Kasus bully sudah akrab dengan saya sejak hari pertama saya masuk
sekolah di Sekolah Dasar, tetapi dulu saya belum tau kalau kejadian seperti
disebut dengan istilah bully. Yang jelas sejak hari pertama memasuki
halaman sekolah sambil digandeng kakak saya yang juga sekolah di SD yang sama,
beberapa pasang mata yang tidak ramah sudah langsung mengintimidasi saya. Mulai
dari sesama kelas satu sampai kakak-kakak kelas. Mungkin perawakan saya yang
seperti anak yang pertumbuhannya terganggu, membuat beberapa anak yang berbakat
sebagai bullyer langsung melihat saya sebagai sasaran yang empuk.
Dari kelas satu sampai kelas tiga saya tidak punya teman karena saya
terlalu pendiam dan pemalu. Kalau ada yang mengajak berbicara, saya akan
langsung melarikan diri karena tidak nyaman berinteraksi dengan orang baru.
Pada saat jam istirahat saya lebih suka menyendiri, berdiri dan bersandar di tembok
kelas memperhatikan anak-anak lain yang bermain di halaman. Keadaan inilah yang
semakin membuat sosok saya semakin menarik perhatian para pelaku bully.
Rata-rata mereka adalah orang yang berbadan besar, bertampang brengsek dan bau
keringat babi.
Awalnya mereka akan sekedar menggoda saya dengan cara ikut berdiri di sebelah
saya, sekedar membuat saya merasa tidak nyaman. Lalu perlahan menggeser
badannya merapat ke badan saya dan mendorong saya dengan kasar sampai terlempar
atau kadang jatuh. Namanya anak kecil yang masih takut, saya waktu itu hanya
bisa menangis diam-diam. Bisa saja saya menangis kencang-kencang agar menarik
perhatian guru dan anak-anak lain dan melihat apa sedang terjadi, tetapi itu
tidak saya lakukan karena kecil-kecil saya sudah tau gengsi.
Saya juga bisa saja mengadu sama guru atau kakak saya, tetapi tetap tidak
saya lakukan karena saya memang bukan tukang mengadu. Kejadian seperti itu
terjadi dan terulang hampir setiap hari, mulai dari sekedar dorong-dorong,
memukul saya memakai penggaris, sampai menghina fisik dengan mengatakan kalau
saya mirip tuyul saking kecilnya. Perlakukan buruk itu tidak saya terima hanya
dari satu orang saja, tetapi lebih dari lima orang sampai beberapa waktu.
Tetapi yang namanya sabar memang ada batasnya. Pernah saya habis kesabaran
dan tanpa sadar menonjok wajah pem-bully saya. Awalnya dia hanya
mendorong-dorong saya, lalu salah satu temannya memprovokasi dia untuk
menyentuh area terlarang di tubuh saya. Tau dong yang mana maksud saya.
Pokoknya istilah zaman sekarang sdisebut dengan sex harrasment. Itu yang akhirnya membuat saya lepas kendali. Tangan
saya melayang tanpa dia sangka-sangka sehingga tidak sempat menghindar da
langsung mendarat tepat di hidungnya. Lalu saya diseret ke dalam kelas dan
dihajar habis-habisan. Tetapi karena saya juga bukan type yang diam saja
kalau dihajar, maka saya juga balas hajar. Dan anehnya pertempuran dimenangkan
oleh saya. Dia berhasil membuat hidung saya berdarah, dan saya juga berhasil
membuatnya jatuh sehingga saya bebas merdeka menginjak-injak punggungnya. Dari
situ saya belajar bahwa tukang bully itu adalah orang-orang yang payah
kalau berkelahi. Mereka mem-bully
hanya untuk menutupi kekurangan mereka. Mereka memaksa menunjukkan dominasi
mereka agar orang lain tidak berani mendominasi mereka. Intinya para tukang bully
itu adalah pengecut yang sok-sok pemberani.
Setelah kejadian berkelahi didalam kelas itu, si tukang bully sudah
tidak pernah lagi mengangggu saya, sementara kepercayaan diri saya juga
bertambah. Ternyata saya lumayan bisa berkelahi juga. Dia memang masih saja
seliweran di depan saya sambil mengirimkan sinyal lewat gerak tubuh seolah dia
akan membunuh saya, tetapi toh dia tidak pernah beani dekat-dekat dengan saya
karena dia sudah tau kalau saya punya tonjokan yang mematikan. Anak-anak lain
yang dulu ikut-ikutan menganggu saya juga sudah tidak berani lagi berurusan
dengan saya, mungkin mereka sudah diperingatkan oleh rekan sesama tukang bully
yang kemaren saya hajar. Memang benar peribahasa yang mengatakan bahwa ‘jika
ingin membunuh kawanan ular, bunuh induknya’. Begitu juga dengan menghadapi
komplotan pem-bully, cari tau yang mana pemimpinnya, lalu hajar di depan anak buahnya. Mengalahkan
pemimpinnya berarti mengalahkan mereka semua. Jika pemimpinnya sudah takut
kepada anda, maka para umatnya juga.
Pada saat itu juga saya juga sadar bahwa saya menjadi korban bully
karena sifat saya yang pendiam, lugu (atau istilah zaman sekarang : unyu-unyu)
dan penyendiri. Dan harus saya akui kalau berada dalam posisi korban bully itu rasanya sangat tidak
menyenangkan. Kalau mental kita tidak kuat menerima perlakukan itu, kita bisa
saja menjadi frustasi atau stress
bahkan menjadi pribadi yang rendah diri. Untungnya saya termasuk yang ‘kuat’
dan berani melawan kalau sudah melewati batas toleransi saya. Saya juga tau ada
beberapa anak yang bernasib seperti saya sehingga akhirnya mereka ada yang
tidak mau sekolah, ada juga yang akhirnya pindah sekolah. Saya sebenarnya
sempat terpikir untuk pindah sekolah, tetapi kemudian saya juga sadar kalao di sekolah
lain bisa saja ada tukang bully yang
mungkin lebih kejam.
Maka ketika naik ke kelas tiga, saya berani mengubah sifat saya. Saya mulai
bergaul dan membaur. Saya mulai berani
menyapa duluan teman sekelas maupun kakak kelas, lebih banyak tersenyum dan
melucu. Iya, ternyata saya baru sadar kalau ternyata saya bisa melucu. Kadang
teman-teman saya tertawa terbahak-bahak saat saya sedang membicarakan sesuatu,
padahal saya sedang tidak membicarakan sesuatu yang lucu. Akhirnya saya resmi
menjadi anggota sebuah geng cowok di sekolah saya waktu itu. Istilahnya geng
cowok paling populer disekolah karena anggotanya terdiri dari anak paling
pinter dikelas, anak paling jago berantem di sekolah, anak paling jago menyanyi
dan anak yang paling jago bercerita yang semuanya satu kelas. Menurut mereka,
saya diterima masuk menjadi anggota karena mereka menganggap saya sebagai anak
yang paling jago menggambar. Jadi dari kelas empat sampai lulus SD saya merdeka
dari bully karena saya selalu dikelilingi oleh teman-teman saya yang
siap pasang badan kalau ada yang macam-macam.
Masuk SMP, saya berpisah dengan teman-teman satu geng saya. Sebenarnya kami
diterima di SMP yang sama, tetapi kelas yang berbeda. Dengan kelas yang berbeda
tentu sangat susah untuk menjaga hubungan persahabatan dengan intens. Menjaga
persabahatan dengan sahabat dari kelas yang berbeda sama susahnya dengan
menjaga hubungan Long Distance Relationship. Pada akhirnya kita jalan
sendiri-sendiri sebelum akhirnya saya menemukan sahabat-sahabat baru.
Ayah saya yang menjadi guru ditempat saya sekolah bukan jaminan saya bebas
dari bully. Kadang saya pernah menyesali kenapa Tuhan mengaruniakan
tubuh yang kurus kecil ini kepada saya sehingga banyak orang yang tidak bisa
cuek dengan eksistensi saya. Pokoknya dulu, sepertinya anak-anak lain tidak
merasa tenang hidupnya kalau tidak menganggu saya. Mulai dari topi yang dibawa
kabur, celana yang ditarik-tarik, dibopong-bopong seperti membopong anak kucing,
diledek mirip Unyil dan lain-lain. Bahkan saat upacara bendera saja selalu saja
ada yang memperhatikan saya kemudian berbisik-bisik dengan siswa dikanan
kirinya sambil terkekeh-kekeh.
Untung hal-hal yang seperti itu saya masih bisa cuek. Tetapi ada satu hal
yang tidak bisa saya terima, yaitu ketika ada dua orang kakak kelas saya
menyinggung soal ayah saya. Merekaawalnya hanya meledek tubuh saya yang katanya
kecil seperti tuyul. Karena mungkin saya cuek saja, mereka switch to plan B : membuat sebuah candaan kampungan dengan objek
ayah saya. Saya tidak tau apakah mereka pernah dihukum atau dijewer ayah saya
sehingga mereka begitu benci dengan ayah saya, tetapi jelas apa yang mereka
katakan itu benar-benar membuat saya mengamuk. Kesalahan fatal mereka adalah,
mereka mengejek ayah saya langsung di depan saya. Meledek seperti apa? Biarlah
hanya saya dan teman-teman sekelas saya yang tau. Yang jelas sangat menyakitkan
hati. Karena waktu itu mereka mendatangi saya ke kelas dan mengejek ayah saya
di depan teman-teman sekelas saya. , maka saya langsung mengejar mereka seperti
anjing gila.
Kemarahan membuat saya seperti memiliki kekuatan super, apalagi teman-teman
sekelas saya juga menyoraki memberi semangat, sehingga saya seperti memiliki
energi berlebih untuk memburu mereka ke seluruh penjuru sekolah, keluar masuk
kelas, melompati pagar dan jendela, naik turun meja hingga akhirnya saya
berhasil meringkus salah satu dari mereka dan menghajarnya di sudut lapangan.
Anehnya saat saya pukuli, dia sama sekali tidak melawan. Seolah dia sadar bahwa
dia memang layak mendapatkannya.
Kejadian ini sempat membuat heboh seluruh sekolah karena terjadi pas jam
istirahat. Saya langsung disamperin ayah saya dan PLAK….pipi saya ditampar di depan teman-teman saya dan banyak
siswa-siswi lain di sekolah. Ayah saya mengira bahwa saya yang berandalan dan
cari masalah dengan cara memukuli anak-anak lain.
“Jangan kamu pikir karena bapakmu guru disini maka
kamu boleh berbuat sesuka hatimu ya”, ujar ayah saya waktu itu. Dan memang sampai sekarang ayah saya tidak
pernah tau bahwa saya melakukan itu untuk membela beliau, dan saya juga memang
tidak pernah menjelaskannya kepada ayah saya. Yang jelas saya merasa bangga
saya bisa membela beliau meskipun ayah saya tidak menyadarinya.
Belakangan anak yang saya pukuli itu berubah menjadi cari-cari muka sama
saya, seperti menebus dosa. Saya dipinjami kamus, alkitab dan buku textbook
tanpa saya minta bahkan meskipun saya tidak butuh. Lalu dia juga cerita kalau
temannya yang dulu ikut mengejek ayah saya sudah pindah sekolah karena takut
saya pukuli seperti dia dulu. Soalnya mereka tadinya tidak menyangka kalau
dibalik perawakan saya yang seperti tuyul, ternyata ada kekuatan macan lapar.
Mendengar itu saya jadi merasa bersalah, soalnya saya kasihan sama orangtuanya
yang mungkin jadi kerepotan mengurus kepindahan anak tengilnya itu. Apalagi
saya tau bahwa dia berasal dari sesama keluarga miskin seperti saya.
Masuk SMA, perawakan saya masih saja kecil. Jangan-jangan pertumbuhan badan
saya memang benar-benar terganggu. Pernah saat sedang jalan sendirian berangkat
kesekolah, saya berpapasan dengan segerombolan anak-anak SD. Beberapa dari
mereka bahkan bertubuh sedikit lebih tinggi dari saya. Dan coba tebak apa yang
terjadi? Mereka menantang saya berkelahi.
Tetapi naik ke kelas dua, Puji Tuhan...pertumbuhan
tubuh saya mulai menunjukkan hasil yang signifikan. Meski mungkin termasuk
siswa yang paling muda di sekolah (saya masih berusia 14 tahun saat duduk
dikelas 1 SMA) tetapi tinggi badan saya sudah sejajar dengan mayoritas
anak-anak SMA yang lain. Satu-satunya bully yang saya alami adalah dari
pegawai sekolah saya. Entah kenapa dia suka mempermasalahkan segala sesuatu
yang ada pada saya. Dia pernah mengancam akan melaporkan warna sepatu saya
kepada guru BP. Pada saat itu saya memakai sepatu warna coklat padahal
peraturan disekolah semua siswa wajib memakai sepatu warna hitam. Padahal saya
sudah minta izin kepada guru BP karena sepatu saya yang warna hitam yg sebelah
kiri hanyut di sungai kemarin sore.
Pernah saya dan beberapa teman saya terlambat masuk sekolah sehingga
terpaksa memanjat pagar tapi ternyata kepergok dia. Teman-teman saya disuruh pergi, sementara
saya disuruh tinggal untuk dibentak-bentak.
Pernah juga kejadian dia tiba-tiba mendorong saya sampai jatuh karena saya
balas memaki dia (tapi saya sudah lupa gara-gara persoalan apa). Sebelum saya
sempat berdiri dan balas menerjang, tiba-tiba saja beberapa siswa yang sama
sekali bukan teman akrab saya langsung mendorong dia dan bilang “Heh, kalau
berani lawan saya dong, jangan dia”. Wah, ternyata ada yang mau membela saya.
Kita harus sadar bahwa bully ada dimana-mana dan tidak bisa
dihindari. Diri kita sendirilah yang harus di’perkuat’ secara mental (dan kalau
boleh, juga secara fisik) agar bisa mematahkan dominasi para pelaku bully
saat terjadi perang mental. Menjadi korban bully sejak SD jelas sudah
membentuk mental saya menjadi lebih kuat dan siap menghadapi bully,
tetapi tentu saja secara fisik saya masih kurang. Maka begitu lulus SMA dan
kuliah saya langsung ikut club Tae Kwon Do.
Pelaku bully tidak bisa dibiarkan tetapi juga tidak bisa dilarang.
Keinginan untuk membully itu adalah sebuah kebutuhan buat mereka. Karena
berhubungan dengan mental, maka attitude –nya itu susah untuk diubah
atau dihilangkan. Bisa saja untuk semntara dia berhenti, tetapi nanti dia pasti
akan melakukannya lagi karena memang dia butuh untuk melakukannya. Jadi buat
anda yang tidak ingin menjadi korban bully,
tekankan dalam diri anda bahwa pelaku bully
ini adalah pengecut yang menyamar menjadi pemberani. Jangan pernah biarkan,
tetapi lakukan perlawanan. Karena sekali saja anda menunjukkan bahwa anda tidak
selemah yang dia sangka, maka dia tidak akan menganggu anda lagi dan tentu saja
dia akan mencari korban yang lain. Saya sudah bilang kalau mereka ini memang
tidak akan berhenti. Mem-bully itu sebuah menjadi panggilan dan pilihan
hidup mereka.
0 komentar:
Posting Komentar