Waktu baca berita
tentang kasus pelecehan seksual yang menimpa anak TK di sebuah sekolah
internasional di Jakarta, saya sangat terkejut. Saat itu juga saya langsung
terbayang masa-masa saya dulu bekerja sebagai guru di sebuah sekolah
internasional (SI). SI yang berbeda, tetapi masih sama-sama di Jakarta. OK-lah,
saya mengaku saja. Saya dulu memang pernah melamar kerja pada SI yang sedang
tersandung kasus ini, tetapi boro-boro diterima, dipanggil test dan wawancara saja nggak. Tidak apa-apa sih, wong mereka kok yang rugi. Buktinya saya
di terima bekerja di SI yang lain. Rasakan itu!
SI yang mana sih?
Kalau mau main tebak-tebakan, saya dulu bekerja di SI yang di Kemayoran, yang
gedung sekolahnya kayak mall itu.
Berseberangan dengan PRJ. Masih nggak bisa nebak juga. Ya sudahlah! Lalu saya
juga mengajar di sekolah National Plus, afiliasi
SI terkenal di Jakarta yang berpusat di kawasan Karawaci itu.
Yang bikin saya
siap-siap untuk meledak adalah, tadinya saya pikir pelakunya adalah gurunya.
Tetapi setelah saya baca informasinya, ternyata pelakunya adalah cleaning service yang bekerja di sekolah
itu lewat jasa pengelola outsourcing.
Saya sedikit ‘lega’ karena saya jelas tidak tau harus ngomong apa kalau
seandainya pelakunya adalah guru. Sebagai seorang yang pernah menjadi guru di
SI, saya jelas sedikit tau kapasitas guru yang diterima di SI. Tidak
sembarangan pribadi yang bisa diterima untuk bekerja di SI, apalagi untuk
tingkat TK dan SD, karena pada saat itu
adalah masa emas pertumbuhan anak. Otomatis pihak-pihak yang banyak berinteraksi dengan mereka juga harus yang 'serius'. Maksud loe? Yang berinteraksi dengan tingkat SMP dan SMA bukan yang 'serius'?. Maaf ya, bukan saat yang tepat untuk berantem. Nanti saja itu kita bahas. Paham?
Sebenarnya saya
dulu melamar untuk menjadi guru tingkat SMP atau SMA. Saya pikir, anak-anaknya
sudah pada gede, lebih gampang diatur. Kalau aneh-aneh, tinggal dipelototin,
pasti langsung ngerti. Ternyata, setelah melewati serangkaian test praktek, psikotest
dan wawancara, saya ditempatkan untuk mengajar di tingkat SD. Nggak
tanggung-tanggung, saya mengajar untuk anak kelas 1 sampai kelas 6. Dengan nada
bercanda, sang HRD bilang kalau misalnya saya ditempatkan mengajar di tingkat
SMP atau SMA, hari-hari saya bisa diwarnai dengan berkelahi dengan murid
laki-laki, ditaksir murid perempuan. Asemmmm!!!
Maklum, saat berusia 23 tahun, tongkrongan saya memang masih seperti anak SMA.
Pretttt!!!
Mengajar untuk
anak-anak dengan rentang usia 6 sampai 11 tahun memang susah-susah gampang.
Tetapi anak-anak kelas satu adalah yang paling menantang. Anak-anak kelas satu
itu, ya ampun...lebih tepat dibilang bayi yang kebetulan sudah bisa jalan dan
berlari. Kadang menggemaskan, kadang menyebalkan. Kita yang selalu harus ngerti’in
mereka, bukan sebaliknya.
Kadang saat
memasuki kelas, trus wajah-wajah polos tanpa dosa itu mandangin kita dengan
tampang excited, rasanya pengen langsung kasih minum susu satu persatu. Tetapi
kalau lagi kumat, yang namanya pundung, adududududuhhh
nggak ada obatnya. Disuruh ngerjain ini, cemberut. Ditinggalin, nangis.
Dimarahin, buang muka. Dinasehatin, ketawa-ketawa.
Soal pelecehan
seksual. Well, namanya anak-anak
memang masih sangat polos. Mereka kan belum kepikiran sama hal-hal yang begitu.
Makanya saya berani bilang, untuk merekrut guru TK dan SD itu harus benar-benar
selektif. Bukan hanya latar belakang pendidikannya yang perlu, tetapi juga
kondisi psikis dan mentalnya. Saking polosnya anak-anak ini, kadang kita hanya
punya dua pilihan : melindunginya atau memanfaatkan situasi. Seram banget kan?
Contohnya,
anak-anak kan kalo lagi lincah-lincahnya, maka kadar kelincahannya nggak
ketulungan. Tangan kemana-mana, kadang tanpa sengaja menyentuh ‘area-area
telarang’ kita. Dia sih santai karena emang belum ngerti, malah kadang
ngetawain. Busyet, padahal kita udah merah padam pucat pasi tergores luka di hati lagunya Anggun C Sasmi. Belum lagi dalam proses
belajar mengajar (saya mengajar Visual Arts, dimana proses belajarnya tidak
seformal mata pelajaran yang lain), kadang anak-anak pada berebutan pengen
dipangku. Pernah saya sedang duduk di meja kerja saya sambil mengawasi
murid-murid yang sedang mengerjakan task sesuai instruksi saya tadi, tiba-tiba
satu dua orang anak pada jalan kucluk-kucluk
menghampiri saya, dan dengan cueknya duduk dipangkuan saya.
Saya tanya, “What
are you doing?”.
“My dad
let me sit on his lap”, jawabnya polos, nggak nyambung pula.
“But I’m not your daddy”.
“Yes you are. My mom dan dad said you are my
daddy at school”.
Rasanya antara
pengen melting dan denying. Parahnya, kalau yang satu sudah
dipangku, yang lain juga mau. Waktu belum tegaan, saya masih kasih toleransi.
Cuma boleh duduk di bagian dengkul dengan keseimbangan yang ala kadarnya. Itupun saya hitung cuma boleh selama 30
detik saja. Tetapi lama kelamaan
kebiasaan ini saya cut. Saya nggak
mau hal seperti ini keterusan. Anak-anak harus diajarkan bahwa ada hal-hal yang
boleh dilakukan di rumah, tetapi tidak boleh dilakukan di sekolah. Harus ada
batas-batasnya antara saat bersama dengan orang tua dan saat bersama dengan
guru, terutama orang lain.
Dulu saya punya
murid kelas 5, perempuan, manis, rambutnya coklat. Kayaknya dia ini sedikit
punya masalah dengan yang namanya berbaur dengan teman-teman. Jadi setiap kali
jam istirahat atau lunch break, dia
itu akan datang ke ruangan saya. Sendirian saja. Ngajak saya ngobrol ngalor
ngidul sampai bel tanda masuk kembali ke kelas berbunyi. Ruangan saya dulu
letaknya paling sudut, bisa dibilang agak jauh dari keramaian dan lalu lintas
kegiatan sekolah. Untungnya saya nggak pernah punya pikiran macam-macam, dan dia
juga percaya kalau saya tidak akan macam-macam. Makanya saat saya resign dari
sekolah itu, saya sempatkan berbicara ke dia. Saya bilang supaya dia sebaiknya mulai
berbaur dengan teman-temannya. Saya jadi paranoid dan cemas sendiri
membayangkan jika dia masih melakukan hal yang sama, tetapi kepada orang lain.
Mungkin kedengaran egois dan berlebihan, tetapi saya memang percaya kepada kwalitas diri
saya sendiri, tetapi tidak kepada orang lain.
Sisi positifnya
adalah, si anak memang sangat dekat dengan kita. Sangat mempercayai kita
sehingga dia mau akrab dengan kita secara psikis maupun fisik. Anak-anak kan
masih jujur, belum bisa munafik. Kalau dia tidak suka, dia akan bilang tidak
suka sambil menunjukkan sikapnya. Demikian juga sebaliknya jika dia suka.
Tetapi di sisi yang lain, ini bisa menjadi peluang untuk oknum-oknum yang punya
niat tidak baik.
Seperti
kasus-kasus sebelumnya, pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak umumnya
adalah orang-orang yang dekat dengan si anak. Bisa keluarga, kerabat atau teman
(dengan usia yang lebih tua). Para pelaku ini tau banget cara merebut hati si
anak, entah itu dengan iming-iming makanan, mainan atau sikap yang manis. Pada
kondisi ini jelas susah untuk mendeteksi niat jahat si pelaku. Maka sangat
penting untuk mengajari si anak untuk tau batas-batas interaksi dengan orang
lain. Misalnya bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh atau dilihat oleh
orang lain, sebaliknya juga bagian tubuh mana dari orang lain yang tidak seharusnya
mereka lihat atau sentuh. Anak-anak juga harus diajari untuk terbuka, untuk mau
membicarakan segala hal, termasuk pengalaman yang menyenangkan dan yang tidak
menyenangkan.
Dulu Mama saya menerapkan ajaran seperti ini kepada saya, rada frontal sih : tidak boleh bugil di depan umum. Kok kesannya saya ini waktu kecil tukang bugil sembarangan ya? Kalau memang benar, untung kebiasaan itu tidak terbawa-bawa sampai dewasa karena pasti banyak yang suka. Hallahhhh...
Dulu Mama saya menerapkan ajaran seperti ini kepada saya, rada frontal sih : tidak boleh bugil di depan umum. Kok kesannya saya ini waktu kecil tukang bugil sembarangan ya? Kalau memang benar, untung kebiasaan itu tidak terbawa-bawa sampai dewasa karena pasti banyak yang suka. Hallahhhh...
Banyak kasus
pelecehan seksual terhadap anak-anak baru diketahui setelah berlangsung selama
beberapa waktu. Hal ini disebabkan karena si anak tidak mau bercerita. Kejadian
ini baru diketahui setelah ada perubahan pada diri si anak secara psikis maupun
fisik. Ketika didesak orang tua, si anak juga belum tentu mau cerita karena
memang tidak terbiasa dididik untuk membicarakan segala hal dengan jujur kepada
orangtua.
Anak-anak kan
bukan porselen yang bisa kita tempatkan di suatu spot yang kita mau, di lokasi
yang bisa kita awasi sepanjang waktu. Anak-anak kan harus sekolah, les ini dan itu atau
bersosialisasi dengan anak-anak lain yang secara lokasi kadang berada di luar pengawasan kita. Kita tidak
bisa hanya mengandalkan diri kita sendiri dan orang lain (entah itu guru,
pengasuh dan lain-lain) untuk memproteksi si anak, tetapi si anak juga harus diajari
untuk bisa memproteksi dirinya sendiri. Secara fisik mungkin dia tidak bisa membela
diri, tetapi setidaknya dia bisa berkata TIDAK atau berani melapor untuk sesuatu yang terjadi pada
dirinya, yang mengarah kepada hal-hal yang tidak baik. Itu sudah bisa menjadi langkah awal untuk menghentikan niat si pelaku.
May GOD be with our children wherever they are...
0 komentar:
Posting Komentar