17/04/14

Pelecehan Seksual ANAK : Solusi Tanpa Kambing Hitam



Waktu baca berita tentang kasus pelecehan seksual yang menimpa anak TK di sebuah sekolah internasional di Jakarta, saya sangat terkejut. Saat itu juga saya langsung terbayang masa-masa saya dulu bekerja sebagai guru di sebuah sekolah internasional (SI). SI yang berbeda, tetapi masih sama-sama di Jakarta. OK-lah, saya mengaku saja. Saya dulu memang pernah melamar kerja pada SI yang sedang tersandung kasus ini, tetapi boro-boro diterima, dipanggil test dan wawancara saja nggak. Tidak apa-apa sih, wong mereka kok yang rugi. Buktinya saya di terima bekerja di SI yang lain. Rasakan itu!

SI yang mana sih? Kalau mau main tebak-tebakan, saya dulu bekerja di SI yang di Kemayoran, yang gedung sekolahnya kayak mall itu. Berseberangan dengan PRJ. Masih nggak bisa nebak juga. Ya sudahlah! Lalu saya juga mengajar di sekolah National Plus, afiliasi SI terkenal di Jakarta yang berpusat di kawasan Karawaci itu.

Yang bikin saya siap-siap untuk meledak adalah, tadinya saya pikir pelakunya adalah gurunya. Tetapi setelah saya baca informasinya, ternyata pelakunya adalah cleaning service yang bekerja di sekolah itu lewat jasa pengelola outsourcing. Saya sedikit ‘lega’ karena saya jelas tidak tau harus ngomong apa kalau seandainya pelakunya adalah guru. Sebagai seorang yang pernah menjadi guru di SI, saya jelas sedikit tau kapasitas guru yang diterima di SI. Tidak sembarangan pribadi yang bisa diterima untuk bekerja di SI, apalagi untuk tingkat TK dan SD, karena pada saat itu  adalah masa emas pertumbuhan anak. Otomatis pihak-pihak yang banyak berinteraksi dengan mereka juga harus yang 'serius'. Maksud loe? Yang berinteraksi dengan tingkat SMP dan SMA bukan yang 'serius'?. Maaf ya, bukan saat yang tepat untuk berantem. Nanti saja itu kita bahas. Paham?

Sebenarnya saya dulu melamar untuk menjadi guru tingkat SMP atau SMA. Saya pikir, anak-anaknya sudah pada gede, lebih gampang diatur. Kalau aneh-aneh, tinggal dipelototin, pasti langsung ngerti. Ternyata, setelah melewati  serangkaian test praktek, psikotest dan wawancara, saya ditempatkan untuk mengajar di tingkat SD. Nggak tanggung-tanggung, saya mengajar untuk anak kelas 1 sampai kelas 6. Dengan nada bercanda, sang HRD bilang kalau misalnya saya ditempatkan mengajar di tingkat SMP atau SMA, hari-hari saya bisa diwarnai dengan berkelahi dengan murid laki-laki, ditaksir murid perempuan. Asemmmm!!! Maklum, saat berusia 23 tahun, tongkrongan saya memang masih seperti anak SMA. Pretttt!!!

Mengajar untuk anak-anak dengan rentang usia 6 sampai 11 tahun memang susah-susah gampang. Tetapi anak-anak kelas satu adalah yang paling menantang. Anak-anak kelas satu itu, ya ampun...lebih tepat dibilang bayi yang kebetulan sudah bisa jalan dan berlari. Kadang menggemaskan, kadang menyebalkan. Kita yang selalu harus ngerti’in mereka, bukan sebaliknya.

Kadang saat memasuki kelas, trus wajah-wajah polos tanpa dosa itu mandangin kita dengan tampang excited, rasanya pengen langsung kasih minum susu satu persatu. Tetapi kalau lagi kumat, yang namanya pundung, adududududuhhh nggak ada obatnya. Disuruh ngerjain ini, cemberut. Ditinggalin, nangis. Dimarahin, buang muka. Dinasehatin, ketawa-ketawa.

Soal pelecehan seksual. Well, namanya anak-anak memang masih sangat polos. Mereka kan belum kepikiran sama hal-hal yang begitu. Makanya saya berani bilang, untuk merekrut guru TK dan SD itu harus benar-benar selektif. Bukan hanya latar belakang pendidikannya yang perlu, tetapi juga kondisi psikis dan mentalnya. Saking polosnya anak-anak ini, kadang kita hanya punya dua pilihan : melindunginya atau memanfaatkan situasi. Seram banget kan?

