20/04/14

DANAU TOBA & Monyet Yang Terlupakan



Sejak tahun 1996, saya hampir setiap tahun melintasi kawasan Danau Toba dari Medan - Tarutung pulang pergi. Dari Medan ke Parapat (kota tempat Danau Toba berada) menghabiskan durasi kira-kira empat sampai lima jam perjalanan darat. Tetapi kalau anda tidak terlalu suka menghabiskan waktu duduk lama-lama didalam bis sehingga bisa mengakibatkan bokong menjadi semakin rata, maka ada jalur alternatif lain. Anda bisa naik pesawat dari Kuala Namu (Medan) – Silangit (Siborong-borong) dengan durasi waktu tidak lebih dari satu jam. Tetapi dari Silangit ke Danau Toba anda masih harus menghabiskan waktu kira-kira tiga jam perjalanan darat lagi agar bisa sampai ke Danau Toba.

Dulu saat masih kecil, saya begitu mengagumi Danau Toba. Apalagi sejak kecil sudah dijejali dengan cerita legenda mengenai asal mula terjadinya Danau Toba. Konon menurut cerita dari moyang ke moyang hingga ke anak cucu cicit, dulu ada seorang pemuda yang memancing ikan di kolam. Tidak jelas diceritakan dia memancing ikan di kolam sendiri atau di kolam orang lain. Singkat cerita dia berhasil mengail seekor ikan mas yang bisa bicara. Ya, ikan yang bisa bicara. Jadi dengan ekspresi galau dan menghiba-hiba, ikan mas ini memohon kepada sang pemuda agar tidak dipotong dan dimasak, tetapi sebaiknya dibawa ke rumah dan dijadikan istri. What? Ya namanya juga cerita rakyat yang lebih banyak dialog dan adegan tidak masuk akalnya. Pokoknya singkat cerita si pemuda setuju dengan permohonan sang ikan. Saya sebenarnya ingin tau seperti apa tampang si pemuda sehingga dia terkesan begitu putus asa tidak punya jodoh, sehingga mau-mau saja memperistri ikan.

Sampai di rumah, ikan tersebut berubah menjadi perempuan cantik. Syukurlah, karena sangat sulit membayangkan si pemuda hidup berdampingan dan berkembang biak dengan seekor ikan. Singkat cerita (lagi) mereka mempunyai anak laki-laki. Pada suatu hari, si anak disuruh sang ibu untuk mengantar nasi ke ayahnya yang sedang bertani. Ya, si pemuda kini sudah menjadi seorang ayah dan  sudah alih profesi dari pemancing ikan menjadi petani. Mungkin karena jarak tempuh dari rumah menuju ladang begitu jauh, si anak kelaparan ditengah jalan dan kemudian memakan nasi untuk ayahnya sampai habis. Begitu sampai di ladang tempat ayahnya bekerja, si ayah yang sudah kelaparan mengamuk karena mendapati tempat makan siangnya sudah kosong. Sudah lapar tingkat rektor, cuaca panas pula, maka keluarlah sumpah serapah untuk si anak : “dasar anak ikan!!!”. 

Ternyata sumpah serapah itu direkam dengan baik oleh si anak, maka sambil berurai airmata si anak berlari pulang menemui ibunya dan menceritakan apa yang baru saja diteriakkan ayahnya. Sang ibu begitu sedih luar biasa. Ya, sesederhana itu. Padahal bisa saja si ibu menghibur si anak dengan mengatakan bahwa bapaknya mungkin lagi murka semurka-murkanya sehingga mengatakan sesuatu secara random. Tetapi tidak, si ibu langsung tersinggung karena mungkin lagi PMS, kemudian menyuruh si anak naik ke puncak gunung. Eh si anak menurut saja. Sepertinya si anak bukan type anak yang kritis seperti anak-anak zaman sekarang yang selalu punya pertanyaan untuk semua hal. 

Lalu si ibu menangis luar biasa, saking luar biasanya sampai airmata bisa menghasilkan banjir bandang dan menghanyutkan seluruh kampung, kecuali puncak gunung dimana si anak sudah nongkrong. Maka puncak gunung itulah yg menjadi cikal bakal pulau Samosir, sementara genangan air mata tersebutlah yang menjadi Danau Toba. Mungkin itu sebabnya rasa air Danau Toba tidak tawar, tetapi mengandung sedikit rasa asin. Nah lho, jangan-jangan memang benar asal mula Danau Toba begitu.

Tetapi seiring waktu dan saya mulai tumbuh remaja dan dewasa, asal mula terjadinya Danau Toba versi ilmiah lebih masuk akal saya dimana Danau Toba terjadi akibat letusan gunung super vulkanik puluh ribuan tahun yang lalu. Bukankah hampir semua danau terjadi akibat ledakan gunung berapi dimana kawahnya kemudian dipenuhi air yang membentuk danau. Apalagi mengingat bentuk fisik Danau Toba juga seperti kawah gunung yang menjorok dalam ke bawah perut bumi, sementara daratan yang mengelilingi adalah dataran tinggi.

