Pertama
kali saya mendapat konfirmasi bahwa naskah Mengejar
Anggun (yang entah sudah sejak tahun kapan saya ajukan) disetujui pihak
penerbit untuk diterbitkan, orang pertama yang saya kasih tau adalah Anggun.
Kebetulan saya dan mbak A (saya terbiasa menyebut Anggun dengan mbak A)
berteman di Facebook, jadi saya langsung tulis kabar itu tulis di wall-nya. Dan dia ikutan senang.
Trus,
terbersit dalam sanubari **ya ellahh, bahasanya!** kayaknya seru kalau mbak A
nulis Kata Pengantar untuk bukunya. Hmmm, mungkin nggak ya? Mbak A mau nggak
ya? Mbak A sempat nggak ya?
Dengan
modal nekad, saya lagi-lagi nulis di wall-nya
mbak A, nanyain sudikah kiranya mbak A menulis sepatah dua patah kata sebagai
Kata Pengantar. Trus, Mbak A jawab ,“dengan senang hati”. Wuihhhh, senangnya
hatiku, hilang panas demamku. Saking senangnya, saya sampai lupa ngasih tau kapan saya butuh Kata
Pengantar itu.
Sebenernya
sih terjadi miskomunikasi antara saya dengan Mbak A akibat kebodohan saya
sendiri. Dalam bayangan saya, Mbak A akan langsung nulis Kata Pengantar-nya
saat itu juga dan ngirim ke saya. Sementara dalam bayangan Mbak A, beliau akan
membuat Kata Pengantar itu begitu saya minta. Jadi sampai berbulan-bulan saya
harap-harap cemas, kok ya Kata Pengantar-nya belum dikirim? Sementara Mbak
Anggun nun jauh di sana juga mungkin bertanya-tanya, kok Kata Pengantar-nya belum
diminta.
Akhirnya,
seminggu sebelum naik cetak, saya ditanyain sama pihak penerbit, kok Kata
Pengantar-nya belum ada? Pokoknya saat itu saya sudah hopeless, kayaknya Mbak A sudah lupa sama pembicaraan kemaren.
Apalagi pada saat itu Mbak A juga sedang sibuk tour keliling Jerman, makin jauh panggang dari steak-lah pokoknya. Tetapi
ya saya nekad aja nanya’in mbak A. Sok-sok manis dan berlagak penuh pengertian gitu.
“Mbak A lagi sibuk pasti ya, makanya nggak
sempat nulis Kata Pengantar yang kemarin kita bicara’in?”
“Lho,
emangnya kamu butuh kapan?”
“Sekarang,
Mbak. Karena minggu depan bukunya akan dicetak”
“Lho,
kamu butuh sekarang kok mintanya sekarang? Harusnya jauh-jauh hari dong”.
Dan
begitulah, akhirnya saya yakin Kata Pengantar itu tidak akan pernah ada.
Dan itu gara-gara kecerobohan saya. Kalau saat itu kuku saya panjang-panjang, mungkin saya sudah cakar-cakar muka sendiri. Apalagi selama tiga hari ini Mbak A akan sibuk konser di beberapa kota di Jerman,
mana sempat nulis-nulis Kata Pengantar karena pasti sibuk latihan, check sound, konferensi pers, atau apalah yang berhubungan
dengan konser. Bahkan saat itu, Mbak Anggun saya yakin pasti sedang siap-siap, karena
beberapa jam lagi dia akan tampil di panggung.
Beberapa
menit setelah mengakhiri pembicaraan dengan Mbak A, tiba-tiba saya mendapat
notifikasi dari Facebook. Ada sebuah message.
Jedderrrrrrr!!!! Message dari Anggun! Dengan jantung berdebar-debar, saya buka amplopnya.
**hallah,
emang pake amplop?** Ada message dengan judul Prolog. Lalu ada rangkaian kata-kata dan
kalimat indah sepanjang hampir satu halaman. Ya, itu adalah Kata Pengantar yang
dijanjikan Mbak A kemarin itu.
Terus
terang, saat membaca Kata Pengantar tersebut, saya terharu dan merinding
bulat-bulat. Selain karena kata-katanya sangat indah, saya terbayang Mbak A
menulis Kata Pengantar tersebut di sela-sela fitting
kostum atau sambil di-blow rambutnya, karena beberapa saat lagi Mbak A harus
konser di depan ribuan bule-bule Jerman.
Siapa
saya gitu lho, makanya Mbak A sampai bela-belain nulis Kata Pengantar meskipun
dalam suasana darurat. Udah gitu, masih sempat-sempatnya memikirkan dan memilih
kata-kata yang bagus, jadi bukan sekedar kalimat-kalimat yang terpikir sepintas
lalu atau asal jadi.
Dan
akhirnya buku Mengejar Anggun benar-benar memiliki Kata Pengantar langsung dari
Anggun sendiri.
Ada
orang bijak yang berkata bahwa kwalitas seseorang itu terlihat saat dia berada
dalam situasi yang sulit, tetapi masih menyempatkan diri untuk berbuat untuk
orang lain. Kwalitas sejati seseorang itu ditunjukkan ketika dia mau berbuat sesuatu
buat orang lain yang mungkin tidak bisa berbuat sesuatu untuk dirinya sebagai
timbal balik. Mbak Anggun telah membuktikannya. Saya jelas bukan siapa-siapa.
Saya bukan seseorang yang berpengaruh dalam hidup dan karir Anggun, tetapi
terlihat nyata bahwa Mbak A tidak mau mengecewakan saya.
Dan
memang, dari dulu saya selalu yakin bahwa saya tidak mengidolakan orang yang salah. Mbak Anggun bukan cuma seorang idola dalam konteks selebriti, tetapi juga seorang panutan dan 'guru'. Terima kasih, Mbak Anggun.