Contohnya, anak-anak kan kalo lagi lincah-lincahnya, maka kadar kelincahannya nggak ketulungan. Tangan kemana-mana, kadang tanpa sengaja menyentuh ‘area-area telarang’ kita. Dia sih santai karena emang belum ngerti, malah kadang ngetawain. Busyet, padahal kita udah merah padam pucat pasi tergores luka di hati lagunya Anggun C Sasmi. Belum lagi dalam proses belajar mengajar (saya mengajar Visual Arts, dimana proses belajarnya tidak seformal mata pelajaran yang lain), kadang anak-anak pada berebutan pengen dipangku. Pernah saya sedang duduk di meja kerja saya sambil mengawasi murid-murid yang sedang mengerjakan task sesuai instruksi saya tadi, tiba-tiba satu dua orang anak pada jalan kucluk-kucluk menghampiri saya, dan dengan cueknya duduk dipangkuan saya.
Saya tanya, “What are you doing?”.
“My dad  let me sit on his lap”, jawabnya polos, nggak nyambung pula.
“But I’m not your daddy”.
“Yes you are. My mom dan dad said you are my daddy at school”.
Rasanya antara pengen melting dan denying. Parahnya, kalau yang satu sudah dipangku, yang lain juga mau. Waktu belum tegaan, saya masih kasih toleransi. Cuma boleh duduk di bagian dengkul dengan keseimbangan yang ala kadarnya. Itupun saya hitung cuma boleh selama 30 detik saja.  Tetapi lama kelamaan kebiasaan ini saya cut. Saya nggak mau hal seperti ini keterusan. Anak-anak harus diajarkan bahwa ada hal-hal yang boleh dilakukan di rumah, tetapi tidak boleh dilakukan di sekolah. Harus ada batas-batasnya antara saat bersama dengan orang tua dan saat bersama dengan guru, terutama orang lain.

Dulu saya punya murid kelas 5, perempuan, manis, rambutnya coklat. Kayaknya dia ini sedikit punya masalah dengan yang namanya berbaur dengan teman-teman. Jadi setiap kali jam istirahat atau lunch break, dia itu akan datang ke ruangan saya. Sendirian saja. Ngajak saya ngobrol ngalor ngidul sampai bel tanda masuk kembali ke kelas berbunyi. Ruangan saya dulu letaknya paling sudut, bisa dibilang agak jauh dari keramaian dan lalu lintas kegiatan sekolah. Untungnya saya nggak pernah punya pikiran macam-macam, dan dia juga percaya kalau saya tidak akan macam-macam. Makanya saat saya resign dari sekolah itu, saya sempatkan berbicara ke dia. Saya bilang supaya dia sebaiknya mulai berbaur dengan teman-temannya. Saya jadi paranoid dan cemas sendiri membayangkan jika dia masih melakukan hal yang sama, tetapi kepada orang lain. Mungkin kedengaran egois dan berlebihan, tetapi saya memang percaya kepada kwalitas diri saya sendiri, tetapi tidak kepada orang lain.

Sisi positifnya adalah, si anak memang sangat dekat dengan kita. Sangat mempercayai kita sehingga dia mau akrab dengan kita secara psikis maupun fisik. Anak-anak kan masih jujur, belum bisa munafik. Kalau dia tidak suka, dia akan bilang tidak suka sambil menunjukkan sikapnya. Demikian juga sebaliknya jika dia suka. Tetapi di sisi yang lain, ini bisa menjadi peluang untuk oknum-oknum yang punya niat tidak baik.

Seperti kasus-kasus sebelumnya, pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan si anak. Bisa keluarga, kerabat atau teman (dengan usia yang lebih tua). Para pelaku ini tau banget cara merebut hati si anak, entah itu dengan iming-iming makanan, mainan atau sikap yang manis. Pada kondisi ini jelas susah untuk mendeteksi niat jahat si pelaku. Maka sangat penting untuk mengajari si anak untuk tau batas-batas interaksi dengan orang lain. Misalnya bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh atau dilihat oleh orang lain, sebaliknya juga bagian tubuh mana dari orang lain yang tidak seharusnya mereka lihat atau sentuh. Anak-anak juga harus diajari untuk terbuka, untuk mau membicarakan segala hal, termasuk pengalaman yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan.

Dulu Mama saya menerapkan ajaran seperti ini kepada saya, rada frontal sih : tidak boleh bugil di depan umum. Kok kesannya saya ini waktu kecil tukang bugil sembarangan ya? Kalau memang benar, untung kebiasaan itu tidak terbawa-bawa sampai dewasa karena pasti banyak yang suka. Hallahhhh...

Banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak baru diketahui setelah berlangsung selama beberapa waktu. Hal ini disebabkan karena si anak tidak mau bercerita. Kejadian ini baru diketahui setelah ada perubahan pada diri si anak secara psikis maupun fisik. Ketika didesak orang tua, si anak juga belum tentu mau cerita karena memang tidak terbiasa dididik untuk membicarakan segala hal dengan jujur kepada orangtua.

Anak-anak kan bukan porselen yang bisa kita tempatkan di suatu spot yang kita mau, di lokasi yang bisa kita awasi sepanjang waktu. Anak-anak kan harus sekolah, les ini dan itu atau bersosialisasi dengan anak-anak lain yang secara lokasi kadang berada di luar pengawasan kita. Kita tidak bisa hanya mengandalkan diri kita sendiri dan orang lain (entah itu guru, pengasuh dan lain-lain) untuk memproteksi si anak, tetapi si anak juga harus diajari untuk bisa memproteksi dirinya sendiri. Secara fisik mungkin dia tidak bisa membela diri, tetapi setidaknya dia bisa berkata TIDAK atau berani melapor untuk sesuatu yang terjadi pada dirinya, yang mengarah kepada hal-hal yang tidak baik. Itu sudah bisa menjadi langkah awal untuk menghentikan niat si pelaku.

May GOD be with our children wherever they are...
Share:

0 komentar:

Posting Komentar