Di mata saya dulu, kawasan Danau Toba adalah surga. Sebuah danau biru yang luas dikelilingi oleh pegunungan hijau dengan naungan awan biru. Setidaknya pemadangan alamnya bisa membuat saya menganga. Maklum, di tempat tinggal saya, saya hanya bisa melihat pohon pisang saja. Pokoknya dulu saat masih sekolah liburan paling keren itu ya ke Danau Toba, bahkan jauh lebih gengsi daripada liburan ke luar negeri. 

Selain itu dulu Danau Toba sangat menarik perhatian wisatawan asing. Jadi setiap kali kita melangkah dan tubrukan sama seseorang, bisa dipastikan orag kita tubruk itu adalah bule. Saya masih ingat waktu masih SMP dan SMA, setiap akhir pekan teman-teman saya yang ingin melatih kemampuan bahasa Inggrisnya akan pergi ke Danau Toba untuk praktek langsung dengan native speaker yaitu bule-bule yang banyak berkeliaran disana. 

Ada satu lagi spot wisata yang berada di kawasan Danau Toba yang sering saya sebut ‘kampung monyet’. Jangan membayangkan sebuah kampung dengan warga yang mirip monyet, tetapi kawasan ini benar-benar dimukimi oleh monyet asli. Disini kita bisa ikut memberi makan monyet yang jumlahnya ratusan itu. Jangan takut, monyet-monyet disini lebih ramah dan lebih sopan dari monyet-monyet yang ada di Uluwatu (Bali). Huh, kalau ingat monyet di Uluwati langsung emosi saya. 

Tetapi seramah-ramahnya monyet, ya tetap saja namanya monyet. Jadi biasanya pengunjung akan diwanti-wanti agar melepas segala aksesori yang kira-kira gampang dicopet seperti kacamata, anting, topi, dan benda-benda yang lain kira-kira menarik perhatian monyet. Dengan membayar tiket masuk dua ribu rupiah, kita bisa masuk kawasan penangkaran monyet. Pada saat memasuki area kampung monyet, anda mungkin hanya melihat beberapa ekor monyet. Tetapi begitu sang pawang membunyikan ‘genderang perang’ dari sebuah alat tiup dari tanduk kerbau, maka ratusan monyet akan segara berdatangan, siap untuk setor tampang.

Sekarang Danau Toba tidak seindah dulu lagi. Airnya tak lagi biru karena di sekeliling pinggiran danau telah dijadikan tambak ikan yang otomatis pasti akan mempengaruhi biota dan kwalitas air danau lewat pakan atau pemeliharaan tambak yang menggunakan bahan kimiawi. Wisatawan yang yang dulu berduyun-duyun memenuhi kota Parapat kini tinggal satu-satu, itupun lebih memilih ngendon di hotel menikmati pemadangan Danau Toba dari kejauhan untuk menghindari beberapa oknum warga yang tak lagi seramah dulu. 

Saya sudah berkali-kali mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat berada di Parapat. Beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sangat mengintimidasi para tamu. Mereka dengan cara memaksa menghalang-halangi penumpang yang ingin menaiki angkutan tertentu hanya karena sopir angkutan tersebut tidak memberi tip sesuai yang diinginkan. Untuk wisatawan lokal saja mereka bersikap seperti itu, apalagi sama yang wisawatan domestik atau asing? Seperti pemerkosaan hak azasi saja, seharusnya penumpang kan bebas menentukan dia mau naik kendaraan apa.

Saya sendiri tidak habis pikir, Danau Toba ini adalah spot wisata yang sangat menjanjikan. Mengingat luasnya membentang sepanjang 100 x 30 KM, Danau Toba adalah salah satu danau terbesar di Dunia dan pasti sangat menarik perhatian dunia. Yang saya lihat, potensi besar kawasan ini tidak disadari oleh pemerintah setempat. Semua dibiarkan terbengkalai. Lihatlah rongsokan kapal-kapal yang dulunya dipakai sebagai transportasi safari untuk mengarungi Danau Toba kini hanya teronggok di bagian tepi danau yang hanya memberi pemandangan yang kurang elok. Setiap tahun memang diadakan Pesta Danau Toba disini, sayangnya itu hanya sebatas rutinitas dalam artian hanya mengulang-ulang seremoni tahunan yang sangat tidak menjanjikan sesuatu yang baru dan inovatif yang mampu menarik minat warga di luar kawasan sekitar atau dari luar kota, luar pulau atau mungkin luar negeri.

Saat mata saya menatap barisan pegunungan hijau yang mengelilingi Danau Toba, tiba-tiba saya terpikir seandainya ada investor (entah asing maupun lokal) yang terpikir untuk membuat semacam alat transportasi wisata dalam bentuk kereta gantung dari uung yang satu ke ujung yang lain di seberang Danau Toba. Saya bisa membayangkan sensasi seperti apa yang akan saya serasa saat menaiki kereta gantung melintasi Danau Toba dengan luas luar biasa itu, mungkin rasanya seperti terbang. 

Saya juga melihat kedai-kedai tempat duduk santai di sepanjang pinggir jalan raya perbatasan ke Danau Toba yang terkesan asal jadi. Maksud saya hanya menawarkan pemandangan ‘mentah’ ke arah Danau Toba. Saya menjadi kepikiran seandainya di sepanjang area ini dibangun semacam alun-alun yang menyediakan tempat duduk santai atau selonjoran dengan pelayanan yang lebih baik dengan pohon-pohon yang bisa dipasangi hammock. Pelayanan yang lebih baik maksud saya adalah Food & Beverage yang menyediakan masakan nusantara dan mancanegara. Sepanjang yang saya perhatikan, kedai-kedai disana hanya menjual minuman mineral,minuman soda dan mie instant. Terlalu standar untuk sebuah kawasan wisata yang sebenarnya sangat menjanjikan.

Soal safety pengendara kendaraan di sepanjang jalan raya yang melintasi pinggiran Danau Toba juga cukup mengganggu saja. Sama sekali tidak ada batasan antara jalan raya ke arah danau yang letaknya jauh di bawah sana. Jadi kalau misalnya kendaraan tergelincir ke arah kanan, maka akan menubruk bukit, sementara kalau terpeleset ke kiri maka kendaraan yang mobil atau motor akan terjun bebas ke jurang dan kalau beruntung bisa langsung tercebur ke Danau Toba. Apalagi mengingat jalan raya sepanjang kawasan tersebut didominasi oleh belokan dan tikungan tajam. Jadi buat anda yang berencana mengunjungi Danau Toba dari arah Medan, sebaiknya hati-hati saat mengendarai kendaraan anda, terutama saat sudah melewati kota Siantar. Banyak tikungan yang lebih pantas disebut jebakan Batman karena selain minim penerangan pada malam hari. Jalan rayanya juga relatif sempit, hanya muat dua kendaraan dari arah yang berlawanan. Jadi saat bertemu tikungan, biasanya masing2 kendaraan dari arah yang berlawanan akan saling menunggu dulu agar salah satu melintas lebih dulu.

Dan soal monyet-monyet yang tadi saya bicarakan, mereka tidak lagi betah di habitatnya karena kurangnya pasokan makanan. Maka mereka akan turun ke jalanan, nongkrong di tepi jalan raya sambil memasang ekspresi wajah penuh harapan bahwa akan ada pengendara kendaraan yang melintas akan melempar sesuatu yang bisa dimakan. Akibatnya, jumlah monyet-monyet primata berwarna kelabu dan berekor panjang ini semakin hari semakin berkurang karena banyak yang tewas tertabrak kendaraan. Dan gosipnya, tidak sedikit juga yang ditangkap dan dijual oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Saya juga mendengar bahwa pawang monyet-monyet tersebut saat ini sedang terlibat masalah hukum dan terpaksa dipenjara, sehingga nasib monyet-monyet ini semakin tidak jelas juntrungannya. Entah siapa sekarang yang menyediakan makanan untuk mereka, mengingat pegunungan di sekeliling Danau Toba adalah pohon-pohon pinus yang jelas tidak menghasilkan buah atau daun yang bisa mereka konsumsi.

Saat saya melintasi jalan raya dipinggiran Danau Toba ini bulan Mei tahun kemarin dari Tarutung menuju Medan, tiba-tiba seekor monyet berukuran besar yang saya yakin adalah kepala suku para monyet ini diikuti seekor lagi monyet berukuran lebih kecil meloncat keatas bagasi mobil yang saya tumpangi, lalu kawin di depan mata saya dan sopir mobil saya. Hmmmm, betapa beruntungnya saya disuguhi live sex show dengan latar Danau Toba, sebuah adegan yang tidak akan saya dapatkan di film porno manapun. Saat melakukan adegan itu, sang jantan menatap saya dengan tatapan penuh arti. Oh tidak, saya harap dia tidak sedang berfantasi dengan cara menatap wajah saya. Saya yakin dia sedang mencoba mengirimkan sebuah pesan kepada saya agar saya menulis tentang hal itu. Tentu saja bukan menulis quicky sex yang sedang dia pertontonkan, tetapi tentang keadaan mereka yang sungguh saat ini butuh perhatian. Begitu saya mengangguk, pertunjukan langsung usai dan mereka meloncat lagi ke tepi jalan raya, mungkin kembali menunggu orang lain lagi yang mau peduli dengan keresahan mereka.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar