Namanya Dinda.
Bukan Dinda yang dulu dicari-cari Katon
Bagaskara lewat lagu Dinda Dimana? Bukan pula (a)Dinda si cewek manis yang ditaksir band tahun 90'an Protonema. Dinda yang ini sedikit alay. Alay karena tidak bisa mem-filter mana curhat yang pantas dan gak pantas untuk disebar di
media sosial.
Jadi lewat Path,
Dinda ini nge-Path (baca : ngepet) tentang kegundahannya saat seorang ibu hamil minta tolong agar
kursi yang dia dudukin di kereta diberikan ke si ibu. Nggak jelas apakah Dinda
memberikannya atau tidak, tetapi yang jelas dia langsung misuh-misuh di Path, curhat habis-habisan tentang kejadian barusan.
Katanya si ibu
harusnya berangkat lebih awal atau naik dari stasiun terjauh supaya kebagian
kursi. Si ibu hamil disuruh begitu? Padahal
dia ini perempuan lho dan pasti punya ibu. Dan ibunya dulu pasti hamil dulu
sebelum dia lahir. Atau mungkin Dinda ini lahir dari ladang kubis atau
digotong-gotong burung bangau seperti adegan di film kartun? Entahlah...
Saya masih ingat,
dulu saya juga seperti Dinda ini. Maksudnya bukan alay seperti Dinda, tetapi
berangkat kerja pagi-pagi buta supaya dapat tempat duduk, entah itu di kereta
atau bis. Kadang saya harus berangkat jam 4 jika kebetulan dapat tugas piket
pagi. Bayangkan, saat orang-orang masih ngorok, saya sudah berangkat kerja.
Bahkan kadang berpapasan dengan hantu yang baru pulang pagi. Iya sih, berangkat
pagi pasti dapat tempat duduk. Tetapi
dalam hitungan menit, satu persatu kereta
atau bis akan terisi. Sepertinya bukan hanya saya saja yang menjalankan
prinsip Berangkat Pagi Dapat Kursi.
Si ibu hamil bisa
jadi juga menerapkan prinsip Berangkat Pagi Dapat Kursi yang memang hits di antara para karyawan yang menggunakan angkutan umum. Tetapi karena dalam
keadaan hamil, tentu gerak dan aksesnya juga terbatas. Dalam segala hal, dia
pasti kalah cepat dibanding penumpang lain yang tidak hamil. Itulah mungkin
yang luput dari akal sehat adik kita Dinda Alay Pelit Kursi Ini.
Saya saja yang
sudah mendapat tempat duduk di bis atau kereta, jangankan ibu hamil, perempuan
atau bapak-bapak yang saya anggap lebih senior saja kalau berdiri di depan atau dekat saya,
pasti saya suguhkan tempat duduk saya untuk diduduki. Buat saya pribadi sih,
rasanya kok nggak nyaman banget saat kita enak-enak duduk, sementara ada
senior citizen di dekat kita yang sebenarnya lebih butuh tempat duduk itu. Saya kan
masih muda, soal kuat-kuatan berdiri di dalam bis, pastinya saya lebih kuat
dong dibanding ibu-ibu hamil, perempuan dan senior citizen.
Biasanya abis kita
ngasih tempat duduk gitu, yang kita kasih tempat duduk bilang ‘terima kasih’,
penumpang lain pada ngeliatin. Kalau sudah begitu, biasanya saya langsung pose.
Jadi sebenarnya
kejadian seperti ini bukan masalah pengertian atau tidak pengertian seperti yang
diomelkan oleh Dinda Alay Pelit Kursi Kereta waktu ngepet di Path, tetapi
naluri kemanusiaannya dimana? Saya nggak mau menghakimi orangtua Dinda. Saya
nggak mau menuduh orangtua Dinda nggak mengajari budi pekerti kepada anaknya. Saya yakin
semua orangtua mengajarkan semua hal-hal yang baik pada anaknya, termasuk etika dan character building. Saya percaya orangtua Dinda mengajarkan itu semua pada Dinda supaya kelak anaknya menjadi pribadi yang berkarakter dan berahlak baik. Sayangnya,
Dinda ini mungkin type pendengar yang masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Jadi kalau Dinda
ini masih saja tidak merasa bersalah atas sikap dan pemikirannya yang dia
tuangkan di Path...well, maybe she’s not
a woman. She’s a barbie. A woman-shaped doll without heart and soul. Get out of
here, Barbie.
0 komentar:
Posting Komentar