mengalun, sehingga pas memutuskan untuk masuk, Nicky sudah masuk pada lirik baris kedua dan ketiga. 

Yang ketiga, panggung yang sering dibiarkan lowong saat Nicky menghilang ke bagian kanan panggung. Kenapa misalnya bagian yang lowong itu di-isi dengan penampilan tiga perempuan backing vocal Nicky menyanyikan medley lagu Nicky yang tidak dibawakan dalam konser ini. 

Yang ke-empat, jadwal mulainya yang molornya itu lho…aduhhh, saya sampai sempat tidur siang.

Oh iya, ada satu lagi yang mau saya kritik. Aduhhh, saya ini kok cerewet sekali ya? Biarkan! 

Kostum personil The Bangor yang satu sama lain sepertinya tidak nyambung. Misalnya Ovy yang glamor berkilau-kilau, tapi Beben malah tampil seperti musisi Jazz dengan kaos dan blazer. Adnil nongol dengan gaya retro 80′an dengan kaos yang bagian lehernya melorot sampai ke perut dipadu jaket, celana warna merah nirmala dan topi mafia. 
Lalu Gats yang bergaya ala hippies dan Rere yang memakai kostum dalang. Semua tampil enak dipandang, tetapi sepertinya kurang ada benang merahnya sama sekali, padahal ini band lho, bukan jam session yang ketemu dan main bareng pas lagi nafsu aja. 

Jadi seharusnya meskipun dengan gaya yang berbeda-beda tetapi konsepnya sama. Istilahnya, harus seperti ada sinergi di antara semua anggota band yang walau berbeda gaya dan karakter tetapi tetap satu kesatuan. Ya ellahhh, satu kesatuan. Garuda Pancasila dong? 
Ah, seperti bukan hal yang penting ya? Ya sudah, abaikan saja.

Saya juga mohon maaf sekiranya pembaca kecewa karena saya tidak menyertakan foto-foto konser tersebut dalam tulisan ini, perlu saya beritahukan bahwa saya paling anti membawa kamera saat menyaksikan konser karena niat utama saya adalah menikmati pertunjukan dengan mata saya sendiri, bukan melalui lensa kamera. Jadi harap maklum ya. Iya!

Tapi yang jelas saya larut dalam hingar bingar musik rock era 90’an yang dipersembahkan Nicky Astria. Saya tidak merasa sia-sia menunggu sejam lebih untuk bisa menikmati konser ini. 

Saya juga semakin kagum dengan seorang Nicky Astria. Mungkin dua puluh tahun telah berlalu sejak saya masih kelas 5 SD, tetapi kwalitas suara dan penampilan Nicky Astria masih terjaga dengan baik. Rasanya tidak berlebihan ketika di pintu masuk gedung konser, seorang reporter meminta saya untuk menyampaikan pesan kepada Nicky Astria, secara spontan, jujur dan tanpa mikir saya langsung berkata : “Teh Nicky, tetaplah menjadi salah satu penyanyi terbaik negeri ini”.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar