Sejak tahun 1996, saya hampir setiap tahun melintasi kawasan Danau Toba
dari Medan - Tarutung pulang pergi. Dari Medan ke Parapat (kota
tempat Danau Toba berada) menghabiskan durasi kira-kira empat sampai lima jam
perjalanan darat. Tetapi kalau anda tidak terlalu suka menghabiskan waktu duduk
lama-lama didalam bis sehingga bisa mengakibatkan bokong menjadi semakin rata,
maka ada jalur alternatif lain. Anda bisa naik pesawat dari Kuala Namu (Medan)
– Silangit (Siborong-borong) dengan durasi waktu tidak lebih dari
satu jam. Tetapi dari Silangit ke Danau Toba anda masih harus menghabiskan
waktu kira-kira tiga jam perjalanan darat lagi agar bisa sampai ke Danau Toba.
Dulu saat masih kecil, saya begitu mengagumi Danau Toba. Apalagi sejak
kecil sudah dijejali dengan cerita legenda mengenai asal mula terjadinya Danau
Toba. Konon menurut cerita dari moyang ke moyang hingga ke anak cucu cicit,
dulu ada seorang pemuda yang memancing ikan di kolam. Tidak jelas diceritakan
dia memancing ikan di kolam sendiri atau di kolam orang lain. Singkat cerita
dia berhasil mengail seekor ikan mas yang bisa bicara. Ya, ikan yang bisa
bicara. Jadi dengan ekspresi galau dan menghiba-hiba, ikan mas ini memohon
kepada sang pemuda agar tidak dipotong dan dimasak, tetapi sebaiknya dibawa ke
rumah dan dijadikan istri. What? Ya namanya juga cerita rakyat yang
lebih banyak dialog dan adegan tidak masuk akalnya. Pokoknya singkat cerita si
pemuda setuju dengan permohonan sang ikan. Saya sebenarnya ingin tau seperti
apa tampang si pemuda sehingga dia terkesan begitu putus asa tidak punya jodoh,
sehingga mau-mau saja memperistri ikan.
Sampai di rumah, ikan tersebut berubah menjadi perempuan cantik. Syukurlah,
karena sangat sulit membayangkan si pemuda hidup berdampingan dan berkembang
biak dengan seekor ikan. Singkat cerita (lagi) mereka mempunyai anak laki-laki.
Pada suatu hari, si anak disuruh sang ibu untuk mengantar nasi ke ayahnya yang
sedang bertani. Ya, si pemuda kini sudah menjadi seorang ayah dan sudah alih profesi dari pemancing ikan menjadi
petani. Mungkin karena jarak tempuh dari rumah menuju ladang begitu jauh, si
anak kelaparan ditengah jalan dan kemudian memakan nasi untuk ayahnya sampai
habis. Begitu sampai di ladang tempat ayahnya bekerja, si ayah yang sudah
kelaparan mengamuk karena mendapati tempat makan siangnya sudah kosong. Sudah
lapar tingkat rektor, cuaca panas pula, maka keluarlah sumpah serapah untuk si
anak : “dasar anak ikan!!!”.
Ternyata sumpah serapah itu direkam dengan baik oleh si anak, maka sambil
berurai airmata si anak berlari pulang menemui ibunya dan menceritakan apa yang
baru saja diteriakkan ayahnya. Sang ibu begitu sedih luar biasa. Ya,
sesederhana itu. Padahal bisa saja si ibu menghibur si anak dengan mengatakan
bahwa bapaknya mungkin lagi murka semurka-murkanya sehingga mengatakan sesuatu
secara random. Tetapi tidak, si ibu langsung tersinggung karena mungkin lagi
PMS, kemudian menyuruh si anak naik ke puncak gunung. Eh si anak menurut saja.
Sepertinya si anak bukan type anak yang kritis seperti anak-anak zaman sekarang
yang selalu punya pertanyaan untuk semua hal.
Lalu si ibu menangis luar biasa, saking luar biasanya sampai airmata bisa
menghasilkan banjir bandang dan menghanyutkan seluruh kampung, kecuali puncak
gunung dimana si anak sudah nongkrong. Maka puncak gunung itulah yg menjadi
cikal bakal pulau Samosir, sementara genangan air mata tersebutlah yang menjadi
Danau Toba. Mungkin itu sebabnya rasa air Danau Toba tidak tawar, tetapi
mengandung sedikit rasa asin. Nah lho, jangan-jangan memang benar asal mula
Danau Toba begitu.
Tetapi seiring waktu dan saya mulai tumbuh remaja dan dewasa, asal mula
terjadinya Danau Toba versi ilmiah lebih masuk akal saya dimana Danau Toba
terjadi akibat letusan gunung super vulkanik puluh ribuan tahun yang lalu.
Bukankah hampir semua danau terjadi akibat ledakan gunung berapi dimana
kawahnya kemudian dipenuhi air yang membentuk danau. Apalagi mengingat bentuk
fisik Danau Toba juga seperti kawah gunung yang menjorok dalam ke bawah perut
bumi, sementara daratan yang mengelilingi adalah dataran tinggi.
Di mata saya dulu, kawasan Danau Toba adalah surga. Sebuah danau biru yang
luas dikelilingi oleh pegunungan hijau dengan naungan awan biru. Setidaknya
pemadangan alamnya bisa membuat saya menganga. Maklum, di tempat tinggal saya,
saya hanya bisa melihat pohon pisang saja. Pokoknya dulu saat masih sekolah
liburan paling keren itu ya ke Danau Toba, bahkan jauh lebih gengsi daripada
liburan ke luar negeri.
Selain itu dulu Danau Toba sangat menarik perhatian wisatawan asing. Jadi
setiap kali kita melangkah dan tubrukan sama seseorang, bisa dipastikan orag
kita tubruk itu adalah bule. Saya masih ingat waktu masih SMP dan SMA, setiap
akhir pekan teman-teman saya yang ingin melatih kemampuan bahasa Inggrisnya
akan pergi ke Danau Toba untuk praktek langsung dengan native speaker
yaitu bule-bule yang banyak berkeliaran disana.
Ada satu lagi spot wisata yang berada di kawasan Danau Toba yang sering
saya sebut ‘kampung monyet’. Jangan membayangkan sebuah kampung dengan warga
yang mirip monyet, tetapi kawasan ini benar-benar dimukimi oleh monyet asli.
Disini kita bisa ikut memberi makan monyet yang jumlahnya ratusan itu. Jangan
takut, monyet-monyet disini lebih ramah dan lebih sopan dari monyet-monyet yang
ada di Uluwatu (Bali). Huh, kalau ingat monyet di Uluwati langsung emosi saya.
Tetapi seramah-ramahnya monyet, ya tetap saja namanya monyet. Jadi biasanya
pengunjung akan diwanti-wanti agar melepas segala aksesori yang kira-kira
gampang dicopet seperti kacamata, anting, topi, dan benda-benda yang lain
kira-kira menarik perhatian monyet. Dengan membayar tiket masuk dua ribu rupiah,
kita bisa masuk kawasan penangkaran monyet. Pada saat memasuki area kampung
monyet, anda mungkin hanya melihat beberapa ekor monyet. Tetapi begitu sang
pawang membunyikan ‘genderang perang’ dari sebuah alat tiup dari tanduk kerbau,
maka ratusan monyet akan segara berdatangan, siap untuk setor tampang.
Sekarang Danau Toba tidak seindah dulu lagi. Airnya tak lagi biru karena di
sekeliling pinggiran danau telah dijadikan tambak ikan yang otomatis pasti akan
mempengaruhi biota dan kwalitas air danau lewat pakan atau pemeliharaan tambak
yang menggunakan bahan kimiawi. Wisatawan yang yang dulu berduyun-duyun
memenuhi kota Parapat kini tinggal satu-satu, itupun lebih memilih ngendon di
hotel menikmati pemadangan Danau Toba dari kejauhan untuk menghindari beberapa
oknum warga yang tak lagi seramah dulu.
Saya sudah berkali-kali mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat berada
di Parapat. Beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sangat mengintimidasi para
tamu. Mereka dengan cara memaksa menghalang-halangi penumpang yang ingin
menaiki angkutan tertentu hanya karena sopir angkutan tersebut tidak memberi
tip sesuai yang diinginkan. Untuk wisatawan lokal saja mereka bersikap seperti
itu, apalagi sama yang wisawatan domestik atau asing? Seperti pemerkosaan hak
azasi saja, seharusnya penumpang kan bebas menentukan dia mau naik kendaraan
apa.
Saya sendiri tidak habis pikir, Danau Toba ini adalah spot wisata yang
sangat menjanjikan. Mengingat luasnya membentang sepanjang 100 x 30 KM, Danau
Toba adalah salah satu danau terbesar di Dunia dan pasti sangat menarik
perhatian dunia. Yang saya lihat, potensi besar kawasan ini tidak disadari oleh
pemerintah setempat. Semua dibiarkan terbengkalai. Lihatlah rongsokan
kapal-kapal yang dulunya dipakai sebagai transportasi safari untuk mengarungi
Danau Toba kini hanya teronggok di bagian tepi danau yang hanya memberi
pemandangan yang kurang elok. Setiap tahun memang diadakan Pesta Danau Toba
disini, sayangnya itu hanya sebatas rutinitas dalam artian hanya
mengulang-ulang seremoni tahunan yang sangat tidak menjanjikan sesuatu yang
baru dan inovatif yang mampu menarik minat warga di luar kawasan sekitar atau
dari luar kota, luar pulau atau mungkin luar negeri.
Saat mata saya menatap barisan pegunungan hijau yang mengelilingi Danau
Toba, tiba-tiba saya terpikir seandainya ada investor (entah asing maupun
lokal) yang terpikir untuk membuat semacam alat transportasi wisata dalam
bentuk kereta gantung dari uung yang satu ke ujung yang lain di seberang Danau
Toba. Saya bisa membayangkan sensasi seperti apa yang akan saya serasa saat
menaiki kereta gantung melintasi Danau Toba dengan luas luar biasa itu, mungkin
rasanya seperti terbang.
Saya juga melihat kedai-kedai tempat duduk santai di sepanjang pinggir jalan
raya perbatasan ke Danau Toba yang terkesan asal jadi. Maksud saya hanya
menawarkan pemandangan ‘mentah’ ke arah Danau Toba. Saya menjadi kepikiran
seandainya di sepanjang area ini dibangun semacam alun-alun yang menyediakan
tempat duduk santai atau selonjoran dengan pelayanan yang lebih baik dengan
pohon-pohon yang bisa dipasangi hammock. Pelayanan yang lebih baik
maksud saya adalah Food & Beverage yang menyediakan masakan
nusantara dan mancanegara. Sepanjang yang saya perhatikan, kedai-kedai disana
hanya menjual minuman mineral,minuman soda dan mie instant. Terlalu standar
untuk sebuah kawasan wisata yang sebenarnya sangat menjanjikan.
Soal safety pengendara kendaraan di sepanjang jalan raya yang
melintasi pinggiran Danau Toba juga cukup mengganggu saja. Sama sekali tidak
ada batasan antara jalan raya ke arah danau yang letaknya jauh di bawah sana.
Jadi kalau misalnya kendaraan tergelincir ke arah kanan, maka akan menubruk
bukit, sementara kalau terpeleset ke kiri maka kendaraan yang mobil atau motor
akan terjun bebas ke jurang dan kalau beruntung bisa langsung tercebur ke Danau
Toba. Apalagi mengingat jalan raya sepanjang kawasan tersebut didominasi oleh
belokan dan tikungan tajam. Jadi buat anda yang berencana mengunjungi Danau
Toba dari arah Medan, sebaiknya hati-hati saat mengendarai kendaraan anda,
terutama saat sudah melewati kota Siantar. Banyak tikungan yang lebih
pantas disebut jebakan Batman karena selain minim penerangan pada malam hari. Jalan
rayanya juga relatif sempit, hanya muat dua kendaraan dari arah yang
berlawanan. Jadi saat bertemu tikungan, biasanya masing2 kendaraan dari arah
yang berlawanan akan saling menunggu dulu agar salah satu melintas lebih dulu.
Dan soal monyet-monyet yang tadi saya bicarakan, mereka tidak lagi betah di
habitatnya karena kurangnya pasokan makanan. Maka mereka akan turun ke jalanan,
nongkrong di tepi jalan raya sambil memasang ekspresi wajah penuh harapan bahwa
akan ada pengendara kendaraan yang melintas akan melempar sesuatu yang bisa
dimakan. Akibatnya, jumlah monyet-monyet primata berwarna kelabu dan berekor
panjang ini semakin hari semakin berkurang karena banyak yang tewas tertabrak
kendaraan. Dan gosipnya, tidak sedikit juga yang ditangkap dan dijual oleh
oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Saya juga mendengar bahwa
pawang monyet-monyet tersebut saat ini sedang terlibat masalah hukum dan
terpaksa dipenjara, sehingga nasib monyet-monyet ini semakin tidak jelas
juntrungannya. Entah siapa sekarang yang menyediakan makanan untuk mereka,
mengingat pegunungan di sekeliling Danau Toba adalah pohon-pohon pinus yang
jelas tidak menghasilkan buah atau daun yang bisa mereka konsumsi.
Saat saya melintasi jalan raya dipinggiran Danau Toba ini bulan Mei tahun kemarin
dari Tarutung menuju Medan, tiba-tiba seekor monyet berukuran besar yang saya
yakin adalah kepala suku para monyet ini diikuti seekor lagi monyet berukuran
lebih kecil meloncat keatas bagasi mobil yang saya tumpangi, lalu kawin di depan
mata saya dan sopir mobil saya. Hmmmm, betapa beruntungnya saya disuguhi live
sex show dengan latar Danau Toba, sebuah adegan yang tidak akan saya
dapatkan di film porno manapun. Saat melakukan adegan itu, sang jantan menatap
saya dengan tatapan penuh arti. Oh tidak, saya harap dia tidak sedang
berfantasi dengan cara menatap wajah saya. Saya yakin dia sedang mencoba mengirimkan
sebuah pesan kepada saya agar saya menulis tentang hal itu. Tentu saja bukan
menulis quicky sex yang sedang dia pertontonkan, tetapi tentang keadaan
mereka yang sungguh saat ini butuh perhatian. Begitu saya mengangguk,
pertunjukan langsung usai dan mereka meloncat lagi ke tepi jalan raya, mungkin
kembali menunggu orang lain lagi yang mau peduli dengan keresahan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar